LOGIN“Baik, Pak Elang, bisa.” jawab Dinara tegas meski sebenarnya ada rasa sedikit kesal bercampur bingung.
Elang hanya mengangguk tanpa ekspresi, seperti biasa. Yang Dinara tahu selanjutnya adalah lebih banyak email masuk mengenai proyek Cendana Hills itu. Ada laporan keuangan dengan nominal fantastis, ada pula laporan-laporan lain dengan judul ‘DOKUMEN RAHASIA’ yang dicetak tebal. Kepala Dinara sakit memikirkannya. Ia tidak boleh ceroboh kali ini. Lupa menyerahkan laporan saja dibilang tidak becus, apalagi kalau ia melakukan kesalahan fatal! Sampai malam, kepala Dinara bekerja tanpa jeda. Tanggung jawab baru itu membuatnya sulit tidur. Namun, ada sebuah pinta Elang yang membuatnya terpacu. “Ada bonus besar apabila selesai.” Semua masih menggema, dan kini proyek Cendana Hills resmi berada di pundaknya. Ia tidak bekerja sendirian. Ada beberapa orang yang ia kenal yang juga menangani proyek ini, seperti Julia, sahabatnya dari bagian marketing. Ibu Reva dari bagian HRD juga ikut turun. Mengurusi bagian administrasi ini, Dinara juga harus melakukan komunikasi dengan orang-orang yang terlibat. Sejak diberi tugas ini, setiap harinya Dinara sibuk membereskan laporan-laporan yang diberi. Ada segunung laporan yang menunggu setiap harinya. Selain itu, Dinara juga harus tetap berada di kantor dan menjadi sekretaris Elang yang cekatan di tengah kesibukan barunya. Malam itu pun Dinara sibuk. Ia sedang lembur, sibuk mengurus berkas-berkas penting penyokong proyek Cendana Hills. Berkas-berkas itu harus ada di atas meja Elang besok pagi, maka Dinara betul-betul fokus. Namun, konsentrasinya buyar ketika Iwan muncul dengan wajah cemas. “Mbak Din, tolong jemput Pak Elang di private party!” Dinara mengangkat alis. “Lho, memang mas Iwan mau kemana?” “Saya harus ke dokter sekarang, istri telepon, anak saya panas tinggi! Tolong Mbak Din, sekali ini saja!” Dinara menghela napas. Bukan apa-apa, ia hanya takut pekerjaannya tidak selesai malam ini. Lagipula, Iwan nampaknya benar-benar butuh bantuan Dinara. Biasanya Iwan sigap membantu Elang, namun Dinara memakluminya sebab anaknya demam tinggi. Akhirnya Dinara berdiri. “Ya sudah, saya jemput Bapak dulu. Semoga anaknya cepat sembuh ya, Mas.” Iwan langsung lega. “Makasih banyak, Mbak Din.” “Sama-sama. Tolong kirimkan ke saya lokasi Pak Elang, Mas Iwan.” Dinara menaruh tas di jok motor, membuka lokasi yang dikirim Iwan, lalu melaju menembus malam. Setiba di lokasi, Dinara mengedarkan pandangan. Pesta itu berlokasi di sebuah ballroom hotel mewah. Pesta yang dihadiri orang-orang penting dengan pakaian rapi dan berkilauan. Dinara yang masih mengenakan pakaian formal kantornya tidak terlalu terlihat asing di sana. Tidak butuh berapa lama bagi Dinara untuk menemukan Elang. Dinara mengenali jam tangan yang dikenakan pria itu. Elang mabuk berat, tertelungkup di meja bar. Dinara menggeleng ketika menghampirinya. “Pak...” panggilnya. Dinara menepuk pelan bahu pria itu. Elang mendongak, pandangannya buram namun mengenali Dinara. “Di mana Iwan? Kenapa kamu yang ke sini?” suaranya terdengar sedikit parau. “Mas Iwan ada perlu, Pak. Jadi saya yang jemput. Bapak masih bisa jalan?” “Kamu bisa bawa mobil?” tanyanya mengabaikan pertanyaan Dinara. “Eh... enggak, Pak.” Elang mendengkus, ia tertawa kecil. “Jadi saya yang nyetir? Terus, buat apa kamu ke sini?” Dinara mendesah dalam hati. ‘Ih, mabuk-mabuk tetap ngeselin!’ Dinara pun memutar otaknya. Ia tidak mungkin membawa Elang menggunakan motor. Pria ini terlalu mabuk. Bisa-bisa keduanya malah kecelakaan nanti. Mengingat lokasi pesta ada di dalam sebuah hotel, maka Dinara berniat untuk memesan kamar hotel. Setidaknya untuk semalam, sampai Elang sadar dari pengaruh minuman keras. Dinara pun pamit sebentar untuk menuju meja resepsionis hotel, meski tak yakin apakah Elang dapat mendengarnya. Sementara itu, Elang dapat merasakan tubuhnya memanas, semakin memanas dari kali pertama ia merasakan minuman itu masuk ke dalam tubuhnya. Elang sempat terpikir apakah minumannya telah dimasuki macam-macam…? Tak butuh waktu lama untuk Dinara kembali. Ia telah mengantongi kunci kamar hotel. Dinara pun meminta bantuan salah satu bartender untuk membawa Elang naik ke kamar yang telah dipesan. Si bartender mengambil sisi tubuh Elang, Dinara menopang sisi lainnya. Mereka berjalan pelan menuju lift, hampir menyeret, menembus lampu-lampu pesta yang menyilaukan dan kebisingan yang menusuk telinga. Begitu tiba di depan pintu kamar hotel, Dinara langsung membuka pintunya. Pintu kamar hotel pun terbuka dan tubuh Elang langsung terhuyung maju. Dinara dan bartender tadi memapahnya masuk, menuntunnya hingga ke tepi ranjang. Elang jatuh rebah, berat, napasnya dalam dan terdengar kacau. Bartender yang membantunya itu pun pamit. Pintu lantas tertutup. Kini hanya ada Dinara dan Elang. Tiba-tiba, Dinara merasakan hening terasa terlalu mencekat. Ia berniat untuk meninggalkan Elang setelah ini. Tidak etis rasanya jika ia berada di dalam kamar yang sama dengan seorang pria beristri. Dinara menghembuskan napas. “Pak... bangun dulu,” ia menepuk lengan Elang. Elang menoleh. Gerakannya kecil, tapi tajam. Tatapannya menghantam Dinara. Elang kelihatan bingung, lelah, dan bercampur emosinya sendiri yang berantakan. “Kamu bawa saya ke mana?” suaranya berat. “Kamar hotel, Pak. Seenggaknya Bapak sadar dulu,” jawab Dinara tegas. “Mari, saya bantu ke kamar mandi untuk membasuh wajah.” Elang terkekeh pelan, getir. “Kamu pikir saya mabuk? Saya cuma minum...” Ia berhenti, napasnya tersendat. “Sedikit.” Dinara tidak meladeninya. “Ayo berdiri, Pak.” Mengejutkannya, Elang menurut. Dinara memapahnya, tubuh pria itu berat dan tidak stabil. Mereka berjalan terhuyung menuju kamar mandi. Baru sampai di depan wastafel, wajah Elang mendadak pucat. Ia membungkuk dan memuntahkan semua isi perutnya ke toilet. Dinara menggeleng. Ini yang dimaksud minum hanya ‘sedikit’? Setelah ia yakin Elang selesai dengan isi perutnya, Dinara menuntunnya ke bawah shower. Ia langsung menyalakan shower. Air dingin memercik keras. Elang tersentak. “Dinara...” suaranya serak. Air yang mengucur ikut mengenai bajunya, membuat Dinara basah seketika. Dinara bermaksud mundur, tapi Elang dalam kondisi setengah sadar menjangkau lengannya. Ia mengurung tubuh Dinara antara dirinya dan dinding shower. “Pak…? Dinara tersentak. Air dingin mengguyur mereka berdua. Kemeja Dinara ikut basah, menempel di kulit. “Pak Elang…!” Mereka saling menatap dari jarak berbahaya. Tatapan Elang buram, namun ada emosi gelap di baliknya... campuran alkohol, stres, dan barangkali luka yang belum sempat diproses. “Dinara...” lirihnya sambil membingkai wajah Dinara yang basah. Dinara menelan