Masuk“Mas,” panggil Djiwa lirih ketika dirinya dan sang suami masuk ke kamar usai makan malam.
Kaisar langsung berbalik badan, menatap Djiwa dengan tatapan dingin dan tajam. Sudut bibir pria itu terangkat membentuk senyum miring. “Pinter kamu sekarang. Kamu tahu kalau Mas Radja itu paling ditakuti keluarga ini, makanya kamu minta bantuan dia.” Djiwa mengerutkan kening, tak paham dengan ucapan sang suami. “Ma-maksud Mas apa?” “Gak usah pura-pura bodoh!” sentak Kaisar dengan nada tinggi, suaranya naik satu oktaf. Ia mengangkat tangannya, dan menunjuk Djiwa tajam. “Kamu pasti ngadu, kan, ke Mas Radja? Kamu pasti ngeluh ke dia, kalau kamu capek dijadikan babu selama ini.” Karena Kaisar pun tahu, meski sikap kakaknya keras—Radja paling tidak tegaan dengan orang yang benar-benar datang padanya sambil mengadu dan menangis. Kaisar yakin, Djiwa melakukan hal tersebut—menurut bayangannya sendiri. “Makanya itu, kamu ngemis-ngemis kerjaan ke Mas Radja supaya bisa bebas dari kerjaan rumah, iya?” lanjut Kaisar, matanya menatap sang istri tajam—rahangnya mengeras. Djiwa menggeleng cepat. “Nggak, Mas. Djiwa gak ada ngelakuin itu. Djiwa—“ “Wa,” potong Kaisar dingin. “Siapapun udah bisa nebak. Karena gak mungkin Mas Radja nawarin kerjaan ke kamu, kalau bukan kamu sendiri yang ngemis-ngemis.” Hati Djiwa mencelos. Apakah seburuk itu dirinya, hingga sama sekali tidak pantas mendapatkan pekerjaan yang layak selain menjadi pembantu di rumah suaminya sendiri? Niatnya dia ingin bertanya pada sang suami, apakah Kaisar memberikan izin dirinya untuk bekerja dengan sang kakak ipar. Tapi kemarahan Kaisar barusan, sudah menjawab semuanya. “Jadi, Mas Kaisar gak setuju kalau Djiwa ikut kerja dengan Mas Radja?” tanya gadis itu lirih, kepalanya tertunduk untuk menyembunyikan rasa kecewanya. Padahal dia sudah merasa sangat senang sekali bisa bekerja di perusahaan besar sebagai posisi sekretaris—posisi yang tak mudah didapatkan oleh lulusan sepertinya. Apalagi dia tidak memiliki pengalaman kerja sama sekali. “Mas ….” suara Djiwa hampir tak terdengar. Ia menatap suaminya dengan mata penuh ragu, menunggu jawaban—apakah ia boleh bekerja bersama Radja atau tidak. “Kalau Mas gak izinin Djiwa kerja ikut Mas Radja, gak apa-apa, kok. Djiwa gak akan maksa.” Nada itu lembut, tapi jelas menyimpan kecemasan. Kaisar memejamkan mata sesaat, menghembuskan napas panjang dan kasar melalui hidung. Dia benar-benar tidak ingin terlibat urusan dengan Radja. Kalau dia bilang tidak, kakaknya itu pasti akan menginterogasi. Bukan sekadar bertanya—tapi menggali seluruh alasan sampai ke akar, menyeretnya dalam tekanan yang tidak ingin dia hadapi hari ini maupun besok. Radja bukan tipe yang menerima penolakan. Apalagi, ucapan Radja bukan sekadar permintaan, melainkan perintah seorang anak pertama—pewaris utama keluarga Reinard yang selama ini bertindak sebagai pengganti tetua. Dan tidak ada satu pun di rumah itu yang berani membantahnya. “Aku gak peduli kamu mau kerja sama siapa,” ujar Kaisar, suaranya rendah tapi dingin. “Yang penting, pekerjaan itu gak boleh ganggu tujuan utama kamu.” Ia mendekat selangkah, menatap Djiwa tanpa berkedip. “Kamu tetap harus hamil dalam waktu dekat ini, Wa. Sibuk atau nggak, kerja atau nggak,” rahangnya mengeras, “Itu bukan alasan buat kamu gagal.” _____ Keesokan harinya. Hari ini menjadi hari pertama Djiwa bekerja setelah satu tahun berlalu sejak ia lulus kuliah—dan satu tahun menjalani kehidupan sebagai istri Kaisar. Gadis cantik itu akan memulai peran barunya sebagai seorang