"Dia udah nggak pa-pa. Kayaknya reaksi alergi aja," ucap Ann yang baru saja selesai mengurus obat untuk Rai. "Nggak usah panik ya," katanya. "Kalau alerginya kepicu, dia emang suka begitu?" tanya Gendhis sudah bisa menghela napas panjang. "Seringnya iya, tapi kalau kondisi badan Christ lagi bagus-bagusnya, paling bentol doang di muka," ungkap Ann. "Rada kaget ya karena tiba-tiba?" "Iya, kukira kena serangan jantung," ucap Gendhis asal. Ann tertawa, "Saking bangsatnya si Christ sampe kamu doain begitu ya Ndhis," kekehnya. "Nggak gitu Ann," Gendhis memukul bibirnya pelan, menyesali kalimat asal yang keluar dari sana. "Dia tiba-tiba begitu, nggak ada gejala apa-apa. Dia makan sarapan kayak biasa," ceritanya. Ann tersenyum paham, diberinya kode pada Gendhis bahwa menantunya itu boleh menjenguk sang suami. Ben masih ada di dalam ruangan, entah mengobrol serius apa dengan calon penerusnya itu. "Gendhis," sapa Ben saat melihat Gendhis masuk ke dalam kamar perawatan. "Dia baru boleh pu
"Kamu harus tetep ada di lingkaran kami dan jangan sampe ketemu sama Eriska," pesan Ann sebelum meninggalkan kasino. Setelah selesai masa cutinya, Gendhis kembali masuk bekerja di kasino. Ia sengaja tak mengunjungi Rai di rumah sakit setelah Ben memaksa mengantarnya pulang kemarin lusa. Akan lebih baik jika ia dan Rai tak saling bertemu lagi ketimbang saling melukai. Apalagi proses perceraian keduanya masih berjalan dan Rai sama sekali tak berniat untuk mencabut gugatan. "Aku ada hal penting, bisa ngobrol?" tanya Axel suatu saat, sengaja menemui Gendhis di kasino. "Aku selesai setelah ini," ucap Gendhis, kini posisinya sudah berubah menjadi banker, 3 hari sebagai pramu dan 3 hari sebagai banker. "Oke, kutunggu di meja 8," pamit Axel menunjuk meja yang dipesannya. Axel tampak serius kali ini, ia terlihat gelisah. Saat minuman yang dipesannya tiba pun, ia meneguknya sembarangan. "Sorry, tadi ganti baju dulu," ucap Gendhis mendatangi Axel, senyum ia kembangkan. "Aku ada temuan pe
"Argh… Sakit, sakit banget!" "Mbak, Mbak masih bisa denger suara saya?" Sekuat tenaga Gendhis berusaha mengangguk saat guncangan di Pundak dan pertanyaan itu ditujukan padanya. “Sakit sekali, Dokter.” Lagi-lagi, hanya erangan kesakitan yang Gendhis beri sebagai tambahan jawabannya. Tangannya tergerak mencengkeram perut bagian bawahnya, keringat dingin membasahi sekujur tubuh. "Dari kapan sakitnya?" tanya perawat di sebelah Gendhis. Gendhis menggeleng, "Semalam…" gumamnya tak yakin. "Ada bercak darah?" Gendhis mengangguk kali ini, ia berusaha membuka matanya. Tak jauh dari ranjangnya sekarang, seorang perempuan berusia 40 tahunan tengah menatapnya dari kejauhan. Tampak cemas, tapi juga tak berani mendekat. "S-saya hamil. Test pack saya positif," ungkap Gendhis terbata. Tak ada jawaban, semua orang yang menangani Gendhis di Instalasi Gawat Darurat itu tampak sibuk melakukan tugasnya masing-masing setelah mendengar pengakuannya. Air mata Gendhis menetes, ia ingin men