saliva. “Pak, lepaskan saya…!” Namun Elang justru mendekat. Gerakannya spontan, bukan rencana. Lebih seperti seseorang yang kehilangan pegangan dan mencari sesuatu atau seseorang untuk bersandar. Tanpa disangka, tiba-tiba bibirnya menempel pada bibir Dinara. Bukan ciuman lembut, tapi dorongan kacau seorang pria yang emosinya pecah berantakan. Dinara membeku. Badannya kaku dihantam kepanikan. Ia tidak percaya apa yang sedang terjadi kepadanya. Air dingin terus mengguyur mereka, suara derasnya bercampur dengan nafas Elang yang berat di antara jarak yang nyaris tidak ada. “Pak,” Dinara akhirnya berhasil mendorong pelan dadanya. “Pak Elang... cukup.” Elang menatap Dinara tajam. “Belum.”“Baik, Pak Elang, bisa.” jawab Dinara tegas meski sebenarnya ada rasa sedikit kesal bercampur bingung.Elang hanya mengangguk tanpa ekspresi, seperti biasa. Yang Dinara tahu selanjutnya adalah lebih banyak email masuk mengenai proyek Cendana Hills itu. Ada laporan keuangan dengan nominal fantastis, ada pula laporan-laporan lain dengan judul ‘DOKUMEN RAHASIA’ yang dicetak tebal. Kepala Dinara sakit memikirkannya. Ia tidak boleh ceroboh kali ini. Lupa menyerahkan laporan saja dibilang tidak becus, apalagi kalau ia melakukan kesalahan fatal!Sampai malam, kepala Dinara bekerja tanpa jeda. Tanggung jawab baru itu membuatnya sulit tidur. Namun, ada sebuah pinta Elang yang membuatnya terpacu. “Ada bonus besar apabila selesai.”Semua masih menggema, dan kini proyek Cendana Hills resmi berada di pundaknya.Ia tidak bekerja sendirian. Ada beberapa orang yang ia kenal yang juga menangani proyek ini, seperti Julia, sahabatnya dari bagian marketing. Ibu Reva dari bagian HRD juga ikut turun. M
Dinara terkejut. Namun, ia cepat-cepat mengembalikan ekspresinya. “Ba- baik, Pak Elang.”Dinara membawa dua paperbag berisi makanan dan kopi-kopi itu ke luar ruangan. “Sayang sekali kalau harus dibuang.” Batinnya, “Tapi tadi perintahnya jelas….” Dinara menimbang-nimbang. Ia merasa begitu sayang jika harus membuangnya.Iwan yang sedang memasukkan data di laptopnya, melihat Dinara keluar dengan membawa paperbag yang tadi Karin bawa untuk Elang. “Mbak Din, itu mau dibawa kemana?” tanya Iwan.Dinara menoleh, “Disuruh buang sama Bapak.” katanya sambil mengangkat kedua bahunya. Bukannya terkejut, Iwan malah ketawa kecil sambil menggeleng. Bukan tawa yang meremehkan, tapi seperti seseorang yang sudah terlalu sering melihat hal yang sama.“Kenapa, Mas?” Tanya Dinara heran.Iwan menggeleng, “Enggak, Mbak.”Dinara penasaran dengan reaksi rekannya itu. Ia merasa, ada sesuatu yang Iwan tahu tapi dirinya tidak.“Apa aku kasih orang aja, Mas? Nggak tega mau buang makanan…”“Terserah Mbak aja.” J
Dinara masih terdiam di sana ketika salah satu dari karyawan tersebut berkata, “Hus! Itu gosip lama!”Kemudian kedua karyawan itu bergegas pergi. Sementara itu, Dinara mematung sejenak sebelum ikut berpaling. Selingkuh…? Dinara memang belum pernah bicara banyak dengan Karin, hanya sebatas menyapa sopan. Namun beberapa kali melihat Karin ketika ia sedang datang ke kantor, Dinara selalu melihatnya menyapa para karyawan dengan ramah. Karin juga kerap membelikan makanan atau minuman untuk para karyawan. Selain itu… Karin terlihat begitu serasi bersama Elang. Cincin yang masih disematkan di jari manis keduanya cukup menjadi bukti kuat bagi Dinara. Maka, Dinara cepat-cepat menyingkirkan omongan dua karyawan tadi. Ia pikir, ini hanya gosip semata. Lagipula, Julia juga pernah bilang bahwa sudah biasa ketika ada gosip mengudara di kantor ini. Dinara harus pintar-pintar mengabaikannya agar tidak terseret. Jadi, Dinara cepat mengabaikan pikirannya. *Keesokan paginya, kantor SHG sama sibukn
