“Lah, dia didoain biar cepat nyusul. Aku kok enggak?!” sewot Zaila yang seketika disambut tawa oleh Alyah dan Anin.“Ya sudah kami keluar, kalau butuh apa-apa bisa telfon” Keduanya akhirnya keluar.Alyah yang memang benar-benar kelelahan langsung berjalan menuju kasur. Sungguh kamar yang sangat mewah, ada banyak kelopak mawar merah yang di tabur hampir memenuhi setiap kamar. Terutama di atas kasur putih king size itu.Tak peduli dengan semua itu, Alyah langsung merebahkan tubuhnya tanpa berganti pakaian terlebih dahulu.“Cup” Eh, ini kenapa Genta sekarang mirip soang siih! Main sosor. Iya tahu emang udah halal, tapi kan, kan, kan ... Entahlah aku yang jomblo ini seketika meronta (suara hati penulisnyađ)Yang jadi korban hanya menggeliat saking lelahnya. Bahkan kini sudah tertidur nyenyak tanpa berganti pakaian terlebih dahulu.“Yang, bangun” Suaranya Genta memelan, tak ingin istrin
âAbang sakit tahuâ Bagaimana tidak sakit, jika dengan tiba-tiba Alyah di baringkan ke atas kasur dengan sedikit kasar.âMaaf nggak sengaja. Habisnya kamu berat siih!â Sepertinya Genta sedang mencari masalah dengan perempuan. Mengatakan bahwa dia berat, dengan kata lain, adalah GENDUT.âBukan aku yang berat, Abang saja yang sok-sokan mau gendong aku, padahal nggak punya tenaga!â Benar, wanita selalu benar, ingat baik-baik di otak para lelaki. Satu hal yang paling tepat dilakukan oleh Genta adalah meminta maaf. Dengan mengatakan ia berat sudah seperti penghinaan besar bagi Alyah.Tak ada kejadian apa pun malam itu yang mewarnai malam pertama mereka. Tak ada adegan tidak-tidak ataupun iya-iya yang dilakukan mereka. Tak ada pula drama saling beradu selimut atau rebutan kasur. Mereka akur, tak ada yang perlu dipertengkarkan, mereka sudah sama-sama dewasanya.Alyah? Meski saat menjelang hari pernikahan ia juga masih menyimpan keraguan. Namun saat ini, tak ada gunanya memungkiri takdir. T
âBang! Ih, jangan gini. Tahu nggak aku tuh masih merinding kalau dekat dengan Abang!ââTuh lihat bulu kudukku berdiri semua!â Benar! siapa yang tak merasakan itu saat bersama dengan laki-laki untuk pertama kalinya. Apalagi berdua saja di dalam kamar. Cup cup cupKecupan-kecupan singkat kembali Genta hadiahkan. Mendengar istrinya berucap seperti itu. Jujur saja, dia pun juga merasa hal demikian. Ada desir-desiran aneh yang terus menggelayut di dalam hatinya. Hanya saja, sedari tadi, ia sedang berusaha menetralkan degupannya yang semakin kencang.âSudah ... tidur saja.â Bohong jika ia tak memiliki hasrat untuk menggauli istrinya. Hanya saja, ia tahu, saat ini bukanlah waktu yang tepat. Bukan hanya karena mereka yang sedang kelelahan, tapi, juga tentang perasaan Alyah yang belum sepenuhnya ia miliki.âKapan kita unboxing nya?â Lagi-lagi Genta melayangkan pertanyaan ambigu.âemmm ... emmm ... emmm
Perjalanan bulan madu benar-benar terjadi. Genta seperti terburu-buru. Bukan maunya tapi didesak waktu kuliah, Alyah yang memang jatah cutinya tinggal beberapa beberapa hari saja. Perjalanan bulan madu kali ini tak jadi ke Bali, apalagi naik ke puncak gunung. Tak mungkin juga jika menuruti keinginan Alyah. Akhirnya tiket ke Raja Ampat, sudah di genggaman tangan kanannya. Sedang tangan sebelah kiri, menggandeng erat tangan istrinya. Seperti, layaknya menggandeng tangan sang anak ketika hendak menyeberang jalan.Tak ada koper yang mereka bawa, hanya ransel yang digendong di punggung serta dada Genta. Pikirnya jika membawa koper, tangan tak kan bisa bergerak leluasa. Seperti, menggandeng tangan sang kekasih halal misalnya.Mendapatkan suami yang manis memang idaman setiap wanita, wajah rupawan dan kaya hanya bonus sebagai ketulusan hati mereka.âYank...â Ya, kini Genta memang membiasakan dirinya memanggil pemilik hatinya itu, dengan panggilan tersebut. Menunjukkan perasaannya, bahwa