sekretaris. Bermodalkan ijazah diploma tiga dan penampilan yang ia rapikan seadanya, Djiwa berdiri di depan cermin. Riasannya sederhana—hanya bedak tipis, sedikit blush, dan lipstik natural, namun tetap memancarkan kecantikan lembut yang khas darinya. Kaisar muncul dari kamar mandi. Pria itu baru saja selesai mandi, masih mengenakan handuk putih yang melilit di pinggang lebarnya. Tatapannya yang dingin tertuju pada istrinya yang duduk di meja rias. “Kantor masuk jam delapan, ngapain kamu siap-siap jam segini?” celetuk Kaisar sembari berjalan ke arah lemari untuk mengambil pakaian. “Mas,” Djiwa menoleh, menatap punggung tegap sang suami. “Ini kan hari pertama Djiwa kerja, Mas. Jadi gak mau sampai telat. Sekalipun yang punya perusahaan keluarga sendiri.” “Tapi ini keawalan, Wa,” balas Kaisar dengan nada dingin. “Memangnya kamu gak mau masak? Beres-beres rumah?” Pria itu berbalik badan, menatap Djiwa dengan tatapan sinis. Lalu melanjutkan masih dengan nada dingin. “Inget, tugas kamu beres-beres rumah itu udah kewajiban. Jangan karena kamu udah kerja kantoran, kamu merasa bebas dari tugas wajib itu!” Djiwa tersenyum kecil, tetap terlihat tenang. “Udah dong, Mas. Kan Djiwa bangun subuh langsung beres-beres rumah sama Mbok. Dan tadi jam enam pagi udah masak buat sarapan.” “Djiwa gak akan pernah lupa kok, kalau posisi Djiwa cuma di bawah.” Ia menghela napas pelan, menahan getir yang mengalir di ujung suaranya. “Di rumah dianggap babu, di kantor pun nanti pasti sama aja, kan?” Kaisar tak menjawab. Membawa pakaian yang sudah dia ambil dari lemari ke kamar mandi, dan mengenakannya di sana seperti biasa yang dia lakukan sejak mereka menikah. Djiwa menghela napas pelan sambil mengusap dadanya karena barusan masih saja berani menjawab ucapan sang suami. Beruntung Kaisar tidak meledak lagi. _____ Tepat pukul setengah delapan pagi. Sebagian anggota keluarga Reinard berangkat kerja, termasuk Djiwa untuk pertama kalinya. Di rumah hanya menyisakkan Sekar dengan sang cucu yang bungsu—Aprilia, serta kedua pembantu yang bekerja di rumah tersebut. Seperti biasa, mereka selalu berpamitan sebelum berangkat pada orang tua mereka. Sekar duduk di ruang tengah, koran terbuka di tangannya—meski sejak tadi matanya lebih sering mengawasi menantunya dibanding membaca. “Saya berangkat, Mi,” Radja lebih dulu berpamitan. Inggrit menyusul dengan senyum tipis. “Mami, kami berangkat dulu.” Sekar mengangguk kecil, matanya lembut pada pasangan itu. Sultan dan istrinya maju. “Mi, kami berangkat.” “Hati-hati,” jawab Sekar ramah. Lalu Kaisar dan Djiwa yang terakhir. “Kami pergi dulu, Mi,” ucap Kaisar. “Iya, hati-hati,” Sekar menanggapi putranya. Djiwa menunduk sopan. “Djiwa pamit—” Belum selesai, Sekar sudah kembali menatap korannya, seolah suara menantu bungsunya hanyalah angin lewat. Seolah Djiwa tak berada di sana. Kaisar memalingkan wajah, pura-pura tidak melihat ketegangan itu. Djiwa memaksakan senyum kecil, meski suaranya tercekat. “Permisi, Mi,” Tidak ada jawaban, hanya suara kertas koran yang digesek pelan. Di luar mansion, beberapa mobil milik masing-masing sudah siap dikendarai. Sultan melirik sang istri yang berjalan di sebelahnya, “Hari ini kamu pakai mobil sendiri saja, aku buru-buru karena ada pasien kritis.” Fairish sedikit tercengang, sebelum sempat dia berbicara—Sultan sudah lebih dulu masuk ke mobilnya dengan langkah cepat. Mobil pria yang berprofesi sebagai dokter itu akhirnya dengan cepat meninggalkan halaman mansion, seolah dia benar-benar darurat. “Emang gak