[BAB I] BERAWAL DARI SATU TITIK
_______________
Kakiku melangkah tergesa, sebelum akhirnya berhenti untuk mengetuk pintu yang berdiri di hadapanku.
Aku tak repot menunggu balasan apapun lalu memasuki ruangan dengan belasan mata yang mengikuti gerak-gerikku.
Mr. Maven tidak mengindahkanku, tetap melanjutkan apa yang sedang diucapkannya. Dia tak peduli apakah ada yang terlambat atau bolos, selama semua muridnya menguasai pelajarannya.
Bukan tipe guru yang bertanggung jawab, harus kuakui. Tapi bukan berarti aku peduli.
Selain suara Mr. Maven, cewek-cewek di sampingku membicarakan Brittany—kegilaan gadis itu. Suara beberapa cowok yang mendesis dan mengumpat pelan dengan matanya yang terfokus pada ponselnya.
Novel di tasku keluar secara paksa, aku sedang tidak ingin bicara atau tertawa cekikikan bersama yang lain.
Tidak setelah melihat Brian bersama pacar barunya di ruang kesehatan.
Tentu saja tidak.
Sebenarnya bukan karena aku menyukainya, temanku yang bodoh yang merelakan dirinya sakit hati demi setumpuk daging bernama Brian.
Aku tahu dia sengaja membawa pacar barunya ke ruang kesehatan karena tahu Lithia yang bertugas hari ini.
Manusia sialan.
Dan satu lagi manusia bodoh lainnya yang membuatku terlambat datang ke kelas. Menyeretku ketika aku sedang menikmati makan siangku bersama Cindy, hanya untuk memintaku menemani Lithia di ruang kesehatan.
Awalnya aku menolak, mengapa tidak dia saja yang menemani Lithia.
Tapi James memohon padaku.
Walau aku sudah memang tidak memiliki perasaan apapun ke James, tetap saja aku tidak bisa membuatnya merana.
Lucu. Merana.
Hal paling bodoh yang kulakukan adalah ketika berpikir bahwa James memerhatikanku, menyukaiku. Setelah mendengar kabar James ditolak Lithia, dari Cindy yang satu kelas dengannya—aku berbeda kelas dengan Cindy dan Lithia.
Tentu saja aku merana.
Aku kan selalu bersama Lithia ke mana pun. Tentu saja dia memerhatikanku, bukan, memerhatikan Lithia yang bersamaku.
Sungguh bodoh.
Tapi semua itu telah berlalu, karena aku memang selalu begitu.
Aku tak pernah menyukai seseorang lebih dari sebulan, aku terlalu cepat bosan.
Yang jelas, aku menemani Lithia hingga mereka pergi.
Lebih tepatnya aku berteriak pada mereka karena berpacaran di ruang kesehatan.
Pacar Brian tentu saja marah dan menghinaku. Namun Brian hanya menatapku dan mengajak pacarnya ke tempat lain.
"Kau tak harus melindungiku," lirih Lithia pelan. "Kau tahu Brian te—"
Aku memotongnya cepat, enggan mendengar kata yang ingin dikeluarkannya, "Aku tak pernah ingat punya teman sebrengsek itu."
Sayangnya, manusia brengsek itu dulu memang temanku, walau aku tak ingin mengingatnya sama sekali.
"Maaf aku memaksamu," bisik James di telingaku, membuatku tersentak pelan.
"Lithia bilang dia tak bisa menerimaku, dia masih menyukai orang itu. Tapi aku tidak bisa membiarkan dia melihat orang yang disukainya...."
James diam sejenak.
Aku juga tak berniat menghiburnya atau hanya sekedar memberi kalimat positif, karena dirinya tahu dia tak mungkin memiliki harapan.
"Aku tak bisa melihat Brian menyakitinya."
Kadang aku berpikir mengapa hidupku dipenuhi segala romansa menyedihkan sekaligus menggelikan.
Tidak bisakah orang-orang menikmati hidup dengan bebas, tanpa perlu memikirkan orang lain.
Aku menoleh, menatap James yang berusaha menutupi rasa sedihnya.
