Share

Calon Istri Tuan Muda
Calon Istri Tuan Muda
Penulis: Sarah Nurlatifah

1. Calon Pilihan Kakek

“Fandra, duduklah,” ujar seorang wanita yang kisaran usianya pertengahan enam puluh tahun. Tangannya yang sudah keriput menunjuk sofa di depannya.

Altafandra Alatas, pria yang baru saja turun dari lantai dua rumahnya itu hanya menoleh sekilas lalu menurut, duduk di sofa.

“Katakanlah jika ada yang ingin Nenek katakan, aku ada urusan,” kata Fandra. Dia sepertinya tahu apa yang akan dibicarakan.

Menarik napasnya, sang nenek sudah menduga Fandra akan mengatakan itu. Maka tanpa kata sang nenek, wanita keturunan China itu menyodorkan beberapa lembar foto ke hadapan Fandra. Pria itu melihatnya, memperhatikan beberapa potret gadis.

“Pergilah kencan buta,” titah sang nenek sembari mengambil gelas tehnya.

Tidak hanya sang nenek di sana, tapi juga ada ayah serta ibu, dan sang adik satu-satunya.

“Sudah berapa kali aku bilang tidak akan pernah melakukan itu. Tidakkah Nenek mendengarnya dengan jelas?” kata Fandra dengan nada suara yang meninggi. “Aku sudah muak dengan ini!” tegasnya sambil mengatupkan mulutnya rapat.

“Fandra!” Sang ibu menegur putranya.

Neneknya hanya menatap Fandra dingin, sedikit tidak peduli.

“Lantas, kapan kekasihmu itu kembali? Tidakkah kau sadar bahwa dia telah berbohong padamu?” Nenek mengingatkan.

Fandra mengarahkan tatapan tajamnya pada wanita yang menjadi ratu di mansion itu kemudian dia mendesis.

“Bukankah aku sudah mengatakannya ribuan kali kalau aku tidak akan memaksanya untuk menikah dalam waktu dekat denganku. Dia masih butuh waktu ….”

“Waktu!” Nenek menyela dengan suara yang meninggi. Menaruh cangkirnya dengan kasar.

Tatapannya nyalang tertuju pada Fandra yang terbungkam. Semua orang yang melihat itu sempat terperanjat, khawatir penyakit sang ratu kambuh.

“Tidakkah kau tahu berapa lama waktu yang telah dia habiskan untuk persiapan? Kau buta Fandra!”

Tangan Fandra mengepal mendengar perkataan sang nenek.

“Benar. Aku buta karena terlalu menginginkannya. Lantas, Nenek akan terus mendesakku untuk menikah dengan gadis yang sama sekali tidak aku cintai? Sungguh ironis sekali. Tidakkah kalian ingin aku bahagia? Maka bahagiaku adalah –”

“Gadis itu!” sela sang nenek.

Dada Fandra naik turun, wajahnya memerah menahan amarah.

“Sekalipun gadis itu kembali. Aku tidak akan sudi kalian menikah!” tegas sang nenek tanpa perasaan sekalipun.

“Apa maksud Nenek?” Fandra tak percaya mendengarnya.

“Dia sudah tidak memenuhi syarat untuk menjadi bagian keluarga ini lagi! Jadi, kau harus menikah sebelum usiamu genap tiga puluh lima tahun!”

Tatapan tak percaya itu mengarah pada wanita tua yang masih tampak anggun dengan rambut tersanggul rapi. Meskipun usianya sudah mulai senja, tapi masih tampak segar bugar.

“Kau, harus menikah dengan pilihan kami!” tegas nenek tanpa bisa diganggu gugat membuat Fandra kehilangan kata-kata.

“Nenek keterlaluan!” balasnya.

“Apa yang lebih keterlaluan daripada gadis itu yang mengkhianatimu tapi kau terlalu buta untuk sadar,” balas neneknya tak mau kalah. “Pokoknya kau harus menikah tidak peduli dengan siapapun itu untuk keberlangsungan keluarga ini,” lanjutnya tidak mempedulikan tatapan Fandra yang marah.

“Nenek terlalu memikirkan kerajaan sialan ini dibanding perasaanku.”

“Apa yang perlu dipertahankan dari perasaan picik itu, hah? Tidakkah kau tahu Fandra apa yang di lakukan gadis itu?”

“Aku tidak akan percaya selama aku tidak melihatnya dengan mata kepala sendiri!”

“Cukup!” Sang nenek membentak. Matanya nyalang menatap Fandra yang mulai terbawa emosi. “Aku tidak mau mendengar apa pun lagi. Kau harus menikah!”

“Aku tidak akan menikah selain dengan Sheila, titik! Itu keputusanku!” tegas Fandra tak terbantahkan lagi. Dia bangun dari duduknya lantas pergi meninggalkan ruang keluarga yang cukup luas itu.

“Fandra. Altafandra!” Sang ibu memanggil tapi tidak digubris oleh Fandra yang mempercepat langkahnya untuk pergi dari rumah yang bagai neraka baginya.

Di tempat duduknya, Sang nenek berusaha untuk tenang, tapi tetap saja, dadanya sesak tak tertahankan, rasa nyeri itu menghantamnya membuat wanita yang sesungguhnya renta itu tak bisa menahannya lagi, dan pada akhirnya tumbang.

“Ibu!” Panggilan panik dari putra dan menantunya terdengar samar.

“Cucuku ….” Sebelum akhirnya kesadaran wanita tua itu menghilang.

