“Fandra, duduklah,” ujar seorang wanita yang kisaran usianya pertengahan enam puluh tahun. Tangannya yang sudah keriput menunjuk sofa di depannya.
Altafandra Alatas, pria yang baru saja turun dari lantai dua rumahnya itu hanya menoleh sekilas lalu menurut, duduk di sofa.
“Katakanlah jika ada yang ingin Nenek katakan, aku ada urusan,” kata Fandra. Dia sepertinya tahu apa yang akan dibicarakan.
Menarik napasnya, sang nenek sudah menduga Fandra akan mengatakan itu. Maka tanpa kata sang nenek, wanita keturunan China itu menyodorkan beberapa lembar foto ke hadapan Fandra. Pria itu melihatnya, memperhatikan beberapa potret gadis.
“Pergilah kencan buta,” titah sang nenek sembari mengambil gelas tehnya.
Tidak hanya sang nenek di sana, tapi juga ada ayah serta ibu, dan sang adik satu-satunya.
“Sudah berapa kali aku bilang tidak akan pernah melakukan itu. Tidakkah Nenek mendengarnya dengan jelas?” kata Fandra dengan nada suara yang meninggi. “Aku sudah muak dengan ini!” tegasnya sambil mengatupkan mulutnya rapat.
“Fandra!” Sang ibu menegur putranya.
Neneknya hanya menatap Fandra dingin, sedikit tidak peduli.
“Lantas, kapan kekasihmu itu kembali? Tidakkah kau sadar bahwa dia telah berbohong padamu?” Nenek mengingatkan.
Fandra mengarahkan tatapan tajamnya pada wanita yang menjadi ratu di mansion itu kemudian dia mendesis.
“Bukankah aku sudah mengatakannya ribuan kali kalau aku tidak akan memaksanya untuk menikah dalam waktu dekat denganku. Dia masih butuh waktu ….”
“Waktu!” Nenek menyela dengan suara yang meninggi. Menaruh cangkirnya dengan kasar.
Tatapannya nyalang tertuju pada Fandra yang terbungkam. Semua orang yang melihat itu sempat terperanjat, khawatir penyakit sang ratu kambuh.
“Tidakkah kau tahu berapa lama waktu yang telah dia habiskan untuk persiapan? Kau buta Fandra!”
Tangan Fandra mengepal mendengar perkataan sang nenek.
“Benar. Aku buta karena terlalu menginginkannya. Lantas, Nenek akan terus mendesakku untuk menikah dengan gadis yang sama sekali tidak aku cintai? Sungguh ironis sekali. Tidakkah kalian ingin aku bahagia? Maka bahagiaku adalah –”
“Gadis itu!” sela sang nenek.
Dada Fandra naik turun, wajahnya memerah menahan amarah.
“Sekalipun gadis itu kembali. Aku tidak akan sudi kalian menikah!” tegas sang nenek tanpa perasaan sekalipun.
“Apa maksud Nenek?” Fandra tak percaya mendengarnya.
“Dia sudah tidak memenuhi syarat untuk menjadi bagian keluarga ini lagi! Jadi, kau harus menikah sebelum usiamu genap tiga puluh lima tahun!”
Tatapan tak percaya itu mengarah pada wanita tua yang masih tampak anggun dengan rambut tersanggul rapi. Meskipun usianya sudah mulai senja, tapi masih tampak segar bugar.
“Kau, harus menikah dengan pilihan kami!” tegas nenek tanpa bisa diganggu gugat membuat Fandra kehilangan kata-kata.
“Nenek keterlaluan!” balasnya.
“Apa yang lebih keterlaluan daripada gadis itu yang mengkhianatimu tapi kau terlalu buta untuk sadar,” balas neneknya tak mau kalah. “Pokoknya kau harus menikah tidak peduli dengan siapapun itu untuk keberlangsungan keluarga ini,” lanjutnya tidak mempedulikan tatapan Fandra yang marah.
“Nenek terlalu memikirkan kerajaan sialan ini dibanding perasaanku.”
“Apa yang perlu dipertahankan dari perasaan picik itu, hah? Tidakkah kau tahu Fandra apa yang di lakukan gadis itu?”