Gendhis menyipitkan pandangannya, rasa haus yang amat sangat memenuhi mulut dan tenggorokannya. Samar ia dengar suara orang tengah mengobrol, tapi kantuk yang menggantung di matanya memaksa Gendhis kembali memejamkan mata. "Semisal saya tinggal pulang dan nggak ada yang nemenin, apa aman, Dok?" Suara berisik di sebelahnya semakin terdengar jelas oleh Gendhis. Seseorang tengah mengobrol dengan dokter, membicarakan kondisinya. "Silakan, ada perawat kami yang bisa diandalkan. Pasien juga baru boleh makan setelah lewat tengah malam," balas suara berat lain. Gendhis mengenal suara bariton seksi ini, milik sebuah nama yang menghuni sisi lain hatinya. Kali ini, Gendhis berusaha lagi membuka mata. Kantuk seketika menyerang, tapi ia tak menyerah. Ia harus tahu, siapa pemilik suara berat yang mengobrol di sampingnya. "Kalau gitu, gue balik dulu, bisa berantakan kerjaan kalau gue lama-lama di sini. Nanti gue kirim orang buat jagain lo," pamit si perempuan paruh baya berdandan men
"Ada yang mau ditanyakan?" Gendhis bungkam, ia hanya menatap tajam pada sosok tampan berjas snelli dengan masker menutupi separuh wajahnya itu. Tiga hari pasca operasi, Gendhis dipindahkan ke ruang perawatan setelah kondisinya dipastikan stabil. "Kapan dia bisa dibawa pulang, Dok?" Wida—perempuan berpenampilan mencolok yang tak pernah berada jauh dari sisi Gendhis, sang mucikari veteran. "Harus dilihat perkembangannya Bu," jawab dokter di sebelah ranjang Gendhis, Dokter Christ, atau Gendhis mengenalnya sebagai Rai. "Kamu jijik sama aku?" tanya Gendhis tiba-tiba, menatap tajam pada Rai. "Ya?" Rai mengernyit tak mengerti. "Ah, aku bener. Sikapmu yang begini… aku paham kok,” ujar Gendhis terdengar kecewa. “Kupikir malam itu aku emang cuma mimpi." "Sepertinya sudah tidak ada pertanyaan lagi. Kalau gitu, saya permisi.” Menatap punggung Rai yang berlalu, hati Gendhis seakan runtuh bak gletser di kutub. Perih menyayat bukan hanya pada bekas luka operasinya, tapi di dalam da
"Ada tindakan medis yang perlu saya lakukan?" tanya Rai seraya berdiri dari kursinya. Gendhis tertegun, ia amati Rai yang sibuk memberesi beberapa barangnya, pun juga mengganti masker di wajahnya dengan yang baru. Untuk sepersekian detik, Gendhis terhenyak. Pria di hadapannya ini benar-benar Rai-nya 13 tahun lalu, cinta pertamanya. "Terima kasih sudah mendonorkan darah untuk saya," sebut Gendhis terbata, berubah dalam mode formal yang canggung. "Juga, terima kasih sudah menyelamatkan nyawa saya.” "Sudah kewajiban saya," balas Rai singkat. "Suster Tiwi akan mengantar Mbak kembali ke kamar rawat," ucapnya sembari memberi kode pada perempuan di pintu, perawat yang dimaksud. "Gendhis Kemuning Btari, nama saya," ujar Gendhis. "Barangkali Dokter lupa," tandasnya menusuk. Kini giliran Rai yang mematung, gerakannya yang sudah siap menenteng tas, terhenti. Tatapan matanya berubah, menusuk pada sang pasien yang masih berusaha menahan tangis di kursi rodanya itu. Lelaki itu memberik
"Banyak staf perawat bertanya ke saya, apa hubungan Dokter dengan pasien K.E.T itu," sebut Suster Tiwi mengiringi langkah Rai menuju parkiran di hari lain seusai praktik di poli. "Terus Mbak Tiwi jawab apa?" balas Rai tak acuh. "Rumor tersebar, mereka pikir Dokter Christ adalah salah satu pelanggannya di rumah bordil," kata Tiwi hati-hati. "Ya biar aja mereka nganggap begitu." "Tapi banyak yang nggak rela, Dokter kan maskot ketampanan rumah sakit kita, masa jajan di rumah bordil. Nggak mungkin kan Dok?" Rai tersenyum, "Menurut Mbak Tiwi, saya begitu nggak?" tanyanya. "Enggak," tegas Suster Tiwi. "Dok, jangan ya," pintanya sudah seperti kakak bagi Rai. "Iya," sahut Rai geli. "Gendhis, hari ini dia bisa pulang. Mbak sudah buatkan surat kontrolnya untuk dua minggu ke depan?" tanyanya. "Siap, sudah Dokter!" balas Suster Tiwi. Rai mengangguk, lantas melambai ringan pada Tiwi sebelum akhirnya keduanya berpisah di simpang antara lobi dan arah IGD. Seolah takdir me
