Share

Part 3 : Kabar duka

"Kamu bisa tau semuanya kecuali, pikiran manusia."

-Carabella-

Bandung, 08:30

10 tahun kemudian.

Bibi mengetuk pintu kamar majikannya. “Non, bibi masuk ya?” 

Tak ada sahutan. Bibi memaklumi itu.

Ceklek

Tidak ada orang. Saat akan kembali keluar, bibi melihat siluet seseorang dari arah balkon.

Pasti dia merindukan mereka, Bibi membatin.

Bibi berjalan mendekat ke arah siluet orang itu. “Sudah siap semua, Non?”

Seseorang itu membalikkan badannya. Seorang gadis dengan tubuh tinggi semampai, kulit putih bersih, dan paras yang amat sangat cantik. Mata birunya menatap lekat wanita yang selama ini sudah merawatnya.

“Udah,” jawabnya singkat lalu tersenyum tipis.

Mereka lantas pergi meninggalkan balkon untuk mengambil barang bawaan gadis itu. 

“Biar bibi saja yang bawa, Non.” Gadis itu mengangguk singkat.

Sebelum menutup pintu rumah, gadis itu menatap sendu ke sekeliling sudut rumah. Sungguh berat rasanya, meninggalkan sesuatu yang memiliki banyak kenangan di sana. 

**** 

Jakarta, 11:02

Setelah melalui perjalanan kurang lebih dua jam. Tibalah mereka di sebuah rumah besar bernuansa Eropa. Gadis itu berdiri memandangi rumah barunya. Pandangannya terhenti ke arah sebuah garasi di sana.

“Sudah diantar duluan ternyata,” gumamnya pelan.

“Ayok masuk Non, di luar panas.”

Memang benar, cuaca hari ini sedang terik-teriknya. Jadi ia lebih memilih masuk ke dalam rumah barunya itu. Ia langsung menuju ke arah kamar miliknya di lantai 2 saat diberi tahu oleh bibi.

“Not bad.”

Karena lelah, ia langsung menghempaskan dirinya di kasur. Matanya menatap sendu langit-langit kamar.

“Non, mau makan dulu?” 

Ara bangkit dari tidurnya. “Gausah Bi nanti aja.”

Bibi hanya tersenyum, lalu menutup pintu kembali.

Gadis cantik itu adalah Aglaea Carabella Damian. Tapi untuk saat ini identitasnya berubah menjadi Arabela. Sampai dia tahu siapa dalang di balik pembunuhan orang tua dan kecelakaan yang menimpa abangnya.

Flashback on

10 tahun lalu, tepatnya saat Ara tiba di rumah kelahirannya di Bandung.

“Mah, Pah? Bang Ata? Kalian di mana?” 

Bibi yang mendengarnya langsung membawa Ara menuju kamar gadis kecil itu.

Bibi mendudukkan Ara di atas kasur kemudian berjongkok di depannya. Ia genggam erat tangan mungil majikannya berusaha tetap tegar.

“Dengarkan Bibi baik-baik ya, Non?” Mata Ara mengerjap polos dan mengangguk.

Bibi menghela napas cukup panjang. “Orang tua sama kakak Non Ara sudah meninggal.”

Seolah ada petir yang menyambar, Ara menggeleng cepat.

“Maksud bibi apa?!”

“Ini semua benar Non. Orang tua Non Ara meninggal karena di bunuh dan ....”

“Dan apa Bi?!”

“Kakak Non Ara meninggal karena kecelakaan.”

Dirinya masih terlalu kecil untuk mengerti semua ini. Tapi ia paham betul arti kata meninggal itu apa. Seseorang yang pergi dan tidak akan pernah kembali.

“Non, Non Ara?” Bibi panik melihat Ara yang hanya diam dengan tatapan kosong.

“Ara mau sendiri dulu Bi.” Gadis kecil itu naik ke atas kasur, menenggelamkan dirinya di dalam selimut.

Bibi tak kuasa menahan tangisannya dan memilih untuk keluar dari kamar Ara. Tak berselang lama, suara tangisan terdengar memilukan dari dalam kamar. Bibi yang masih berdiri di depan pintu pun ikut menangis tersedu-sedu.

Sungguh malang nasib gadis kecil itu.

Flashback off

Ara menatap langit yang tiba-tiba menggelap, seakan tahu isi hati gadis yang sekarang ini sedang berdiri di balkon kamar barunya.

“Oke, gue ikutin permainan lo. Let’s start the game,” ucapnya tersenyum menyeringai.

Ara mengambil ponsel di atas nakas untuk menelepon seseorang. “Gue udah di Jakarta.”

“....”

“Kondisi aman?”

“....”

“oke.”

Ara memutuskan sambungan teleponnya sepihak. Lagi-lagi ia tersenyum menyeringai. 

**** 

Cahaya matahari mulai masuk melalui sela-sela jendela kamar gadis yang masih bergelung dalam selimut. Seakan tidak terusik sama sekali. Padahal, alarm sudah berbunyi dari tiga puluh menit yang lalu.

