Share

BAB 03

Author: Langit Parama
last update Last Updated: 2025-11-27 16:15:05

“Kamu tidak seharusnya mengikuti ucapan orang lain terus.”

Djiwa mengangkat kepalanya menatap ke mata Radja, sedikit terkejut—karena ini pertama kalinya Radja mengucapkan sesuatu yang terasa berada di pihaknya.

Tapi sebelum ia sempat mengerti maksudnya, Radja melanjutkan langkahnya mendekat, ekspresi dingin tak berubah.

“Jangan biarkan dirimu dijadikan pembantu. Posisi kamu di rumah ini menantu keluarga Reinard.”

Djiwa menunduk cepat, jari-jarinya saling meremas. “I-iya, Mas,” suaranya hampir tak terdengar karena gugup.

Radja mendekat satu langkah lagi, cukup untuk membuat jantung Djiwa melonjak ke tenggorokan—napasnya tercekat.

Tatapan kakak iparnya begitu dingin, seolah menguliti, seperti bisa membaca semua hal yang berusaha disembunyikan gadis itu.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Radja. Singkat. Tidak ada nada manis, tapi justru karena itulah pertanyaannya terasa lebih menusuk.

Djiwa buru-buru menggeleng, tapi mata yang sedikit bengkak itu tak bisa membohongi pria di hadapannya.

Radja menyipitkan mata, ekspresinya nyaris tak terbaca. “Kamu habis menangis.”

Bukan pertanyaan, itu pernyataan. Karena faktanya, Djiwa memang sehabis menangis.

Djiwa terdiam kaku, menahan napas, takut menjawab salah. Sementara Radja masih menatapnya dingin, tajam—tapi terasa seperti ada sedikit perhatian tersembunyi di baliknya.

Belum sempat Radja melanjutkan ucapannya lebih jauh, suara Inggrit dari luar rumah memecah ketegangan.

“Mas Radja, ayo berangkat! Nanti Anggi telat!”

Suara itu lantang. Dan tepat di detik itu, Djiwa melihat rahang kokoh Radja mengeras—seolah kalimat yang tadi hendak ia ucapkan terpaksa ditelan kembali.

Tanpa sepatah kata pun, pria itu berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan ruang tengah untuk menyusul istri dan anaknya.

Begitu bayangan Radja benar-benar menghilang dari pandangan, Djiwa akhirnya bisa menarik napas lega—seolah baru saja terlepas dari genggaman sesuatu yang menekan dadanya sejak tadi.

_____

Malam harinya, seluruh keluarga kembali berkumpul di meja makan seperti biasanya. Namun kali ini ada yang berbeda—kursi Djiwa kosong, dan ketidakhadirannya terasa begitu mencolok di antara riuh rendah suara sendok garpu.

Satu keluarga sama-sama memiliki sikap dingin dan cuek. Tak ada satupun yang memiliki sikap ceria, kecuali Djiwa. Tapi sayang, gadis itu tidak memiliki banyak kesempatan bicara daripada anggota keluarga yang lain.

“Di mana istri kamu, Kai?” tanya Sekar pada putra bungsunya, melirik Kaisar penuh.

Kaisar sedikit tersentak ketika sang ibu bertanya padanya dengan nada dingin. “Mungkin udah makan lebih dulu, Mi.”

“Mungkin?” ujar Sekar skeptis, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis.

“Hm,” sahut Kaisar singkat—melanjutkan makan malamnya dengan tenang.

“Kamu ini suami, tapi lembek ya, Kai?” sindir Sekar, nadanya halus tapi sengatannya tajam.

Bagian ini selalu menjadi momen yang paling dibenci Kaisar. Setiap kali ibunya mulai berbicara seperti itu, perutnya terasa menegang.

Bukan hanya karena kata-katanya menohok, tapi karena dua kakaknya yang duduk tak jauh darinya seakan menjadi saksi bisu betapa ia selalu menjadi anak yang kurang di mata sang ibu.

Perhatian ibunya lebih banyak tercurah pada kakak-kakaknya. Dan sekarang nasib pernikahannya pun dianggap sebagai kegagalan yang sepenuhnya salahnya.

Termasuk punya istri seperti Djiwa.

Istri yang menurut ibunya lahir dari keluarga melarat. Berpendidikan rendah. Sampai sering diperlakukan seperti pembantu oleh istri kakak-kakaknya.

Gadis itu selalu menurut, selalu diam, membuatnya terlihat semakin memalukan dibandingkan kedua kakaknya yang memiliki istri dari keluarga berada.

Tangan Kaisar mengepal di atas meja, buku-buku jarinya memutih. Raut wajah kesal itu berusaha ia sembunyikan, namun sulit saat Sekar belum selesai berbicara.

