Share

SEMAPUT ASMARA

“... Hng ....”

Bibir Kirana terbuka sedikit, dia mengerang pelan di sela-sela merasakan nyeri hebat yang menyerang kepala belakang. Dia paksa mata sayunya untuk terbuka, dia berkedip-kedip lemah menyisir tempat dia terduduk lemah saat ini. Dia berada di dalam mobil keluarga serba hitam beraroma sabun mandi, sepertinya dia tahu mobil siapa yang sedang dia tumpangi.

“Kamu udah bangun, Na?”

Kirana langsung memejamkan mata sewaktu dia tangkap suara dari kursi pengemudi di sebelah, suara Akbar. “Maaf ya aku gak bangunin kamu, soalnya kamu tadi lumayan parah mabuknya, aku jadi gak enak buat ganggu.” lanjutnya. 

“Hm ...” Kirana menggumam cuek. “Kita di mana, nih?”

“Di depan kos kamu, aku mau gendong ke dalam tapi kuncinya sama kamu.” 

Kirana mendengus sebal sambil merogoh tas sandangnya yang berbahan kulit asli (harus banget diperjelas). “Jadi kalo gue gak bangun, lu bakal nunggu di sini sampe pagi? Jangan gila lu!” ocehnya seraya menyerahkan kunci pada Akbar. Dalam kondisi belum sepenuhnya sadar pun, Kirana masih punya banyak tenaga untuk menaikkan suara.

“Maaf ... Habis aku takut kalo aku ganggu tidur kamu, kamunya malah lebih marah.” 

“Maaf! Maaf! Cukup mpok Minah aja yang dikit-dikit minta maaf, lu jangan ikutan! Gih, sono, bukain pintu.” Mentang-mentang Akbar baik hati, Kirana jadi suka melunjak, sebaiknya Kirana banyak-banyak berharap Akbar bukan psikopat kalau mau selamat. 

“Iya, aku bukain bentar ya.” Akbar melempar senyum manis andalan yang sukses membuat bulu kuduk Kirana berdiri.

“Jangan senyum-senyum lu sama gue, gue males liatnya!” amuk Kirana selaras tangannya mendorong lengan Akbar agar bergegas keluar dari mobil.

Indekos Kirana berada di rumah paling pojok kanan sebuah bedeng lima. Meski dia bersebelahan dengan empat tetangga, tak satu pun dia kenali mereka. Berdasarkan pengalaman hidup Kirana selama hampir dua puluh lima tahun, tetangga tak ubahnya program rumpi no secret, radar Kirana sudah dari jauh-jauh hari memberi kode lebih baik radiasi beberapa meter dari mereka biar hidup lebih damai sentosa. Nyatanya, ilmu terapan itu sangat berguna, Kirana memang bisa tinggal bebas pulang-pergi semaunya tanpa memikirkan apa kata tetangga.

Seusai membuka pintu dan menyalakan lampu ruang tamu, tugas Akbar selanjutnya adalah menggotong tubuh Kirana masuk ke dalam, tepatnya, cukup membantu memegangi satu tangan Kirana supaya dia tidak terjerembap ke dalam comberan seperti yang sudah-sudah.  

Pandangan Kirana lumayan berputar, indekosnya dari depan tampak seolah sedang goyang dombret. Untung dia berhasil sampai di ruang tamu dengan selamat berkat Akbar. Ruang berukuran sepetak kecil yang hanya muat menampung beberapa orang itu diisi sebuah kasur lantai dan TV tabung 21 inch, dibanding disebut ruang tamu memang lebih cocok disebut ruang menonton.

“Hadeuh ... Pegel banget badan gue,” erang Kirana. Dia nyalakan TV setelah berbaring biar suasana tidak terlalu sunyi. “Lu belum pulang?” Sampai dia sadar bahwa Akbar masih bengong di hadapannya.

“Aku bikinin susu buat kamu, ya? Biar sisa mabuk kamu hilang.” Akbar tidak menjawab pertanyaan Kirana, malah menawarkan bantuan lagi.