“Eunghh,” erangnya sambil meregangkan otot-otot badannya yang terasa kaku.

Ara berjalan gontai ke arah kamar mandi dengan mata yang masih terpejam. Tak butuh waktu lama, Ara sudah siap dengan seragam sekolah barunya. Ia menyisir rambut panjangnya dan memoleskan lipbalm tipis. Jangan lupakan soflen. Mengapa Ara pakai soflen?

Karena ia tidak ingin ada yang mengenali siapa dia yang sebenarnya. Bisa gagal rencana yang telah ia susun.

“Gak mau sarapan dulu, Non?”

“Gak usah Bi, Ara berangkat dulu.”

Ara mengendarai mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Banyak kata-kata kasar terlontar dari pengendara lain. Tentu saja Ara tidak menggubris.

Ara sudah tahu letak di mana sekolah barunya. Walaupun baru di Jakarta, tapi ia tahu betul kota ini bahkan tempat kecil sekalipun.

Hanya butuh waktu 15 menit Ara sudah sampai di SMA Cakrawala. Sekolah paling elite di kota ini. Sekolah yang terkenal karena kecerdasan dan kegeniusan muridnya. Tidak hanya itu, sekolah ini juga terkenal karena murid-muridnya yang memiliki paras rupawan baik laki-laki maupun perempuan. Banyak yang ingin bersekolah di sini, tapi tidak sanggup membayar biaya sekolah yang sangat mahal. Bisa dibilang sekolah ini tempatnya orang- orang berduit.

Pagar sekolah masih terbuka lebar, Ara memarkirkan mobilnya di parkiran dengan rapi. Belum saja Ara keluar dari mobil banyak tatapan yang mengarah ke mobilnya. Jelas, siapa yang tidak penasaran pemilik mobil mahal itu. Walaupun banyak mobil mahal lain yang juga terparkir di sana tetap saja mobilnya yang paling mahal.

Dirasa kondisi sudah agak sepi, barulah Ara keluar dari mobil. Kaki jenjangnya memasuki kawasan SMA Cakrawala yang terlihat ramai. Karena hari ini tengah berlangsung kegiatan MOS. Terlihat banyak murid yang masih memakai seragam putih biru. Itulah salah satu alasan mengapa Ara bangun telat.

Ara berjalan santai dengan tangan dimasukkan ke dalam saku jaket hitamnya. Wajah yang senantiasa datar dan dingin. Rambut yang sengaja ia gerai beterbangan tertiup angin. Semua mata yang berada di lapangan maupun di koridor sontak menatap ke arahnya.

Siapa yang tidak terpana? Melihat gadis dengan wajah yang amat sangat cantik, kulit putih bersih, bulu mata lentik, hidung mancung, dan bibir merah alami. Satu kata buat Ara, sempurna.

Wih, siapa tuh? Cakep bener.

Anjir, cecan Cakrawala nambah.

Datar banget mukanya tapi tetap cantik sih.

Ini mah si Yura kalah  fix dia cewe paling cantik di sini.

Bodynya cuk, gila gila gila.

Halah cabe!

Pekikan-pekikan terdengar di telinga Ara. Ingin sekali ia menonjok orang yang  mengucapkan kalimat terakhir tadi, tapi ia tahan.

Masih baru Ra jangan bikin masalah, batinnya.

Mengabaikan itu semua, Ara melanjutkan jalannya menuju ruang kepala sekolah.

Tok tok tok

“Masuk.” Terdengar suara perintah dari dalam ruangan.

Ara membuka pintu dan tersenyum tipis.

“Silahkan duduk.” Ara lantas duduk di sofa yang ada di ruangan itu.

“Arabela, pindahan dari SMA Garuda di Bandung. Benar?”

Ara hanya mengangguk tanpa berniat menjawab.

Pria paruh baya itu hanya menghela napas pelan. “Kamu masuk kelas sebelas IPA dua. Mari Saya antar.”

“Tidak perlu, saya sudah tahu di mana, permisi.” Ara langsung beranjak keluar dari ruangan itu menyisakan kerutan di dahi pria baruh baya tadi. 

**** 

Saat keluar dari ruangan, masih saja ada yang menatapnya secara terang-terangan. Bersikap acuh dan bodo amat, Ara melanjutkan langkah dengan tergesa-gesa hingga tidak sengaja menabrak orang di depannya.

Bruk

“Jalan tuh pake mata!” ucap seorang laki-laki yang menabraknya. 

Bukannya minta maaf malah ucapan sarkas yang keluar dari mulutnya.

“Ck, lo bego ya. Jalan tuh pake kaki!” balas Ara tak mau kalah tanpa melihat tersangka yang membuat dirinya terjatuh.

Ia berusaha bangkit sambil menepuk-nepuk roknya yang masih baru, kemudian ia mendongak.

Deg

Matanya gak asing.

Mata itu.

Batin masing-masing kedua orang itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status