Share

BAB 04

Penulis: Langit Parama
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-27 16:17:13

“Mas ...,” lirih Djiwa sembari bangkit dari duduknya, tangannya yang gemetar meraih kartu nama itu. “Kenapa harus bahas ini lagi, sih, Mas?”

“Kenapa?” tatapan Kaisar semakin tajam. “Oh ... jadi kamu pikir ucapan aku tadi pagi itu cuma main-main? Kamu pikir aku cuma gertak kamu soal biaya rumah sakit kakek kamu, huh?”

Djiwa menunduk, jemarinya meremas kuat kartu nama itu sampai hampir kusut.

“Mas, tapi … Djiwa gak sanggup,” suaranya pecah, hampir tak terdengar. “Djiwa gak bisa ngelakuin hal kayak gitu.”

Kaisar mendekat, langkahnya tenang namun mengancam hingga tak ada jarak di antara mereka.

“Kamu harus sanggup,” ujarnya dingin. “Karena kamu gak punya pilihan.”

Djiwa mengangkat wajah, matanya berkaca-kaca. “Mas … tolong. Jangan paksa Djiwa kayak gini. Kalau soal biaya rumah sakit, Djiwa—”

“Berhenti.”

Satu kata, namun cukup untuk membungkamnya.

Kaisar menatapnya lama, tajam, seolah menembus ke dalam dada Djiwa yang sudah sesak sejak tadi.

“Kamu mau tahu kenapa aku terus bahas ini?” suaranya merendah, lebih dingin daripada sebelumnya.

“Menurut kamu, salah siapa Mami selalu merendahkan aku di depan Mas Sultan ataupun Mas Radja?” lanjutnya.

Kaisar menunjuk dadanya sendiri dengan ujung jari, napasnya memburu.

“Aku yang dipermalukan, Wa. Aku yang selalu dikritik Mami. Setiap kali kita duduk di meja makan, cuma aku yang dibedah habis-habisan.”

Nada suaranya merendah, bukan lembut—melainkan getir.

Tangan Kaisar terangkat lagi, menunjuk istrinya sendiri. “Lalu, bisa-bisanya kamu nggak hadir di meja makan malam ini? Kamu sengaja mempermalukan aku, Wa.”

Tatapannya turun perlahan, lalu menusuk tepat ke wajah Djiwa.

“Jadi, gak usah protes. Lakuin perintah aku,” gumamnya penuh tekanan. Telunjuknya bergerak maju, menempel di dada Djiwa dengan keras.

“Hamil segera. Itu satu-satunya cara untuk menebus semua rasa malu yang ditanggung suami kamu selama ini.”

_____

“Bener ya, kata Mbak Inggrit, kamu tuh multifungsi,” ujar Fairish sambil terkekeh, matanya mengunci pada Djiwa yang tengah fokus menyetrika blazer miliknya.

“Gak perlu rekrut banyak-banyak pembantu. Cukup kamu aja di rumah ini, semua sudut pasti rapi dan bersih.” Nada suaranya terdengar seperti pujian, tapi isi kalimatnya justru menghina.

Djiwa, yang sudah terbiasa menjadi sasaran hinaan dan cemohan itu, tidak menanggapi. Begitu selesai, ia mematikan setrikaan dan merapikan kabelnya.

“Sudah selesai, Mbak,” ucapnya datar—netral tanpa sisa perasaan, bahkan tak menoleh sedikit pun pada Fairish.

“Oh ya? Sini coba lihat.”

Fairish meraih blazer-nya, memeriksanya seolah mencari kesalahan. Detik berikutnya, sudut bibirnya terangkat sinis.

“Tuh, kan. Masih ada yang gak rapi, Djiwa. Aku tuh gak suka ada yang minus. Ini, setrikanya yang bener, dong! Gimana sih kamu.”

Blazer itu kembali ia lemparkan ke meja. Djiwa tak bergerak, hanya menatap—bukan membantah, bukan pula takut, lebih seperti tidak bisa lagi merasakan apapun.

Tatapan itu justru membuat Fairish tersinggung.

“Kenapa lihat aku kayak gitu, hah?” matanya melotot tajam.

Kedua tangannya terlipat di dada, tubuhnya condong ke depan. “Gak ikhlas kamu nyetrikain blazer aku, iya?”

Djiwa membuka mulut, hendak menjelaskan, tapi—

“Fairish!”

Suara Sultan memotong tegangnya udara. Dari ambang pintu, suaminya mengisyaratkan ketidaksabaran. “Buruan, nanti saya telat!”

Djiwa ikut menoleh, melihat ke arah Sultan yang menatapnya dengan tajam. Sekilas saja, tapi cukup untuk membuat perempuan itu menunduk semakin dalam.