“Aku tidak akan percaya selama aku tidak melihatnya dengan mata kepala sendiri!”
“Cukup!” Sang nenek membentak. Matanya nyalang menatap Fandra yang mulai terbawa emosi. “Aku tidak mau mendengar apa pun lagi. Kau harus menikah!”
“Aku tidak akan menikah selain dengan Sheila, titik! Itu keputusanku!” tegas Fandra tak terbantahkan lagi. Dia bangun dari duduknya lantas pergi meninggalkan ruang keluarga yang cukup luas itu.
“Fandra. Altafandra!” Sang ibu memanggil tapi tidak digubris oleh Fandra yang mempercepat langkahnya untuk pergi dari rumah yang bagai neraka baginya.
Di tempat duduknya, Sang nenek berusaha untuk tenang, tapi tetap saja, dadanya sesak tak tertahankan, rasa nyeri itu menghantamnya membuat wanita yang sesungguhnya renta itu tak bisa menahannya lagi, dan pada akhirnya tumbang.
“Ibu!” Panggilan panik dari putra dan menantunya terdengar samar.
“Cucuku ….” Sebelum akhirnya kesadaran wanita tua itu menghilang.
***
“Kau harus menemukan pasangannya tidak peduli apapun itu, Sayang,” katanya penuh permintaan.
Pria itu terbaring tak berdaya di atas ranjangnya dengan sang istri duduk di sampingnya.
“Di mana aku harus menemukannya, dan alasan apa kau memintaku untuk menemukannya?” tanya sang istri tidak mengerti dengan permintaan sang suami yang di ambang kematian.
Dokter menjelaskan kalau waktunya tidak akan lama karena beliau sudah tidak bisa bertahan menghadapi sakit yang di deritanya.
“Kau harus, menemukannya. Dan, Fandra … menikah, sebelum tiga puluh lima tahun. Kumohon, temukan kalung itu, kau, akan mengerti permintaanku, sayang,” ucap sang suami. “Hanya itu permintaanku padamu untuk cucu kita,” lanjutnya terbata.
Dengan tangan yang menggenggam erat seolah tidak ingin kehilangan belahan jiwanya. Air mata menggenang di pelupuk, sekuat tenaga dia bertahan agar tidak tumpah di hadapan sang suami.
“Jangan menangis,” ucap pria itu tampak tersenyum kecil. Tangannya terangkat menyentuhkannya ke pipi wanita yang di nikahinya beberapa puluh tahun lalu. “Maaf, meninggalkanmu dengan banyak beban, dan permintaanku yang banyak. Sayang, kau, adalah satu-satunya wanita yang akan kucintai hingga akhir,” lanjutnya mengusap lembut wajah ayu itu.
Mendengar penuturan itu, sang istri tak mampu untuk menahan air matanya, tumpah ruah membasahi tangan suami tercintanya yang mulai dingin. Tidak ada kata, cukuplah apa yang metreka lakukan menjadi perpisahan yang menyedihkan.
Ketika sang istri mencium punggung tangan sang suami tercintanya dengan penuh penghargaan, penghormatan, dan rasa cinta yang begitu dalam, saat itulah malaikat datang untuk menjemput sang tuan yang telah menjadi raja untuk keluarganya.
“Sampai jumpa lagi, sayang. Tunggu aku di pintu akhirat. Aku janji akan melakukannya, melihat Fandra bahagia dengan pilihanmu, maka aku akan menyusul dengan tenang,” ucapnya menatap wajah itu yang tak lagi bernyawa.
***
Mata tua yang keruput itu mengerjap pelan, air mata membasahi sudutnya. Wanita tua yang merupakan nenek Fandra itu menangis dalam tidurnya.
“Ibu?” Sang menantu menyambut dengan cemas.
Tatapan wanita itu mengarah padanya, memandang lembut sang menantu yang selalu ada untuknya. Senyuman perlahan hadir dengan lemah.
“Ibu baik-baik saja, sayang,” jawabnya.
Menantunya mengembuskan napas pelan tapi tak mampu mengenyahkan kecemasannya.
