Share

Cahaya Cinta di Langit Pesantren (Cinta dalam Balutan Doa 2)
Cahaya Cinta di Langit Pesantren (Cinta dalam Balutan Doa 2)
Penulis: Makhchuena Asma

Bab 1 Mencari Pekerjaan

Cerita ini merupakan spin off dari cerita Cinta dalam Balutan Doa. Untuk menghindari kerumpangan, bisa baca Cinta dalam Balutan Doa season 1 terlebih dulu 

***

Sebuah harapan akan tercapai dengan adanya semangat yang tak pernah pudar. Dengan keyakinan dan sebuah kesabaran pasti akan berbuah indah saat waktunya tiba.

(Fathiyah – Cinta dan Harapan)

***

Fathiyah sudah meletakkan lamaran kerja di beberapa toko, kafe dan restoran. Namun, hingga kini ia belum dapat panggilan. Dirinya sadar kalau  hanya lulusan SMA, bahkan ia belum punya pengalaman kerja.

Hanya berbekal ijazah SMA dan keahlian memasak yang diajarkan oleh sang ibu dulu semasa hidup, ia pun melamar pekerjaan ke kafe dan restoran sebagai koki. Kebetulan sang ibu dulu adalah seorang koki di rumah makan mewah.

Dua tahun sudah Kedua orang tuanya meninggal  dunia. Saat itu juga sang bibi dan sang paman memutuskan tinggal di rumah Fathiyah, karena rumah yang disewa mereka sudah habis masa kontraknya.

Rika, sang bibi selalu memperlakukan Fathiyah seperti pembantu di rumahnya sendiri, semua pekerjaan rumah di kerjakan gadis itu. Bahkan tak jarang Fathiyah harus rela kelaparan karena sang bibi tidak memberi jatah makan. Dengan gaya hidup selangit Rika sering menghabiskan gaji suaminya yang hanya bekerja serabutan. Bahkan ia dan sang suami mempunyai banyak hutang. Kebiasaan buruk sang paman yang suka berjudi juga pemicu semakin menderita hidup Fathiyah.

“Dasar pemalas! Bisa-bisanya kamu duduk santai, cepat cari kerja! Kalau belum mendapatkan pekerjaan nanti malam siap-siap tidur di teras. Bahkan kalau perlu enggak usah pulang sekalian,” sentaknya saat melihat Fathiyah duduk santai di depan teras melepas lelah.

“Iya, Bik. Sebenarnya aku sudah meletakkan beberapa lamaran, tapi hingga kini belum dapat panggilan,” ungkapnya.

“Makanya yang lebih giat lagi cari kerja, kamu ‘kan sudah dapat ijazah SMA seharusnya bisa cepat  dapat pekerjaan cleaning servis atau apa lah, daripada harus jualan kue seperti waktu SMA dulu, bikin kotor dapur saja,” ucapnya. Padahal meskipun dapur kotor yang membersihkan juga Fathiyah.

“Iya, Bik.” Fathiyah memilih mengalah  daripada banyak bicara pada sang bibi.

Fathiyah segera mengganti pakaian.  Ia biarkan rambutnya dicepol sedikit berantakan, Fathiyah lebih nyaman berpenampilan layaknya laki-laki. Bahkan predikat tomboi sudah melekat erat padanya sejak kecil hingga sekarang. 

Fathiyah keluar dari rumah sang bibi. Namun, demi menjaga kesopanan ia pamit terlebih dahulu pada sang Bibi.

“Bik,  aku cari kerja dulu, doakan semoga cepat dapat kerja, ya!”

