"Kau bertahan pada temanmu sejak awal."
Aku menyipitkan mata, menatapnya curiga.
"Dari mana kau tahu?"
"Cindy. Dia membicarakan segala hal padaku, termasuk kau dan Lith."
"Karena mereka selalu menarikku bersama mereka," ungkapku.
Aku akhirnya berhasil menenangkan diri, otakku kembali bekerja dengan normal dan kemampuan observasiku juga kembali seperti biasanya.
"Tau-tau, itu menjadi kebiasaan."
Aku mengamati sekitar.
Rumah-rumah dengan cahaya, jalanan yang gelap. Aku hafal daerah ini.
Sebentar lagi kami akan sampai.
Paling-paling ibuku sudah tidur, mungkin hanya adikku yang masih bangun dan bermain ponselnya.
"Jadi intinya, harus ada yang mendobrak masuk."
Aku menoleh, mengernyit karena kata-katanya yang terdengar samar.
Sepertinya dia membicarakan sesuatu namun aku tidak begitu mendengarnya.
Mobilnya berhenti.
Dia menoleh padaku, kami saling pandang.
"Aku ingin mencoba mendobrak masuk, walau sepertinya tidak perlu membuang tenaga sekarang."
"Maksud kau?" tanyaku kebingungan.
Kami sudah sampai di depan rumahku tapi perkataan Nanda menahanku keluar mobil.
"Aku tau kau menyukaiku."
Dia tersenyum sambil mengatakannya.
Agak gelap, tapi aku tahu dia tersenyum. Dan wajahku memerah lagi.
"Sepertinya aku juga menyukaimu."
Kami masih saling tatap.
Mulutku terbuka hendak menjawabnya namun seperti kehilangan kekuatan untuk mengeluarkan suara—tidak, seperti ada yang menahanku untuk tidak mengatakan apapun itu yang hendak kuucapkan.
Jadi aku menutup mulutku lagi.
Ingatan manis ketika kami bercakap-cakap di kafe kembali muncul di kepalaku.
Seperti kotak musik yang menenangkan.
Sebelumnya aku tidak terlalu yakin apa aku memang menyukai Nanda, sekarang aku yakin.
"Masuklah. Aku—"
"Tidak bisa," potongku tiba-tiba.
Selain ingatan bersama Nanda, ingatan lainnya juga bermunculan.
Seolah mengingatkanku untuk berhati-hati.
Mengingatkanku untuk tidak salah mengambil langkah.
Wajahku kembali normal, lebih tepatnya kaku.
Biasanya aku tidak seperti ini.
Entah kenapa, perasaan aneh yang sudah lama tidak muncul itu muncul sekarang.
Mengontrolku penuh.
Aku akan menyesal. Jika aku bersama orang ini, aku benar-benar akan menyesal.
Itu membuatku menatap Nanda dingin, meredupkan binar di mataku.
Terakhir kali aku merasakan perasaan aneh ini dan mengabaikannya sekuat tenaga, aku menjadi tidak bisa ingat dengan jelas kehidupan SMP-ku.
Setelah itu, perasaan aneh ini tidak pernah muncul lagi.
Sampai sekarang.
Aku kembali bicara ketika melihat pertanyaan di wajahnya.
"Kau harus berhenti menyukaiku. Terima kasih sudah mengantarku."
Lalu aku keluar dari mobil begitu saja, memasuki pekarangan rumah dan menggeledah tasku mencari kunci pintu.
Perasaan aneh ini memudar.
Hanya saja, aku masih bisa merasakan keberadaannya seolah perasaan aneh ini tahu aku akan mengacau.
Maksudku, ayolah, perasaan aneh ini selalu menuduhku yang tidak-tidak.
Aku memasuki kamarku dan merebahkan tubuhku ke kasur.
Semuanya sudah tidur, termasuk adikku yang sekarang kamarnya sudah gelap.
Yang Nanda ucapkan barusan, aku tidak menyangka dia juga sama blak-blakannya.
Mungkin saja dia mengatakannya hanya karena yakin aku memang menyukainya.
Aku yakin Cindy mengatakan semuanya.
Aku benar-benar ingin menerimanya.
Kita saling suka, apa salahnya jika kita bersama—tapi perasaan aneh terkutuk ini mencegahku.
Maksudku, ini tubuhku.
Jangan seenaknya diambil alih seolah ini tubuh bersama.
Sebenarnya aku bahkan tak tahu kenapa aku akan menyesal nantinya.