Nenek teringat akan mimpinya, dan meminta menantunya untuk mengambil sebuah kotak di dalam laci tak jauh dari ranjangnya. Dia kemudian membuka kotak biru tua itu dan tampaklah sebuah kalung dengan bandul berbentuk bulan sabit berhiaskan batu safir biru di tengahnya. Tanda cinta miliknya dengan mendiang suaminya.
Pasangannya dari kalung ini dengan pola-pola serupa pancaran sinar matahari, yang di sekelilingnya bertahtakan permata. Tepat di bagian tengahnya, tertanam batu safir biru. Dia menggambarkan bentuk kalung dari yang dipegangnya. Tentu saja dia masih ingat dengan benda itu.
Memperhatikan kalung itu, dan mengusap permukaan batu safirnya dengan tersenyum kecil. Wanita tua itu kemudian menatap sang menantu.
“Ayahmu, memintaku untuk mencari pemilik pasangannya. Kalung ini memiliki dua jiwa yang tak terpisahkan. Sebelum meninggal, dia mengatakan kalau telah memilih seorang gadis untuk Fandra,” ungkapnya.
Mata ibu dari Fandra itu melebar begitu melihat kalung sambil mendengar ungkapan sang ibu mertua.
“Maksud Ibu ….”
Nenek tersenyum penuh arti, matanya berkaca menatap sang menantu, membenarkan apa yang dipikirkan menantunya itu yang tak percaya mendengarnya.
“Benar. Fandra sudah punya calon pilihan kakeknya.”
Kalung itu berkilau indah. Apakah sudah saatnya mempertemukan dua jiwa asing itu?
Apakah, Fandra akan menerimanya? Ibunya bertanya ragu dalam hatinya sembari menatap kalung itu. Mengenal sifat Fandra, itu akan sulit baginya.
“Ibu tahu ini tidak akan mudah. Tapi, kita harus mencarinya, dan membawanya ke sini lebih dulu.”
“Tanpa persetujuan Fandra?”
“Kamu mengenalnya, sayang. Tidak mungkin Fandra akan menerimanya. Ibu akan mencobanya, mencari pemilik kalung itu lebih dulu.” Nenek sudah memutuskan, dan itu tidak bisa diubah.
Maka wanita yang telah melahirkan Fandra itu hanya terdiam, berpikir keputusan apa yang diambilnya.
“Aku ikut denganmu, Bu. Mencari pemilik kalung itu,” putusnya kemudian.
Jelas. Senyum nenek semakin mengembang mendapat dukungan dari menantu kesayangannya. Namun, siapakah pemiliknya itu?
Brak! Prang! Duk! Bruk!Suara benda-benda yang berjatuhan terdengar begitu nyaring. Rumah yang tadinya rapi kini telah berserakan barang-barangnya bagai kapal pecah, tak lagi seindah di awal. Seorang wanita hanya bisa terduduk lemas di tempatnya dengan napas yang tak berarturan, air matanya jatuh dari pelupuk, menatap tajam pria yang memporak-porandakan seisi rumah makannya. Dia tak punya tenaga lagi untuk sekadar menyuarakan satu kata. Wajahnya bahkan merah di ujung sudut mata dan bibirnya terkena hantaman.“Apa kau lihat-lihat, hah? Kau seharusnya bayar tepat waktu maka aku tidak akan melakukan hal ini, sialan!” kata si ketua dari kelompok rentenir.“Bukankah aku sudah bilang itu bukan lagi urusanku, tapi urusannya!” balas wanita yang tak berdaya itu sebisa mungkin membalas.Ini bukan memang bukan salahnya, tapi kenapa dia yang harus menderita?Si ketua tertawa remeh, tak percaya mendengar apa yang di katakan wanita itu. Dia kembali berbalik, berjongkok di hadapan sang wanita dan
