Share

BAB 05

Author: Langit Parama
last update Last Updated: 2025-11-27 16:17:31

“Kamu, ya?!” seru Sekar tajam, menunjuknya seolah ia baru saja melakukan kejahatan besar—padahal Djiwa melakukannya dengan sangat hati-hati. “Potong kuku saya gak bener!”

Ruangan mendadak senyap—kecuali denyut jantung Djiwa yang serasa memukul-mukul dadanya dari dalam.

Radja menoleh sekilas—hanya cukup untuk melihat Djiwa terduduk dan Sekar memegangi jari tangannya dramatis.

Ekspresi Radja tetap datar, tanpa satu pun emosi yang bisa dibaca.

Sementara Inggrit tersenyum miring. Tatapannya jelas—ia tahu apa yang terjadi barusan bukan kecelakaan. Melainkan ibu mertuanya dengan sengaja melakukan drama itu.

Anggita, bocah lima tahun itu, spontan berdiri dari karpet, wajahnya cemas melihat Djiwa terjatuh. Ia hendak berlari menghampiri, tapi suara ibunya memotong tajam.

“Duduk, Anggita.” Suara Inggrit dingin dan tegas. Tak menyisakan ruang untuk membantah.

Anak kecil itu terhenti, menatap ibunya sejenak, sebelum kembali duduk dan pura-pura bermain—meski matanya masih melirik Djiwa dengan jelas khawatir.

“Maaf, Mi …,” ucap Djiwa pelan sambil berdiri terburu-buru dan menunduk dalam. “Djiwa bener-bener gak sengaja.”

“Gak sengaja? Kamu lalai, Djiwa! Atau kamu sengaja mau nyakitin saya?” Nada Sekar meninggi.

“Gak, Mi! Djiwa sama sekali gak ada maksud begitu!” Djiwa membela diri, menelan ludah susah payah. “Mungkin, Djiwa agak kecapekan hari ini, makanya ….”

Sekar langsung memotong ucapannya.

“Maksud kamu apa? Kamu ingin bilang kalau kamu lelah karena mengerjakan yang jelas-jelas tugas kamu?”

Belum sempat Djiwa menjawab, suara Inggrit menyambar lebih cepat dan lebih pedas.

“Hei, Djiwa!” serunya dengan nada sinis. “Kamu tuh harus sadar diri. Kalau kamu gak terlahir dari keluarga konglomerat, kamu setidaknya harus tahu adab.”

Ia menunduk sedikit, suaranya tajam dan memalukan. “Kerja yang bener, jangan banyak alasan. Kamu tuh di rumah orang kaya, bukan di kandang ayam.”

Djiwa menggigit bibirnya, menahan perih yang mengendap di tenggorokan. Matanya menunduk. Tapi dadanya bergemuruh.

_____

Djiwa menghela napas panjang, tatapannya kosong menembus halaman mansion yang luas namun terasa sesak.

Tadi, niatnya hanya ingin beristirahat sebentar—sekadar membaringkan tubuh dan menenangkan napas. Tapi mana mungkin ia bisa tidur ketika kepalanya penuh, pikirannya berputar tanpa henti.

Mulai dari hinaan kakak-kakak iparnya, dinginnya perlakuan mertua, hingga tuntutan sang suami yang masih menusuk dada, hamil dengan pria lain.

Bayangan itu membuat perutnya melilit. Tenggorokannya kering.

Tangan Djiwa mengambil sapu lidi yang bersandar di dinding. Ia mulai menyapu halaman, bukan karena wajib, tapi karena satu-satunya cara agar pikirannya tidak meledak.

Gerakan berulang itu membuatnya sedikit tenang. Setidaknya, untuk beberapa menit saja.

“Djiwa.” Suara berat itu memanggil pelan namun tegas.

Djiwa refleks menoleh, mendapati Radja berdiri tak jauh darinya—mengenakan setelan jas lengkap, kedua tangan dimasukkan dalam saku celana, wajahnya tetap datar seperti biasanya.

“Iya, Mas?” Djiwa mendekat sambil tetap menggenggam sapu lidi. Ia berdiri tegak di hadapan Radja, mencoba terlihat siap meski lututnya sedikit gemetar.

“Mau sampai kapan kamu menganggur, hm?”

Menganggur?

Djiwa menunduk. Untuk sesaat, dadanya terasa sesak. Selama ini, dia mengurus seluruh rumah, mencuci, memasak, membersihkan, merawat mertua—bahkan lebih dari seorang pembantu.

Tapi ia tahu maksud Radja bukan itu. Yang pria itu maksud adalah pekerjaan sungguhan, di luar rumah, dengan gaji dan posisi yang jelas.

