MasukSetelah sarapan pagi itu berakhir dengan suasana menegangkan, kini Djiwa beralih mencuci piring bekas semua anggota keluarga tersebut.
Djiwa menekan spons ke piring dengan tenaga berlebihan, seolah menghilangkan noda dari piring itu seperti menghilangkan cemoohan mertuanya dari telinganya. Air matanya yang jatuh menetes bercampur dengan buih sabun. Ia terisak pelan, bahunya bergetar seiring desakan dan ultimatum tenggat waktu tiga bulan untuk hamil. Tiba-tiba, sebuah sentuhan lembut mendarat di punggungnya. Djiwa tersentak dan buru-buru menghapus air matanya dengan lengannya. “Non Djiwa ....” suara Mbok Iyam—pembantu rumah tangga di keluarga itu terdengar penuh kehangatan dan rasa iba, sambil mengusap lengan Djiwa lembut. “Sudah, Non. Jangan menangis. Air mata Non Djiwa terlalu mahal untuk menangisi ucapan mereka semua, termasuk Kanjeng Nyonya,” bisik Mbok Iyam, menarik piring dari tangan Djiwa. “Sini, biar Mbok saja yang lanjutkan,” pinta si Mbok mengambil alih. Namun Djiwa kembali menarik piring itu, “Gak usah Mbok, biar Djiwa yang selesain.” “Udah, Non. Biar Mbok saja,” timpal Mbok Iyam, “Simpen dulu saja ini, nanti saya yang lanjutkan, Non. Mending Non istirahat saja dulu, pasti capek,” ucapnya lirih. Akhirnya Djiwa meletakkan cucian piring itu ke tempatnya, kemudian membasuh kedua tangannya sampai bersih di kran air wastafel. Mbok Iyam mendekat, membantu mengelap tangan Djiwa dengan serbet bersih. Kemudian merangkul gadis itu ke dalam pelukan, seolah anaknya sendiri. Djiwa tetap tersenyum manis seperti biasa, seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal Mbok Iyam tahu apa yang sudah terjadi di meja makan tadi. “Yang sabar ya, Non? Jangan dimasukkan ke dalam hati ucapan mereka,” ucap Mbok Iyam memulai percakapan lebih dulu. Gadis itu tetap berusaha tegar, dengan senyum manis yang merekah di wajah cantiknya. “Iya, Mbok. Jangan khawatir, Djiwa baik-baik aja, kok.” Ini bukan pertama kalinya Mbok Iyam menyaksikan Djiwa dihina, disudutkan, bahkan diperlakukan layaknya pembantu di rumah megah ini. Padahal, bagaimanapun juga, Djiwa tetaplah menantu keluarga Reinard—meski kastanya tak pernah dianggap setara dengan dua menantu yang lainnya. “Kanjeng Nyonya itu lidahnya memang tajam, Non. Nanti juga kualat sendiri,” bisik Mbok Iyam. “Non Djiwa jangan pernah merasa sendirian, ya? Di sini ada Mbok.” Djiwa mengangguk kecil, sementara Mbok Iyam menggenggam tangannya erat seolah memberikan kekuatan untuk tetap sabar menjalani kehidupan di rumah ini. “Non Djiwa yang sabar ya,” lanjutnya pelan. “Mbok percaya, kalau suatu saat Non bisa melahirkan anak laki-laki keturunan keluarga ini, Kanjeng Nyonya bakal melihat Non Djiwa sebagai menantu yang lebih layak.” Ditenangkan oleh pembantu yang tak punya apa-apa selain kebaikan itu, senyum Djiwa semakin merekah. Tapi entah kenapa, ucapan Mbok Iyam soal keturunan laki-laki itu tidak membuat Djiwa sedikit pun bersemangat. Ia tahu betul, Mbok Iyam hanya bermaksud menenangkannya—bukan benar-benar menuntutnya melahirkan anak laki-laki pewaris keluarga. Namun tetap saja, dada Djiwa terasa sesak. Karena hingga detik ini, ia sendiri masih bingung, bagaimana cara mendapatkan keturunan itu? Sedangkan