Sudah dua bulan Dinara bekerja di SHG. Selama dua bulan pun, Dinara belajar bagaimana menyesuaikan ritme Elang Adikara yang melelahkan. Di minggu-minggu pertama, Dinara masih begitu kewalahan. Dinara harus menyaring telepon dan email, menyiapkan dokumen rapat, mengumpulkan data dari berbagai divisi, mengoordinasikan vendor, menyiapkan perjalanan dinas, mendampingi inspeksi villa, serta memastikan semua masalah terselesaikan sebelum sampai ke meja CEO.Kadang, Dinara bekerja hingga kepalanya begitu sakit. Tumpukan berkas yang harus ia urus tak kenal waktu. Mereka menunggunya bahkan hingga akhir pekan.Setiap pagi, Dinara harus mencoba menahan kantuknya apabila bekerja hingga lembur. Di sisi lain, Elang selalu terlihat tenang dan tak terganggu, seolah ia tidak baru bekerja semalaman juga. Terkadang, Dinara betul-betul penasaran dengan cara kerja atasannya itu.Sejak memasuki bulan kedua, Dinara sudah mulai hafal kebiasaan Elang. Elang Adikara datang sekitar pukul delapan lewat enam at
“Saya memang tidak memiliki pengalaman sebagai sekretaris, namun saya percaya bahwa kemampuan saya dalam bidang administrasi dapat memenuhi ekspektasi Pak Elang,” jawab Dinara tegas.Hening menggantung di antara mereka.Udara dalam ruangan itu seperti berhenti bergerak. Bunyi jarum jam di dinding terdengar begitu jelas. Ruang interview luas dengan kaca transparan, tiba-tiba terasa sempit. Dinara bisa merasakan debaran jantungnya sendiri. Namun ia tetap menatap Elang Adikara sekuat mungkin, berusaha terlihat tidak gentar.Setelah itu, Elang hanya menutup map di depannya. “Kamu boleh keluar,” ucapnya singkat.Hanya itu, tidak ada ekspresi yang bisa Dinara baca. Pria itu kemudian mengalihkan pandangannya.Dinara semakin tidak mengerti. Elang Adikara bersikap seolah tidak ada apa-apa, padahal ia baru melontarkan pertanyaan yang begitu merendahkan. Sikap datarnya seperti itu membuat Dinara bertanya-tanya. Apakah ia ditolak? Apa jawabannya kurang sopan dan terkesan angkuh? Saat berdiri d
“Din, rumah Ibu sudah Abang jual.” Kalimat itu, keluar begitu saja dari mulut Ibrahim minggu lalu. Ibrahim adalah satu-satunya kakak laki-laki yang dimiliki Dinara. Sudah seminggu berlalu, tapi pikirannya tetap kusut. Bahkan saat ia duduk menunggu giliran di ruang interview hari ini, kecamuk itu belum juga reda. Dinara menarik nafas pelan, mencoba menenangkan diri namun ia tetap gelisah. Bagaimana tidak? Rumah satu-satunya peninggalan Ibu, lenyap dijual kakaknya bahkan tanpa sepengetahuannya! Alasannya? Untuk membayar hutang pinjaman online, untuk berjudi! Dinara tidak habis pikir. Berulang kali, ia berharap kakaknya bisa berubah, tapi yang ia dapat justru kekecewaan yang semakin dalam. Yang membuatnya semakin sesak, haknya atas warisan itu pun tidak diberikan secara utuh. Ibrahim hanya memberi sekadarnya, seolah-olah dialah yang paling berkuasa atas harta warisan itu. Ketika ia mencoba protes, kakaknya malah bersikap tak peduli. Dan sekarang, rumah itu harus dikosongkan min







