Share

Chapter 3

Lelah sekali rasanya. Aku tidak paham mengapa Williams berkata seperti itu, sedangkan kita harus jalan sejauh ini? Apa jangan-jangan dia akan menjadikanku umpan untuk hewan buas? Sial! Mengapa aku tidak terpikirkan sampai situ?

Ini benar-benar hutan belantara, sama seperti sebelum aku terjatuh. Hanya jalan setapak. Sepertinya waktu menunjukkan sore hari, aku bisa melihat cahaya matahari yang mulai merendah. Badanku sudah mulai berkeringat, mungkin karena aku menempuh jalan yang cukup jauh. Cahaya matahari itu menyilaukan pandanganku, aku benar-benar merasa terganggu dengan perjalanan ini. Ah, sudahlah—tidak baik jika terus mengeluh. Hutan yang lengkap dengan pemandangan, menyejukkan pikiran, dihiasi suara kicauan burung dan serangga yang bersahutan satu sama lainnya. Lelahku hilang seketika. Aku berhenti sejenak, menutup mata menikmati semua ini.

Seseorang menepuk jidatku, dan membuyarkan semuanya.

"Nyamuk di sini besar sekali. Aku jadi tidak tahan untuk membunuhnya."

Aku melotot. Ternyata Williams—menyeramkan dari yang aku kira.

"Kenapa? Harusnya kau berterima kasih kepadaku. Jika nyamuk ini menghisap darahmu, kau akan segera mati. Ingat, nyamuk hutan lebih liar dari nyamuk perdesaan." Williams mengacungkan telunjuknya.

Aku mendorong telunjuknya dari mukaku. "Kau pikir aku bodoh? Mana ada nyamuk seperti itu. Nyamuk semuanya sama!" Aku menatap sinis, dan melangkah maju.

Padahal aku tadi sedang meringankan lelahku. Laki-laki sialan. Mengapa aku bisa bertemu dengan orang seperti itu?

Seperti lapangan luas, di sana terdapat beberapa kereta kuda. Kereta kuda yang berbeda, seperti kerajaan. Apa mereka sama dengan Raja tua bangka itu? Mengapa dunia ini sempit sekali? Bahkan aku tidak menyangka jika mereka dari kerajaan. Aku kira mereka hanya mempekerjakan pelayan. Aku hanya bisa berharap aku baik-baik saja.

Pelayan tadi menunggu di sana. Mereka sudah sampai terlebih dahulu ternyata. Dia membukakan pintu. Kereta kuda ini mewah sekali. Terdapat tirai berwarna merah dilapisi dengan hiasan tali keemasan. Sofa yang kududuki sepertinya ringan, tapi empuk dan sangat nyaman. Aku menghempaskan badanku, dan membiarkan badanku menyatu degan sofa ini. Lelahku sedikit demi sedikit berkurang. Aku memandangi langit-langit, tampak berwarna keemasan. Dengan motif jahitan berbentuk garis silang menyilang berwarna hampir senada, jahitannya terlihat timbul dan rapi. Benar-benar mewah.

Seseorang masuk, aku bergegas duduk tegak. Williams mengerutkan dahi ketika melihatku bergegas duduk. Memalukan memang. Aku hanya diam membuang muka. Ternyata kami bertiga dalam satu kereta. Aku baru sadar, ternyata di depanku terdapat sofa yang sama.

Kereta mulai jalan.

Hening. Akankah terus seperti ini sampai tujuan? Aku pun tidak punya bahan untuk memulai percakapan. Sudahlah, sebaiknya aku nikmati saja rasa canggung seperti ini. Lebih baik aku coba tertidur daripada harus menatap mereka berdua.

Aku memejamkan mata.

Setelah beberapa lama jalan yang ditempuh, aku tidak bisa tidur. Mungkin karena efek dari aku tertidur lama setelah jatuh. Baiklah, pura-pura tertidur adalah solusi yang tepat.

"Kapan kau berniat pulang ke tempatmu?" tanya tom

"Apa harus dibicarakan di sini?"