sang suami tak pernah mau menyentuhnya. “Ya udah, Non. Sekarang Mbok yang lanjutkan cuci piringnya, Non Djiwa istirahat saja. Yang Non butuhkan saat ini istirahat dan menenangkan diri,” kata Mbok Iyam. Djiwa menunduk sedikit, suaranya mengecil. “Maaf ya … kalau Djiwa malah ngerepotin.” “Loh, ngapain minta maaf?” Mbok Iyam menatapnya lembut. “Ini memang kerjaan Mbok, Non. Sudah sana, istirahat. Kalau ngobrol terus, kapan Non Djiwa istirahatnya?” Djiwa tersenyum—senyum yang benar-benar tulus setelah seharian dadanya sesak. “Kalau begitu, Djiwa tinggal dulu ya, Mbok? Makasih banyak atas bantuannya.” “Iya, Non. Sama-sama. Istirahat yang nyenyak, ya.” Gadis itu hanya mengangguk kecil. Perlahan meninggalkan dapur kotor menuju ke kamarnya, melewati ruang tengah. Di sana, Djiwa melihat keberadaan Inggrit dan anak sulungnya. “Mama ...,” seruan itu berasal dari Anggita yang tengah berlari sambil membawa kaos kaki dan sepatu menuju sang ibu—Inggrit. “Pasangin kaos kaki, Ma.” Inggrit yang duduk di sofa ruang tengah sambil menatap layar tabletnya yang menampilkan gambar rancangan busana miliknya, melirik sekilas pada Anggita. “Pasang sendiri, Gi!” nada bicaranya terdengar dingin. “Nggak bisa, Mama ....” keluh bocah berusia lima tahun tersebut. Tch. Inggrit berdecak kasar, menatap putrinya dingin. Lalu matanya menangkap sosok Djiwa yang baru saja muncul dari arah dapur. “Djiwa,” panggilnya dengan nada keras, membuat Djiwa menghentikan langkah dan menoleh. “Sini,” tangannya melambai. “Ada apa, Mbak?” tanya Djiwa saat berada di hadapan Inggrit. Wanita itu melirik sekilas ke arah sang anak. “Pakein kaos kaki sama sepatunya Anggita,” ucapnya dingin, seolah memberi perintah pada pembantu. Djiwa tercengang. Setelah tadi di meja makan saat sarapan menuduhnya mandul, sekarang wanita itu dengan santainya menyuruhnya untuk membantu sang anak. Apa wanita itu tidak punya rasa malu? Tak ingin berdebat, lebih tepatnya Djiwa memang begitu penakut pada semua anggota keluarga tersebut mengingat akan kastanya—akhirnya tak protes ataupun menolak. “Iya, Mbak,” jawabnya akhirnya, sementara Inggrit tetap fokus pada layar tabletnya. “Sini, sayang. Biar Tante bantu kamu pasang kaos kaki sama sepatunya.” Djiwa tersenyum manis, mengulurkan tangan kanannya menarik lengan Anggita menuju sofa. Ia mendudukan gadis itu di sana, lalu berjongkok di hadapan Anggita. Pemandangan itu membuat Inggrit yang diam-diam memperhatikan sekilas tersenyum miring, merasa senang karena gadis itu mudah dijadikan babu. Inggrit berdeham, tatapannya sinis pada Djiwa. “Jangan lama-lama dong, Wa. Kamu kok kerjanya lelet banget, sih!” ucapnya ketus. “Udah selesai, sayang,” ucap Djiwa pada Anggita selesai memakaikan sepatunya, kemudian berdiri. Anggita melirik kakinya sekilas, “Terima kasih banyak Tante Djiwa,” ucapnya sopan. Djiwa tersenyum kecil, dan mengulurkan tangannya untuk mengusap puncak kepala bocah itu. “Sama-sama, Sayang.” “Kamu punya banyak sekali skill, Djiwa,” ucap Inggrit, mencemooh. “Jadi pembantu cocok, babysitter cocok. Apa sih, yang gak kamu bisa?” Djiwa cuma diam saat Inggrit melanjutkan. “Oh iya. Kalau gitu, nanti sekalian ya, Wa, bantu Mbok Iyam jagain April.” Wanita itu kemudian memasukkan