"Mereka semua lagi gladi bersih buat acara pernikahan besok pagi. Rai belom dateng karena masih di rumah sakit, polinya belom selesai," kata Danisha pada Gendhis. Helaan napas panjang muncul dari Gendhis. Ia berpaling menatap kendaraan lain di luar jendelanya, membiarkan pikirannya melaju pelan seiring dengan laju mobil yang ia tumpangi. Perasaannya campur aduk sekarang, tapi ia sudah siap untuk segala kemungkinan. Benar, hari ini, ia siap membuat onar dengan mengacaukan persiapan pernikahan Rai dan Kiara. Berkas pemindahan aset dan surat kepemilikan atas perusahaan dan badan usaha lain yang dikuasai keluarga Suharjo sudah dalam genggamannya, Gendhis siap menuntut haknya. "Kita jaga-jaga bawa kursi roda, kamu masih suka sempoyongan kalau jalan. Masih lemes ya kakinya?" tanya Danisha. Ia bertindak sebagai asisten pribadi Gendhis kali ini, bahkan ia dandani Gendhis seanggun Ann saat menemui para tetua untuk dinikahi Ben dulu. Pakaian yang Gendhis kenakan pun sengaja memperlihatkan ba
"Aku nggak bisa dateng ke pernikahan kamu Rai," kata Gendhis menghela napas panjang. Rai terdiam. Ia mainkan rokok yang tak disulut itu di jemarinya. Tatapannya mengarah pada motif marmer di lantai yang dipijaknya. Tiga hari menjelang pernikahannya dengan Kiara, Rai sengaja menemui Gendhis. Ia tidak bisa diam dan duduk tanpa berbuat apa-apa, pun membatalkan pernikahan sudah di luar kuasanya. "Aku dateng ke sini karena aku kangen, Ndhis," balas Rai. "Jangan salah paham. Aku pengin tau kondisimu, maaf aku nggak bisa ikut jemput pas kamu dibawa pulang kemarin, ada kerjaan yang harus kuselesaiin," sesalnya. "Bukan kewajibanmu buat standby dan jemput aku juga, Rai," ucap Gendhis. "Nggak pa-pa," katanya. "Satu hal yang terus kusesali dan bikin aku nggak henti nyalahin keluargaku adalah mereka nggak ada satu pun yang nunjukin video pernikahan kita buat bikin aku inget sama perasaanku ke kamu.""Udah kok, tapi kamu nolak dan nuduh aku yang menjebakmu, kamu nggak percaya keluargamu. Coba k
Akhirnya, Gendhis dibawa pulang ke rumah Bastian, pemiliknya lebih sering tidur di hotel milik keluarga ketimbang di rumahnya sendiri. Di sana, Gendhis akan dirawat oleh Indri, kenalan Rena yang sudah sangat akrab dengan keluarga Wisanggeni. "Kalau perlu apa-apa, Mbak bisa panggil saya," kata Indri ramah. Mengingat kondisi Gendhis yang memang belum sehat 100 persen dan masih belum kuat untuk berjalan, Indri disiagakan 24 jam nonstop. Semua kebutuhan Gendhis sudah disiapkan, termasuk apabila Gendhis membutuhkan bantuan mengenai keuangan. "Ben," sambut Gendhis yang tak menyangka akan mendapat kunjungan dari mantan mertuanya. "Gimana? Sehat udah?" tegur Ben sedingin biasanya. "Lumayan. Tapi masih belum bisa jalan," tandas Gendhis. "Makanya kubawa tim hukum ke sini," ujar Ben menunjuk ke arah pintu, ada tiga orang lelaki dan seorang perempuan ikut bersamanya. "Mereka yang bakalan ngejelasin soal proses akuisisi aset keluargamu," terangnya. "Makasih Ben," kata Gendhis penuh rasa syu
"Visit dokter?" tanya Danisha yang melihat Rai masuk ke kamar perawatan Gendhis diiringi beberapa dokter residen lain di belakangnya. "Enggak, mereka cuma pengin tau perkembangan Gendhis," jawab Rai sambil tersenyum ke arah cinta matinya. "Gimana kondisinya? Apa kata Dokter Andri?" "Katanya aku bisa dibawa pulang nanti malem misal semuanya stabil. Beruntung kerusakan hati dan ginjalku nggak sampe parah dan memerlukan cuci darah rutin," jawab Gendhis mulai fasih diajak bicara. "Kamu mulai kerja hari ini?" tanyanya. Rai mengangguk, "Dari tadi siang tepatnya. Ini baru aja selesai dari poli," katanya. "Bawa pulang ke rumah gue aja, Sha," pintanya menoleh Danisha. "Biar gue yang pantau langsung.""Enggak!" tolak Gendhis tegas. "Aku pulang ke rumah bordil, ada Mami yang bakalan rawat aku di sana selama masa penyembuhan," tambahnya. "Gendhis belom bisa jalan, Christ, kakinya masih lemas," lapor Danisha seolah tak mendukung penolakan Gendhis. "Bawa ke rumah gue aja, gimana?" tawarnya win-
"Abang mau ke mana?" tanya Kiara manja, ia tak tahu jika ingatan Rai sudah kembali seperti sedia kala. "Aku ada urusan. Hari ini aku resmi mulai kerja lagi di rumah sakit, banyak yang harus kusiapin," jawab Rai, tak acuh. "Tapi aku belum selesai nyoba baju pengantin," tahan Kiara. "Sebentar doang, tunggu aku ganti biar kamu liat model bajuku ya, Bang," pintanya. "Sama aja kan baju pengantinnya? Biar surprise, aku nggak usah liat," kata Rai. "Kamu balik sama Rudy, nanti kukirim dia ke sini," tandasnya lantas melengos pergi. "Kenapa sih!" sengal Kiara, ia berlari mengejar, seakan punya firasat bahwa Rai memang berbeda kali ini. "Tiga hari lagi kita bakalan nikah lho Bang, ini fitting final," gumamnya berusaha mengimbangi langkah Rai menuju parkiran. "Justru itu, karena udah deket hari-H, harusnya biar orang lain kan yang ngurus? Kita sibuk kerja.""Kamu jadi nyebelin ini, ingatan kamu udah kembali? Atau, kamu mulai tergoda buat ngurusin pelacur itu lagi mentang-mentang sekarang pos