“Terserah lu, deh,” sahut Kirana cuek. 

Akbar beranjak ke dapur yang tak kalah sempit dari ruang tamu. Satu gelas susu hangat dia seduh. Kirana habiskan hanya dalam tiga teguk. “Lu masih belum pulang? Apa lagi, sih?” tanya Kirana makin dongkol, empet juga lama-lama melihat muka lugu Akbar.

Akbar meremas-remas jemari lentiknya di atas paha, dia jilati bibir untuk mengusir rasa gugup. “Ada yang mau aku omongin, Na.” lirihnya cemas-cemas basah(maksudnya bibirnya yang basah).

“Hm. Apaan?” tanya Kirana ogah-ogahan. Tentu dia sudah bisa membaca gelagat Akbar. Metode lawas ini sudah sering dia jumpai.

“Aku sayang sama kamu.”

Tuh, kan. Basi. Kirana langsung mendengus. Hari naas baginya ternyata tiba hari ini. Padahal dari sejak kapan tahu dia sudah wanti-wanti Akbar akan men-dor dirinya, rupanya sekarang lah dia lakukan. Kirana jadi makin malas menanggapi kalau begini, Akbar minim effort, ya masa mengajak jadian tengah malam sehabis klubbing? Apa tidak bisa sedikit lebih berkelas, gitu? 

“Gue juga sayang kok sama lu, Bar. Tapi gue lebih sayang sama jam tidur gue. Lu pulang aja ya, gue ngantuk banget.” Tolakan halus dilontarkan Kirana. Untuk ukuran manusia sejenis Kirana, itu sudah versi yang paling halus.

Sebelum Kirana kembali berbaring karena masih sedikit gelayaran, Akbar tangkas menggapai jemarinya. Malam dingin tapi keringat Akbar tampak bercucuran saking gugupnya mendera, jantungnya berdebar kencang seperti bom siap meledak. 

Please, Na. Kasih aku satu kesempatan, cuma sekali ini aja. Kalau nanti ternyata aku gagal membahagiakan kamu, kamu boleh meninggalkan aku. Aku tau cinta gak boleh dipaksa, tapi tolong sekali aja, Na.”

Amboi. Sedap betul bahasa pujangga si Akbar. Kalau saja Kirana adalah gadis lemah lembut, tentu dirinya sudah meleleh mendengar rayuan itu. Sejujurnya dalam lubuk hati terdalam, Kirana cukup menghargai usaha Akbar, tapi masih ada satu nama yang belum bisa dia hapus dari hatinya. Hubungan itu berakhir menggantung, Kirana masih merasa diikat oleh sesuatu yang tak terlihat.

“Na?” panggil Akbar, menyadarkan Kirana dari buai lamunan. “Aku gak maksa, kok.” Dia mempertegas kalimatnya. 

“Oke kalo lu minta satu kesempatan. Mungkin memang hanya itu yang bisa gue kasih.” Kirana terdengar lembut dan serius. 

Mata Akbar langsung terbuka lebar, gayung bersambut pikirnya. Jemari Kirana dia remas lebih kuat sambil menatap Kirana lebih lekat, lebih cocok disebut melotot, sih. “Makasih Na! Aku gak akan menyia-nyiakan kesempatan yang kamu kasih. Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk kamu!” serunya mengumbar janji. 

“Iya ... Iya ... Sana pulang lu, udah mau tengah malam, nih. Entar ada kuntilanak lewat gangguin lu di jalan.” Kirana menarik tangannya.

Akbar mengangguk mantap. Dia bergegas keluar setelah membelai lembut puncak kepala Kirana. Mobilnya melaju pelan menjauh disusul Kirana mengunci pintu indekos. Mata Kirana menatap kosong pada layar TV, terbayang lagi wajah Panji. Sakit. Masih teramat membekas luka yang pernah ditorehkan Panji.