“Nggak tahu, Mas,” jawab Djiwa lirih. Jemarinya menggenggam sapu lidi lebih erat, seolah mempersiapkan diri menerima kritik berikutnya.

“Ijazah kamu masih ada?” tanya Radja lagi, suaranya tetap datar tanpa emosi yang terbaca.

Djiwa mengangguk kecil. “Masih, Mas.”

“Kalau begitu, gantikan sekretaris saya. Dia cuti lahiran.”

Djiwa sontak mengangkat wajahnya, menatap Radja dengan tatapan tak percaya.

“Se-serius, Mas?” Napasnya tercekat, bola matanya membesar.

Radja tidak menjawab dengan kata-kata. Pria itu hanya menatapnya, datar, tapi cukup jelas bahwa ia memang sungguh-sungguh.

“Tapi Djiwa ...,” gadis itu menaruh tangan di dadanya yang berdebar tak karuan. “Djiwa cuma lulusan D3. Bisa kah, Mas?”

“Saya yang punya perusahaan,” jawab Radja datar. Kalimat pendek itu menegaskan bahwa tak ada yang perlu diperdebatkan lagi.

Mata Djiwa langsung berbinar. Setelah setahun penuh merasa tidak berguna, dihina, dan diperlakukan seolah ia tak punya nilai, kesempatan itu terasa seperti mendapatkan lotre Amerika.

“Kalau memang bisa, Djiwa mau, Mas ... Djiwa mau banget!” ucapnya, hampir tak bisa menyembunyikan semangat yang tumpah.

Radja mengangguk tipis. “Kalau memang setuju, besok kamu mulai bekerja.”

_____

Malam itu, ruang makan keluarga Reinard lebih padat dari biasanya.

Sendok dan garpu beradu, tidak ada yang benar-benar bicara sampai Radja meletakkan gelasnya dengan bunyi ting kecil, membuat semua kepala otomatis menoleh.

Radja menatap ke arah Sekar, lalu sangat singkat pada Djiwa yang duduk di samping Kaisar.

Radja berdeham, membersihkan tenggorokannya pelan setelah meletakkan cangkir kopi di atas meja.

“Ada yang ingin saya katakan,” ujarnya, suaranya datar namun tegas, cukup untuk membuat suasana meja makan menegang seketika.

Tatapan Sekar langsung terarah padanya. Begitu pula Inggrit, serta kedua adik dan kedua iparnya. Hening sejenak, semua menunggu.

“Apa yang ingin kamu katakan, Dja?” tanya Sekar sambil melirik putra sulungnya.

Radja menyeka ujung bibirnya dengan napkin. “Mulai besok, Djiwa bekerja di kantor. Menggantikan sekretarisku yang cuti melahirkan.”

Sendok Kaisar hendak masuk ke dalam mulutnya menggantung di udara. Inggrit terbatuk kecil, jelas kaget—sama seperti reaksi Fairish yang langsung menatap kakak iparnya.

Sekar menghentikan gerakan tangan dan menegakkan punggung bersiap menilai, memandang Radja seperti baru saja mendengar sesuatu yang tidak masuk akal.

Suasana seketika mengeras. Tapi Radja tetap tenang, wajahnya dingin. Tidak ada ruang untuk negosiasi dalam suaranya.

Fairish akhirnya bersuara, pelan tapi terdengar kesal, “Mas Radja, serius?”

Inggrit menimpali dengan tawa samar yang tidak sopan. “Ehm, maksudnya … apa Djiwa bisa kerja di perusahaan Reinard? Posisi sekretaris, lagi?”

Sekar menyipitkan mata. “Radja, jangan membuat keputusan terburu-buru. Banyak pelamar yang lebih berpengalaman. Lagipula—”

“Keputusan sudah dibuat,” potong Radja datar, membuat Sekar terdiam—langka sekali ada yang berani memotong ucapannya. Ah, tapi ini Radja.

Djiwa, yang sejak tadi menunduk dan hampir tidak berani mengangkat wajah, meremas ujung rok panjangnya. Ia bisa merasakan semua pasang mata menusuknya.

Tapi Radja, pria itu sama sekali tidak menoleh padanya. Pria itu menjaga ekspresi tetap dingin.

Sekar akhirnya mengalihkan tatapan ke Djiwa. “Kamu yakin bisa kerja? Jangan datang cuma bikin kacau.”

Kaisar menelan ludah, jelas tak senang jika suatu saat Djiwa hanya bikin ulah dan membuatnya malu di hadapan sang kakak, tapi tidak berani membuka suara.

Radja akhirnya bersandar pada kursinya, suara rendahnya kembali terdengar. “Saya tidak akan memilih karyawan secara sembarangan. Kalau saya bilang bisa, berarti dia bisa.”

Semuanya terdiam.