Enam hari lamanya, Gendhis melalui banyak perawatan termasuk transfusi darah dan trombosit. Organ tubuhnya banyak mengalami infeksi, tapi, berkat doa banyak orang, Gendhis berhasil melalui masa kritisnya dan dipindahkan ke ruang perawatan setelah menghabiskan sekitar 12 hari total menghuni ruang ICU. Kembalinya kesadaran Gendhis disambut banyak orang, termasuk Rai yang sudah kembali menjadi dirinya, Rai yang dicintai dan mencintai Gendhis dengan seisi dunianya. "Kamu luka," lirih Gendhis, meski sudah bisa diajak mengobrol, ia masih menghemat suaranya. Mulutnya dipenuhi luka, bibirnya masih sering berdarah saat digerakkan sedikit saja. "Luka yang bikin aku bisa inget soal kamu sepenuhnya," kata Rai melebarkan senyum. Ia remas jemari Gendhis, matanya mengembun, rasa bersalah membungkus tubuhnya kuat sampai kehilangan suara untuk sekadar berucap. "Syukurlah," balas Gendhis terbata. Ia menangis, menyadari bahwa tidak ada yang bisa Rai perbaiki dari hubungan mereka. "Serius, Ndhis. Ras
Rai tak lama bertahan di ruang ICU menunggui Gendhis malam itu. Ia harus kembali ke perjamuan, Kiara meneleponnya. Tentu saja fokus di kepalanya menjadi terbagi, Rai dihantui ketakutan kehilangan yang tidak bisa dijelaskan. Konsentrasi menyetirnya buyar, apalagi Kiara tak henti menghubunginya berkali-kali. "Aku di perjalanan ke rumah Taka-Sama," ucap Rai menjawab teleponnya. 'Abang ke mana? Tiba-tiba ngilang nggak pamit sama sekali! Nggak ngehormatin Papaku deh,' sungut Kiara di seberang sana. "Bentar lagi sampe," kata Rai dan tanpa menunggu Kiara menjawabnya lagi, ia matikan ponselnya. Melihat kondisi Gendhis yang ada di ambang hidup dan mati, hati Rai dihantam godam bersalah yang besar. Gendhis harus melalui banyak peristiwa setelah bercerai dengannya, bukankah kehamilan Gendhis juga karena tengah mengandung janinnya? Kini, selain kehilangan janin untuk kedua kali, Gendhis juga harus menghadapi kematian di depannya, lagi dan lagi. Saking ruwet dan sibuknya kepala Rai, ia tak sa
Pasca kondisinya drop dan tubuhnya menguning, Gendhis diputuskan harus dirawat di ICU. Tekanan darahnya terus menurun, selama tiga hari dirawat di ICU, Gendhis tidak menunjukkan tanda-tanda membaik. Saturasi oksigennya selalu rendah, ia sadar tapi tak bisa melakukan apa-apa. Dokter mengatakan, Gendhis mengalami gejala kerusakan hati dan ginjal, tubuhnya membengkak, ia demam tinggi. Dan selama Gendhis menderita, Rai sama sekali tak mengunjunginya. Hanya ada Axel yang diberi tanggung jawab untuk mengurus semua kebutuhan Gendhis."Sepsis," sebut Axel saat Ann datang mengunjungi Gendhis, dua hari kemudian. "Bicaranya ngelantur, udah nggak bisa diajak komunikasi sama sekali, kata dokter, Gendhis harus berjuang keras karena fungsi hati dan ginjalnya menurun drastis akibat sepsis ini, Ane-san," lapornya."Aku baru sempat ke sini, hari ini Christ resmi jadi ketua perkumpulan, ada perjamuan, jadi aku nggak bisa melarikan diri," kata Ann menyesal. "Sepsis, bahaya banget. Semoga Gendhis bisa be
"Aku nggak mau bikin kamu terikat denganku karena adanya janin itu," ungkap Gendhis setelah ia dan Rai sama-sama menenangkan diri. "Tinggal sebentar lagi kamu bakalan jadi penerusnya Ben, mana mungkin aku ganggu jalanmu di saat kita udah nggak jadi suami-istri," tambahnya. "Kebohongan apalagi yang kamu ciptain? Apa memuaskan bisa bersikap begitu sama orang yang nggak punya kenangan sama sekali di masa lalu?" serang Rai taktis. "Kamu aja nggak inget aku, ambisimu adalah nikahin Kiara biar lancar posisimu nanti pas jadi ketua. Apa aku bisa ngerasa puas?" "Kamu sengaja begini, Ndhis. Ngebuat aku ngerasa bersalah di detik-detik terakhir. Tapi kamu harus tau, aku nggak akan mundur, semua udah diatur," ujar Rai teguh. "Aku tau, aku juga nggak akan minta apapun dari kamu, toh janinku juga udah nggak bisa kupertahanin," ucap Gendhis sekuat baja, begitu datar suaranya seperti sudah kehilangan rasa sakit di dalam dirinya. "Sialan!" umpat Rai habis kata-kata. Hatinya bimbang bukan main tent