"Ini hari Rabu kan?" Rai meneliti kalender di mejanya.
Sudah mendekati jam 9 malam, Rai baru saja menyelesaikan praktiknya di poli Obgyn. Wajahnya tampak gusar, seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Sudah hampir dua minggu semenjak Rai menandatangi surat kepulangan Gendhis dari rumah sakit dan perempuan itu tidak lagi muncul untuk sekadar kontrol bagaimana kondisinya. Padahal, Rai sudah menjadwalkan dua kali kunjungan demi memantau luka bekas operasi yang baru saja Gendhis jalani. "Ada yang kelupaan, Dok?" tanya Suster Tiwi perhatian. "Apa pasien K.E.T yang kita pulangkan dua minggu lalu itu ada dateng kontrol ke Dokter Andri?" tanya Rai sambil pura-pura sibuk memberesi bawaannya. "Sepertinya nggak ada riwayat kunjungan kontrol ke Dokter Andri juga, Dok," jawab Suster Tiwi. "Perlu saya tanyakan ke Suster Ana?" tawarnya. "Boleh kalau nggak ngrepotin Mbak Tiwi," ujar Rai sungkan. "Nggak kok Dok, sebentar saya cek dulu ke bagian pendaftaran dan Suster Ana ya Dok," pamit Suster Tiwi sambil berbalik pergi. Sepeninggal Suster Tiwi, Rai justru duduk lagi di kursinya. Perasaannya bimbang, antara cemas dan bertanya-tanya, takut terjadi hal buruk pada Gendhis yang kondisinya pasti masih sangat lemah. Lantas, karena tidak mau merasakan cemas berlarut, Rai membuka ponselnya dan menghubungi seseorang. "Bang Ardi, bisa tolong cariin gue sesuatu?" pinta Rai setelah panggilannya tersambung. "Gue kirim alamatnya," ujarnya pada sang kaki tangan kepercayaan keluarga itu. Menutup sambungannya, Rai meraih kunci mobilnya. Malam ini ia tidak ada jadwal praktik di rumah sakit lain, jadi, setidaknya ia memiliki waktu bebas sampai esok pagi jika tidak ada panggilan darurat nantinya. "Dokter Christ," di pintu, Suster Tiwi menyambut Rai yang sudah bersiap pergi. "Dari bagian pendaftaran dan poli Dokter Andri bisa dipastikan kalau Mbak Gendhis tidak ada di list rumah sakit kita. Jadi kayaknya memang Mbak Gendhis sengaja tidak datang untuk jadwal kontrol," lapornya. "Oke, makasih. Selamat istirahat, Mbak," pamit Rai seraya melambai sambil melangkah pergi. Menuju ke parkiran mobil, sebuah pesan masuk dari Ardi. Seulas senyum terbit di wajah tampan Rai, ia tahu kini ke mana ia akan pergi. Dilajukannya mobilnya menuju sebuah tempat yang sebenarnya asing, tapi ia paham betul, ia tidak akan salah langkah kali ini. Apalagi setelah ia mengobrol dengan Ann kemarin malam, Rai tidak akan menahan diri lagi. Sebuah rumah besar yang tampak mewah dan megah menyambut Rai saat tiba di alamat yang Ardi kirim. Halamannya sepi, mungkin karena malam belum terlalu larut atau memang rumah bordil ini memiliki jadwal hari libur untuk para penghiburnya. Tanpa ragu, Rai melangkah masuk ke lobi yang ternyata interiornya dibuat menyerupai lobi hotel. "Mas Dokter," sambut Wida yang melihat sosok Rai masuk ke kediamannya. "Saya sudah terima appoinment yang Mas Dokter kirim ke orang saya, terima kasih sudah mengirim pembayaran di muka," sebutnya sumringah. "Sejak kapan dia bisa dipesan?" gumam Rai tak peduli sambutan ramah dari Wida, ia mengitarkan pandangan dengan ekspresi dingin dan menusuknya. "Sejak pulang dari rumah sakit dia sudah bilang bisa lanjut bekerja. Banyak booking-an yang tertunda karena dia masuk rumah sakit. Jadi