***

“Kau harus menemukan pasangannya tidak peduli apapun itu, Sayang,” katanya penuh permintaan.

Pria itu terbaring tak berdaya di atas ranjangnya dengan sang istri duduk di sampingnya.

“Di mana aku harus menemukannya, dan alasan apa kau memintaku untuk menemukannya?” tanya sang istri tidak mengerti dengan permintaan sang suami yang di ambang kematian.

Dokter menjelaskan kalau waktunya tidak akan lama karena beliau sudah tidak bisa bertahan menghadapi sakit yang di deritanya.

“Kau harus, menemukannya. Dan, Fandra … menikah, sebelum tiga puluh lima tahun. Kumohon, temukan kalung itu, kau, akan mengerti permintaanku, sayang,” ucap sang suami. “Hanya itu permintaanku padamu untuk cucu kita,” lanjutnya terbata.

Dengan tangan yang menggenggam erat seolah tidak ingin kehilangan belahan jiwanya. Air mata menggenang di pelupuk, sekuat tenaga dia bertahan agar tidak tumpah di hadapan sang suami.

“Jangan menangis,” ucap pria itu tampak tersenyum kecil. Tangannya terangkat menyentuhkannya ke pipi wanita yang di nikahinya beberapa puluh tahun lalu. “Maaf, meninggalkanmu dengan banyak beban, dan permintaanku yang banyak. Sayang, kau, adalah satu-satunya wanita yang akan kucintai hingga akhir,” lanjutnya mengusap lembut wajah ayu itu.

Mendengar penuturan itu, sang istri tak mampu untuk menahan air matanya, tumpah ruah membasahi tangan suami tercintanya yang mulai dingin. Tidak ada kata, cukuplah apa yang metreka lakukan menjadi perpisahan yang menyedihkan.

Ketika sang istri mencium punggung tangan sang suami tercintanya dengan penuh penghargaan, penghormatan, dan rasa cinta yang begitu dalam, saat itulah malaikat datang untuk menjemput sang tuan yang telah menjadi raja untuk keluarganya. 

“Sampai jumpa lagi, sayang. Tunggu aku di pintu akhirat. Aku janji akan melakukannya, melihat Fandra bahagia dengan pilihanmu, maka aku akan menyusul dengan tenang,” ucapnya menatap wajah itu yang tak lagi bernyawa.

***

Mata tua yang keruput itu mengerjap pelan, air mata membasahi sudutnya. Wanita tua yang merupakan nenek Fandra itu menangis dalam tidurnya.

“Ibu?” Sang menantu menyambut dengan cemas.

Tatapan wanita itu mengarah padanya, memandang lembut sang menantu yang selalu ada untuknya. Senyuman perlahan hadir dengan lemah.

“Ibu baik-baik saja, sayang,” jawabnya.

Menantunya mengembuskan napas pelan tapi tak mampu mengenyahkan kecemasannya.

Nenek teringat akan mimpinya, dan meminta menantunya untuk mengambil sebuah kotak di dalam laci tak jauh dari ranjangnya. Dia kemudian membuka kotak biru tua itu dan tampaklah sebuah kalung dengan bandul berbentuk bulan sabit berhiaskan batu safir biru di tengahnya. Tanda cinta miliknya dengan mendiang suaminya.

Pasangannya dari kalung ini dengan pola-pola serupa pancaran sinar matahari, yang di sekelilingnya bertahtakan permata. Tepat di bagian tengahnya, tertanam batu safir biru.  Dia menggambarkan bentuk kalung dari yang dipegangnya. Tentu saja dia masih ingat dengan benda itu.

Memperhatikan kalung itu, dan mengusap permukaan batu safirnya dengan tersenyum kecil. Wanita tua itu kemudian menatap sang menantu.

“Ayahmu, memintaku untuk mencari pemilik pasangannya. Kalung ini memiliki dua jiwa yang tak terpisahkan. Sebelum meninggal, dia mengatakan kalau telah memilih seorang gadis untuk Fandra,” ungkapnya.

Mata ibu dari Fandra itu melebar begitu melihat kalung sambil mendengar ungkapan sang ibu mertua.

“Maksud Ibu ….”

Nenek tersenyum penuh arti, matanya berkaca menatap sang menantu, membenarkan apa yang dipikirkan menantunya itu yang tak percaya mendengarnya.

“Benar. Fandra sudah punya calon pilihan kakeknya.”

Kalung itu berkilau indah. Apakah sudah saatnya mempertemukan dua jiwa asing itu?

Apakah, Fandra akan menerimanya? Ibunya bertanya ragu dalam hatinya sembari menatap kalung itu. Mengenal sifat Fandra, itu akan sulit baginya.

“Ibu tahu ini tidak akan mudah. Tapi, kita harus mencarinya, dan membawanya ke sini lebih dulu.”

“Tanpa persetujuan Fandra?”

“Kamu mengenalnya, sayang. Tidak mungkin Fandra akan menerimanya. Ibu akan mencobanya, mencari pemilik kalung itu lebih dulu.” Nenek sudah memutuskan, dan itu tidak bisa diubah.

Maka wanita yang telah melahirkan Fandra itu hanya terdiam, berpikir keputusan apa yang diambilnya.

“Aku ikut denganmu, Bu. Mencari pemilik kalung itu,” putusnya kemudian.

Jelas. Senyum nenek semakin mengembang mendapat dukungan dari menantu kesayangannya. Namun, siapakah pemiliknya itu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status