"Ketua!" sentak Gendhis segwra bangkit dan mendekati Rai di ambang pintu. "Kembar?" tanyanya tak percaya. "Serius lo?" tanya Danisha urung pergi. "Iya," Rai mengangguk, dipeluknya pinggang sang istri erat. "Kembar, ada dua kantung janin yang kuliat dark hasil USG kamu kemarin sore, luar biasa banget kan?" katanya tak bisa menyembunyikan raut bahagianya. "Perlindungan ekstra, nggak ada alasan apapun! Kalau sampe Eriska berani kurang ajar, gue musnahin Adhyaksa," ancam Danisha seraya masuk ke dalam mobilnya. Ia lantas melambai ke arah Gendhis, masih saja menoleh sebelum mobilnya benar-benar berbelok di gerbang depan. "Jadi," Gendhis mendongak, menatap wajah tampan suaminya penuh kasih. "Ada dua di dalam perutku?" tanyanya memastikan diri. "Iya, kita harus pantau lebih intensif, karena ada dua yang harus kita jaga, kamu wajib istirahat total. Hamil kembar bakalan menghabiskan tenaga ekstra, Ndhis," ucap Rai lembut. "Tuhan baik banget sama aku, setelah dua kali kehilangan
"Jadi, mereka mau kerja sama buat jahatin kamu?" tebak Danisha membulatkan matanya. "Rencana awalnya Rai kayak gitu Kak, nggak tau juga maksudnya gimana. Kalau dia berhasil ambil alih Adhyaksa dari tangan Eriska, artinya, nggak ada lagi bahaya yang bakalan mengintaiku. Gitu sih kata Ketua," ungkap Gendhis. "Rencana gila Christ begitu? Kamu lagi hamil kan Ane-san? Nggak beresiko?" "Tadinya juga kupikir gitu, aku pasti bakalan lebih sering baper kan ya kalau Rai mulutnya tajem pas ada Eriska. Tapi makin ditunda, makin gede lagi rencana Eriska buat nyakitin dan ngerusak rumah tangga kami," terang Gendhis tenang sekali. "Aku sering ngambek karena Ketua suka ngomong kasar ke aku di depan Eriska, tapi abis itu Ketua pasti langsung minta maaf. Gimana aku nggak luluh kan Kak?" rengeknya. "Tapi main trik sama ibu hamil muda beresiko kayak kamu, itu bukan hal bijak. Emang nggak bisa kasih perlindungan ekstra dulu aja? Tunggu sampe kamu lahiran kan bisa, Ane-san," desah Danisha tak hab
Gendhis beringsung dari posisinya, berbalik ke arah sebaliknya. Meski ia pura-pura memejamkan mata, sejak tafi, ia sama sekali belum bisa tertidur. Pikirannya melayang jauh, karena kehamilannya, Gendhis lebih sering merasa gelisah, pikirannya bercabang. Ia tidak bisa tenang sebelum Rai memberinya penjelasan terhadap sikap yang tadi sang suami lakukan di depan Eriska. "Ane-san," panggil Rai lembut, ia usap pundak sang istri yang tengah membelakanginya di ranjang itu, penuh kasih. "Kenapa?" balas Gendhis singkat tanpa menoleh. "Tadi tersinggung ya soal ucapanku di depan Mami?" tebak Rai langsung paham yang tengah istrinya pikirkan. "Aku orang lain kan? Apa perlu orang lain ini pindah ranjang, tinggal di rumahnya sendiri?" tantang Gendhis menoleh sengit. "Aku tadi cuma bohongan, Ndhis," ucap Rai, ia peluk tubuh istrinya dari belakang. "Kan udah kubilang, aku harus meyakinkan Mami dulu biar dia masuk perangkap," tandasnya, dikecupnya pundak terbuka sang istri, lembut sekali.
Gendhis mematung di ujung tangga seraya memegangi perutnya yang masih terasa mual sejak tadi pagi. Ia menghela nafas panjang, sesekali menengadah untuk menghalau keinginan muntah yang tiba-tiba. Berjarak sektitar 2 meter darinya, Eriska duduk nyaman di sofa tamu, tersenyum sangat sinis. "Ketua yang mengundangku datang," kata Eriska seakan perlu memberi Gendhis penjelasan. "Ini kediaman Takahashi, rumahku, aku nyonya rumahnya, Bu Eriska," desis Gendhis enggan menyebut Eriska dengan embel-embel Mami seperti Rai. "Jadi aku berhak ngusir siapa aja tamu tak diundang yang datang di waktu yang salah," ujarnya ketus. "Jangan mentang-mentang posisimu adalah Ane-san, bicaramu bisa asal-asalan. Kamu nggak akan bisa melawan Ketua, andai dia membelot ke Adhyaksa dan mempertanyakan bayi siapa yang ada di perutmu, kamu bisa dengan mudah ditendang dari rumah ini kapan aja!" tegas Eriska merasa menang posisi karena kedatangan Rai ke kediaman Adhyaksa tempo hari. "Bayi siapa? Aku nggak perlu ngasih
Gendhis memilih untuk diam dan tak lagi menanggapi ucapan Rai perihal jenis kelamin sang janin. Kendati Rai tak menampilkan ekspresi wajah memaksa dan mendominasi, Gendhis tahu, Rai menginginkan bayi laki-laki sebagai anak pertama mereka. "Katanya tadi pengin rujak, giliran udah jadi malah dianggurin," gumam Rai heran. Gendhis tersenyum sekenanya, "Iya, tadi rasanya pengin banget, giliran udah jadi, kok malah nggak pengin lagi," katanya. "Terus ini siapa yang mau makan?" "Kamu aja, Rai," jawab Gendhis tanpa semangat. "Kenapa? Soal anak cowok apa cewek dulu tadi kah?" tebak Rai tepat sasaran. Gendhis diam. Ia tak bersuara, memilih untuk meraih gelas air putihnya, meneguknya bernafsu. Kendati ia tidak sepakat dengan pandangan sang suami, ia tak pernah merasa sekecewa ini sebelumnya. "Hei, aku bercanda," ucap Rai lagi, meraih lengan istrinya agar Gendhis mau menoleh menatapnya. "Beneran nggak mau anak cewek kalau nanti dia lahirnya cewek?" tanya Gendhis, jemarinya lembut
"Kayak perkiraan, Mami nggak langsung percaya," desis Rai. Ia paham bahwa Gendhis yang menyambut kedatangannya di pintu pasti khawatir. "Udah kutebak kan, mana mungkin langsung percaya, orang terakhir kali kamu ketemu dia, kamu belain aku mati-matian kok," gumam Gendhis. "Tadi aku bilang kamu lagi hamil, dan jadi ngerasa bersalah banget karena aku pura-pura nuduh itu janinnya Mario. Maaf ya Ane-san," sesal Rai. "Hem," Gendhis seketika mencembikkan bibirnya. "Iya deh," tukasnya mengangguk. "Sebagai permintaan maaf, kita ngerujak yok!" ajaknya tak terduga. "Hah?" Rai melongo bingung, ia menurut saja saat lengannya ditarik ke dapur oleh sang istri. Tadi pagi, Gendhis sempat mengeluhkan perutnya yang terasa mual, kepalanya sedikit pusing. Namun, sepertinya mual dan pusing yang Gendhis rasakan sebelumnya sudah sedikit berkurang. "Rena dateng tadi bawa buah pesenannya. Dia semangat banget nyariin yang kuminta, lengkap nih. Katanya turun ke pasar langsung, ada mangga muda, nanas