_Menolak adalah hak, tapi titah orang tua? Kadang menjadi prioritas di atas segalanya!_
“Mac, pacarmu ada berapa sekarang?!
Aku mulai was-was ketika Papa bertanya hal yang menurutku tak biasa.
“Enggak ada Pa!” Aku berusaha berucap yakin. Padahal, jika boleh jujur, wanita yang sedang berstatus pacar denganku ada dua.Ya, aku memang play boy! Bukan karena kebutuhan tapi karena ada kesempatan.
“Jangan coba-coba bohong sama Papa! Kau pikir Papa tak tahu kelakuanmu itu?!”
Setua ini, aku kadang masih di anggap anak kecil oleh Papa dan Mama. Salah satunya adalah hal percintaan, seperti saat ini.
“Putuskan semua pacarmu itu! Umur 28 tapi kelakuan masih seperti anak TK.”Kalau anak TK, nggak mungkin juga aku mampu mengurus perusahaan, huh!
“Jika pacarmu tak seperti yang kamu gandeng kemarin siang, mungkin Papa tak masalah. Wanita-wanita dengan pakaian kurang bahan seperti itu yang kamu pilih?!”
“Besok ikut Papa, Papa sama mama sudah pilihkan calon yang tepat untukmu!”
Papa terus berucap panjang lebar. Bahkan satu kalimat belum sempat aku jawab, sudah keluar kalimat lain yang semakin membuatku pusing.
Lebih heran lagi,masih ada saja perjodohan yang menurutku tak masuk akal. Bukan aku tak mau serius dalam hubungan percintaan. Hanya saja ... Aku masih belum siap untuk dikhianati kembali oleh orang yang kucintai.
“Nggak, aku nggak mau Pa!”
Harus aku tegaskan bahwa aku tak mau dengan rencana gila ini. Jika saja aku menerima, mungkin si wanita itu akan beranggapan bahwa aku tak laku hingga mau dijodohkan. Padahal kenyataannya sangat laku, hahahah.
“Atau jangan-jangan kamu sudah tak perjaka?!” Astaghfirullah! Kenapa pertanyaan itu bisa meluncur dari orang yang menyumbang gen berambut coklat pada diriku ini!
Matanya memicing, jika bisa diibaratkan dengan benda tajam, mungkin sudah seperti silet. Siap menguliti!
Dan Mama, ia juga sama saja. Bahkan matanya mendelik namun malah terlihat lucu dengan mata sipit seperti diriku itu. Gerakan tubuhnya sudah seperti elang yang siap menerkam mangsanya.
Siang yang begitu sial! Kenapa tadi aku tak keluar cari angin saja. Jika tadi keluar, mungkin sidang penentuan jodoh ini tak akan pernah terjadi.
“Kenapa diam! Jadi benar!?” Sudah tua tapi suka sekali bikin kaget yang muda sepertiku, astaghfirullah.
“Enggak, Pa! Aku tak sebodoh itu untuk melakukan hal tak senonoh seperti itu.” Mama terlihat mengelus dada lega. Sedang Papa, ... Sepertinya masih belum percaya dengan jawabanku.
“Kalau belum pernah nyicip, kenapa nggak mau nikah?! Emang nggak mau ngerasain.” Apaan coba bilang seperti itu. Aku yang masih berotak polos kan jadi sibuk mencerna maknanya, wkwkwkwk.
“Aku masih belum siap untuk memulai hidup berumah tangga Pa! Lagian aku juga tidak memiliki pandangan terhadap seseorang yang cocok dijadikan istri”
“Kan tadi Papa sudah bilang. Papa Sama Mama sudah punya kandidat calon terbaik untukmu!”
“Pa, aku laki-laki dewasa. Aku bisa mencari perempuan untuk dijadikan pendamping hidupku nantinya. Papa tak perlu menjodohkan seperti itu!”
“Mau berapa tahun lagi?! Kamu sudah tua Mac!” Padahal aku tak setua itu. Umurku saja masih 28, masih muda, bukan?
“Pah! ...” Omongannya benar, tapi, aku masih belum setua itu, hanya sudah dewasa saja.
“Nggak usah protes! Besok, kita nggak usah masuk kantor. Habis Dzuhur kita langsung datang ke sana. Kita lamar anak gadis rekan Papa itu!”
“Mah! Aku enggak mau menikah dengan cara di jodohkan seperti ini Ma!”
“Sudah! Nggak usah merengek seperti anak kecil. Besok kamu bakal tahu kalau pilihan Papa sama Mama itu terbaik. Yakin!” Sebaik apa hingga Mama berani bicara seperti itu.
Aku bukan tak tertarik untuk jatuh cinta. Hanya saja, dari sekian wanita yang aku kencani, tak satu pun mampu membuat aku jatuh cinta lagi.