“Kamu itu kepala rumah tangga dalam pernikahan kamu,” lanjut Sekar tenang, “Mengurus satu istri saja kamu tidak becus. Belajarlah dari kakak-kakakmu ini.”

Kedua kakak yang dimaksud—Radja dan Sultan, hanya melirik ke arah sang adik sekilas sebelum melanjutkan kembali makan malam mereka.

Sementara kedua kakak iparnya—Inggrit dan Fairish, hanya diam tanpa menanggapi, jelas tampak menahan napas jika sudah membuka obrolan sensitif ini.

Kaisar menunduk sedikit, rahangnya mengeras.

“Iya, Mi,” sahutnya singkat, suaranya datar.

Lima belas menit kemudian, makan malam selesai.

Satu per satu anggota keluarga kembali ke kamar masing-masing untuk melanjutkan istirahat setelah lelah bekerja setengah hari ini—termasuk Kaisar.

Saat pria itu mendorong pintu kamarnya, pandangannya langsung jatuh pada sosok Djiwa yang sedang duduk di sofa, menatap ponsel sambil berusaha menenangkan pikirannya sendiri.

Langkah Kaisar terdengar tegas dan berat. Tanpa satu kata pun, ia meraih ponsel dari tangan Djiwa dan melemparkannya ke lantai. Suara pecahan memenuhi ruangan.

PRANG!

“Mas …!” Djiwa terlonjak, tubuhnya spontan bangkit duduk. Matanya membesar, napasnya tercekat.

“Ya ampun, Mas. Kamu kenapa?” suaranya pelan, nyaris berbisik.

Kaisar tidak menjawab. Wajahnya datar, tetapi matanya gelap, dipenuhi amarah dingin yang membuat udara kamar terasa menyesakkan.

Ia mengeluarkan sebuah kartu nama dari saku celananya, lalu melemparnya ke pangkuan Djiwa.

“Temui pria itu,” ucapnya, suaranya rendah namun tajam. “Dan tidur dengan dia sampai kamu hamil.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 09

    “Mas …?” Inggrit baru saja keluar dari kamar mandi setelah buang air besar ketika mendapati ranjang kosong. Alisnya langsung terangkat kesal. Ia menoleh kanan kiri, melihat selimut berantakan tapi tak ada jejak suaminya. “Pasti di ruang kerja,” gumamnya sambil manyun. “Kenapa gak nikah aja sekalian sama laptop-nya, sih?” Ia menghempaskan tubuh ke kasur sambil mendesah panjang, menatap langit-langit. “Aku tidur sendiri lagi malem ini,” _____ Di sisi lain, di kamar hotel yang diterangi lampu utama yang menyala terang, Radja berdiri beberapa meter dari Djiwa. Gadis itu duduk di tepi ranjang, tubuhnya kaku, kedua tangannya meremas seprai. Bola matanya melebar tak percaya melihat sosok pria yang muncul setelah lampu menyala. “Sejak kapan kakekmu dipindah ke hotel?” suara Radja terangkat dingin, ujung bibirnya melengkung sinis. Tatapannya menusuk seperti bilah tipis. “M-Mas Radja.” Djiwa melirik tubuhnya yang hanya dibaluti lingerie tipis, menampilkan warna kulit dan lekukan tubuh

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 08

    ‘Malam ini, aku sudah buat jadwal dengan pria yang aku berikan kartu namanya padamu.’Ucapan Kaisar semalam membuat perut Djiwa terlilit pagi ini. Malam ini, Djiwa tidak bisa kabur lagi. Dia harus bertemu dengan pria yang akan menghamilinya.Djiwa mengusap wajahnya frustasi. “Kalau semisalkan Mami tahu, apa dia gak marah nanti? Apalagi ... kalau anaknya gak mirip sama Mas Kai.”Djiwa merasa tak enak hati jika memberikan keturunan yang tidak sesuai garis darah keluarga Kaisar. Ia merasa terbebani, tapi juga tak ingin mengecewakan siapa pun.“Djiwa.” Gadis itu tersentak ketika namanya dipanggil oleh pemilik wajah tampan namun sedingin es, dengan suara berat dan dalam yang langsungmembuat siapa pun menegakkan punggung. Atasan sekaligus kakak iparnya, Radja.Pria itu menatapnya tajam, sembari mengulurkan sebuah berkas pada Djiwa. Gadis itu segera bangkit dari duduknya dan melangkah cepatmenghampiri Radja.“Scan ini, lalu kirim ke WA pribadi saya dalam bentuk PDF,” ujar Radja dingin, t

