Share

7. Dua Minggu

Author: Sayap Ikarus
last update Huling Na-update: 2025-03-25 13:42:21

"Ini hari Rabu kan?" Rai meneliti kalender di mejanya.

Sudah mendekati jam 9 malam, Rai baru saja menyelesaikan praktiknya di poli Obgyn. Wajahnya tampak gusar, seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Sudah hampir dua minggu semenjak Rai menandatangi surat kepulangan Gendhis dari rumah sakit dan perempuan itu tidak lagi muncul untuk sekadar kontrol bagaimana kondisinya. Padahal, Rai sudah menjadwalkan dua kali kunjungan demi memantau luka bekas operasi yang baru saja Gendhis jalani.

"Ada yang kelupaan, Dok?" tanya Suster Tiwi perhatian.

"Apa pasien K.E.T yang kita pulangkan dua minggu lalu itu ada dateng kontrol ke Dokter Andri?" tanya Rai sambil pura-pura sibuk memberesi bawaannya.

"Sepertinya nggak ada riwayat kunjungan kontrol ke Dokter Andri juga, Dok," jawab Suster Tiwi. "Perlu saya tanyakan ke Suster Ana?" tawarnya.

"Boleh kalau nggak ngrepotin Mbak Tiwi," ujar Rai sungkan.

"Nggak kok Dok, sebentar saya cek dulu ke bagian pendaftaran dan Suster Ana ya Dok," pamit Suster Tiwi sambil berbalik pergi.

Sepeninggal Suster Tiwi, Rai justru duduk lagi di kursinya. Perasaannya bimbang, antara cemas dan bertanya-tanya, takut terjadi hal buruk pada Gendhis yang kondisinya pasti masih sangat lemah. Lantas, karena tidak mau merasakan cemas berlarut, Rai membuka ponselnya dan menghubungi seseorang.

"Bang Ardi, bisa tolong cariin gue sesuatu?" pinta Rai setelah panggilannya tersambung. "Gue kirim alamatnya," ujarnya pada sang kaki tangan kepercayaan keluarga itu.

Menutup sambungannya, Rai meraih kunci mobilnya. Malam ini ia tidak ada jadwal praktik di rumah sakit lain, jadi, setidaknya ia memiliki waktu bebas sampai esok pagi jika tidak ada panggilan darurat nantinya.

"Dokter Christ," di pintu, Suster Tiwi menyambut Rai yang sudah bersiap pergi. "Dari bagian pendaftaran dan poli Dokter Andri bisa dipastikan kalau Mbak Gendhis tidak ada di list rumah sakit kita. Jadi kayaknya memang Mbak Gendhis sengaja tidak datang untuk jadwal kontrol," lapornya.

"Oke, makasih. Selamat istirahat, Mbak," pamit Rai seraya melambai sambil melangkah pergi.

Menuju ke parkiran mobil, sebuah pesan masuk dari Ardi. Seulas senyum terbit di wajah tampan Rai, ia tahu kini ke mana ia akan pergi. Dilajukannya mobilnya menuju sebuah tempat yang sebenarnya asing, tapi ia paham betul, ia tidak akan salah langkah kali ini. Apalagi setelah ia mengobrol dengan Ann kemarin malam, Rai tidak akan menahan diri lagi.

Sebuah rumah besar yang tampak mewah dan megah menyambut Rai saat tiba di alamat yang Ardi kirim. Halamannya sepi, mungkin karena malam belum terlalu larut atau memang rumah bordil ini memiliki jadwal hari libur untuk para penghiburnya. Tanpa ragu, Rai melangkah masuk ke lobi yang ternyata interiornya dibuat menyerupai lobi hotel.

"Mas Dokter," sambut Wida yang melihat sosok Rai masuk ke kediamannya. "Saya sudah terima appoinment yang Mas Dokter kirim ke orang saya, terima kasih sudah mengirim pembayaran di muka," sebutnya sumringah.

"Sejak kapan dia bisa dipesan?" gumam Rai tak peduli sambutan ramah dari Wida, ia mengitarkan pandangan dengan ekspresi dingin dan menusuknya.

"Sejak pulang dari rumah sakit dia sudah bilang bisa lanjut bekerja. Banyak booking-an yang tertunda karena dia masuk rumah sakit. Jadi beberapa pelanggan yang sudah bayar uang muka minta segera didahulukan. Tapi hari ini, karena Mas Dokter sudah membayar sampai lunas termasuk jaminannya, saya dahulukan dan prioritaskan," terang Wida. "Tenang Mas Dokter, dia cuma nerima job menemani ngobrol, hari ini resminya dia mau nemenin tidur dan kebetulan Mas Dokter yang masuk. Ayo saya antar," tambahnya menyilakan Rai mengikutinya.

