Lelah sekali rasanya. Aku tidak paham mengapa Williams berkata seperti itu, sedangkan kita harus jalan sejauh ini? Apa jangan-jangan dia akan menjadikanku umpan untuk hewan buas? Sial! Mengapa aku tidak terpikirkan sampai situ?
Ini benar-benar hutan belantara, sama seperti sebelum aku terjatuh. Hanya jalan setapak. Sepertinya waktu menunjukkan sore hari, aku bisa melihat cahaya matahari yang mulai merendah. Badanku sudah mulai berkeringat, mungkin karena aku menempuh jalan yang cukup jauh. Cahaya matahari itu menyilaukan pandanganku, aku benar-benar merasa terganggu dengan perjalanan ini. Ah, sudahlah—tidak baik jika terus mengeluh. Hutan yang lengkap dengan pemandangan, menyejukkan pikiran, dihiasi suara kicauan burung dan serangga yang bersahutan satu sama lainnya. Lelahku hilang seketika. Aku berhenti sejenak, menutup mata menikmati semua ini.
Seseorang menepuk jidatku, dan membuyarkan semuanya.
"Nyamuk di sini besar sekali. Aku jadi tidak tahan untuk membunuhnya."
Aku melotot. Ternyata Williams—menyeramkan dari yang aku kira.
"Kenapa? Harusnya kau berterima kasih kepadaku. Jika nyamuk ini menghisap darahmu, kau akan segera mati. Ingat, nyamuk hutan lebih liar dari nyamuk perdesaan." Williams mengacungkan telunjuknya.
Aku mendorong telunjuknya dari mukaku. "Kau pikir aku bodoh? Mana ada nyamuk seperti itu. Nyamuk semuanya sama!" Aku menatap sinis, dan melangkah maju.
Padahal aku tadi sedang meringankan lelahku. Laki-laki sialan. Mengapa aku bisa bertemu dengan orang seperti itu?
Seperti lapangan luas, di sana terdapat beberapa kereta kuda. Kereta kuda yang berbeda, seperti kerajaan. Apa mereka sama dengan Raja tua bangka itu? Mengapa dunia ini sempit sekali? Bahkan aku tidak menyangka jika mereka dari kerajaan. Aku kira mereka hanya mempekerjakan pelayan. Aku hanya bisa berharap aku baik-baik saja.
Pelayan tadi menunggu di sana. Mereka sudah sampai terlebih dahulu ternyata. Dia membukakan pintu. Kereta kuda ini mewah sekali. Terdapat tirai berwarna merah dilapisi dengan hiasan tali keemasan. Sofa yang kududuki sepertinya ringan, tapi empuk dan sangat nyaman. Aku menghempaskan badanku, dan membiarkan badanku menyatu degan sofa ini. Lelahku sedikit demi sedikit berkurang. Aku memandangi langit-langit, tampak berwarna keemasan. Dengan motif jahitan berbentuk garis silang menyilang berwarna hampir senada, jahitannya terlihat timbul dan rapi. Benar-benar mewah.
Seseorang masuk, aku bergegas duduk tegak. Williams mengerutkan dahi ketika melihatku bergegas duduk. Memalukan memang. Aku hanya diam membuang muka. Ternyata kami bertiga dalam satu kereta. Aku baru sadar, ternyata di depanku terdapat sofa yang sama.
Kereta mulai jalan.
Hening. Akankah terus seperti ini sampai tujuan? Aku pun tidak punya bahan untuk memulai percakapan. Sudahlah, sebaiknya aku nikmati saja rasa canggung seperti ini. Lebih baik aku coba tertidur daripada harus menatap mereka berdua.
Aku memejamkan mata.
Setelah beberapa lama jalan yang ditempuh, aku tidak bisa tidur. Mungkin karena efek dari aku tertidur lama setelah jatuh. Baiklah, pura-pura tertidur adalah solusi yang tepat.
"Kapan kau berniat pulang ke tempatmu?" tanya tom
"Apa harus dibicarakan di sini?"
"Terlihat dia benar-benar tidur, biarkan saja"
"Entahlah, aku tak berniat pulang. Aku sungguh tidak ingin bertemu ayahku. Apa kau mengusirku?"
"Tidak. Hanya saja sepertinya ayahmu mulai mengkhawatirkanmu."
Williams terdengar seperti menghela napas. "Sudahlah, aku tidak bisa ikut perjodohan itu."
Perjodohan? Jadi Williams kabur dari rumah karena perjodohan? Apa dia juga dari kerajaan, tapi kerajaan yang berbeda?
Hari sudah semakin larut, ternyata jarak yang ditempuh lumayan jauh. Aku pura-pura terbangun, mataku terasa pegal sekedar berpura-pura tidur. Hanya tentang perjodohan yang aku dengar selama perjalanan ini, selebihnya mereka hanya berbincang-bincang tentang masalah lainnya. Aku tidak paham apa yang laki-laki ceritakan.