“Aku sudah seperti anak kecil yang sedang di paksa untuk mandi, tahu nggak!”
Benar tidak? mau tak mau, bagaimanapun caranya aku harus tetap mandi. Dan apa pun caranya aku menolak, rasanya aku memang perlu untuk mandi.
“Sudahlah Mac, bagaimanapun Mama juga ingin segera memiliki menantu. Kamu sudah tua Mac, segeralah menikah dan berikan Mama cucu”
“Cucu kan tinggal beli, di Indomacet banyak yang disediakan. Ada merek Dankow, Bebelak, nutrilin ...”
“Itu susu bego!” Ucapanku tiba-tiba di potong oleh Mama. Tahu gerakan yang ia ambil, akhirnya aku lari. Dan bantal yang ia layangkan akhirnya tak mengenai tubuhku yang kian menjauh.
Sejenak aku tertawa, menanggapi kekesalan kedua orang tuaku itu. Meski pikiran akan pernikahan masih terus membayang.
“Kawin! Kawin! Kawin!” Ahs, bahkan aku melupakan bahwa punya adik laknat seperti itu. Saat di sofa ikut duduk anteng, bahkan aku sampai lupa akan keberadaannya.
Dan kini, ia ikut lari mengikuti. Dasar adik laknat.
“Nin, diam! Atau Kakak tak mau memberikan uang jajan tambahan lagi untukmu”
Ancaman paling tepat untuk Anin si adik laknat. Ia paling takut jika uang jajan berkurang.
Tepat! Dia langsung diam, meski dengan gaya tengilnya.
Waktu cepat berlalu, hari ini, sedari pagi aku hanya ongkang-ongkang kaki saja. Menjadi hari yang tak biasa kami lakukan. Sebab, setiap hari, kami selalu dihadapkan dengan dokumen-dokumen perusahaan yang meminta untuk dibelai dan dituntaskan.
Setelah bakda Dzuhur, kami benar-benar berangkat. Bahkan tak banyak yang kami bawa. Hanya beberapa buah parsel.
Bahkan cincin lamaran pun belum tersedia. Baiklah, jika seperti ini, aku masih ada kesempatan membatalkan jika memang tak cocok dengan si gadis itu.
Untung saja Anin tak ikut, jika iya, mungkin akan membuat masalah denganku, atau mengejek dengan rencana perjodohan yang aku pikir terlalu bodoh ini.
Tak seperti perjodohan yang aku pikirkan. Jika di dalam cerita, biasanya perjodohannya antara si miskin dan si kaya, hingga terjadi kekerasan fisik karena tak saling menerima.
Jika dilihat dari rumahnya, mereka sepertinya juga dari kalangan berada. Seperti tak akan ada embel-embel atau berdalih membayar hutang hingga anak-anak mereka jadi korban.
Dari sisi ini, sepertinya memang Mama dan Papa sudah merencanakan dengan matang. Agar aku yang masih muda dan dewasa, meski sering dikata tua ini segera menikah.
Menikah!? Kata yang sama sekali tak kumasukkan dalam daftar agenda masa depan. Setelah wanita itu ... Wanita yang aku cintai memilih wanita lain yang katanya lebih segalanya dariku.
Saat setelah sampai, kami benar-benar disambut dengan ramah. Ahs, ya, Laki-laki dengan kemeja lengan pendek itu aku pernah melihatnya. Berarti ayah tak mengada soal menjodohkan aku dengan temannya.
Tak ada gadis cantik yang ikut menyambut kami. Hingga kami duduk dan sajian tersedia, tak terlihat satu pun gadis yang muncul.Apakah ia malu? Atau, apakah ia buruk rupa hingga menghindar dari pertemuan ini? Pertemuan yang bahkan aku juga tak pernah mengharapkan?!
Aku terduduk lemah, tak ikut nimbrung obrolan orang tua yang membahas pernikahan. “Masyaallah Duplikatnya Kukang”
Wajahku kembali tegak kala mendengar suara seseorang. Tapi apa katanya tadi? Duplikatnya Kukang?!
Matanya juga menyiratkan kekaguman padaku. Ahs, siapa pun memang tidak bisa menolak akan pesona Genta Mackenzie.
Tapi jika dia terpesona, kenapa bilang Duplikatnya Kukang? Aneh.
Aku memang tak bisa mendengar dengan jelas, sebab suaranya juga sedikit lirih, meski mungkin masih bisa di dengar oleh semua orang yang ada dalam ruangan ini.
“Kak kalau di depan cowok ganteng, bisa jaga image dikit enggak?!”