“Iya!” sahut Fairish, kesalnya jelas. Tapi kemarahannya tidak diarahkan pada Sultan—justru untuk Djiwa yang membuat harinya buruk.

Wanita itu menunduk meraih blazernya yang tadi dia lemparkan dan menjadi kusut lagi, lalu menyeringai dingin.

“Awas ya kamu, Wa.”

Ia pun pergi, meninggalkan ancaman menggantung di udara.

Djiwa masih menunduk, sampai Fairish tak lagi terdengar. Baru setelahnya Djiwa bergerak untuk melakukan tugas selanjutnya.

Hari masih pagi, tapi Djiwa sudah punya banyak pekerjaan yang harus dilakukan.

Djiwa harus membantu ibu mertuanya bersiap-siap seperti biasa. Terutama untuk mengingatkan Sekar minum obat sebelum sarapan.

Tok. Tok.

Djiwa mengetuk pintu kamar Sekar dua kali, hati-hati agar tidak menimbulkan suara keras. Nampan berisi obat dan segelas air hangat ia pegang dengan kedua tangan.

“Masuk.” Suara Sekar terdengar tegas dari dalam.

Djiwa segera memutar kenop pintu dan membuka perlahan. Ibu mertuanya itu sudah rapi, duduk di depan meja rias sambil menatap pantulan wajahnya di cermin.

“Minum obatnya dulu, Mi,” ucap Djiwa lembut, meletakkan nampan di atas nakas dengan sangat hati-hati.

Sekar menoleh—tatapan dingin, menyapu Djiwa dari ujung kepala hingga kaki. Gadis itu mengulurkan segelas air hangat beserta obatnya.

“Ke mana kamu semalam?” suara Sekar pelan tapi sarat tuduhan. “Kenapa tidak ada di meja makan?”

Djiwa merasakan tenggorokannya mengering. Dia teringat amarah Kaisar semalam karena ketidakhadirannya di meja makan.

“Maaf, Mi. Semalam Djiwa kurang enak badan, jadi gak ikut makan malam bersama.”

Ia tidak menambahkan apa pun. Ia tahu percuma. Sekar tidak suka penjelasan panjang, dan tidak akan percaya apa pun yang keluar dari mulutnya.

Sekar menyerahkan gelas kotornya setelah menelan obat tanpa menoleh.

Djiwa segera mengambilnya dengan sigap, meletakkannya di atas nampan yang sejak tadi ia taruh di nakas samping ranjang.

Djiwa tetap di sana. Tugasnya belum selesai. Ia berdiri di belakang Sekar, menyisir rambut panjang ibu mertuanya perlahan, membentuk sanggul rapi.

“Sudah selesai, Mi,” ujar Djiwa lembut setelah menyelesaikan sanggul dan memasang konde.

Ketika Djiwa hendak melangkah keluar, Sekar menahan.

“Ambilkan tongkat saya.”

Djiwa segera mengambil dan menyerahkan tongkat itu sebelum membantu ibu mertuanya berjalan keluar kamar menuju ruang makan.

Gadis itu berjalan di sisi kiri, satu tangan membawa nampan berisi gelas kotor, satu tangan lagi menuntun lengan Sekar agar tidak terpeleset.

Namun saat langkah mereka mendekati meja makan, Sekar menepis kasar tangannya.

“Jangan sentuh saya. Nanti kamu sengaja mendorong saya supaya jatuh,” ucap Sekar sinis, nadanya cukup keras untuk membuat semua orang di meja menoleh.

Semua tatapan tajam langsung mengarah pada Djiwa—membuatnya terpaku, wajahnya memucat.

“Maaf, Mi,” lirihnya pelan, sebelum menarik kursi untuk ibu mertuanya duduk.

Usai sarapan, meja makan mewah itu kembali hening. Anggota keluarga lain segera pergi, sebagian bersiap berangkat kerja. Hanya Djiwa yang tersisa.

Gadis cantik yang berstatus Nyonya rumah itu harus melanjutkan rutinitas wajibnya. Tadi pagi memasak diserahkan pada pembantu, sekarang dia mengambil alih tugas cuci piring.

Djiwa menyingsingkan lengan baju, membenamkan tangan ke air sabun. Membersihkan sisa santapan dari keluarga yang selalu merendahkannya.

Saat semua pekerjaan dapur selesai, dan Djiwa hendak kembali ke kamarnya, ia baru teringat—hari ini hari Jumat. Hari di mana ia selalu membantu ibu mertuanya memotong kuku.