[Kak, kalau pulang jangan lupa bawakan aku oleh-oleh khas raja Ampat ya!] Perasaan, baru tadi malam aku pergi. Tapi sudah mendapatkan pesanan oleh-oleh? âSiapa yang?â Laki-laki berstatus suami ini, kini juga semakin kepo dengan segala hal yang bersangkutan denganku. âLaki-laki lain,â Bukan ingin mencari masalah, tapi melihat dia seperti itu, kadang jiwa jahilku muncul secara tiba-tiba. âLaki-laki lain siapa? Kamu jangan aneh-aneh, kita lagi bulan madu lho!â Kan ... kan! Mungkin definisi laki-laki bucin itu seperti Bang Genta ini. Tak bisa sekalipun di ajak bercanda, apalagi jika itu tentang diriku. Tak sempat aku menjawab untuk sekedar menggodanya kembali, Bang Genta sudah merebut ponsel yang sedang aku genggam. Aku biarkan saja, biar dia tahu, bila istrinya ini memiliki jahil. Mi kuah pedas di depanku rasanya lebih menggoda dengan hawa dingin nan sejuk ini. âAku tak akan membiarkan laki-laki lain mendapatkan hati istriku. Aku saja belum dapat!â Ahs, ya bahkan aku belum begitu yakin d
Perhatian-perhatian kecil yang selalu ia lakukan untukku, meski sebenarnya tak perlu ia lakukan, namun mampu membuat hatiku semakin luluh. Seperti saat ini, di sela menikmati makanannya bang Genta masih sempat-sempatnya menyuapi diriku. “Aaaa,” ucapnya sembari mulut mangap memperagakan seperti seorang ibu yang hendak menyuapi sang anak. Awalnya aku hanya bergeming melihat hal yang ia lakukan “Ayo, cepat buka mulutnya,” Lagi, ia berucap. “Kenapa harus disuapi, kan Alyah sudah punya sendiri Bang?” tunjukku pada piring di hadapanku. “Biar tahu rasanya steak yang Abang Pesan.” Benar, kami memang memesan makanan yang berbeda. Aku yang memesan mie dengan kuah pedas dan dengan kuah yang masih mengepulkan uap panas. Sedang Bang Genta, memesan steak daging yang salah satu potongannya ia sodorkan mendekati mulutku. ‘Hemmm, ternyata enak juga kalau di suapi,’ Batinku terkikik geli. “Kenapa?” tanyanya, mungkin heran melihat
Jujur saja, aku juga laki-laki normal. Apalagi saat melihat sepeti itu.Aku dengan keadaan yang masih mengantuk, perlahan mendekatinya. Sepertinya ia tak sadar karena masih sibuk dengan paperbag berisi baju-baju yang ada di meja rias itu.Wangi sabun yang ia gunakan begitu semerbak. Menuntun diriku, untuk menghirupnya lebih dekat.Satu kecupan berhasil aku daratkan di pundaknya. Sungguh wangi yang cukup menenangkan.Tanganku sengaja aku lingkarkan pada perutnya. Kecupan-kecupan lain juga aku berikan, sungguh aroma yang sangat candu.Aku segera melepaskan pelukanku, dan segera menghentikan ulahku memberikan kecupan. Jika aku teruskan, mungkin hasrat lelakiku meminta lebih dari itu.Sedang di sisi lain, aku melihat Alyah yang sepertinya juga tidak nyaman dengan perlakuanku. Dia hanya diam setelah sebelumnya menunjukkan reaksi kaget.Jika dikatakan ingin, jelas aku ingin. Tapi mungkin akan ada waktu yang lebih tepat dari sore ini, nanti malam mungkin? Semoga saja, hahaha.Aku segera berj
Ini kenapa jalan-jalan berlebel bulan madu, malah seperti hanya liburan akhir semester saja sih?Jam begitu cepat berlalu, matahari sudah tenggelam gelap kini mulai datang, sedang di luar sana kelap-kelip lampu indah mulai menghiasi perkotaan.Malam hari sudah tiba, kami sekarang sudah merebahkan diri di atas kasur hotel.Aku masih sibuk dengan gawai, karena bagaimanapun aku tak bisa sepenuhnya meninggalkan pekerjaan. Masih ada hal-hal kecil yang kadang perlu dilakukan.Sedang Alyah, ia begitu asyik menonton TV dan menikmati camilan, tepat di sampingku. Bahkan kepalanya juga ia sandarkan di bahuku.Aku sedikit heran dengan dirinya, makan banyak tapi badannya bahkan kecil, lebih tepatnya kerempeng seperti hanya tulang berbalut kulit saja, meski tak sekecil itu sebenarnya.“Aaaaa” Ucapnya dengan mulut mangap sembari tangannya mengulurkan beberapa keping kripik kentang sekaligus.Aku tersenyum, jarang-jarang Alyah mau menyuap