“Untuk apa berdoa memang dengan doa kamu langsung dapat pekerjaan? Yang penting itu usaha, kalau hanya diam saja tanpa usaha sampai kapan pun  kamu tidak akan dapat pekerjaan,” ucapnya lantang. Fathiyah hanya geleng kepala menanggapi sikap sang Bibi yang tidak pernah ia lihat sholat selama tinggal di rumahnya ini. Wanita itu suka ikut pengajian komunitasnya, tapi hanya ia gunakan sebagai pencitraan di depan teman-temannya. Untuk ibadah baik wajib maupun sunah tidak pernah ia kerjakan sama sekali. Fathiyah sudah pernah menegurnya. Namun, ujung-ujungnya hanya akan timbul keributan dari mulut pedas sang Bibi.

Fathiyah memang dibesarkan d lingkungan keluarga yang tidak begitu agamis. Namun, ia dan almarhumah sang ibu tidak pernah meninggalkan sholat. Ia sangat ingin mengikuti pengajian saat sekolah dulu. Namun, sang paman dan sang Bibi selalu menghalangi dengan menyuruh bekerja dan membersihkan rumah di saat teman-temannya mengajak ikut pengajian.

Seandainya kedua orang tuanya masih ada, hidupnya tidak akan sesulit ini. Namun, semua ini sudah takdir. Ia hanya berusaha mengikhlaskan dengan lapang. Hanya saja perlakuan sang paman dan sang Bibi yang selalu semena-mena membuatnya tertekan.

Fathiyah segera melajukan motor matic buntut peninggalan sang ayah untuk mencari pekerjaan. Ia tidak tahu harus mencari di mana, rata-rata temannya melanjutkan pendidikan di universitas negeri ternama. Fathiyah gadis yang pintar, selalu mendapatkan beasiswa dari sekolah, sehingga bisa mengurangi sedikit bebannya dalam menuntut ilmu. Kalau boleh berandai ia pun juga ingin melanjutkan pendidikan. Mengambil jurusan tata boga sesuai cita-citanya, menjadi chef. Namun, mungkin itu hanya khayalannya saja. Bahkan untuk makan saja ia lebih sering berpuasa. Sang bibi hanya memberinya makan satu kali. Hal itu lah yang membuatnya ingin bekerja di restoran, supaya ia bisa mendapatkan jatah makan gratis di tempatnya bekerja.

Penampilannya yang tomboi dan terlihat ceria mampu membuatnya membangun pribadi yang kuat dan tangguh. Bahkan orang sekitar melihatnya selalu bahagia. Namun, apa yang terlihat belum tentu sesuai kenyataan. Ia menyimpan beribu luka. Ia hanya berusaha kuat. Namun, kenyataannya ia rapuh. Ia tidak pernah mengeluh pada orang lain, ia hanya berkeluh kesah pada Allah di saat mengerjakan kewajiban sholat lima waktu.

Fathiyah selalu mengalihkan kesedihan dengan melakukan beberapa aktivitas, sehingga ia bisa melupakan kesedihannya itu.

Saat ini gadis cantik itu berdiri di depan sebuah kafe dan restoran besar dengan gaya bangunan modern yang instagramable. Besar harapannya dapat diterima dan bekerja di restoran itu.

“Bismillah ... Ya Allah semoga ada lowongan di kafe ini,” gumamnya. Ia melangkah memasuki kafe itu.

Dengan penampilan yang sedikit lusuh membuatnya menjadi pusat perhatian pengunjung dan beberapa karyawan kafe dan resto itu.

Ia berjalan menghampiri gadis yang kira-kira usianya satu tingkat darinya. Gadis itu berdiri di depan meja kasir.

“Permisi, Mbak. Saya ke sini membawa lamaran pekerjaan, mungkin di sini ada lowongan buat saya,” ucapnya sopan.

Gadis itu memindai penampilan Fathiyah yang memakai celana jeans sedikit pudar, kemeja kotak-kotak yang juga warnanya sudah sedikit  memudar dengan rambut diikat kucir kuda sedikit acak-acakan.

“Mbak yakin dengan penampilan seperti ini melamar pekerjaan di sini?” tanya gadis itu sedikit meremehkan.

Fathiyah tersenyum sambil mengangguk mantap.