Menaiki sebuah tangga ke lantai dua, melewati pintu-pintu kamar berjumlah sekitar 18 bilik, Rai tiba di ujung lorong. Wida mengetuk pintu besar itu dan membukanya begitu saja, seolah pemilik kamar tak memiliki privasi sama sekali.

"Sugar salah satu pekerja premium dan eksklusif kami. Kalau perlu sesuatu, bisa cari saya," ucap Wida sambil melambai dan sedikit mendorong tubuh Rai agar masuk ke dalam kamar.

Rai mengitarkan pandangan, kamar yang ia masuki termasuk luas dan terdiri dari beberapa sekat. Bagian paling depan terdapat satu set sofa dan meja tamu bercorak sederhana, warna kelabu.

"Duduk dulu aja Bang," sebut suara ramah dari dalam, di balik tirai. "Mami bilang, Abang booking sampe dua minggu ke depan ya, tapi aku nggak bisa tiap hari ya Bang, so—" Gendhis menggantung kalimatnya saat ia menyibak tirai. "Rai," desisnya setelah berulang kali menelan ludah susah-payah.

###

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Candu Cinta Dokter Muda   236. Selama Ada Aku

    Kemampuan bermain pedang seorang Rai memang sudah tidak diragukan lagi. Lemparannya ke arah Gendhis mengenai sasaran, tali yang menjulur mengikat leher Gendhis terpotong, membuat sang Ane-san seketika ambruk. Adegan mengejutkan dan terjadi sangat cepat itu memecah fokus Mario. Saat itulah Rai berlari, menyerang Mario dengan tangan kosong. "Lo bilang mau ke neraka? Gue kabulin permohonan lo lebih cepat!" sergah Rai sambil melayangkan pukulan bertubi-tubi ke wajah Mario. Tanpa persiapan dan kondisi tubuh yang sudah tidak sekuat sebelumnya, Mario tumbang di tangan Rai. Ia terhuyung jatuh, tak memberikan perlawanan sedikit pun. Kakinya yang sudah pincang karena cacat permanen akibat serangan Rai tak lagi mampu menopang berat tubuhnya. Saat itulah Rai memiliki waktu untuk mengambil pedangnya, menghunusnya tepat di depan hidung mancung Mario. "Gimana kalau gue congkel satu per satu mata lo biar lo bisa ngerasain sakit yang Gendhis rasain selama lo siksa dia?" gumam Rai dipenuhi emosi

  • Candu Cinta Dokter Muda   235. Pertukaran

    "Peek a boo!" sambut Mario tepat saat Rai berhasil mendobrak pintu gudang. Mario menyeringai, sebelah tangannya memegang tali yang langsung terhubung ke ikatan di leher Gendhis. Benar, istri Rai itu berdiri di atas kursi, lehernya dililit dengan tali, siap digantung. Kaki Mario ada di salah satu kaki kursinya, bersiaga, mengancam Rai agar tidak semakin mendekat. "Lo maju selangkah lagi, gue tendang ni kursi," ancam Mario. "Nggak mau kan dia mati di tangan gue? Nanti kubawa dia ke neraka bersama gue," katanya tertawa menggelegar. "Jadi, setelah pelarian panjang lo yang penuh perjuangan itu, lo cuma mau mati di rumah gue? Kenapa nggak dari dulu aja, bakalan gue kabulin cepet padahal," ujar Rai melepas sarung pedangnya, masih di tempatnya berdiri di ambang pintu. "Soalnya, kalau gue mati, harus sama dia. Kalian nggak boleh bahagia di atas kematian gue," sahut Mario menunjuk Gendhis. "Berani maju, gue tendang beneran kursinya, lo bakalan liat istri cantik tercinta lo berjuang de

  • Candu Cinta Dokter Muda   234. Petunjuk Penting

    "Makan dulu," ucap Mario mendekat pada Gendhis yang masih terduduk di lantai dengan kondisi sama seperti dua hari sebelumnya. "Kamu bisa mati kalau nolak makan dan minum dariku," tandasnya lantas membuka sumpalan di mulut Gendhis sedikit kasar. Tubuh Gendhis yang tidak didukung asupan makanan cukup dan cairan yang memadai karena ia tidak makan dan minum hampir dua kali 24 jam tentu saja melemah. Bibir Gendhis tampak kering, beberapa kulit luarnya mengelupas. Air mata mengaliri wajah cantiknya yang sudah sembab dan berantakan, suaranya habis. "Makan!" perintah Mario menyodorkan sebungkus nasi lauk ayam dan sebotol air mineral. "Ah, kuikat tangan dan kakinya ya, Sayang," katanya tersadar. Gendhis menelan ludahnya berkali-kali. Mario benar-benar penuh perhitungan kali ini, terbukti, Rai belum juga berhasil mengendus tempat persembunyiannya padahal mereka hanya bertahan di dalam ruangan gudang bagian belakang rumah Gendhis. Pergerakan Mario sangat rapi, ia memiliki mata dan telin