Perasaan aneh ini tidak punya mulut—seperti dia mau memberitahu aku saja, yang aku yakin dia tak sudi melakukannya sekali pun dia punya mulut.
Dia sangat menyebalkan, padahal aku saja yang menyebalkan itu sudah bikin pusing.
***
Keesokan paginya, aku berangkat lebih cepat dari biasanya. Ibu dan adikku berada di meja makan ketika aku keluar rumah. Aku tidak pernah suka bertatap muka dengan ibu, yang ada kami selalu bertengkar. Aku tak ingin membuat keributan di pagi buta, tidak di depan adikku yang nantinya malah akan memperparah masalah yang sepele itu. Kami bertiga ini tidak seharusnya tinggal dalam satu rumah, sangat berbahaya. Aku tidak memakai apapun untuk ke sekolah, rumahku tidak sejauh Cindy atau pun Lithia. Cukup berjalan kaki. Ketika sampai aku hanya meletakkan tasku di kelas dan berjalan menuju kafetaria. Sarapan itu penting. Terutama hari ini. Kelas pertama adalah kalkulus, aku tidak ingin terlihat bodoh di depan Mrs. Nessie. Dia sangat sulit dibuat senang dan aku tidak ingin mengulang pelajaran ini. Roti isilah yang terpilih sebagai sarapanku hari ini, belum termasuk roti bakar dan susu hangat. Aku berusaha menjaga tingkah lakuku ketika Brian dan Britt memasuki kafetaria. Aku sada
"Kudengar kau menolak cowok yang disukai Cindy." James mencegat samping mejaku setelah kelas Mrs. Nessie selesai. Aku hanya diam duduk di kursi, sama sekali tak mengindahkannya. Gosip itu ternyata memang cepat tersebar dan menyampaikan fakta yang salah. Maksudku, jika orang lain tidak tahu tentu mereka juga berpikir yang Cindy maksud adalah cowok yang disukainya. Tentu saja Cindy menyukai Nanda, tapi dalam artian yang berbeda. James menggeser kursi untuk duduk di dekat mejaku. "Aku tau kau memang agak kurang ajar. Tapi yang ini kau terlalu kurang ajar." Aku menatapnya datar. Memerhatikan setiap sudut wajahnya, tak mengerti mengapa aku pernah menyukai cowok ini. Dia memang tampan, tapi dia tidak setampan Nanda. "Coba saja kalau kau berani mengadu tentang Lith padaku nanti." James tersenyum padaku, dia kelihatan agak konyol. "Maaf, aku salah omong." Lanjutnya, tak lupa menghapus senyum bodoh itu dari wajahnya. "Tapi benar kau menolak cowok yang disukai Cindy?" Aku
"Apa-apaan, sialan?!" Aku mengumpat sambil memberontak melepaskan diri. Tapi James lebih kuat jadi aku tetap terseret bersamanya. Dia membawaku ke restoran cepat saji di seberang sekolah. "Aku traktir," katanya. Kemudian seenak jidat memesan makanan untukku. "Aku tidak mau makan." Sampai kapan kau mau melakukan ini .... "Kau belum makan siang," katanya tak mengindahkanku. Dia menyeretku duduk dan membawa makanan ke meja. Kalau dipikir-pikir, sudah lama aku tidak makan di sini. Walau hanya di seberang jalan. Biasanya aku memilih makan di kafetaria atau di rumah Cindy pesan antar. "Sudah kubilang aku tak mau berteman denganmu." James menyodorkan hotdog padaku tapi aku tak mengambilnya. Lalu dia memaksaku, seperti Cindy. Dia selalu memaksaku. "Aku tahu kau tidak akan makan sampai besok pagi di kafetaria, jadi aku akan menemanimu makan siang ini. Makan, Cath." Jadi aku menggigit hotdog-nya sekali. "Cindy sudah cerita padaku," katanya lagi. "Dia memintaku memastikan k