tabletnya ke dalam tas mahalnya sambil tersenyum miring. “Kamu kan suka bayi. Lumayan sekalian belajar ngerawat anak dari sekarang.” Belum sempat Djiwa merespons, Inggrit menambahkan dengan nada lebih tajam, “Ya ... kalau kamu gak positif mandul, sih. Tapi kalau ternyata beneran mandul, ya ... sampai kapanpun kamu cuma bisa ngurus anak orang. Anak aku, anak Fairish.” Djiwa terdiam. Sama sekali tidak menjawab. Wajahnya tetap menunduk, menatap kaki mungil Anggita—cara kecilnya menahan diri agar tak hancur di depan mereka. Inggrit meliriknya sekilas, puas melihat Djiwa tak membalas. “Nanti siang bikinin April susu, suapin makan, sekalian gantiin pampers-nya, ya,” lanjutnya enteng. Aprilia merupakan anak kedua Inggrit dan Radja, berusia enam bulan, yang mana kelahirannya sangat ditunggu-tunggu oleh keluarga Reinard. Saat itu mereka mengira Inggrit akan melahirkan anak berjenis kelamin laki-laki untuk pewaris keluarga. Tapi ternyata, anak kedua perempuan lagi. Itulah yang membuat Sekar mendesak Djiwa untuk hamil, dan berharap dia bisa melahirkan anak laki-laki. Karena tidak mungkin dia mendesak Inggrit hamil lagi kalau pada akhirnya perempuan lagi. “Kamu kan cepat belajar kalau soal kerja kayak gitu. Aku paling gak suka, loh … sebenernya. Kalau anak aku dijaga orang lain. Tapi khusus kamu aku bolehin,” tambahnya. Djiwa mengangguk kecil. “Iya, Mbak.” Inggrit tersenyum lebar. “Nah, gitu dong! Aku tuh suka banget sama jawaban kamu, bener-bener penurut mirip kayak anak anjing—” “Inggrit.” Sebuah suara berat, dalam, dan tegas memotong ucapan Inggrit. Suara maskulin itu berasal dari Radja yang melangkah mendekat menghampiri sang istri. Sekilas, tatapan pria itu melirik ke Djiwa dan sang anak Anggita—lalu kembali menatap Inggrit dengan tajam. “Bicara apa kamu barusan?” katanya dengan nada tegas. Inggrit menelan ludahnya susah payah, saat mendapatkan lirikan tajam dari sang suami. “Bi-bicara apa, Mas?” tanyanya terbata, kedua tangannya meremas erat tali tasnya. “Tidak usah pura-pura bodoh,” balas Radja dingin, nada bicaranya menusuk. “Jelas-jelas barusan kamu berkata kasar, kan?” rahang kokoh pria itu mengeras. “Nggak, Mas!” Inggrit berkilah, berusaha membela diri. “Aku gak berniat ngomong kasar. Kamu tuh sensitif banget, sih.” “Sensitif?” kedua alis tebal Radja menyatu. “Jangan berfikir kalau saya tidak tahu seperti apa sifat kamu, Grit. Tahu diri sedikit. Kamu meminta bantuan Djiwa, tapi kamu malah merendahkannya dengan kata-kata kamu yang tidak sopan itu.” Inggrit tercengang karena sang suami menegurnya seperti itu di depan Djiwa, di depan gadis yang baru saja dia cemooh. Tapi sekarang, justru dirinya disambar sang suami. “Papa … Mama ….” lirih Anggita yang sejak tadi diam melihat sang ayah memarahi ibunya dengan tatapan polos. Radja melirik sang anak sekilas, lalu kembali menatap istrinya dingin. “Minta maaf ke Djiwa,” perintah Radja tegas, nada bicaranya seakan tak ada ruang untuk bantahan. Tapi Inggrit tetaplah Inggrit yang memiliki wajah tebal, tak akan mau melakukan itu. Merasa kesal, Inggrit lantas menarik lengan Anggita keluar lebih dulu meninggalkan ruang tengah tanpa permintaan maaf seperti yang suaminya minta. Begitu pintu utama tertutup dan suara langkah Inggrit serta Anggita menjauh, ruang tengah mendadak sunyi. Hanya suara napas Djiwa yang terdengar pelan. Radja berdiri tidak jauh darinya, punggungnya tegak, sorot mata dingin yang biasanya sulit ditebak kini mengarah langsung padanya. Djiwa hampir tak berani bergerak. Lalu suara itu terdengar—rendah, datar, tapi cukup untuk membuat jantungnya berhenti sepersekian detik. “Kamu tidak seharusnya mengikuti ucapan orang lain terus.”