Hanya Djiwa yang jantungnya berdetak tak beraturan—antara takut, gugup, dan sedikit, terharu. Karena untuk pertama kalinya, ada yang membelanya di rumah ini.

Radja tidak menatapnya, tapi kalimat itu terasa seperti perlindungan yang tidak pernah Djiwa dapatkan selama ini.

Makan malam berlanjut, tapi atmosfernya berubah total. Tak ada yang berani membantah jika sudah anak tertua itu membuka suara—bahkan ibunya sendiri.

“Kamu serius, Mas? Mau jadikan Djiwa sekretaris pribadi kamu?” tanya Inggrit begitu pintu kamar tertutup. Makan malam sudah selesai, dan mereka kembali ke kamar.

“Sementara,” jawab Radja singkat. Langkahnya tegas menuju rias untuk meletakkan jam tangan mahalnya di sana.

Inggrit terkekeh kecil.

“Ya walaupun sementara … tetep aja.” Satu alisnya terangkat sinis. “Djiwa itu cuma lulusan D3, loh, Mas. Apa yang kamu harapkan dari kinerja seorang Ahli Madya? Hm?”

Ia mendekat sedikit, suaranya makin meremehkan. “Sekretaris kamu yang cuti aja lulusan S2. Tapi sekarang kamu malah turun level ke Djiwa?”

Inggrit menggeleng, tersenyum tipis penuh cemooh. “Dia itu bakatnya cuma masak, cuci piring, sama beres-beres rumah. Untuk kerjaan kantor? Gak cocok banget!”

Radja tetap diam. Tidak satu pun dari cemoohan itu ia tanggapi. Ia hanya melempar lirikan dingin pada Inggrit lewat pantulan cermin meja rias sambil melepas jam tangannya.

Suara Radja akhirnya terdengar, rendah, datar, namun menampar tanpa perlu meninggikan. “Jangan ukur kemampuan orang lain menggunakan standar sempit milikmu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 09

    “Mas …?” Inggrit baru saja keluar dari kamar mandi setelah buang air besar ketika mendapati ranjang kosong. Alisnya langsung terangkat kesal. Ia menoleh kanan kiri, melihat selimut berantakan tapi tak ada jejak suaminya. “Pasti di ruang kerja,” gumamnya sambil manyun. “Kenapa gak nikah aja sekalian sama laptop-nya, sih?” Ia menghempaskan tubuh ke kasur sambil mendesah panjang, menatap langit-langit. “Aku tidur sendiri lagi malem ini,” _____ Di sisi lain, di kamar hotel yang diterangi lampu utama yang menyala terang, Radja berdiri beberapa meter dari Djiwa. Gadis itu duduk di tepi ranjang, tubuhnya kaku, kedua tangannya meremas seprai. Bola matanya melebar tak percaya melihat sosok pria yang muncul setelah lampu menyala. “Sejak kapan kakekmu dipindah ke hotel?” suara Radja terangkat dingin, ujung bibirnya melengkung sinis. Tatapannya menusuk seperti bilah tipis. “M-Mas Radja.” Djiwa melirik tubuhnya yang hanya dibaluti lingerie tipis, menampilkan warna kulit dan lekukan tubuh

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 08

    ‘Malam ini, aku sudah buat jadwal dengan pria yang aku berikan kartu namanya padamu.’Ucapan Kaisar semalam membuat perut Djiwa terlilit pagi ini. Malam ini, Djiwa tidak bisa kabur lagi. Dia harus bertemu dengan pria yang akan menghamilinya.Djiwa mengusap wajahnya frustasi. “Kalau semisalkan Mami tahu, apa dia gak marah nanti? Apalagi ... kalau anaknya gak mirip sama Mas Kai.”Djiwa merasa tak enak hati jika memberikan keturunan yang tidak sesuai garis darah keluarga Kaisar. Ia merasa terbebani, tapi juga tak ingin mengecewakan siapa pun.“Djiwa.” Gadis itu tersentak ketika namanya dipanggil oleh pemilik wajah tampan namun sedingin es, dengan suara berat dan dalam yang langsungmembuat siapa pun menegakkan punggung. Atasan sekaligus kakak iparnya, Radja.Pria itu menatapnya tajam, sembari mengulurkan sebuah berkas pada Djiwa. Gadis itu segera bangkit dari duduknya dan melangkah cepatmenghampiri Radja.“Scan ini, lalu kirim ke WA pribadi saya dalam bentuk PDF,” ujar Radja dingin, t

