Keesokan paginya, aku berangkat lebih cepat dari biasanya.
Ibu dan adikku berada di meja makan ketika aku keluar rumah.
Aku tidak pernah suka bertatap muka dengan ibu, yang ada kami selalu bertengkar.
Aku tak ingin membuat keributan di pagi buta, tidak di depan adikku yang nantinya malah akan memperparah masalah yang sepele itu.
Kami bertiga ini tidak seharusnya tinggal dalam satu rumah, sangat berbahaya.
Aku tidak memakai apapun untuk ke sekolah, rumahku tidak sejauh Cindy atau pun Lithia. Cukup berjalan kaki.
Ketika sampai aku hanya meletakkan tasku di kelas dan berjalan menuju kafetaria.
Sarapan itu penting. Terutama hari ini.
Kelas pertama adalah kalkulus, aku tidak ingin terlihat bodoh di depan Mrs. Nessie. Dia sangat sulit dibuat senang dan aku tidak ingin mengulang pelajaran ini.
Roti isilah yang terpilih sebagai sarapanku hari ini, belum termasuk roti bakar dan susu hangat.
Aku berusaha menjaga tingkah lakuku ketika Brian dan Britt memasuki kafetaria.
Aku sadar mereka melihatku lalu mengabaikanku. Aku juga berusaha mengabaikan keberadaan mereka.
Tidak terlalu banyak orang pagi ini, hanya cekikikan Britt yang mengganggu ketenanganku.
"Catherine!"
Juga teriakan Cindy.
Suaranya lebih dulu terdengar sebelum tubuhnya memasuki kafetaria.
Dia bergerak gesit menujuku. Tak mengindahkan hal lain selain aku, Cindy terlihat kesal.
"Apa kau harus sekasar itu, Cath? Kau menolaknya begitu saja."
Omongan Cindy membuatku teringat pada Nanda, juga kejadian tadi malam.
Harus kuakui aku memang agak kasar.
Tapi itu bukan aku, percayalah.
"Seperti yang dikatakannya," kataku berusaha terlihat tidak peduli. Aku menelan roti isiku sebelum berkata, "Aku tahu perasaanku tidak akan bertahan lama."
Suara cekikikan Britt masih terdengar dan sungguh, itu terdengar sangat menjengkelkan.
Seharusnya mereka pergi ke ruangan kosong atau tidak perlu pergi ke sekolah.
Cindy memerhatikanku makan, aku yang seolah tidak terganggu karenanya.
Maksudku, apa dia bahkan akan percaya jika aku bilang yang menolak Nanda itu bukan aku?
Tentu saja tidak.
Apa lagi yang bisa kukatakan.
"Dengar, Cath. Aku melakukannya karena Nanda juga menyukaimu."
"Kau tahu aku—"
"Dia mengatakan dia menyukaimu, dia tak pernah menyukai siapa pun sebelumnya!"
Cindy membentakku, napasnya memburu.
"Aku bisa apa."
Seisi kafetaria menatap kami, Cindy terlihat tidak peduli sama sekali.
"Setidaknya kau tidak perlu memperlakukannya seperti itu."
Aku menahan napas.
Cindy meninggalkanku jelas dalam keadaan marah besar.
Aku tidak tahu dia sedekat itu dengan Nanda, dia tak pernah berkata apa-apa.
Dan aku tahu aku berbuat kesalahan lagi. Aku menghindari masalah A sekaligus menciptakan masalah B.
Bagus sekali.
Kerja bagus untukmu juga, perasaan aneh terkutuk.
Jangan pura-pura menghilang, aku tahu kau mendengarku.
Kafetaria semakin ramai tapi aku masih belum bergerak dari tempatku.
Bergerak pelan menghabiskan sarapanku, bersikap acuh pada sekitar.
Kali ini Lithia yang menyusulku, dirinya menatapku pasrah.
Dia duduk di hadapanku tanpa berkata apa-apa. Membiarkanku menghabiskan roti bakar terakhirku.
Menjelang suapan terakhirku, akhirnya aku berhasil mengarang cerita yang bisa dengan mudah untuk dipercayai dibandingkan cerita tubuhku diambil alih alien.
"Tidak akan pernah berakhir baik, semuanya," kataku datar. "Belum pernah, Lith.”