“Mas …?” Inggrit baru saja keluar dari kamar mandi setelah buang air besar ketika mendapati ranjang kosong. Alisnya langsung terangkat kesal. Ia menoleh kanan kiri, melihat selimut berantakan tapi tak ada jejak suaminya. “Pasti di ruang kerja,” gumamnya sambil manyun. “Kenapa gak nikah aja sekalian sama laptop-nya, sih?” Ia menghempaskan tubuh ke kasur sambil mendesah panjang, menatap langit-langit. “Aku tidur sendiri lagi malem ini,” _____ Di sisi lain, di kamar hotel yang diterangi lampu utama yang menyala terang, Radja berdiri beberapa meter dari Djiwa. Gadis itu duduk di tepi ranjang, tubuhnya kaku, kedua tangannya meremas seprai. Bola matanya melebar tak percaya melihat sosok pria yang muncul setelah lampu menyala. “Sejak kapan kakekmu dipindah ke hotel?” suara Radja terangkat dingin, ujung bibirnya melengkung sinis. Tatapannya menusuk seperti bilah tipis. “M-Mas Radja.” Djiwa melirik tubuhnya yang hanya dibaluti lingerie tipis, menampilkan warna kulit dan lekukan tubuh
‘Malam ini, aku sudah buat jadwal dengan pria yang aku berikan kartu namanya padamu.’Ucapan Kaisar semalam membuat perut Djiwa terlilit pagi ini. Malam ini, Djiwa tidak bisa kabur lagi. Dia harus bertemu dengan pria yang akan menghamilinya.Djiwa mengusap wajahnya frustasi. “Kalau semisalkan Mami tahu, apa dia gak marah nanti? Apalagi ... kalau anaknya gak mirip sama Mas Kai.”Djiwa merasa tak enak hati jika memberikan keturunan yang tidak sesuai garis darah keluarga Kaisar. Ia merasa terbebani, tapi juga tak ingin mengecewakan siapa pun.“Djiwa.” Gadis itu tersentak ketika namanya dipanggil oleh pemilik wajah tampan namun sedingin es, dengan suara berat dan dalam yang langsungmembuat siapa pun menegakkan punggung. Atasan sekaligus kakak iparnya, Radja.Pria itu menatapnya tajam, sembari mengulurkan sebuah berkas pada Djiwa. Gadis itu segera bangkit dari duduknya dan melangkah cepatmenghampiri Radja.“Scan ini, lalu kirim ke WA pribadi saya dalam bentuk PDF,” ujar Radja dingin, t
Radja baru saja tiba di Reinard Grand Corporation, perusahaan besar milik keluarganya yang beroperasi di dalam dan luar negeri. Langkahnya tegas dan berwibawa saat memasuki gedung megah yang tinggi menjulang lima puluh lantai di depannya. Begitu pria matang berusia tiga puluh tiga tahun itu melangkah masuk, suasana lobi langsung berubah. Para karyawan yang sebelumnya asyik berbincang ringan sontak merapikan posisi masing-masing, berdiri lebih tegak, dan memberi jalan untuknya lewat. Aura otoritas Radja memaksa ruangan untuk diam tanpa perlu ia mengucap sepatah kata pun. Kakinya melangkah menuju lift khusus para petinggi perusahaan—lift yang hanya bisa diakses menggunakan kartu identitas eksekutif. Tak sampai satu menit, benda logam persegi panjang itu akhirnya sampai di lantai empat puluh sembilan. Lantai dimana ruangannya berada. Tangannya terulur hendak membuka pintu ruangannya, namun pandangannya terlebih dulu jatuh pada meja kerja sekretaris yang terletak di depan pintu—po