  • Candu Cinta Dokter Muda   233. Menyadari Kehilangannya

    Gendhis meronta sekuat tenaga, tapi tentu saja, kekuatan Mario yang menyeret tubuhnya menuju gudang di bagian belakang rumah sama sekali bukan tandingannya. Berusaha untuk berteriak, mulut Gendhis dibekap kuat, membuatnya sesak bahkan hanya untuk sekadar mengambil nafas. "Tempat yang sempurna buat nyimpen bangkai, Sugar," ujar Mario meneliti seisi ruangan gudang milik Gendhis itu, matanya mengitar. "Mereka pikir, kamu pasti kubawa pergi jauh," katanya seraya mengambil tas di lengan Gendhis, melemparnya jauh-jauh. "Apa mau kamu, Mas?" desah Gendhis memegangi dadanya, ia masih kesulitan untuk bicara. "Memilikimu selamanya, cuma berdua sama kamu menikmati dunia. Kita tunggu sampai orang-orang itu capek mencarimu, baru kubawa pergi dari sini," balas Mario mengungkap rencananya. "Kamu sengaja bangun gudang semewah ini untuk menampung pelarianku? Visioner banget kamu, Sugar," desisnya tertawa menggelegar. "Lepasin aku Mas, bertobatlah. Kamu punya anak yang harus kamu jaga mentalnya. Kam

  • Candu Cinta Dokter Muda   232. Kejutan Tiba-Tiba

    Seperti yang sudah menjadi obrolan sebelumnya, hari ini Gendhis berangkat ke perusahaan yang kini sudah menjadi hak miliknya. Sementara, Rai juga sudah mulai bekerja lagi, rumor tentangnya langsung reda, tidak membutuhkan waktu lama untuk memperbaiki namanya sebagai dokter kandungan yang sangat kompeten. "Makasih Bang," ucap Gendhis saat Axel mengantarnya pulang sore harinya, menjelang petang. "Aku cari makan sebentar di luar, Ane-san," pamit Axel ragu. "Iya nggak pa-pa, aman kok di sini juga, nggak bakalan ada apa-apa," kata Gendhis santai. "Makan malam sama Rena kan?" tebaknya mengedipkan sebelah mata. "Kok tau?" gumam Axel tersipu."Keliatan dari panikmu, Bang," kekeh Gendhis. "Udah gih, takutnya Rena nungguin," usirnya halus. "Oke, bentar lagi Bang Ardi dateng, kalau butuh apa-apa, hubungi dia aja," pesannya sembari mulai melajukan mobil yang dibawanya meninggalkan halaman rumah Gendhis.Sepeninggal Axel, Gendhis membuka pintu utama rumah besarnya. Lampu belum ada yang dinyal

  • Candu Cinta Dokter Muda   231. Bicara Berdua

    "Kamu masih butuh waktu, Ane-san?" tegur Rai lirih, sudah dua hari ini Gendhis hanya bicara sekenanya jika bertemu. Bahkan saat tidur di ranjang berdua, Gendhis hanya diam dan tak mengajak Rai bicara. "Hem?" gumam Gendhis singkat. "Masih butuh waktu buat sendirian?" ulang Rai. "Aku bisa pindah ke kamar di bawah kalau kamu perlu ruang yang lebih luas buat menyendiri," tandasnya. "Enggak," elak Gendhis. Ia raih pergelangan tangan suaminya dan diajaknya Rai duduk di sofa ruang tamu. Untuk sejenak, Gendhis hanya terdiam. Ia mainkan jemari Rai dengan jemarinya. Fokus tatapannya ada di corak lantai granit yang dipijaknya. Rai pun tidak buru-buru bertanya, ia beri kesempatan pada istrinya untuk berpikir dan mencerna semuanya. "Aku diem bukan karena aku marah atau nyalahin kamu, Rai," bisik Gendhis lirih. "Iya, aku tau. Kalau kamu marah sama aku, kamu pasti nggak mau kutemenin di sini," tukas Rai. "Aku ngajak ngobrol gini karena masa cutiku udah selesai, besok pagi, aku harus mulai prak

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status