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 07

    Radja baru saja tiba di Reinard Grand Corporation, perusahaan besar milik keluarganya yang beroperasi di dalam dan luar negeri. Langkahnya tegas dan berwibawa saat memasuki gedung megah yang tinggi menjulang lima puluh lantai di depannya. Begitu pria matang berusia tiga puluh tiga tahun itu melangkah masuk, suasana lobi langsung berubah. Para karyawan yang sebelumnya asyik berbincang ringan sontak merapikan posisi masing-masing, berdiri lebih tegak, dan memberi jalan untuknya lewat. Aura otoritas Radja memaksa ruangan untuk diam tanpa perlu ia mengucap sepatah kata pun. Kakinya melangkah menuju lift khusus para petinggi perusahaan—lift yang hanya bisa diakses menggunakan kartu identitas eksekutif. Tak sampai satu menit, benda logam persegi panjang itu akhirnya sampai di lantai empat puluh sembilan. Lantai dimana ruangannya berada. Tangannya terulur hendak membuka pintu ruangannya, namun pandangannya terlebih dulu jatuh pada meja kerja sekretaris yang terletak di depan pintu—po

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 06

    “Mas,” panggil Djiwa lirih ketika dirinya dan sang suami masuk ke kamar usai makan malam. Kaisar langsung berbalik badan, menatap Djiwa dengan tatapan dingin dan tajam. Sudut bibir pria itu terangkat membentuk senyum miring. “Pinter kamu sekarang. Kamu tahu kalau Mas Radja itu paling ditakuti keluarga ini, makanya kamu minta bantuan dia.” Djiwa mengerutkan kening, tak paham dengan ucapan sang suami. “Ma-maksud Mas apa?” “Gak usah pura-pura bodoh!” sentak Kaisar dengan nada tinggi, suaranya naik satu oktaf. Ia mengangkat tangannya, dan menunjuk Djiwa tajam. “Kamu pasti ngadu, kan, ke Mas Radja? Kamu pasti ngeluh ke dia, kalau kamu capek dijadikan babu selama ini.” Karena Kaisar pun tahu, meski sikap kakaknya keras—Radja paling tidak tegaan dengan orang yang benar-benar datang padanya sambil mengadu dan menangis. Kaisar yakin, Djiwa melakukan hal tersebut—menurut bayangannya sendiri. “Makanya itu, kamu ngemis-ngemis kerjaan ke Mas Radja supaya bisa bebas dari kerjaan rumah, iya?

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 05

    “Kamu, ya?!” seru Sekar tajam, menunjuknya seolah ia baru saja melakukan kejahatan besar—padahal Djiwa melakukannya dengan sangat hati-hati. “Potong kuku saya gak bener!” Ruangan mendadak senyap—kecuali denyut jantung Djiwa yang serasa memukul-mukul dadanya dari dalam. Radja menoleh sekilas—hanya cukup untuk melihat Djiwa terduduk dan Sekar memegangi jari tangannya dramatis. Ekspresi Radja tetap datar, tanpa satu pun emosi yang bisa dibaca. Sementara Inggrit tersenyum miring. Tatapannya jelas—ia tahu apa yang terjadi barusan bukan kecelakaan. Melainkan ibu mertuanya dengan sengaja melakukan drama itu. Anggita, bocah lima tahun itu, spontan berdiri dari karpet, wajahnya cemas melihat Djiwa terjatuh. Ia hendak berlari menghampiri, tapi suara ibunya memotong tajam. “Duduk, Anggita.” Suara Inggrit dingin dan tegas. Tak menyisakan ruang untuk membantah. Anak kecil itu terhenti, menatap ibunya sejenak, sebelum kembali duduk dan pura-pura bermain—meski matanya masih melirik Djiwa deng

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 04

    “Mas ...,” lirih Djiwa sembari bangkit dari duduknya, tangannya yang gemetar meraih kartu nama itu. “Kenapa harus bahas ini lagi, sih, Mas?” “Kenapa?” tatapan Kaisar semakin tajam. “Oh ... jadi kamu pikir ucapan aku tadi pagi itu cuma main-main? Kamu pikir aku cuma gertak kamu soal biaya rumah sakit kakek kamu, huh?” Djiwa menunduk, jemarinya meremas kuat kartu nama itu sampai hampir kusut. “Mas, tapi … Djiwa gak sanggup,” suaranya pecah, hampir tak terdengar. “Djiwa gak bisa ngelakuin hal kayak gitu.” Kaisar mendekat, langkahnya tenang namun mengancam hingga tak ada jarak di antara mereka. “Kamu harus sanggup,” ujarnya dingin. “Karena kamu gak punya pilihan.” Djiwa mengangkat wajah, matanya berkaca-kaca. “Mas … tolong. Jangan paksa Djiwa kayak gini. Kalau soal biaya rumah sakit, Djiwa—” “Berhenti.” Satu kata, namun cukup untuk membungkamnya. Kaisar menatapnya lama, tajam, seolah menembus ke dalam dada Djiwa yang sudah sesak sejak tadi. “Kamu mau tahu kenapa aku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status