"Lain kali jangan seret aku ke dalam masalah percintaanmu, kau tahu aku benci drama berlebihan."
"Aku tahu."
Aku tak lagi menatapnya atau memedulikan permintaan maafnya. Lithia sudah dengan jelas memintaku untuk tidak melindunginya dari Brian.
Setidaknya dia melihat senyum Brian, katanya.
Cewek bodoh itu.
Aku tak bisa berkonsentrasi pada novelku.
Demi apapun, aku ingin menghilang saja.
Dan itulah yang kulakukan, keluar dari kelas dan menghilang di belokan.
***
Mungkin bukan contoh yang baik, aku bolos dan membawa diriku ke game center. Bermain permainan arkade. Satu saja, danz base. Setidaknya aku bisa menari sambil mengumpat kalau gerakanku salah. Aku tidak peduli jika ada yang memerhatikan atau apa. Rasa maluku telah hilang ketika memainkan ini. Aku tak terlalu mengindahkan ponselku yang berkedip. Tidak terlalu ingin berbicara sama siapa pun. "Sudah kuduga," ucap suara di belakangku. "Cindy, dia begini setelah berteriak pada Brian dan Britt." "Kadang aku tak tahu yang bodoh di sini itu kau atau dia," oceh Cindy jelas mengejek kami. "Kalau kau
Kami bertiga membicarakan kebodohan Sally di kantin tadi siang ketika berjalan limbung ke rumah Cindy karena kami saling merangkul. Aku tak tahu mengapa seseorang seperti Sally diperbolehkan sekolah di sini dan bukannya sekolah khusus. Maksudku tidak jahat, tapi ada kalanya kemampuan Sally tidak cukup. Apalagi orang-orang bodoh semacam Brittany dan Lacey senang mempermainkan orang lain. Aku tak paham mengapa Brian berpacaran dengan cewek semacam itu. "Hei, Cindy," sapa suara yang akhir-akhir ini begitu familiar di telingaku. Nanda menatapku sebelum menambahkan, "Hei juga, Cath." Aku tidak melepaskan pandanganku darinya. Memerhatikan Nanda duduk di sofa dengan laptop dan buku berhamburan di meja persis di hadapannya.
Kami tenggelam dalam pekerjaan masing-masing. Bacaan ini menarik untuk dibaca, aku tidak keberatan. Kebanyakan berkaitan dengan halusinasi. Aku juga tahu beberapa penyakit mental jadi aku menuliskan nama penyakit yang kutahu. Setidaknya membantu Nanda sedikit agar tidak perlu membuang tenaga membaca semua buku ini. Saking asyiknya membaca, aku hampir lupa bahwa Nanda duduk di seberangku. Jika bukan karena Lithia berbicara, aku sudah berada di dimensi lain. "Cath, ibuku menyuruh pulang." Aku mengangkat tanganku, melihat jam menunjukkan pukul setengah sepuluh lebih sedikit. Lengank
"Kau bertahan pada temanmu sejak awal." Aku menyipitkan mata, menatapnya curiga. "Dari mana kau tahu?" "Cindy. Dia membicarakan segala hal padaku, termasuk kau dan Lith." "Karena mereka selalu menarikku bersama mereka," ungkapku. Aku akhirnya berhasil menenangkan diri, otakku kembali bekerja dengan normal dan kemampuan observasiku juga kembali seperti biasanya. "Tau-tau, itu menjadi kebiasaan." Aku mengamati sekitar. Rumah-rumah dengan cahaya, jalanan yang gelap. Aku hafal daerah ini. Sebentar lagi kami akan sampai.