Rai menghela napas panjang sambil meneguk air putihnya bernafsu. Ia meraup wajahnya untuk mengusap peluh, sengaja menghindari bersitatap dengan Ben, sang ayah angkat. "Tumben kalah," gumam Ben justru duduk di sebelah Rai. "Ada isinya apaan itu kepala?" tanyanya. "Otak dan organ lainnya, Ketua," balas Rai sekenanya. "Perempuan," tebak Ben sangat tepat. "Ada satu perempuan di kepalamu, tapi bukan Kiara, Christ," ulangnya. "Selalu ada Ane-san," balas Rai tersenyum. "Siapa? Setelah sekian lama, hatimu tergerak?" "Ben," Rai lagi-lagi meneguk air putihnya. "Aku pusing," keluhnya. "Aku tau, kalah dariku membuktikan kalau sesuatu terjadi dengan kepalamu.""Gimana dong?" "Selesaikan. Sejak kapan klan Wisanggeni lemah sama perempuan?" tantang Ben. "Dia beda, dan iya, dia memang kelemahanku," ungkap Rai jujur. "Sampai apa?" tanya Ben sambil menyulut rokoknya. "Melibatkan perasaan? Ranjang?" "Aku harus ke rumah sakit," balas Rai menghindar. "Ah, aku harus bilang Ane-san kalau anak kes
"Kamu harus tetep ada di lingkaran kami dan jangan sampe ketemu sama Eriska," pesan Ann sebelum meninggalkan kasino. Setelah selesai masa cutinya, Gendhis kembali masuk bekerja di kasino. Ia sengaja tak mengunjungi Rai di rumah sakit setelah Ben memaksa mengantarnya pulang kemarin lusa. Akan lebih baik jika ia dan Rai tak saling bertemu lagi ketimbang saling melukai. Apalagi proses perceraian keduanya masih berjalan dan Rai sama sekali tak berniat untuk mencabut gugatan. "Aku ada hal penting, bisa ngobrol?" tanya Axel suatu saat, sengaja menemui Gendhis di kasino. "Aku selesai setelah ini," ucap Gendhis, kini posisinya sudah berubah menjadi banker, 3 hari sebagai pramu dan 3 hari sebagai banker. "Oke, kutunggu di meja 8," pamit Axel menunjuk meja yang dipesannya. Axel tampak serius kali ini, ia terlihat gelisah. Saat minuman yang dipesannya tiba pun, ia meneguknya sembarangan. "Sorry, tadi ganti baju dulu," ucap Gendhis mendatangi Axel, senyum ia kembangkan. "Aku ada temuan pe
"Dia udah nggak pa-pa. Kayaknya reaksi alergi aja," ucap Ann yang baru saja selesai mengurus obat untuk Rai. "Nggak usah panik ya," katanya. "Kalau alerginya kepicu, dia emang suka begitu?" tanya Gendhis sudah bisa menghela napas panjang. "Seringnya iya, tapi kalau kondisi badan Christ lagi bagus-bagusnya, paling bentol doang di muka," ungkap Ann. "Rada kaget ya karena tiba-tiba?" "Iya, kukira kena serangan jantung," ucap Gendhis asal. Ann tertawa, "Saking bangsatnya si Christ sampe kamu doain begitu ya Ndhis," kekehnya. "Nggak gitu Ann," Gendhis memukul bibirnya pelan, menyesali kalimat asal yang keluar dari sana. "Dia tiba-tiba begitu, nggak ada gejala apa-apa. Dia makan sarapan kayak biasa," ceritanya. Ann tersenyum paham, diberinya kode pada Gendhis bahwa menantunya itu boleh menjenguk sang suami. Ben masih ada di dalam ruangan, entah mengobrol serius apa dengan calon penerusnya itu. "Gendhis," sapa Ben saat melihat Gendhis masuk ke dalam kamar perawatan. "Dia baru boleh pu