“Sebenarnya sih ada lowongan di bagian koki, karena salah satu koki di restoran kami pulang kampung dan tidak kembali lagi,” ungkapnya.

“Alhamdulillah,  kebetulan sekali saya lumayan bisa memasak,” ucap Fathiyah senang. Membuat gadis yang ada di hadapannya mengernyit heran.

“Kamu jangan main-main, ya! Semua orang itu bisa memasak, kalau hanya memasak untuk di makan sendiri, kamu sadar ini restoran mahal dan mewah. Jangan mengada-ngada, ya,” ucapnya.

“Saya tidak mengada-ngada, Mbak. Saya beneran bisa memasak. Saya akan buktikan kalau Mbak tidak percaya.”

Suara sedikit ricuh membuat manager kafe sekaligus orang kepercayaan pemilik kafe dan resto itu mendekat.

“Ada apa ini? Kenapa kalian  berdebat! Coba jelaskan padaku, San?” tanya Pak Rizki.

Pegawai kafe yang bernama Santi itu menceritakan pada Pak Rizki tentang Fathiyah yang saat ini berdiri di belakangnya.

Sama halnya dengan Santi, laki-laki paruh baya lebih itu memindai penampilan Fathiyah dari atas hingga ke bawah.

“Benar, Nak. Kamu bisa memasak, apa pun menu yang di jual di sini?”

“Insya Allah, bisa, Pak.”

“Baiklah saya mau mengujimu memasak tiga menu favorit di restoran ini. Mari ikut saya ke bagian produksi di restoran ini!”

Pak Rizki segera memberitahu Fathiyah menu favorit di restoran itu dan menyuruhnya segera memasak.

Fathiyah mengerjakan tantangan yang diberikan Pak Rizki tentunya dengan bantuan Pak Reno selaku koki senior di restoran itu. Semua bahan telah di siapkan Pak Reno, Fathiyah tinggal mengolah sesuai keinginan Pak Rizki.

Setelah sekian menit berkutat di dapur restoran itu, Fathiyah berhasil menyelesaikan tugasnya. Dengan minder Fathiyah mempersilakan Pak Rizki mencicipi hasil kreasinya.

Dengan gemetar Fathiyah menunggu penilaian dari Pak Rizki. Besar harapannya dapat diterima di restoran ini.

Pak Rizki memberi dua jempol pada Fathiyah yang di sambut gadis itu dengan bahagia.

“Saya sangat puas dengan masakanmu, benar-benar enak. Kamu masih muda dari mana kamu belajar memasak sehingga menghasilkan masakan yang bercinta rasa pas seperti ini?” pujinya.

“Alhamdulillah, kalau Bapak menyukainya. Keahlian ini saya dapatkan dari almarhumah ibu saya, Pak. Apa saya di terima bekerja di sini?” tanyanya menggebu.

Pak Rizki mengangguk sambil tersenyum.  “Iya, mulai besok kamu bisa bekerja di sini, ingat jam kerja kamu mulai pukul tujuh pagi hingga delapan malam. Kafe dan Resto ini buka sampai pukul 12 malam  tapi pukul delapan hingga ke atas hanya menyediakan kopi dan makanan ringan saja, sehingga kamu bisa pulang jam delapan malamnya.

“Masya  Allah, terima kasih, Pak. Saya sangat senang.” Fathiyah berlonjak kegirangan. Senyum manis dengan lesung pipi ia pamerkan sejak tadi. Membuat Pak Reno dan Pak Rizki geleng kepala.

“Ingat bekerja dengan baik! Jangan kecewakan saya!” ucap Pak Rizki yang diangguki mantap oleh Fathiyah.

Melihat hal itu Pak Reno ikut senang karena pekerjaannya akan lebih mudah karena ada koki baru yang akan membantunya.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
anggi
......………….
goodnovel comment avatar
Handoko Pambudi
hemmm,......,
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status