Sebuah sentuhan membuatku menoleh. Petugas perpustakaan menyodorkan tasku, juga tas yang tidak kukenal. "Ini tasmu dan tasnya." Aku tidak berkata apa-apa selain menerima kedua tas itu dengan tangan gemetar. Aku ikut masuk ke dalam ambulans. Archer dibaringkan di kasur dan petugas ambulans sibuk memasang alat pernapasan, juga menghentikan pendarahannya. Tanpa sadar aku menggenggam tangannya dengan tanganku yang masih gemetar. Archer masih dalam keadaan sadar, karena aku merasakan tangannya yang kaget akibat genggamanku. "Kau akan baik-baik saja," kataku pelan. Aku bisa merasakan genggamannya, walau begitu lemah. Pikiranku tidak fokus, tapi kuusahakan agar tidak tampak di wajahku. Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan. Sangat banyak. Aku bahkan tak peduli alasan perasaan aneh ini membawaku pada Archer. Aku tak bisa peduli dalam keadaan ini. Aku menemani Archer di ruang darurat. Menjawab pertanyaan dokter yang bisa kujawab. Aku juga mencoba menghubungi
Lithia mengangkat panggilanku dan memberikan sapaan dengan pertanyaan tanpa habis. Aku tak menjawab satu pun pertanyaannya. "Pinjamkan aku baju, Lith. Tolong antarkan ke rumah sakit." 'Rumah sakit? Apa yang kau lakukan di sana?' "Akan kujelaskan di sini," kataku lalu memutuskan panggilan. Aku kembali memerhatikan tanganku yang berdarah. Ini darah Archer. "Kau berhutang cerita padaku," kataku, menatap Archer yang menutup matanya. Aku tahu dia tidak benar-benar tidur. Aku berjalan menuju toilet untuk membersihkan darahnya dariku. Aku tidak ingin membuat Lithia heboh karena penampilanku. Tidak terlalu lama hingga Lithia datang bersama pakaian bersih. "Apa yang terjadi?" tanyanya berusaha untuk tidak histeris. "Kau berdarah." Aku tersenyum. "Bukan darahku." Aku mengganti seragamku dengan kaos navi polos dan rok putih selutut. Aku ingin protes tentang rok ini, tapi aku mengurungkannya. Setidaknya diriku yang sekarang sudah layak dilihat. "Apa yang terjadi?" tanya Lithi
Aku kembali ke ruangan Archer. Aku telah mengecek wajahku di cermin sebelum kembali, setidaknya aku tidak terlihat seperti telah menangis. Dia masih terlelap di kasur, membuatku merasa lega. Aku berjalan perlahan agar tidak membangunkannya. Lalu duduk di sampingnya. Jemariku perlahan memeluk jari kelingkingnya, takut membuatnya terbangun. Aku memerhatikannya untuk beberapa saat, kemudian tersadar jika badanku juga lelah. Aku merebahkan kepalaku di sisi kasurnya yang kosong, jemariku masih menggenggam kelingkingnya. Tak lama hingga aku ikut terlelap. Saat aku bangun, kurasakan ada kain yang menutupiku.
Selama menunggu Cindy dan Lithia menjemputku, aku hanya menatap bayanganku di cermin toilet rumah sakit. Entah berapa lama. Aku juga memberitahu adikku bahwa aku tidur di tempat temanku, meminta maaf karena lupa memberitahu lebih cepat. Namun yang menjemputku justru Nanda. Terkutuklah Cindy dan Lithia. Dia juga menungguku berganti sebelum mengantarkanku ke sekolah. "Aku ingin meminta maaf," katanya di perjalanan. "Kupikir kau juga menyukaiku." "Aku memang menyukaimu," kataku pelan. "Namun seperti yang kubilang, perasaanku tidak akan bertahan lama."
"Well, kalian tidak pandai berbohong," ejekku. "Kau bahkan juga tidak bisa menyamarkan niatmu padanya," ringis Cindy pelan. Tapi aku mendengarnya. Aku mengelak, "Bukannya kau yang menceritakan bahwa aku suka dia." "Mana mungkin aku menceritakan hal seperti itu padanya," balas Cindy. Lithia memijat kepalanya, tapi tak menengahi kami. "Kalau bukan kau siapa lagi?" "Dia tahu sendiri, Cath. Aku juga kaget ketika dia kembali dan mengatakan kau menolaknya. Maksudku, dia bodoh atau gila?!" "Keduanya," kataku sambil terkekeh. "Setidaknya senyumnya manis." "Oh, Cath. Aku minta maaf kemaren membentakmu," ucap Cindy lalu memelukku. "Nanda tidak pernah membahas tentang percintaannya apalagi mengatakan orang yang disukanya. Aku kaget saja." Aku membalas pelukannya erat. "Aku juga minta maaf, seharusnya mulutku perlu diberi sedikit penyaring." Kami memisahkan diri ketika mendengar teriakan dari luar. Spontan saja kami keluar kelas dan mencari sumber suara. Entah mengapa aku seperti