"Ngapain lo?" tegur Danisha saat melihat sang ponakan datang ke kediamannya, mengantar Gendhis. "Nganter," jawab Rai singkat. "Ngapain lo minta gue puter balik pulang kalau akhirnya lo anter dia ke sini juga!" gemas Danisha berbisik, kesal juga pada tingkah sang ponakan. "Sekalian gue mau main ke sini, lama nggak main ke rumah Tante," cengir Rai sangat tampan. "Bajingan!" umpat Danisha spontan, "lo nggak bisa bohongin gue. Mulai nyesel kan lo ceraiin dia? Dasar bocil!" "Cerewet!" sungut Rai segera berpaling dari Danisha, ia mengekor langkah Gendhis menuju kamar yang disiapkan untuknya. "Jadi, berapa lama kamu bakalan tinggal di sini?" tanyanya penasaran. Gendhis mengedikkan bahunya, "Belom tau," gumamnya sekenanya. "Setelah ini aku nggak bisa sering menghubungimu, biar aja urusan perceraian diurus Danisha sama suaminya," kata Rai. "Oke," balas Gendhis. "Aku mau istirahat, nanti sore harus kerja lagi," ujarnya mengusir Rai secara halus. "Iya," Rai mengangguk. "Makasih udah di
"Aku nggak akan dateng, biar verstek, jadi cepet prosesnya," ucap Gendhis saat Rai mengingatkannya perihal sidang pertama perceraian mereka. "Dan aku pindah dari rumah hari ini," tambahnya membuat Rai yang tengah mengunyah sarapan, menghentikan aktivitasnya. "Nggak ada tuntutan, nggak hadir mediasi, rela pake alasan perselingkuhan dan jadi pihak bersalah, Ben pasti bakalan membunuhku karena bikin kamu ada di posisi itu," gumam Rai menghela napas panjang. "Kamu mau prosesnya berbelit-belit? Biar lama? Mau aku bikin tuntutan balik biar para tetua tau masalah ini?" desis Gendhis muak. "Enggak, makasih," ucap Rai kalah. Gendhis tak bicara lagi, ia memilih untuk membereskan bantal sofa yang berantakan. Diabaikannya Rai yang lanjut menyantap sarapan sendirian. "Kamu nggak sarapan?" tanya Rai, membuka lagi percakapan. "Aku udah goreng telur tadi," jawab Gendhis. "Aku mau mandi dulu, nanti kalau Danisha dateng, tolong suruh tunggu," pintanya. "Kuanter aja ke sana," ucap Rai segera berd
"Apa reaksi Ben pas tau berkas kami udah masuk ke Pengadilan?" tanya Gendhis pada Ann yang datang mampir di malam harinya. Ia sengaja mengambil cuti dua hari kerja hingga besok pada Danisha. "Tanpa reaksi. Ben kalau udah muak sama kelakuan Christ bakalan kayak gini, Ndhis. Nggak mau tau dia," balas Ann. "Aku minta maaf untuk udah segampang ini nyerah, Ane-san," ucap Gendhis sambil menyesap rokoknya dalam-dalam. "Mempertahankan rumah tangga kami yang dari awal emang udah nggak sehat ternyata ngehancurin aku banget. Aku nggak mau masalah ini sampe kedengeran sama para tetua dan Rai makin dibuat susah. Ambisi Rai buat mewarisi tahta Ben udah nggak terbendung, bahkan di kekosongan memorinya, ambisi itu tetep kuat banget, ngalahin besar perasaannya ke aku," desisnya pasrah. "Ben tau kamu bakalan bersikap begini, makanya dia ngumpulin orang-orang kita. Kemarahan Ben yang nggak bisa asal ngehukum Christ akhirnya terlampiaskan pas mereka duel kemarin. Kamu jangan merasa bersalah karena Chr
Rai-Gendhis, momen pertama kali, 13 tahun lalu ...."Aniki," Gendhis duduk mendekat pada Rai, tak tega juga melihat Rai sudah kepayahan karena terlalu banyak menenggak bourbon-nya. "Udah ya, kamu udah kepayahan, Rai," pintanya lembut. Mendengar suara Gendhis, Rai menaikkan pandangannya. Senyum tampannya terbit, tangannya terulur dan dengan berani mengusap pipi Gendhis."Kamu kerja?" tanya Rai masih dengan senyuman khasnya yang menggoda iman. Gendhis mengangguk lemah, "Aku diminta Kak Dini buat ke sini nemenin kamu. Ayok, sopir kamu udah nunggu, kuanter kamu ke hotel. Kata Kak Dini kamu biasa pulang ke hotel," jelasnya. Rai manggut-manggut, cara duduknya sudah sempoyongan. Ia amati lagi wajah Gendhis yang mulai menarik lengannya, membawa ia untuk dipapah keluar dari ruangan. Disambut Axel yang adalah petugas keamanan bar, Rai dibimbing menuju mobil. "Lo pastiin Aniki sampe di hotel dengan selamat. Bos Arino pesen buat jangan ngebiarin Aniki pergi ke manapun selain pulang ke hotel,"