bisa, ya, ngomong dulu sebelum berangkat?” celetuk Fairish, kesal karena harus mengeluarkan mobil dari garasi dan menunggu mesin dipanaskan. Begitu melihat Kaisar berjalan menuju mobilnya, Fairish langsung menghampiri sambil berteriak cukup keras. “Kai, aku ikut kamu, ya. Kita kan searah,” ujarnya cepat—tanpa menunggu jawaban, langsung membuka pintu dan duduk di kursi samping kemudi. Kaisar tertegun sejenak. Tatapannya kemudian beralih pada Djiwa yang berdiri tak jauh darinya, jelas melihat Fairish yang tadi langsung masuk mobil sang suami tanpa izin pemilik. “Mas … Djiwa ikut, ya?” ucap Djiwa pelan, penuh harap. “Djiwa duduk di belakang, gak apa-apa.” “Kita gak searah. Kamu naik taksi aja,” balas Kaisar dingin, sebelum masuk mobil dan menyalakan mesin. Mobil itu melaju keluar dari halaman mansion, meninggalkan Djiwa berdiri sendirian di halaman. Angin pagi menusuk kulitnya, menyapu rambutnya pelan. Napasnya tercekat. Djiwa menatap gerbang yang mulai menutup otomatis, menatap jam di pergelangan tangannya. “Gimana kalau aku telat, di hari pertama aku kerja?” gumamnya lirih.“Mas …?” Inggrit baru saja keluar dari kamar mandi setelah buang air besar ketika mendapati ranjang kosong. Alisnya langsung terangkat kesal. Ia menoleh kanan kiri, melihat selimut berantakan tapi tak ada jejak suaminya. “Pasti di ruang kerja,” gumamnya sambil manyun. “Kenapa gak nikah aja sekalian sama laptop-nya, sih?” Ia menghempaskan tubuh ke kasur sambil mendesah panjang, menatap langit-langit. “Aku tidur sendiri lagi malem ini,” _____ Di sisi lain, di kamar hotel yang diterangi lampu utama yang menyala terang, Radja berdiri beberapa meter dari Djiwa. Gadis itu duduk di tepi ranjang, tubuhnya kaku, kedua tangannya meremas seprai. Bola matanya melebar tak percaya melihat sosok pria yang muncul setelah lampu menyala. “Sejak kapan kakekmu dipindah ke hotel?” suara Radja terangkat dingin, ujung bibirnya melengkung sinis. Tatapannya menusuk seperti bilah tipis. “M-Mas Radja.” Djiwa melirik tubuhnya yang hanya dibaluti lingerie tipis, menampilkan warna kulit dan lekukan tubuh
‘Malam ini, aku sudah buat jadwal dengan pria yang aku berikan kartu namanya padamu.’Ucapan Kaisar semalam membuat perut Djiwa terlilit pagi ini. Malam ini, Djiwa tidak bisa kabur lagi. Dia harus bertemu dengan pria yang akan menghamilinya.Djiwa mengusap wajahnya frustasi. “Kalau semisalkan Mami tahu, apa dia gak marah nanti? Apalagi ... kalau anaknya gak mirip sama Mas Kai.”Djiwa merasa tak enak hati jika memberikan keturunan yang tidak sesuai garis darah keluarga Kaisar. Ia merasa terbebani, tapi juga tak ingin mengecewakan siapa pun.“Djiwa.” Gadis itu tersentak ketika namanya dipanggil oleh pemilik wajah tampan namun sedingin es, dengan suara berat dan dalam yang langsungmembuat siapa pun menegakkan punggung. Atasan sekaligus kakak iparnya, Radja.Pria itu menatapnya tajam, sembari mengulurkan sebuah berkas pada Djiwa. Gadis itu segera bangkit dari duduknya dan melangkah cepatmenghampiri Radja.“Scan ini, lalu kirim ke WA pribadi saya dalam bentuk PDF,” ujar Radja dingin, t