"Kau sudah bangun?" Tom membuka sedikit tirai dan mengintip keluar.
"Sepertinya masih cukup jauh."
Sekarang giliran Williams yang tertidur. Aku suka cara dia tertidur, benar-benar tampan.
"Apakah benar kau tidak ingat sama sekali?"
"Tidak. Sepertinya kepalaku terbentur saat jatuh. Aku benar-benar tidak ingat sama sekali."
Aku berbohong. Rumit jika harus menjelaskan aku hilang ingatan ketika terbangun di kastil milik Raja tua itu. Bisa jadi aku akan dikembalikan lagi ke sana.
Dia hanya mengangguk.
"Um, bolehkah aku buka tirai ini? Sepertinya aku butuh pemandangan malam."
Tom hanya mengulurkan tangan, tanda silakan.
Aku melihat ke arah luar dengan terhalangi kaca kereta kuda ini. Bersih sekali. Aku melihat keluar memang sudah larut. Entah sudah berganti hari atau memang masih tengah malam.
Masih berada di hutan belantara, serangga malam cukup terdengar menembus ke dalam kereta. Diiringi dengan lolongan serigala. Cukup menakutkan jika berjalan dihutan seperti ini sendirian. Benar apa yang Williams katakan. Aku mencoba menatap Williams. Ah sial. Dia terbangun dan sedang menatapku juga. Bukan sekedar menatap, tapi matanya hampir keluar. Apa dia benar-benar membenciku? Sepertinya tatapannya tidak bisa lepas, dan tidak mengedip sama sekali. Apa tidak sakit jika mata seperti itu terus menerus? Tiba-tiba badanku kaku, entah apa yang harus aku lakukan? Tolonglah berpaling dariku segera.
Akhirnya Tom berdeham. Terima kasih Tom, kau telah menyelamatkan hidupku.
Aku kembali menatap keluar.
Jalan yang cukup luas, aku tidak bisa melihat ke arah depan. Seharusnya sudah menjadi gelap gulita. Akan tetapi langit cerah, lengkap dengan beribu bintang yang menghiasi, dan sinar bulan yang cukup menerangi jalan ini selain di bantu dengan cahaya lentera api dari samping kereta. Sepertinya di luar cukup dingin. Aku bisa merasakannya walau sekadar melihat. Untung saja di samping kereta ini diberi cahaya lentera api, selain untuk memberi cahaya, memberi kehangatan juga.
Aku benar-benar tertidur.
***
Kereta kuda mulai berhenti, aku bisa merasakannya. dan aku terbangun.
"Baiklah, sepertinya kita sudah sampai."
Tom mulai keluar, diikuti Williams dan aku. Cahaya matahari mulai menusuk mataku. Silau sekali. Butuh beberapa detik lamanya, untuk membuka mata dengan lebar.
Sulit dibayangkan, aku bisa berada di sini. Kastil yang mewah berwarna putih, halaman yang luas. Kini kami disambut oleh beberapa prajurit dan pelayan kastil berjajar di bentangan karpet merah menuju pintu masuk. Ternyata Tom adalah pangeran di kastil ini, aku bisa melihat bagaimana para pelayan dan prajurit memperlakukan Tom. Aku menginjaki anak tangga kecil dilapisi karpet merah menuju ke dalam Istana. Karpet merah membentang luas ke semua arah. Meskipun begitu, tetap saja ini akan membuatku mudah tersesat. Kastil seluas ini harusnya diberi petunjuk arah di setiap dindingnya, atau diberi peta bagi setiap tamunya. Sepertinya ini akan lebih repot dari yang kukira.
Ruangan pertama di Kastil yang aku kunjungi adalah ballroom. Ballroom
di sini luas sekali, sepertinya aku baru pertama kali mengunjungi ballroom.Karpet merah masih membentangi luasnya ballroom. Lampu yang menggantung menjadi sesuatu yang istimewa di tengah-tengah ruangan ini. Selain untuk menerangi, lampu ini menjadi hiasan yang paling berkesan. Lampu yang sangat besar dan mewah sekali. Aku tidak bisa menghitung ada berapa lampu yang menggantung menjadi satu itu, tapi bisa aku pastikan terdapat berlian-berlian kecil dan banyak yang menghiasi di setiap lampu. Bagaimana jika lampu itu jatuh? Aku pasti sudah mati.Selain lampu yang menggantung, terdapat pilar-pilar yang menjadi fondasi di kastil ini. Aku tidak yakin menjadi fondasi, hanya saja untuk menghiasi ruangan ini. Jika tidak ada pilar, maka ballroom ini akan terasa hampa dan kosong. Terdapat ukiran yang rumit di setiap ujung pilar bawah ataupun atas. Di ujung sana ada anak tangga kira-kira hanya lima tangga kecil di atasnya terdapat kursi besar, tinggi, mewah dan berwarna merah dengan ornamen berwarna keemasan membuat kursi itu jelas terlihat mewah. Itulah kursi sang raja. Di samping kursi Raja terdapat kursi Ratu yang ukurannya lebih pendek, diikuti satu kursi, aku rasa salah satunya tempat duduknya Tom. Inilah ciri khas dari Kastil ini berwarna merah dan keemasan.