"Apa pilihannya cuma menikahi Kiara?" tanya Gendhis setelah selesai mengatur napasnya yang terengah. Masih sama-sama belum berpakaian lengkap, Rai dan Gendhis membungkus tubuh di dalam selimut yang sama. Perasaan cinta yang semula terbina manis dan diperjuangkan sekuat tenaga, kini hampir menguap tak bersisa karena hilangnya kenangan di kepala Rai atas istrinya. Namun, hati Rai sepertinya tahu bahwa Gendhis adalah perempuan yang dipilihnya, bukan penjebak seperti yang ia tuduhkan selama ini. "Pengaruh keluarga Kiara di bisnis keluarga Takahashi cukup gede, iya, harus menikahi Kiara," balas Rai dengan nada suara datar. "Aku bakalan membayarmu atas jasa tidur bersama ini, berapa yang kamu minta?" "Jadi, sekarang aku bakalan jadi pelacur profesionalmu? Kamu nggak ngerasa kujebak lagi?" lirih Gendhis tertawa pias. "Aku susah-payah melepasmu, Rai. Tapi aku nggak berdaya kamu jamah begini," desisnya. "Tubuhku menginginkanmu," ungkap Rai jujur. "Otakku yang nggak punya empati buat kamu,
Merasa bahwa ini adalah saat terakhir yang mungkin bisa dilaluinya bersama Rai, Gendhis menyambut pancingan sang suami. Ia tahan rahang Rai, dibalasnya kecupan singkat itu dengan pagutan lembut yang menuntut dituntaskan. Meski sempat terkejut dengan pergerakan berani Gendhis, Rai tak menolak pagutan istrinya itu. Diubahnya posisi duduk Gendhis masih dalam posisi memagut, duduk nyaman di pangkuannya mengapit dengan paha. "Setelah ini, kita mungkin nggak akan ketemu lagi," bisik Gendhis saat berhenti mengambil napas. "Kalau kepalamu ini inget sama kita suatu saat, tolong jangan mencariku," desisnya.Rai menatap Gendhis bingung, tapi ia mengangguk dengan patuh. Seakan sudah terbawa suasana dan pantang baginya untuk mundur. Disasarnya lagi bibir Gendhis, mereka saling mengecap manis rasa satu sama lain, menambah berat kenyataan bahwa perpisahan akan segera terjadi. "Kamu mau tau gimana cara kerja pelacur?" lirih Gendhis sengaja menggigit telinga Rai pelan. "Aku tunjukin cara kerja pelac
Setelah Rai berucap mengenai perpisahan mereka, Gendhis memilih kembali ke kamarnya. Ia tak mau terlibat banyak pada Rai, takut ia tak kuasa melepaskan apa yang menjadi bebannya selama ini. "Sarapan dulu," sambut Rai saat Gendhis keluar dari dalam kamar keesokan paginya."Kamu masak?" tanya Gendhis takjub. Rai mengangguk, "Nggak bisa tidur dari jam 3 tadi, makanya cari kegiatan.""Badan kamu nggak pa-pa? Kamu abis kena sabet pedang dari Ben ya Rai!" "Udah diobatin Ann, nggak masalah," kata Rai santai. Gendhis manggut-manggut. Ia menarik salah satu kursi makan di seberang Rai, lantas duduk menghadapi meja penuh makanan itu. Hatinya tiba-tiba terenyuh, mungkin saja Rai sengaja memasak untuknya karena hari ini adalah hari di mana perceraian mereka akan didaftarkan."Unagi kabayaki," sebut Rai saat Gendhis mengamati masakannya. "Belut?" tebak Gendhis mengernyitkan dahinya. "Anggeplah begitu," jawab Rai. "Kalau mau yang familiar ada ayam teriyaki," tambahnya."Kapan beli bahan makana