Ingatan Kirana kembali pada delapan tahun yang lalu. Waktu dia masih duduk di bangku kelas dua belas, waktu dia masih culun—ya sekarang juga masih culun, sih—dan masih bau matahari. Panji bukan cowok super ganteng seperti gambaran cowok dalam teenlit populer, dia juga bukan yang paling pintar atau yang paling keren. Tapi dia punya daya magis yang sanggup menyedot perhatian Kirana.  

Tubuhnya tinggi proporsional agak berisi dengan kulit coklat cenderung gelap. Kepalanya besar, hal ini pernah dibuktikan Kirana sewaktu mereka berfoto bersebelahan, kepala Panji terlihat dua kali lebih besar dari kepala Kirana. Nasib baik ukuran mata, hidung dan bibirnya ikut mengimbangi, akan sangat tak lazim tentunya kalau kepalanya besar tapi matanya kecil seperti karikatur. Bagian tubuh paling disukai Kirana dari Panji adalah bulu matanya yang super panjang dan lentik yang selalu bikin cewek-cewek iri.

Kalau tertawa, Panji hampir tidak pernah terbahak-bahak, paling-paling hanya tawa pendek bernada mengejek. Kirana yang waktu itu duduk di belakang Panji memulai aksi dengan memberi perhatian, misalnya membagi bekal yang dibawa dari rumah atau mengajak menonton film bersama, yang paling ekstrem ya memberi contekan saat ulangan.

Setelah dua bulan PDKT, Kirana yang sejatinya memang agresif langsung menyatakan perasaan, dan tanpa babibu Panji menerima. Bahkan sampai detik ini, Kirana masih tidak tahu apa alasan Panji menerima perasaannya, satu kata “sayang” atau minimal “suka” pun belum pernah dia dapat dari Panji. Dalam benak Kirana, Panji bersikap begitu karena dia adalah cowok progresif yang sudah anti pada kata-kata manis, dan cuma berorientasi pada perlakuan. Kirana tidak sadar waktu itu dia sangat delusional. 

Ciri khas Panji yang paling membekas di ingatan Kirana adalah kebiasaannya yang mudah tersulut api amarah alias gampang nge-gas. Ini adalah pemicu hampir seluruh pertengkaran mereka, di luar dari sifat Kirana yang juga mau menang sendiri tentunya. Marah pada Kirana bisa dia maklum (namanya juga cinta buta), tapi marah pada orang lain dan Kirana harus jadi penengah, bagaimana Kirana tidak frustrasi? Sebagai contoh, mereka berdua sedang berjalan di pasar, dan tidak sengaja seorang pria menabrak atau menyenggol lengan Panji. Sudah bisa ditebak seterusnya apa yang akan terjadi, kalau bukan saling tonjok, minimal adu mulut setengah jam yang biasa ujung-ujungnya diselesaikan dengan adu jotos. Pokoknya paling tidak, ada setetes darah yang tumpah. Kirana mana mungkin diam saja, namun tiap kali dia mencoba melerai, dia juga tak lepas dari dampratan Panji,

“Kamu gak usah ikut campur! Orang rese kaya dia emang harus dikasih pelajaran, Ran!” 

Nah kalau sudah begitu, biasanya sifat cengeng Kirana akan keluar. Dia akan memilih pergi lalu menangis, kemudian ngambek dengan cara mogok bicara setidaknya seminggu. Babak selanjutnya, Panji akan meminta maaf dan berjanji tidak mengulangi sikap sok jagonya, sudah pasti janji itu selalu dia langgar. Kirana yang bucin edan level mithic sudah tentu akan memaafkan, dan berakhir mereka berpelukan.

Kisah mereka persis skenario FTV azab dengan metode sama berulang-ulang. Hubungan lima bulan itu pada akhirnya selesai menggantung setelah acara kelulusan. Panji tidak tahu ke mana rimbanya, dia menghilang begitu saja, kalau bahasa bekennya sih dia meng-ghosting Kirana. Tapi dasar Kirana terlanjur semaput asmara, sampai sekarang Kirana masih hidup dalam bayang-bayang Panji. Dia masih berkeyakinan Panji akan kembali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status