"Terlihat dia benar-benar tidur, biarkan saja"

"Entahlah, aku tak berniat pulang. Aku sungguh tidak ingin bertemu ayahku. Apa kau mengusirku?"

"Tidak. Hanya saja sepertinya ayahmu mulai mengkhawatirkanmu."

Williams terdengar seperti menghela napas. "Sudahlah, aku tidak bisa ikut perjodohan itu."

Perjodohan? Jadi Williams kabur dari rumah karena perjodohan? Apa dia juga dari kerajaan, tapi kerajaan yang berbeda?

Hari sudah semakin larut, ternyata jarak yang ditempuh lumayan jauh. Aku pura-pura terbangun, mataku terasa pegal sekedar berpura-pura tidur. Hanya tentang perjodohan yang aku dengar selama perjalanan ini, selebihnya mereka hanya berbincang-bincang tentang masalah lainnya. Aku tidak paham apa yang laki-laki ceritakan.

"Kau sudah bangun?" Tom membuka sedikit tirai dan mengintip keluar.

"Sepertinya masih cukup jauh."

Sekarang giliran Williams yang tertidur. Aku suka cara dia tertidur, benar-benar tampan.

"Apakah benar kau tidak ingat sama sekali?"

"Tidak. Sepertinya kepalaku terbentur saat jatuh. Aku benar-benar tidak ingat sama sekali."

Aku berbohong. Rumit jika harus menjelaskan aku hilang ingatan ketika terbangun di kastil milik Raja tua itu. Bisa jadi aku akan dikembalikan lagi ke sana.

Dia hanya mengangguk.

"Um, bolehkah aku buka tirai ini? Sepertinya aku butuh pemandangan malam."

Tom hanya mengulurkan tangan, tanda silakan.

Aku melihat ke arah luar dengan terhalangi kaca kereta kuda ini. Bersih sekali. Aku melihat keluar memang sudah larut. Entah sudah berganti hari atau memang masih tengah malam.

Masih berada di hutan belantara, serangga malam cukup terdengar menembus ke dalam kereta. Diiringi dengan lolongan serigala. Cukup menakutkan jika berjalan dihutan seperti ini sendirian. Benar apa yang Williams katakan. Aku mencoba menatap Williams. Ah sial. Dia terbangun dan sedang menatapku juga. Bukan sekedar menatap, tapi matanya hampir keluar. Apa dia benar-benar membenciku? Sepertinya tatapannya tidak bisa lepas, dan tidak mengedip sama sekali. Apa tidak sakit jika mata seperti itu terus menerus? Tiba-tiba badanku kaku, entah apa yang harus aku lakukan? Tolonglah berpaling dariku segera.

Akhirnya Tom berdeham. Terima kasih Tom, kau telah menyelamatkan hidupku.

Aku kembali menatap keluar.

Jalan yang cukup luas, aku tidak bisa melihat ke arah depan. Seharusnya sudah menjadi gelap gulita. Akan tetapi langit cerah, lengkap dengan beribu bintang yang menghiasi, dan sinar bulan yang cukup menerangi jalan ini selain di bantu dengan cahaya lentera api dari samping kereta. Sepertinya di luar cukup dingin. Aku bisa merasakannya walau sekadar melihat. Untung saja di samping kereta ini diberi cahaya lentera api, selain untuk memberi cahaya, memberi kehangatan juga.

Aku benar-benar tertidur.

***

Kereta kuda mulai berhenti, aku bisa merasakannya. dan aku terbangun.

"Baiklah, sepertinya kita sudah sampai."

Tom mulai keluar, diikuti Williams dan aku. Cahaya matahari mulai menusuk mataku. Silau sekali. Butuh beberapa detik lamanya, untuk membuka mata dengan lebar.