“Ada insiden di sini,” kata wanita itu sambil menolehkan wajahnya ke samping.Vana memperhatikan, ada kabel di belakang telinganya, dan hal itu membuatnya semakin bertanya-tanya siapa gerangan.Gadis itu membantu sang ibu untuk bangun agar pindah tempat duduk di kursi. Dia membiarkan wanita itu membuat laporan karena perhatiannya kini tertuju pada wanita yang amat dia sayangi.“Maafkan aku terlambat, Ma,” ucap Vana dengan nada yang menyesal. Suaranya terdengar parau, kedua tangannya menggenggam sang ibu yang mencoba untuk tersenyum.“Tidak apa-apa, Vana. Seandainya bisa, kamu tidak perlu datang,” kata ibunya.“Bagaimana mungkin?” Nada suara Vana naik, tidak setuju dengan sang ibu.Dia tidak lagi bisa mengatakan apa-apa selain mengasihi wanita cantik yang kini wajahnya di penuhi lebam. Tangan sang ibu mengusap kepalanya lembut.Beberapa orang datang sedikit terburu membuat perhatian Vana dan ibunya teralihkan ke pintu masuk. Sekitar tiga orang pria dengan setelan jas hitam serupa denga
“Aaaargh!” jeritan terkejut dari arah depannya membuat Fandra berjengit.Bola matanya nyaris menggelinding dari cangkangnya ketika melihat sesosok gadis di hadapannya, si pelaku yang menjerit nyaring.“Siapa kau?”Suara keduanya beradu. Mereka berhadapan meskipun terdapat jarak sekitar lima meter. Tapi tidak ada benda apapun yang menjadi sekat antara mereka.“Ini rumahku. Kau yang siapa?” Suara Fandra terdengar dingin dan berat, memusatkan pandangannya pada sosok gadis itu yang berdiri di depan sebuah pintu. “Tunggu! Kamar itu … kau, apa yang kau lakukan di sini, hah? Kau siapa?” tanya pria itu tak sabar.“Ada apa ribut-ribut?” Terdengar langkah kaki mendekat, yang datang tak hanya seorang, melainkan nyaris seluruh penghuni rumah.Baik Fandra atau gadis itu sama-sama mengalihkan pandangan.“Dia ….” Lagi-lagi keduanya bersamaan angkat bicara membuat yang lain bingung.“Ah. Kami bisa menjelaskannya, Fandra,” ujar sang nenek setelah memahami situasinya.“Menjelaskan apa?” Fandra menatap
Keputusan sang nenek untuk menempatkan Vana di rumah Alatas itu tak terbantahkan. Tidak ada yang bisa mengubah keputusan wanita yang telah menjadi ratu di rumah itu bahkan Fandra sekalipun. Pria itu kini pergi entah kemana membuat Vana kebingungan di sana.“Jangan khawatir, dia memang seperti itu, menyebalkan,” bisik Fiona, adik Fandra itu yang sejak tadi duduk tepat di samping Vana menonton sang kakak yang marah.Vana hanya meliriknya sekilas, paham dengan apa yang Fiona katakan. Dia kemudian mengedarkan pandangannya ke ruang yang cukup besar itu.“Seperti istana,” gumamnya pelan.Fiona yang mendengarnya dan terkekeh. Dia merasa Vana itu lucu, bukan merendahkannya atau maksud buruk lainnya. Entah mengapa, begitu dia melihat Vana kemarin, gadis remaja itu ikut menyambut hangat seperti sang nenek.“Mau jalan- jalan?” tawar Fiona. Dia menatap Vana.“Jalan?”“Ya. Ayo! Aku akan menjadi guidemu, Kak Vana,” ujar Fiona semangat. Dia bahkan mengulurkan tangannya ala prince.Meskipun kebingung
Waktu seolah berhenti untuk beberapa menit ketika kedua benda kenyal itu saling bersentuhan. Dua pasang mata itu saling membulat terkejut tapi sesaat keduanya terpana oleh sorot mata masing- masing yang begitu dekat. Sementara itu Fiona yang berlari di belakang Vana otomatis menghentikan larinya begitu menyaksikan apa yang terjadi. Dia menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan, membulatkan matanya. Dia jelas terkejut sekaligus cemas akan keadaan Vana tapi tak berani mendekat ketika sadar siapa yang ditabrak Vana tadi. Tanpa kata Vana segera mendorong tubuh kekar itu. Meskipun shock, dia tak mengeluarkan suara yang mungkin bisa saja memanggil seluruh penghuni mansion itu. Biarlah Fiona yang menjadi saksi atas insiden itu. “Apa yang kau lakukan?” Setelah kesadarannya kembali sepenuhnya, Vana protes keras. “Kau yang salah. Di mana matamu, hah?” balas pria itu tak mau kalah. “Mana aku tahu kau ada di sana. Iiiiiih, sialan!” sungut Vana sambil melap bibirnya yang masih merasakan keh