“Tadi malam sepertinya kita berdua yang terlalu mendorongmu.”
“Aku tak ingin membuat kita canggung karena nantinya aku berakhir menjadi mantan dari sepupunya—maksudku, sudah pasti alasan kita putus itu karena akunya yang bosan duluan,” aku mendesah, “Wow, aku terdengar benar-benar jalang.”
Bel berbunyi, kelas akan segera dimulai.
Lithia merangkulku dan membantuku bangun sambil berbisik di telingaku.
"Cindy akan memaafkanmu."
***
"Kudengar kau menolak cowok yang disukai Cindy." James mencegat samping mejaku setelah kelas Mrs. Nessie selesai. Aku hanya diam duduk di kursi, sama sekali tak mengindahkannya. Gosip itu ternyata memang cepat tersebar dan menyampaikan fakta yang salah. Maksudku, jika orang lain tidak tahu tentu mereka juga berpikir yang Cindy maksud adalah cowok yang disukainya. Tentu saja Cindy menyukai Nanda, tapi dalam artian yang berbeda. James menggeser kursi untuk duduk di dekat mejaku. "Aku tau kau memang agak kurang ajar. Tapi yang ini kau terlalu kurang ajar." Aku menatapnya datar. Memerhatikan setiap sudut wajahnya, tak mengerti mengapa aku pernah menyukai cowok ini. Dia memang tampan, tapi dia tidak setampan Nanda. "Coba saja kalau kau berani mengadu tentang Lith padaku nanti." James tersenyum padaku, dia kelihatan agak konyol. "Maaf, aku salah omong." Lanjutnya, tak lupa menghapus senyum bodoh itu dari wajahnya. "Tapi benar kau menolak cowok yang disukai Cindy?" Aku
"Apa-apaan, sialan?!" Aku mengumpat sambil memberontak melepaskan diri. Tapi James lebih kuat jadi aku tetap terseret bersamanya. Dia membawaku ke restoran cepat saji di seberang sekolah. "Aku traktir," katanya. Kemudian seenak jidat memesan makanan untukku. "Aku tidak mau makan." Sampai kapan kau mau melakukan ini .... "Kau belum makan siang," katanya tak mengindahkanku. Dia menyeretku duduk dan membawa makanan ke meja. Kalau dipikir-pikir, sudah lama aku tidak makan di sini. Walau hanya di seberang jalan. Biasanya aku memilih makan di kafetaria atau di rumah Cindy pesan antar. "Sudah kubilang aku tak mau berteman denganmu." James menyodorkan hotdog padaku tapi aku tak mengambilnya. Lalu dia memaksaku, seperti Cindy. Dia selalu memaksaku. "Aku tahu kau tidak akan makan sampai besok pagi di kafetaria, jadi aku akan menemanimu makan siang ini. Makan, Cath." Jadi aku menggigit hotdog-nya sekali. "Cindy sudah cerita padaku," katanya lagi. "Dia memintaku memastikan k
Sebuah sentuhan membuatku menoleh. Petugas perpustakaan menyodorkan tasku, juga tas yang tidak kukenal. "Ini tasmu dan tasnya." Aku tidak berkata apa-apa selain menerima kedua tas itu dengan tangan gemetar. Aku ikut masuk ke dalam ambulans. Archer dibaringkan di kasur dan petugas ambulans sibuk memasang alat pernapasan, juga menghentikan pendarahannya. Tanpa sadar aku menggenggam tangannya dengan tanganku yang masih gemetar. Archer masih dalam keadaan sadar, karena aku merasakan tangannya yang kaget akibat genggamanku. "Kau akan baik-baik saja," kataku pelan. Aku bisa merasakan genggamannya, walau begitu lemah. Pikiranku tidak fokus, tapi kuusahakan agar tidak tampak di wajahku. Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan. Sangat banyak. Aku bahkan tak peduli alasan perasaan aneh ini membawaku pada Archer. Aku tak bisa peduli dalam keadaan ini. Aku menemani Archer di ruang darurat. Menjawab pertanyaan dokter yang bisa kujawab. Aku juga mencoba menghubungi