Keesokan paginya, aku berangkat lebih cepat dari biasanya. Ibu dan adikku berada di meja makan ketika aku keluar rumah. Aku tidak pernah suka bertatap muka dengan ibu, yang ada kami selalu bertengkar. Aku tak ingin membuat keributan di pagi buta, tidak di depan adikku yang nantinya malah akan memperparah masalah yang sepele itu. Kami bertiga ini tidak seharusnya tinggal dalam satu rumah, sangat berbahaya. Aku tidak memakai apapun untuk ke sekolah, rumahku tidak sejauh Cindy atau pun Lithia. Cukup berjalan kaki. Ketika sampai aku hanya meletakkan tasku di kelas dan berjalan menuju kafetaria. Sarapan itu penting. Terutama hari ini. Kelas pertama adalah kalkulus, aku tidak ingin terlihat bodoh di depan Mrs. Nessie. Dia sangat sulit dibuat senang dan aku tidak ingin mengulang pelajaran ini. Roti isilah yang terpilih sebagai sarapanku hari ini, belum termasuk roti bakar dan susu hangat. Aku berusaha menjaga tingkah lakuku ketika Brian dan Britt memasuki kafetaria. Aku sada
"Kudengar kau menolak cowok yang disukai Cindy." James mencegat samping mejaku setelah kelas Mrs. Nessie selesai. Aku hanya diam duduk di kursi, sama sekali tak mengindahkannya. Gosip itu ternyata memang cepat tersebar dan menyampaikan fakta yang salah. Maksudku, jika orang lain tidak tahu tentu mereka juga berpikir yang Cindy maksud adalah cowok yang disukainya. Tentu saja Cindy menyukai Nanda, tapi dalam artian yang berbeda. James menggeser kursi untuk duduk di dekat mejaku. "Aku tau kau memang agak kurang ajar. Tapi yang ini kau terlalu kurang ajar." Aku menatapnya datar. Memerhatikan setiap sudut wajahnya, tak mengerti mengapa aku pernah menyukai cowok ini. Dia memang tampan, tapi dia tidak setampan Nanda. "Coba saja kalau kau berani mengadu tentang Lith padaku nanti." James tersenyum padaku, dia kelihatan agak konyol. "Maaf, aku salah omong." Lanjutnya, tak lupa menghapus senyum bodoh itu dari wajahnya. "Tapi benar kau menolak cowok yang disukai Cindy?" Aku
"Apa-apaan, sialan?!" Aku mengumpat sambil memberontak melepaskan diri. Tapi James lebih kuat jadi aku tetap terseret bersamanya. Dia membawaku ke restoran cepat saji di seberang sekolah. "Aku traktir," katanya. Kemudian seenak jidat memesan makanan untukku. "Aku tidak mau makan." Sampai kapan kau mau melakukan ini .... "Kau belum makan siang," katanya tak mengindahkanku. Dia menyeretku duduk dan membawa makanan ke meja. Kalau dipikir-pikir, sudah lama aku tidak makan di sini. Walau hanya di seberang jalan. Biasanya aku memilih makan di kafetaria atau di rumah Cindy pesan antar. "Sudah kubilang aku tak mau berteman denganmu." James menyodorkan hotdog padaku tapi aku tak mengambilnya. Lalu dia memaksaku, seperti Cindy. Dia selalu memaksaku. "Aku tahu kau tidak akan makan sampai besok pagi di kafetaria, jadi aku akan menemanimu makan siang ini. Makan, Cath." Jadi aku menggigit hotdog-nya sekali. "Cindy sudah cerita padaku," katanya lagi. "Dia memintaku memastikan k
Sebuah sentuhan membuatku menoleh. Petugas perpustakaan menyodorkan tasku, juga tas yang tidak kukenal. "Ini tasmu dan tasnya." Aku tidak berkata apa-apa selain menerima kedua tas itu dengan tangan gemetar. Aku ikut masuk ke dalam ambulans. Archer dibaringkan di kasur dan petugas ambulans sibuk memasang alat pernapasan, juga menghentikan pendarahannya. Tanpa sadar aku menggenggam tangannya dengan tanganku yang masih gemetar. Archer masih dalam keadaan sadar, karena aku merasakan tangannya yang kaget akibat genggamanku. "Kau akan baik-baik saja," kataku pelan. Aku bisa merasakan genggamannya, walau begitu lemah. Pikiranku tidak fokus, tapi kuusahakan agar tidak tampak di wajahku. Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan. Sangat banyak. Aku bahkan tak peduli alasan perasaan aneh ini membawaku pada Archer. Aku tak bisa peduli dalam keadaan ini. Aku menemani Archer di ruang darurat. Menjawab pertanyaan dokter yang bisa kujawab. Aku juga mencoba menghubungi