Di kamarnya Vana berada di kamar mandi. Rusuh sekali dia membasuh wajahnya dengan air, berulang kali berkumur, membersihkan bibirnya seolah telah ternoda. Dia membasuh lagi wajahnya berulang kali.“Sialan!” Dia mengumpat sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya basah dan memerah. “Kenapa harus dia?” tanyanya tak mengerti.Terdiam beberapa saat, Vana kembali teringat akan kecerobohannya tadi. Kedua tangannya bertumpu di sisi wastafel. Pintu kamar mandinya tertutup.Bayangan itu memenuhi pikirannya, memutar kembali kecelakaan yang terjadi dan lagi- lagi mengulang adegan itu bagai film yang di putar lalu di pause, dan kembai di play. Wajah Vana memerah karenanya.“Sialan! Aku pasti sudah gila!” rutuknya kembali membasuh wajah terutama bagian bibirnya.Padahal dia tak perlu melakukannya sampai segitunya. Lagian itu hanya kecelakaan, tidak sengaja tapi kenapa Vana merasa begitu marah?“Kenapa harus dia? Seseorang yang bahkan aku tidak mengenalnya dengan baik,” katanya begitu men
Setelah menjelajahi lorong yang seolah tak bertepi. Vana berpikir Fiona mengerjainya karena ketika gadis remaja itu mengatakan kalau akan segera sampai di ruangan sang nenek, usai berbelok itu masih harus berjalan menyusuri lorong dan Vana tak yakin seberapa panjang itu.Berbelok ke arah kiri, sisi kanan dan kirinya hanya dindin marmer dengan sentuhan putih dan pink pastel. Warna yang tak begitu terang tapi cukup hangat dan terkesan manis.“Maaf, tapi rumah ini selalu banyak lorong dan tangga. Yeah, dan kamar, serta ruang lain,” terang Fiona memberi tahu Vana.Gadis itu hanya mengangguk saja sudah bosan dengan langkah kakinya yang mulai pegal.Ada sebuah pintu dengan bingkai putih gading di depan sana. Seorang penjaga menyambut mereka dan membukakan pintu. Kali ini pelayan pria dengan setelan jas hitam.“Ayo masuk,” ajak Fiona pada Vana yang memperhatikan sekitarnya. Masih elegand dengan tema putih dan pink.Melangkahkan kakinya melewati pintu, Vana terpesona dengan tempat itu. Nuasa
Rungan itu hening meskipun banyak orang di sana, diam sampai sang ratu memberikan instruksi untuk memulai.“Baiklah, kita mulai,” ujar sang ratu memberi perintah pada sekretarisnya.Seorang pria paruh baya menghampirinya. Sejak tadi berdiri tak jauh dari kursi sang ratu. Vena memperhatikannya, pria itu menaruh sebuah berkas di depan nenek.Semua pandangan tertuju pada berkas di atas meja itu yang entah apa isinya.“Ini berisi peraturan untuk keluarga ini, terkhusus untuk Vana,” kata nenek.Mendengar namanya di sebutkan Vana menatap sang ratu bingung tapi wanita tua itu hanya tersenyum lembut padanya lain dengan Fandra yang mendengus.“Pertama, Nenek akan memperkenalkan Vana sebagai anggota baru kita,” lanjutnya dengan tangan kanan mengarah pada Vana. “Untuk semua orang yang ada di sini, berlaku untuk para pelayan dan penjaga perlakukan Vana seperti tuan kalian,” tegasnya mengumumkan.Di ruangan itu tak hanya terdapat keluarga tapi juga kepala pelayan, sekretaris, dan kepala lain yang