Kami makan dengan diam, sesekali aku melirik tingkahnya. Sungguh menggemaskan. Cara makannya yang belepotan, sungguh membuat tanganku gatal, hingga refleks aku mengambil tisu dan mengelap sudut bibirnya. Jika biasanya adegan seperti ini akan berakhir pada mata saling menatap. Maka tidak untuk kisahku kali ini. Plak! Benar, tanganku di tampar sebelum tisu yang kupegang mendarat pada bibir yang menggiurkan itu. Eh Tak ada ucapan menyalahkan atau semacamnya, hanya tatapan tajam dari mata jernihnya. Sungguh lucu dan ... menggemaskan. Ia sama sekali tak membahas akan mantan yang tiba-tiba datang. Membuat hati merasa sedikit lega, setidaknya aku tak terlalu merasa bersalah dengan adanya masa lalu. Meski ketika melihat semua tingkah menggemaskannya, aku merasa begitu berdosa. Dia yang masih suci tak tersentuh, harus mendapatkan aku, yang mungkin tanganku sudah kotor dengan berbagai bakteri bernama mantan. Selesai menyantap hidangan, kami beranjak. Waktu penayangan tiket film yang kami
_Tidak ada perjalanan yang seluruhnya mulus. Ada masanya terjalnya jalan menghiasi langkah menuju esok. Namun yakinlah semua takdir akan berjalan dengan baik jika kita melaluinya dengan bersyukur_[Oke, aku tunggu, besok jangan lupa kabari, takut tiba-tiba aku amnesia, wkwkw] Jawab Alyah pada ajakan Genta. Setelah sesi perkenalan lewat jalan berdua, sepertinya ia ingin perkenalan yang lebih. Menggunakan alasan bahwa Mamanya ingin bertemu dengan calon menantu. Nampaknya hal tersebut berhasil meluluhkan Hati Anin Yang sebelum tak ingin pergi. [wkwkwkwk, bercandanya besok saja pas di rumah. Bercanda lewat chat nggak begitu menyenangkan, nggak bisa lihat ekspresimu yang sedang tertawa]Ada senyum yang terbit dari bibir tipis milik gadis yang rambutnya sedang terurai sebahu itu. Rambut lurusnya sedang tak dibalut dengan kerudung karena memang sedang di dalam kamar. Entah sadar atau tidak, tapi sepertinya gadis bernama Alyah itu sudah diam-diam menyimpan nama seseorang dalam hatinya.
Terima kasih, telah memberiku ruang di hatimu, aku tak akan mengusik apa yang menjadi masa lalumu, biar ia tetap ada dalam hatimu. Namun doaku semoga aku yang memiliki hak istimewa di hatimu, memberi warna yang baru_Aku mencoba menetralisir gugup yang sebelumnya mendera. Bagaimana nggak gugup, meskipun itu hanya sebagian bentuk dari kata salah paham.Namun setelah itu, ia mampu membuka percakapan yang mampu membuat kecanggungan di antara kami.Tak ada kecanggungan lagi antara kami, aku pun kembali bisa membuka diri. Bang Genta juga terus mencari topik untuk mencairkan suasana, tugasku hanya... ya begitulah“Sampai” ucapnya semangat namun wajahnya sedikit murung “Kenapa?” Tanyaku yang agaknya mulai penasaran.“Sampai, berarti kita enggak bisa berduaan lagi Al.” Astaga! Jawaban macam apa itu?! Bahkan mampu membuat pipiku menghangat.Dan bahkan masih sempat-sempatnya memberikan kerlingan mata yang hampir saja akan menggoda iman dan tawaku. Jangan sampai itu terjadi.Aku bergegas turun m
Sampai segitunyakah? Hanya karena pesannya tak aku jawab? Yang benar saja!Perasaan bersalah makin menjadi dalam hatiku. Meski tadi perkataan maaf sudah sempat terlontar, tapi aku tak tahu jika bang Genta sampai menanggapi acuhku hingga seperti itu.“Hehe iya Tan, Alhamdulillah kalau begitu.” Yakin! Bingung, canggung, sebab aku juga belum begitu akrab. Bahkan jika diingat, baru dua kali pertemuan antara aku dan tante Ayumi.Pagi setengah siang itu akhirnya kami gunakan untuk brkutat di dapur. Aku, Anin dan Tante Ayumi bukan hanya memasak untuk makan siang, sebelum itu kami membuat cupcake yang bahkan baru pertama kali aku ikut membuatnya. Sungguh pengalaman baru dan dengan orang yang baru pula. Senda gurau menjadi pengiring di antara kami. Menjadikan bang Genta sebagai objek yang kami bicarakan. Tentang kisah lucu yang bahkan mampu membuat aku tak malu tertawa terpingkal. Semuanya selesai tepat sebelum waktunya makan siang. Tante Ayumi menyuruh aku dan Anin untuk mengantar rantang