Semua tugas yang berhubungan dengan Sekar memang membuatnya tertekan. Djiwa menarik napas, meyakinkan dirinya untuk bisa melakukan pekerjaan ini.

Ia segera mengambil alat pemotong kuku dan melangkah menuju ruang tengah.

Di sana, Sekar duduk di single sofa, membaca majalah fashion batik dan kebaya.

Inggrit berada di sebelahnya, menggendong bayinya yang berusia enam bulan, sementara Anggita—putri sulung Inggrit, sedang bermain di karpet.

“Mi, hari ini Mami potong kuku,” ucap Djiwa lirih, mendekat dengan hati-hati.

Sekar hanya melirik sekilas, acuh, tapi mengulurkan tangan kanannya. Djiwa duduk bersimpuh di bawah, mulai memotong kuku itu perlahan, penuh kehati-hatian.

Langkah sepatu mahal terdengar mendekat. Radja muncul dari arah belakang punggung Djiwa, aura tegasnya memenuhi ruangan.

“Papa!” seru Anggita riang.

Radja hanya mengangkat alis singkat pada putrinya, sebelum ikut bergabung di sofa. Duduk di sebelah sang istri yang tengah menyusui sang anak menggunakan botol.

Tatapan pria itu tertuju pada anak sulungnya yang bermain di karpet sebelum beralih pada Djiwa yang duduk bersimpuh di lantai, seraya memotong kuku sang ibu.

Klak.

“AKH!”

Sekar menjerit kecil. Kaget. Refleks tangannya mendorong dahi Djiwa.

BRAK.

Djiwa terjengkang ke belakang, terduduk dengan mata melebar. Pemotong kuku terlepas dari tangannya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 09

    “Mas …?” Inggrit baru saja keluar dari kamar mandi setelah buang air besar ketika mendapati ranjang kosong. Alisnya langsung terangkat kesal. Ia menoleh kanan kiri, melihat selimut berantakan tapi tak ada jejak suaminya. “Pasti di ruang kerja,” gumamnya sambil manyun. “Kenapa gak nikah aja sekalian sama laptop-nya, sih?” Ia menghempaskan tubuh ke kasur sambil mendesah panjang, menatap langit-langit. “Aku tidur sendiri lagi malem ini,” _____ Di sisi lain, di kamar hotel yang diterangi lampu utama yang menyala terang, Radja berdiri beberapa meter dari Djiwa. Gadis itu duduk di tepi ranjang, tubuhnya kaku, kedua tangannya meremas seprai. Bola matanya melebar tak percaya melihat sosok pria yang muncul setelah lampu menyala. “Sejak kapan kakekmu dipindah ke hotel?” suara Radja terangkat dingin, ujung bibirnya melengkung sinis. Tatapannya menusuk seperti bilah tipis. “M-Mas Radja.” Djiwa melirik tubuhnya yang hanya dibaluti lingerie tipis, menampilkan warna kulit dan lekukan tubuh

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 08

    ‘Malam ini, aku sudah buat jadwal dengan pria yang aku berikan kartu namanya padamu.’Ucapan Kaisar semalam membuat perut Djiwa terlilit pagi ini. Malam ini, Djiwa tidak bisa kabur lagi. Dia harus bertemu dengan pria yang akan menghamilinya.Djiwa mengusap wajahnya frustasi. “Kalau semisalkan Mami tahu, apa dia gak marah nanti? Apalagi ... kalau anaknya gak mirip sama Mas Kai.”Djiwa merasa tak enak hati jika memberikan keturunan yang tidak sesuai garis darah keluarga Kaisar. Ia merasa terbebani, tapi juga tak ingin mengecewakan siapa pun.“Djiwa.” Gadis itu tersentak ketika namanya dipanggil oleh pemilik wajah tampan namun sedingin es, dengan suara berat dan dalam yang langsungmembuat siapa pun menegakkan punggung. Atasan sekaligus kakak iparnya, Radja.Pria itu menatapnya tajam, sembari mengulurkan sebuah berkas pada Djiwa. Gadis itu segera bangkit dari duduknya dan melangkah cepatmenghampiri Radja.“Scan ini, lalu kirim ke WA pribadi saya dalam bentuk PDF,” ujar Radja dingin, t