“Mas,” panggil Djiwa lirih ketika dirinya dan sang suami masuk ke kamar usai makan malam. Kaisar langsung berbalik badan, menatap Djiwa dengan tatapan dingin dan tajam. Sudut bibir pria itu terangkat membentuk senyum miring. “Pinter kamu sekarang. Kamu tahu kalau Mas Radja itu paling ditakuti keluarga ini, makanya kamu minta bantuan dia.” Djiwa mengerutkan kening, tak paham dengan ucapan sang suami. “Ma-maksud Mas apa?” “Gak usah pura-pura bodoh!” sentak Kaisar dengan nada tinggi, suaranya naik satu oktaf. Ia mengangkat tangannya, dan menunjuk Djiwa tajam. “Kamu pasti ngadu, kan, ke Mas Radja? Kamu pasti ngeluh ke dia, kalau kamu capek dijadikan babu selama ini.” Karena Kaisar pun tahu, meski sikap kakaknya keras—Radja paling tidak tegaan dengan orang yang benar-benar datang padanya sambil mengadu dan menangis. Kaisar yakin, Djiwa melakukan hal tersebut—menurut bayangannya sendiri. “Makanya itu, kamu ngemis-ngemis kerjaan ke Mas Radja supaya bisa bebas dari kerjaan rumah, iya?
“Kamu, ya?!” seru Sekar tajam, menunjuknya seolah ia baru saja melakukan kejahatan besar—padahal Djiwa melakukannya dengan sangat hati-hati. “Potong kuku saya gak bener!” Ruangan mendadak senyap—kecuali denyut jantung Djiwa yang serasa memukul-mukul dadanya dari dalam. Radja menoleh sekilas—hanya cukup untuk melihat Djiwa terduduk dan Sekar memegangi jari tangannya dramatis. Ekspresi Radja tetap datar, tanpa satu pun emosi yang bisa dibaca. Sementara Inggrit tersenyum miring. Tatapannya jelas—ia tahu apa yang terjadi barusan bukan kecelakaan. Melainkan ibu mertuanya dengan sengaja melakukan drama itu. Anggita, bocah lima tahun itu, spontan berdiri dari karpet, wajahnya cemas melihat Djiwa terjatuh. Ia hendak berlari menghampiri, tapi suara ibunya memotong tajam. “Duduk, Anggita.” Suara Inggrit dingin dan tegas. Tak menyisakan ruang untuk membantah. Anak kecil itu terhenti, menatap ibunya sejenak, sebelum kembali duduk dan pura-pura bermain—meski matanya masih melirik Djiwa deng
“Mas ...,” lirih Djiwa sembari bangkit dari duduknya, tangannya yang gemetar meraih kartu nama itu. “Kenapa harus bahas ini lagi, sih, Mas?” “Kenapa?” tatapan Kaisar semakin tajam. “Oh ... jadi kamu pikir ucapan aku tadi pagi itu cuma main-main? Kamu pikir aku cuma gertak kamu soal biaya rumah sakit kakek kamu, huh?” Djiwa menunduk, jemarinya meremas kuat kartu nama itu sampai hampir kusut. “Mas, tapi … Djiwa gak sanggup,” suaranya pecah, hampir tak terdengar. “Djiwa gak bisa ngelakuin hal kayak gitu.” Kaisar mendekat, langkahnya tenang namun mengancam hingga tak ada jarak di antara mereka. “Kamu harus sanggup,” ujarnya dingin. “Karena kamu gak punya pilihan.” Djiwa mengangkat wajah, matanya berkaca-kaca. “Mas … tolong. Jangan paksa Djiwa kayak gini. Kalau soal biaya rumah sakit, Djiwa—” “Berhenti.” Satu kata, namun cukup untuk membungkamnya. Kaisar menatapnya lama, tajam, seolah menembus ke dalam dada Djiwa yang sudah sesak sejak tadi. “Kamu mau tahu kenapa aku