Sulit dibayangkan, aku bisa berada di sini. Kastil yang mewah berwarna putih, halaman yang luas. Kini kami disambut oleh beberapa prajurit dan pelayan kastil berjajar di bentangan karpet merah menuju pintu masuk. Ternyata Tom adalah pangeran di kastil ini, aku bisa melihat bagaimana para pelayan dan prajurit memperlakukan Tom. Aku menginjaki anak tangga kecil dilapisi karpet merah menuju ke dalam Istana. Karpet merah membentang luas ke semua arah. Meskipun begitu, tetap saja ini akan membuatku mudah tersesat. Kastil seluas ini harusnya diberi petunjuk arah di setiap dindingnya, atau diberi peta bagi setiap tamunya. Sepertinya ini akan lebih repot dari yang kukira.

Ruangan pertama di Kastil yang aku kunjungi adalah ballroom. Ballroom

di sini luas sekali, sepertinya aku baru pertama kali mengunjungi ballroom.

Karpet merah masih membentangi luasnya ballroom. Lampu yang menggantung menjadi sesuatu yang istimewa di tengah-tengah ruangan ini. Selain untuk menerangi, lampu ini menjadi hiasan yang paling berkesan. Lampu yang sangat besar dan mewah sekali. Aku tidak bisa menghitung ada berapa lampu yang menggantung menjadi satu itu, tapi bisa aku pastikan terdapat berlian-berlian kecil dan banyak yang menghiasi di setiap lampu. Bagaimana jika lampu itu jatuh? Aku pasti sudah mati.

Selain lampu yang menggantung, terdapat pilar-pilar yang menjadi fondasi di kastil ini. Aku tidak yakin menjadi fondasi, hanya saja untuk menghiasi ruangan ini. Jika tidak ada pilar, maka ballroom ini akan terasa hampa dan kosong. Terdapat ukiran yang rumit di setiap ujung pilar bawah ataupun atas. Di ujung sana ada anak tangga kira-kira hanya lima tangga kecil di atasnya terdapat kursi besar, tinggi, mewah dan berwarna merah dengan ornamen berwarna keemasan membuat kursi itu jelas terlihat mewah. Itulah kursi sang raja. Di samping kursi Raja terdapat kursi Ratu yang ukurannya lebih pendek, diikuti satu kursi, aku rasa salah satunya tempat duduknya Tom. Inilah ciri khas dari Kastil ini berwarna merah dan keemasan.

Jendela-jendela tinggi yang hampir menyentuh lantai tertata rapi di setiap sisi ruangan ini. Dengan Tirai berwarna merah yang masih terikat, sehingga cahaya sinar matahari cukup untuk menerangi ruangan yang luas ini. Di sebelah kananku terdapat tangga lebar semi spiral berwarna putih dengan tangga berwarna coklat, masih dilapisi dengan karpet merah. Tom mengajakku untuk menuju ruangan lain. Kami segera mengikuti langkah Tom menaiki anak tangga itu, diiringi dengan pelayan-pelayannya. Bisa dibayangkan ketika ada pesta dansa, sang tuan putri dengan gaun indahnya turun dari tangga untuk bertemu dengan Sang Pangeran. Seperti negeri dongeng. Meskipun aku bukan Sang Putri, aku bisa merasakannya ketika mulai menaiki tangga ini.

Aku melirik Williams, dan membiarkan pikiranku larut seperti itu bersamanya.

"Ada apa?" tanya Williams, sepertinya dia sanggat cepat menyadari hal ini. Sungguh memalukan!

"Tidak ada apa-apa." Aku kembali berjalan menaiki anak tangga.

Lama-lama pikiran konyolku bisa membuat otakku semakin kotor dan kacau. Pasti aku sudah gila.

"Aku rasa tidak perlu menjelaskan satu persatu ruangan yang ada di sini. Aku lelah sekali. Tidakkah kau keberatan, Jane?"

"Tidak masalah."

"Baiklah, biar nanti pelayan di sini yang akan mengantarkanmu ke kamar. Istirahat secukupnya, biarkan dia membangunkanmu ketika makan siang sudah siap."

"Terima kasih, Tom"

Tom dan Williams lekas pergi.

Aku diantar menuju kamar dengan seorang pelayan.

Semoga hal yang baik terjadi padaku, selama aku di sini dan mencari tahu asal usulku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status