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 07

    Radja baru saja tiba di Reinard Grand Corporation, perusahaan besar milik keluarganya yang beroperasi di dalam dan luar negeri. Langkahnya tegas dan berwibawa saat memasuki gedung megah yang tinggi menjulang lima puluh lantai di depannya. Begitu pria matang berusia tiga puluh tiga tahun itu melangkah masuk, suasana lobi langsung berubah. Para karyawan yang sebelumnya asyik berbincang ringan sontak merapikan posisi masing-masing, berdiri lebih tegak, dan memberi jalan untuknya lewat. Aura otoritas Radja memaksa ruangan untuk diam tanpa perlu ia mengucap sepatah kata pun. Kakinya melangkah menuju lift khusus para petinggi perusahaan—lift yang hanya bisa diakses menggunakan kartu identitas eksekutif. Tak sampai satu menit, benda logam persegi panjang itu akhirnya sampai di lantai empat puluh sembilan. Lantai dimana ruangannya berada. Tangannya terulur hendak membuka pintu ruangannya, namun pandangannya terlebih dulu jatuh pada meja kerja sekretaris yang terletak di depan pintu—po

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 06

    “Mas,” panggil Djiwa lirih ketika dirinya dan sang suami masuk ke kamar usai makan malam. Kaisar langsung berbalik badan, menatap Djiwa dengan tatapan dingin dan tajam. Sudut bibir pria itu terangkat membentuk senyum miring. “Pinter kamu sekarang. Kamu tahu kalau Mas Radja itu paling ditakuti keluarga ini, makanya kamu minta bantuan dia.” Djiwa mengerutkan kening, tak paham dengan ucapan sang suami. “Ma-maksud Mas apa?” “Gak usah pura-pura bodoh!” sentak Kaisar dengan nada tinggi, suaranya naik satu oktaf. Ia mengangkat tangannya, dan menunjuk Djiwa tajam. “Kamu pasti ngadu, kan, ke Mas Radja? Kamu pasti ngeluh ke dia, kalau kamu capek dijadikan babu selama ini.” Karena Kaisar pun tahu, meski sikap kakaknya keras—Radja paling tidak tegaan dengan orang yang benar-benar datang padanya sambil mengadu dan menangis. Kaisar yakin, Djiwa melakukan hal tersebut—menurut bayangannya sendiri. “Makanya itu, kamu ngemis-ngemis kerjaan ke Mas Radja supaya bisa bebas dari kerjaan rumah, iya?

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 05

    “Kamu, ya?!” seru Sekar tajam, menunjuknya seolah ia baru saja melakukan kejahatan besar—padahal Djiwa melakukannya dengan sangat hati-hati. “Potong kuku saya gak bener!” Ruangan mendadak senyap—kecuali denyut jantung Djiwa yang serasa memukul-mukul dadanya dari dalam. Radja menoleh sekilas—hanya cukup untuk melihat Djiwa terduduk dan Sekar memegangi jari tangannya dramatis. Ekspresi Radja tetap datar, tanpa satu pun emosi yang bisa dibaca. Sementara Inggrit tersenyum miring. Tatapannya jelas—ia tahu apa yang terjadi barusan bukan kecelakaan. Melainkan ibu mertuanya dengan sengaja melakukan drama itu. Anggita, bocah lima tahun itu, spontan berdiri dari karpet, wajahnya cemas melihat Djiwa terjatuh. Ia hendak berlari menghampiri, tapi suara ibunya memotong tajam. “Duduk, Anggita.” Suara Inggrit dingin dan tegas. Tak menyisakan ruang untuk membantah. Anak kecil itu terhenti, menatap ibunya sejenak, sebelum kembali duduk dan pura-pura bermain—meski matanya masih melirik Djiwa deng

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 04

    “Mas ...,” lirih Djiwa sembari bangkit dari duduknya, tangannya yang gemetar meraih kartu nama itu. “Kenapa harus bahas ini lagi, sih, Mas?” “Kenapa?” tatapan Kaisar semakin tajam. “Oh ... jadi kamu pikir ucapan aku tadi pagi itu cuma main-main? Kamu pikir aku cuma gertak kamu soal biaya rumah sakit kakek kamu, huh?” Djiwa menunduk, jemarinya meremas kuat kartu nama itu sampai hampir kusut. “Mas, tapi … Djiwa gak sanggup,” suaranya pecah, hampir tak terdengar. “Djiwa gak bisa ngelakuin hal kayak gitu.” Kaisar mendekat, langkahnya tenang namun mengancam hingga tak ada jarak di antara mereka. “Kamu harus sanggup,” ujarnya dingin. “Karena kamu gak punya pilihan.” Djiwa mengangkat wajah, matanya berkaca-kaca. “Mas … tolong. Jangan paksa Djiwa kayak gini. Kalau soal biaya rumah sakit, Djiwa—” “Berhenti.” Satu kata, namun cukup untuk membungkamnya. Kaisar menatapnya lama, tajam, seolah menembus ke dalam dada Djiwa yang sudah sesak sejak tadi. “Kamu mau tahu kenapa aku

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status