beberapa pelanggan yang sudah bayar uang muka minta segera didahulukan. Tapi hari ini, karena Mas Dokter sudah membayar sampai lunas termasuk jaminannya, saya dahulukan dan prioritaskan," terang Wida. "Tenang Mas Dokter, dia cuma nerima job menemani ngobrol, hari ini resminya dia mau nemenin tidur dan kebetulan Mas Dokter yang masuk. Ayo saya antar," tambahnya menyilakan Rai mengikutinya. Menaiki sebuah tangga ke lantai dua, melewati pintu-pintu kamar berjumlah sekitar 18 bilik, Rai tiba di ujung lorong. Wida mengetuk pintu besar itu dan membukanya begitu saja, seolah pemilik kamar tak memiliki privasi sama sekali. "Sugar salah satu pekerja premium dan eksklusif kami. Kalau perlu sesuatu, bisa cari saya," ucap Wida sambil melambai dan sedikit mendorong tubuh Rai agar masuk ke dalam kamar. Rai mengitarkan pandangan, kamar yang ia masuki termasuk luas dan terdiri dari beberapa sekat. Bagian paling depan terdapat satu set sofa dan meja tamu bercorak sederhana, warna kelabu. "Duduk dulu aja Bang," sebut suara ramah dari dalam, di balik tirai. "Mami bilang, Abang booking sampe dua minggu ke depan ya, tapi aku nggak bisa tiap hari ya Bang, so—" Gendhis menggantung kalimatnya saat ia menyibak tirai. "Rai," desisnya setelah berulang kali menelan ludah susah-payah. ###"Ada apa?" Gendhis mengurut keningnya sambil mengerjapkan mata beberapa kali. Kesadarannya belum terkumpul sepenuhnya, ia masih merasa mengantuk tapi memaksa untuk bangun. Pasalnya, sang suami yang seharusnya terlelap damai di sisi Gendhis tampak sibuk mondar-mandir, membuat panggilan melalui ponsel. Rai tampak tak setenang biasanya, ia gugup, seperti menanggung kekhawatiran yang mendalam. "Tadi petang Mami minta semua kerabatnya ngumpul, dan ada keputusan yang Mami buat sebelum akhirnya meninggal baru aja jam 2 tadi," desah Rai lirih tapi masih bisa terdengar dengan jelas oleh istrinya. Sontak Gendhis membekap mulutnya kaget. Matanya yang semula masih terasa mengantuk terbelalak lebar, tak menyangka. Sungguh akhir hayat seorang Eriska yang jauh dari bayangannya. "Kamu nggak ke rumah sakit?" tanya Gendhis menguasai dirinya, bagaimanapun, Rai adalah adik kandung dari Eriska. "Ndhis, kalau aku muncul dan pulang sebagai pewaris Adhyaksa, aku nggak bisa kembali ke sisi kamu
Gendhis melenguh kecil, ia gigit bibir bawahnya kuat-kuat. Matanya separuh terpejam, ia tancapkan kuku-kukunya di pundak Rai dalam, gelenyar panas menguasai tubuhnya dan meledak di perut. "Rai," rintih Gendhis keenakan, tubuhnya melengkung sementara Rai masih stabil memompanya dengan gerakan yang lama-kelamaan semakin cepat. "Kalau aku terlalu kasar dan sembarangan, dorong dadaku, Ane-san," pinta Rai setengah menggeram, ia kecupi teling istrinya bernafsu. Gendhis hanya menggeleng, pertanda ia tidak keberatan. Menikmati suasana bercinta nan panas seperti saat ini benar-benar jarang terjadi. Sebelumnya, karena dilanda mual hebat akibat kehamilannya, Gendhis hanya sekadar memenuhi kewajiban. Pun dengan Rai yang tak tega membiarkan istrinya merasa tidak nyaman, jadi, jadwal mereka bercinta memang menjadi sangat renggang. "I love you, Ane-san," geram Rai tertahan. Ia sampai di puncak rasa nikmat yang tak terungkapkan, nafasnya tersengal, peluh bertebaran di sekujur tubuhnya.