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 07

    Radja baru saja tiba di Reinard Grand Corporation, perusahaan besar milik keluarganya yang beroperasi di dalam dan luar negeri. Langkahnya tegas dan berwibawa saat memasuki gedung megah yang tinggi menjulang lima puluh lantai di depannya. Begitu pria matang berusia tiga puluh tiga tahun itu melangkah masuk, suasana lobi langsung berubah. Para karyawan yang sebelumnya asyik berbincang ringan sontak merapikan posisi masing-masing, berdiri lebih tegak, dan memberi jalan untuknya lewat. Aura otoritas Radja memaksa ruangan untuk diam tanpa perlu ia mengucap sepatah kata pun. Kakinya melangkah menuju lift khusus para petinggi perusahaan—lift yang hanya bisa diakses menggunakan kartu identitas eksekutif. Tak sampai satu menit, benda logam persegi panjang itu akhirnya sampai di lantai empat puluh sembilan. Lantai dimana ruangannya berada. Tangannya terulur hendak membuka pintu ruangannya, namun pandangannya terlebih dulu jatuh pada meja kerja sekretaris yang terletak di depan pintu—po

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 06

    “Mas,” panggil Djiwa lirih ketika dirinya dan sang suami masuk ke kamar usai makan malam. Kaisar langsung berbalik badan, menatap Djiwa dengan tatapan dingin dan tajam. Sudut bibir pria itu terangkat membentuk senyum miring. “Pinter kamu sekarang. Kamu tahu kalau Mas Radja itu paling ditakuti keluarga ini, makanya kamu minta bantuan dia.” Djiwa mengerutkan kening, tak paham dengan ucapan sang suami. “Ma-maksud Mas apa?” “Gak usah pura-pura bodoh!” sentak Kaisar dengan nada tinggi, suaranya naik satu oktaf. Ia mengangkat tangannya, dan menunjuk Djiwa tajam. “Kamu pasti ngadu, kan, ke Mas Radja? Kamu pasti ngeluh ke dia, kalau kamu capek dijadikan babu selama ini.” Karena Kaisar pun tahu, meski sikap kakaknya keras—Radja paling tidak tegaan dengan orang yang benar-benar datang padanya sambil mengadu dan menangis. Kaisar yakin, Djiwa melakukan hal tersebut—menurut bayangannya sendiri. “Makanya itu, kamu ngemis-ngemis kerjaan ke Mas Radja supaya bisa bebas dari kerjaan rumah, iya?

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 05

    “Kamu, ya?!” seru Sekar tajam, menunjuknya seolah ia baru saja melakukan kejahatan besar—padahal Djiwa melakukannya dengan sangat hati-hati. “Potong kuku saya gak bener!” Ruangan mendadak senyap—kecuali denyut jantung Djiwa yang serasa memukul-mukul dadanya dari dalam. Radja menoleh sekilas—hanya cukup untuk melihat Djiwa terduduk dan Sekar memegangi jari tangannya dramatis. Ekspresi Radja tetap datar, tanpa satu pun emosi yang bisa dibaca. Sementara Inggrit tersenyum miring. Tatapannya jelas—ia tahu apa yang terjadi barusan bukan kecelakaan. Melainkan ibu mertuanya dengan sengaja melakukan drama itu. Anggita, bocah lima tahun itu, spontan berdiri dari karpet, wajahnya cemas melihat Djiwa terjatuh. Ia hendak berlari menghampiri, tapi suara ibunya memotong tajam. “Duduk, Anggita.” Suara Inggrit dingin dan tegas. Tak menyisakan ruang untuk membantah. Anak kecil itu terhenti, menatap ibunya sejenak, sebelum kembali duduk dan pura-pura bermain—meski matanya masih melirik Djiwa deng

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 04

    “Mas ...,” lirih Djiwa sembari bangkit dari duduknya, tangannya yang gemetar meraih kartu nama itu. “Kenapa harus bahas ini lagi, sih, Mas?” “Kenapa?” tatapan Kaisar semakin tajam. “Oh ... jadi kamu pikir ucapan aku tadi pagi itu cuma main-main? Kamu pikir aku cuma gertak kamu soal biaya rumah sakit kakek kamu, huh?” Djiwa menunduk, jemarinya meremas kuat kartu nama itu sampai hampir kusut. “Mas, tapi … Djiwa gak sanggup,” suaranya pecah, hampir tak terdengar. “Djiwa gak bisa ngelakuin hal kayak gitu.” Kaisar mendekat, langkahnya tenang namun mengancam hingga tak ada jarak di antara mereka. “Kamu harus sanggup,” ujarnya dingin. “Karena kamu gak punya pilihan.” Djiwa mengangkat wajah, matanya berkaca-kaca. “Mas … tolong. Jangan paksa Djiwa kayak gini. Kalau soal biaya rumah sakit, Djiwa—” “Berhenti.” Satu kata, namun cukup untuk membungkamnya. Kaisar menatapnya lama, tajam, seolah menembus ke dalam dada Djiwa yang sudah sesak sejak tadi. “Kamu mau tahu kenapa aku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status