Jendela-jendela tinggi yang hampir menyentuh lantai tertata rapi di setiap sisi ruangan ini. Dengan Tirai berwarna merah yang masih terikat, sehingga cahaya sinar matahari cukup untuk menerangi ruangan yang luas ini. Di sebelah kananku terdapat tangga lebar semi spiral berwarna putih dengan tangga berwarna coklat, masih dilapisi dengan karpet merah. Tom mengajakku untuk menuju ruangan lain. Kami segera mengikuti langkah Tom menaiki anak tangga itu, diiringi dengan pelayan-pelayannya. Bisa dibayangkan ketika ada pesta dansa, sang tuan putri dengan gaun indahnya turun dari tangga untuk bertemu dengan Sang Pangeran. Seperti negeri dongeng. Meskipun aku bukan Sang Putri, aku bisa merasakannya ketika mulai menaiki tangga ini.
Aku melirik Williams, dan membiarkan pikiranku larut seperti itu bersamanya.
"Ada apa?" tanya Williams, sepertinya dia sanggat cepat menyadari hal ini. Sungguh memalukan!
"Tidak ada apa-apa." Aku kembali berjalan menaiki anak tangga.
Lama-lama pikiran konyolku bisa membuat otakku semakin kotor dan kacau. Pasti aku sudah gila.
"Aku rasa tidak perlu menjelaskan satu persatu ruangan yang ada di sini. Aku lelah sekali. Tidakkah kau keberatan, Jane?"
"Tidak masalah."
"Baiklah, biar nanti pelayan di sini yang akan mengantarkanmu ke kamar. Istirahat secukupnya, biarkan dia membangunkanmu ketika makan siang sudah siap."
"Terima kasih, Tom"
Tom dan Williams lekas pergi.
Aku diantar menuju kamar dengan seorang pelayan.
Semoga hal yang baik terjadi padaku, selama aku di sini dan mencari tahu asal usulku.
Aku membuka pintu kamar berencana keluar, tetapi ada pelayan menunggu di pintu kamarku. Dia mengatakan bahwa makan malam sudah siap, sambil memegang tumpukan baju dia meminta izin untuk memasukkan semua baju itu ke dalam lemari. Dia sudah lama menunggu, tetapi karena aku sedang tertidur dengan lelap, dia membiarkanku tidur dan melewati makan siang.Makan malam sudah siap. Aku sangat menanti makan malam, karena perutku sudah benar-benar lapar. Oh, perutku tolonglah jangan membuat masalah ketika di ruang makan. Jika sampai itu terjadi, apa sebaiknya aku berpura-pura mati?Aku mengenakan gaun sederhana berwarna coklat muda yang telah disiapkan pelayan tadi. Busana yang sederhana namun tetap mempunyai kesan yang anggun. Dia mengatakan bahwa kehadiranku mendadak di sini, jadi semua baju ini adalah milik mendiang ibu Pangeran Tom. Tom yang malang, dia sudah kehilangan ibunya. Ingin aku bertanya kepada pelayan itu mengapa ibunya meninggal, tapi aku tahan. Aku harus berhati-hati dengan orang
Seorang pelayan mengetuk pintu dan masuk ke kamarku. Aku membuka mataku.”Maaf, Nona. Pangeran Tom memberikan ini untukmu.”Ternyata dia, Amy.”Baiklah, Amy. Letakkan di sana. Nanti aku pakai setelah membersihkan badanku terlebih dahulu.””Izinkan saya merias Anda, Nona.””Baiklah, tapi jangan panggil aku Nona.””Baik, Nona. Eh, Jane.”Aku pergi mandi.Aku mengenakan gaun yang sudah disiapkan Tom, dibantu Amy memakaikan korset. Aku benci sekali dengan korset ini. Gaun ini berwarna merah muda—sangat muda seperti bunga mawar yang baru mekar. Meskipun acara malam hari yang seharusnya berwarna gelap. Namun, aku yakin Tom memilih ini tanpa ragu. Dia pikir ini cocok denganku dan aku suka, sangat suka.Amy menata rambutku sedemikian rupa. Dia menyanggul rambutku ke belakang, dan membiarkan rambut depanku terurai. Rambut yang tidak bisa tersanggul karena terlalu pendek. Dia menyanggul lebih rapi daripada sebelumnya. Amy memberikanku hiasan mutiara-mutiara kecil di rambutku. Terasa lebih hidup