Lithia mengangkat panggilanku dan memberikan sapaan dengan pertanyaan tanpa habis. Aku tak menjawab satu pun pertanyaannya. "Pinjamkan aku baju, Lith. Tolong antarkan ke rumah sakit." 'Rumah sakit? Apa yang kau lakukan di sana?' "Akan kujelaskan di sini," kataku lalu memutuskan panggilan. Aku kembali memerhatikan tanganku yang berdarah. Ini darah Archer. "Kau berhutang cerita padaku," kataku, menatap Archer yang menutup matanya. Aku tahu dia tidak benar-benar tidur. Aku berjalan menuju toilet untuk membersihkan darahnya dariku. Aku tidak ingin membuat Lithia heboh karena penampilanku. Tidak terlalu lama hingga Lithia datang bersama pakaian bersih. "Apa yang terjadi?" tanyanya berusaha untuk tidak histeris. "Kau berdarah." Aku tersenyum. "Bukan darahku." Aku mengganti seragamku dengan kaos navi polos dan rok putih selutut. Aku ingin protes tentang rok ini, tapi aku mengurungkannya. Setidaknya diriku yang sekarang sudah layak dilihat. "Apa yang terjadi?" tanya Lithi
Aku kembali ke ruangan Archer. Aku telah mengecek wajahku di cermin sebelum kembali, setidaknya aku tidak terlihat seperti telah menangis. Dia masih terlelap di kasur, membuatku merasa lega. Aku berjalan perlahan agar tidak membangunkannya. Lalu duduk di sampingnya. Jemariku perlahan memeluk jari kelingkingnya, takut membuatnya terbangun. Aku memerhatikannya untuk beberapa saat, kemudian tersadar jika badanku juga lelah. Aku merebahkan kepalaku di sisi kasurnya yang kosong, jemariku masih menggenggam kelingkingnya. Tak lama hingga aku ikut terlelap. Saat aku bangun, kurasakan ada kain yang menutupiku.
Selama menunggu Cindy dan Lithia menjemputku, aku hanya menatap bayanganku di cermin toilet rumah sakit. Entah berapa lama. Aku juga memberitahu adikku bahwa aku tidur di tempat temanku, meminta maaf karena lupa memberitahu lebih cepat. Namun yang menjemputku justru Nanda. Terkutuklah Cindy dan Lithia. Dia juga menungguku berganti sebelum mengantarkanku ke sekolah. "Aku ingin meminta maaf," katanya di perjalanan. "Kupikir kau juga menyukaiku." "Aku memang menyukaimu," kataku pelan. "Namun seperti yang kubilang, perasaanku tidak akan bertahan lama."
"Well, kalian tidak pandai berbohong," ejekku. "Kau bahkan juga tidak bisa menyamarkan niatmu padanya," ringis Cindy pelan. Tapi aku mendengarnya. Aku mengelak, "Bukannya kau yang menceritakan bahwa aku suka dia." "Mana mungkin aku menceritakan hal seperti itu padanya," balas Cindy. Lithia memijat kepalanya, tapi tak menengahi kami. "Kalau bukan kau siapa lagi?" "Dia tahu sendiri, Cath. Aku juga kaget ketika dia kembali dan mengatakan kau menolaknya. Maksudku, dia bodoh atau gila?!" "Keduanya," kataku sambil terkekeh. "Setidaknya senyumnya manis." "Oh, Cath. Aku minta maaf kemaren membentakmu," ucap Cindy lalu memelukku. "Nanda tidak pernah membahas tentang percintaannya apalagi mengatakan orang yang disukanya. Aku kaget saja." Aku membalas pelukannya erat. "Aku juga minta maaf, seharusnya mulutku perlu diberi sedikit penyaring." Kami memisahkan diri ketika mendengar teriakan dari luar. Spontan saja kami keluar kelas dan mencari sumber suara. Entah mengapa aku seperti
Aku menjawab pertanyaan Lithia itu tanpa banyak pikir. "Aku baru saja melukainya." Hanya untuk mendapatkan umpatan kesal dari Cindy. "Sebelum ini, bodoh!" Juga Lithia yang biasanya menegur Cindy saat dia mengumpat, kali ini dia hanya menatapku saja dengan mulut membisu. Pada akhirnya aku yang mengalah. Aku berusaha mengingat-ingat insiden yang pernah aku alami, tapi tidak ada. Selain masa SMP-ku yang tidak terekam di kepalaku, tentu saja. "Tidak pernah." "Tapi mengapa ada bekas jahitan?"