"Kata Danisha sama Bang Aldi, kamu nggak ngijinin aku dibawa pulang ke sini. Bukannya lebih aman kalau aku di sini pas kamu nggak di rumah?" temabk Gendhis begitu Rai muncul di ruang tamu Danisha, masih dengan wajah lelahnya. "Bentar, kuambil minum dulu," jawab Rai segera menuju ke dapur. Danisha sudah pergi menuju kasino setengah jam yang lalu. Suami dan anak-anak dari bungsu Takahashi itu ada di Jepang sana, mengurus bisnis fashion yang memang sudah dikembangkan cukup besar oleh Danisha semasa muda. Mereka akan berkunjung ke Indonesia sekali dalam sebulan, melepas rindu selama seminggu, kemudian kembali lagi melakukan rutinitasnya di Jepang. Mengingat Arino, suami Danisha adalah asisten Ben yang sangat setia. Jadi, ke manapun Ben pergi, Arino masih sering mendampingi. "Di sini perlindungannya nggak seketat di rumah besar, Ane-san," kata Rai sekembalinya dari dapur. "Tapi di sini ada Danisha, dia punya orang dan anak buah yang bisa ngelindungin aku," bantah Gendhis. "Danisha uda
"Ada cito tiba-tiba. Ane-san diminta Ketua pulang gue antar," kata Aldi muncul di pintu ruang perawatan Gendhis. "Tiba-tiba banget ya Bang?" gumam Gendhis menghela nafas panjang. "Baru aja," balas Ardi. "Ada yang perlu dibawain?" tanyanya mengitarkan pandangan. "Tas kecil itu aja, Bang," kata Gendhis menunjuk sling bag di atas nakas. "Aku pulang ke rumah besar?" desisnya tak mengharap jawaban. "Iya, Ketua minta gue buat nganter Ane-san ke sana. Ada yang perlu gue bantu?" tanya Aldi peka sekali. "Anter ke tempat Danisha dulu aja gimana, Bang? Kok perasaanku nggak enak gini," keluh Gendhis. "Atau aku nunggu Rai selesai operasi aja gimana?" "Cito bisa berlangsung lebih dari 3 jam tergantung kasusnya. Nggak pa-pa nunggu selama itu?" Gendhis mencembikkan bibirnya, "Ya udah, anter aku ke tempat Danisha aja, Bang," pintanya. Aldi mengangguk lemah. Ia raih tas yang Gendhis tunjuk sebelumnya, lantas meminta Gendhis untuk berjalan lebih dulu. Pengawalan dari Aldi sudah leb
Selama Gendhis dirawat di rumah sakit, Danisha berkunjung setiap harinya. Tak lupa ia mengomeli Rai yang sedikit teledor, tak menuruti ucapannya sejak awal. Namun, meski begitu, Danisha tidak menyalahkan sang ponakan, ia tahu Rai berusaha sangat keras untuk membuat Eriska tak lagi menyentuh sang istri. "Har ini udah boleh pulang. Udah kuurus administrasinya, kalau udah beres semua, bisa langsung pulang aja," kata Rai muncul di ruang perawatan istrinya masih dengan jas snelli melekat padanya. "Iya," senyum Gendhis merekah menyambut kedatangan sang suami. "Kamu udah selesai di poli?" "Udah, baru aja. Enak banget kalau aman nggak ada cito atau pasien emergency gini, jadi bisa pulang tepat waktu," kata Rai mendekat ke nakas di sebelah pembaringan Gendhis. "Obat terakhir belom dimakan?" tanyanya. "Enegh banget perutnya. Ntar dulu ya, Dok," kekeh Gendhis lalu nyengir. "Mau makan sesuatu gitu?" tawar Rai sangat memahami sang istri. Gendhis langsung menggeleng, "Enggak. Lagi
"Rai," panggil Gendhis lirih. Sudah hampir dini hari, Gendhis meraba perut bagian bawahnya, tidak ada rasa sakit. Namun, ia merasa dingin mengaliri inti tubuhnya hingga ke paha, membuatnya tersadar bahwa ia mengalami sedikit pendarahan. "Rai," panggil Gendhis lagi, kali ini lebih kencang, sambil mengguncang lengan sang suami. "Hem," balas Rai malas-malas, suaranya parau pertanda ia masih enggan membuka mata. "Kayaknya aku ada flek darah deh," sebut Gendhis tak membuang waktu. "Flek darah?" seketika mata Rai terbuka lebar, ia bangun dalam posisis duduk, ditolehnya sang istri yang duduk di sisi ranjang. "Sakit?" tanyanya langsung panik. Gendhis menggeleng, "Enggak sama sekali, tapi fleknya rada banyak sampe ada yang ngalir ke paha," tandasnya. Tanpa pikir panjang, Rai beranjak, ia minta Gendhis berbaring menggantikannya. Wajahnya masih khas orang bangun tidur, rambutnya sedikit berantakan. Namun, Rai tak tampak peduli pada penampilannya. Ia periksa flek yang dimaksud sa