Radja baru saja tiba di Reinard Grand Corporation, perusahaan besar milik keluarganya yang beroperasi di dalam dan luar negeri. Langkahnya tegas dan berwibawa saat memasuki gedung megah yang tinggi menjulang lima puluh lantai di depannya. Begitu pria matang berusia tiga puluh tiga tahun itu melangkah masuk, suasana lobi langsung berubah. Para karyawan yang sebelumnya asyik berbincang ringan sontak merapikan posisi masing-masing, berdiri lebih tegak, dan memberi jalan untuknya lewat. Aura otoritas Radja memaksa ruangan untuk diam tanpa perlu ia mengucap sepatah kata pun. Kakinya melangkah menuju lift khusus para petinggi perusahaan—lift yang hanya bisa diakses menggunakan kartu identitas eksekutif. Tak sampai satu menit, benda logam persegi panjang itu akhirnya sampai di lantai empat puluh sembilan. Lantai dimana ruangannya berada. Tangannya terulur hendak membuka pintu ruangannya, namun pandangannya terlebih dulu jatuh pada meja kerja sekretaris yang terletak di depan pintu—po
“Mas,” panggil Djiwa lirih ketika dirinya dan sang suami masuk ke kamar usai makan malam. Kaisar langsung berbalik badan, menatap Djiwa dengan tatapan dingin dan tajam. Sudut bibir pria itu terangkat membentuk senyum miring. “Pinter kamu sekarang. Kamu tahu kalau Mas Radja itu paling ditakuti keluarga ini, makanya kamu minta bantuan dia.” Djiwa mengerutkan kening, tak paham dengan ucapan sang suami. “Ma-maksud Mas apa?” “Gak usah pura-pura bodoh!” sentak Kaisar dengan nada tinggi, suaranya naik satu oktaf. Ia mengangkat tangannya, dan menunjuk Djiwa tajam. “Kamu pasti ngadu, kan, ke Mas Radja? Kamu pasti ngeluh ke dia, kalau kamu capek dijadikan babu selama ini.” Karena Kaisar pun tahu, meski sikap kakaknya keras—Radja paling tidak tegaan dengan orang yang benar-benar datang padanya sambil mengadu dan menangis. Kaisar yakin, Djiwa melakukan hal tersebut—menurut bayangannya sendiri. “Makanya itu, kamu ngemis-ngemis kerjaan ke Mas Radja supaya bisa bebas dari kerjaan rumah, iya?
“Kamu, ya?!” seru Sekar tajam, menunjuknya seolah ia baru saja melakukan kejahatan besar—padahal Djiwa melakukannya dengan sangat hati-hati. “Potong kuku saya gak bener!” Ruangan mendadak senyap—kecuali denyut jantung Djiwa yang serasa memukul-mukul dadanya dari dalam. Radja menoleh sekilas—hanya cukup untuk melihat Djiwa terduduk dan Sekar memegangi jari tangannya dramatis. Ekspresi Radja tetap datar, tanpa satu pun emosi yang bisa dibaca. Sementara Inggrit tersenyum miring. Tatapannya jelas—ia tahu apa yang terjadi barusan bukan kecelakaan. Melainkan ibu mertuanya dengan sengaja melakukan drama itu. Anggita, bocah lima tahun itu, spontan berdiri dari karpet, wajahnya cemas melihat Djiwa terjatuh. Ia hendak berlari menghampiri, tapi suara ibunya memotong tajam. “Duduk, Anggita.” Suara Inggrit dingin dan tegas. Tak menyisakan ruang untuk membantah. Anak kecil itu terhenti, menatap ibunya sejenak, sebelum kembali duduk dan pura-pura bermain—meski matanya masih melirik Djiwa deng
“Mas ...,” lirih Djiwa sembari bangkit dari duduknya, tangannya yang gemetar meraih kartu nama itu. “Kenapa harus bahas ini lagi, sih, Mas?” “Kenapa?” tatapan Kaisar semakin tajam. “Oh ... jadi kamu pikir ucapan aku tadi pagi itu cuma main-main? Kamu pikir aku cuma gertak kamu soal biaya rumah sakit kakek kamu, huh?” Djiwa menunduk, jemarinya meremas kuat kartu nama itu sampai hampir kusut. “Mas, tapi … Djiwa gak sanggup,” suaranya pecah, hampir tak terdengar. “Djiwa gak bisa ngelakuin hal kayak gitu.” Kaisar mendekat, langkahnya tenang namun mengancam hingga tak ada jarak di antara mereka. “Kamu harus sanggup,” ujarnya dingin. “Karena kamu gak punya pilihan.” Djiwa mengangkat wajah, matanya berkaca-kaca. “Mas … tolong. Jangan paksa Djiwa kayak gini. Kalau soal biaya rumah sakit, Djiwa—” “Berhenti.” Satu kata, namun cukup untuk membungkamnya. Kaisar menatapnya lama, tajam, seolah menembus ke dalam dada Djiwa yang sudah sesak sejak tadi. “Kamu mau tahu kenapa aku