Jika cinta saja tidak pernah dikehendaki untuk ada,Lalu apakah dosa, bila cinta itu kini datang tiba-tiba?Aku mencintainya tanpa tahu kapan rasa itu bermulaTanpa tahu, bahwa apakah nanti akan berakhir bahagia._Dalam beberapa hari ini, aku bingung dengan Alyah. Semua pesan yang aku kirimkan tak ada satupun yang ia balas. Membuat hari-hari yang memang sudah lelah semakin membuatku tak bergairah. Ternyata aku sudah serindu itu dengannya. Dan kenapa cinta ini begitu menyiksa. Hingga saat sore hari Mama menyuruhku untuk menjemput Alyah dan mengajaknya ke sini. Sungguh suatu kesempatan yang sudah aku tunggu, mungkin menyebutkan Mama, Alyah akaa segera membalas pesanku. Dan tepat saat setelah makan malam aku coba lagi untuk mengirimkan pesan. Menggunakan kata Mama dari awal kalimat bagar ia mau membuka. Selang beberapa waktu, ternyata benar. Pesan yang kukirimkan kini berubah centang biru. LucuAku ingin menelefonnya, namun aku bingung juga dengan alasan apa. Aku takut jika pada akh
“Pa, lihat deh wajah kak Mac, pipinya udah kayak tomat busuk, merah banget!” Astaga Anin! Membuatku tambah tak punya muka saja di depan Alyah. Semua mata di ruangan ini langsung menatap wajahku. Bahkan Alyah juga sepertinya penasaran dengan apa yang dikatakan Anin. Makin panas saja wajahku iniWaktu berlalu begitu cepat, semula aku menawarkan untuk mengantar Alyah pulang, tapi langsung ditolak mentah-mentah. Bukan oleh Alyah, Tapi oleh Adik yang selalu mengajakku bertengkar itu. Katanya ‘Jangan mencari kesempatan, kalian itu belum halal!’ Aku pasrah saja meski sebenarnya aku ingin.“Papa, Mama! Kayaknya Kakak udah kebelet pengen nikah nih, udah beli cincin juga!” teriak Anin yang sepertinya sedang berada dalam kamarku. Saat aku sedang di dalam kamar mandi. Mungkin dia melihat dan membuka kotak cincin yang tadi lupa kusimpan dan hanya aku letakkan di atas nakas samping tempat tidur. EntahlahYa, setelah percakapan dengan Alyah di dalam mobil tadi pagi. Saat mengatakan tentang hubun
Jodoh memang sudah digariskan oleh tuhan. Tapi Tuhan juga memberikan kepada kita berupa hak untuk memilih, jadi jangan terburu-buru._“Dia itu siapa siih, Al?! Aku nggak percaya kalau cuma teman, selama ini teman kamu kan cuma aku. Apalagi teman cowok, wkwkwk” Bukan kata ‘selamat pagi Al’ atau ‘aku rindu' tapi langsung ditodong dengan pertanyaan tentang bang Genta.Aku memang kurang dan tak pandai untuk bergaul, tapi kalau sekali kenal tingkahnya nauzubillah. Dan memang hanya Zaila yang bisa akrab denganku.“Memangnya siapa siih Za?” Meski aku tahu arah pembicaraannya, tapi mencoba pura-pura lupa.Biar dia terus merasa penasaran. Bahkan aku juga langsung beranjak tak memedulikan dia yang terus mengekor.“Eleh, jangan ngeles kamu Al! Jangan pura-pura lupa juga. Kalau kamu nggak kasih tahu, aku bakal nyari tahu i formasinya sendiri!” Ucapannya bersungut-sungut kesal.“Gaya-gayaan mau nyari identitas orang, nggak ingat kalau lagi naksir sama cowok, aku yang disuruh jadi stalker?!” Akhirn
“Assalamuialaikum warahmatullahi wabarokatuh!”Salam gadis itu saat sampai rumah, dengan suaranya yang lantang sembari memperagakan seperti sedang mengucap salam di atas panggung.Hingga suara jawaban serempak dua orang laki-laki mengagetkannya. Dan setelah tahu siapa saja yang menjawab salamnya, ia begitu malu.“Waalaikum salam”“Eh, hehe ada Om Alan, silahkan Om dinikmati hidangannya. Alyah pamit ke kamar” Kepalang malu setelah tahu bahwa ada om Alan yang sedang duduk diruang tamu bersama ayahnya.Bagaimana tidak malu, ia sudah memperlihatkan tingkah konyolnya di depan calon mertua. Apa kata mertua nantinya!“Eh, nggak Salim dulu sama Om Alan? Calon mertuamu lho, itu!” Saat aku sudah mengangkat kaki karena akan menaiki tangga, Mama tiba-tiba saja mengagetkanku.Kata Calon mertua ... Calon mantu ... kata yang terlalu cepat menurutku diumurku yang masih 23 ini. Masih ada banyak keinginan