Pikiranku kosong. Air mata mengalir begitu saja, tapi tidak seperti sebelumnya. Aku menangis tapi ada perasaan senang di dalamnya. Apa ada hal sesuatu yang telah terjadi? Apa aku pernah bertemu dengan Tom sebelumnya? Namun, Tom mengatakan bahwa dia belum pernah menemuiku. Jika dia belum pernah bertemu denganku, mengapa dia bisa mengutarakan perasaannya meski baru bertemu beberapa hari? Padahal kami baru dekat pada saat sedang berdansa.Aku membasuh muka dan kedua tanganku. Aku melihat diriku sendiri di cermin. Riasanku mulai memudar, tapi aku tidak memikirkannya. Aku mencoba menenangkan detakan jantungku, dan air mataku sudah berhenti mengalir. Apa yang harus aku lakukan setelah ini? Rasanya akan canggung sekali. Aku tidak bisa mengatasinya.Aku melamunkan diri di hadapan cermin. Tujuanku sebenarnya adalah mencari tahu mengapa aku hilang ingatan, tapi aku merasakan ada hal yang berbeda. Ada apa dengan ini? Apa aku mengingat sesuatu? Mengapa jantungku tidak bisa berhenti kembali normal
Sayup-sayup aku mendengar suara perasan air menetes ke bawah genangan air dalam suatu bejana. Tetesan air itu mulai menyentuh keningku. Terasa dingin sekali. Aku mulai membuka mata, memang masih terasa berat. Sepertinya aku tidak membuka mata secara menyeluruh. Entah ini rasa kantukku atau memang aku kelelahan. Amy melakukan ini untukku, dia sudah menyiapkan makanan. Sesungguhnya aku tidak berselera dengan makanan.Aku melihat di sebrang sana, Tom sedang duduk di sofa. Namun, ia sedang tertidur. Dia masih mengenakan kemeja yang semalam ia pakai. Apa semalaman dia tertidur di sini?Badanku masih lemas. Hanya saja aku mencoba untuk berdiri menghampiri Tom. Aku sempat dicegah oleh Amy, tapi aku mengabaikannya. Dia langsung pergi keluar begitu aku membawa selimut dari tempat tidurku, dan memakaikannya kepada Tom. Aku tahu ini sudah siang, tapi aku merasa kasihan sekali kepadanya. Dia mengkhawatirkanku sampai seperti ini. Tom, maafkan aku. Dia terbangun—menggosok matanya."Jane, mengapa ka
Semua orang hampir meninggalkan kamarku begitu Tuan Philip pergi, dan Williams ikut pergi untuk mengantarkannya.Tom masih di sini dan duduk di atas kasur. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan? Setelah kejadian semalam, aku benar-benar merasa canggung. Apakah aku menyakiti hatinya?Kepalanya masih menunduk. Aku sangat yakin dia ingin mengatakan sesuatu, akan tetapi mengingat kejadian semalam, itu membuatnya menjadi canggung. Aku tidak berani berucap, hanya saja pandanganku tidak berpaling darinya. Aku menatap rambutnya yang berwarna keemasan, rasanya aku ingin sekali menyentuh rambutnya yang lembut itu. Kemudian dia mulai menegakkan kepalanya, dan melihat bahwa aku sedang menatapnya.Aku benar-benar memalukan, mungkin dia berpikir jika aku memang sedang memperhatikannya. Meskipun itu memang benar, tapi aku berharap dia tidak berpikir seperti itu."Jane?""Ya? Ada yang ingin kau sampaikan? Aku tidak tahu harus berkata apa? Sedangkan kau hanya melamun menunduk ke bawah."Dia tersen
Keesokan harinya aku merasa bahwa tidak selamanya bermalas-malasan itu menyenangkan dan aku membutuhkan udara yang segar serta pemandangan luar yang cerah. Walaupun aku baru saja menghabiskan waktu sehari di sini, aku mulai bosan dengan udara yang aku hirup dan pemandangan di dalam kamar. Bukan waktu yang lama, tapi aku merasa jika waktu berjalan terlalu lambat. Dua hari terasa seperti dua bulan. Meski kamar ini sangat indah, mataku mesti melihat pemandangan dengan jangkauan yang lebih luas dan tentunya berada di alam terbuka.Setiap kali aku keluar kamar, Amy memergokiku. Dia melarang keras jika aku keluar kamar, dengan alasan perintah dari Pangeran Tom tidak bisa dilanggar. Aku muak mendengarnya, aku benar-benar bosan. Ketika aku mencobanya lagi, aku bertemu dengan Williams di depan pintu. Dia memelototiku. Dia yang lebih menyeramkan daripada ucapan Amy."Tidak bisa kah kau berdiam diri di kamar?" ketus Williams.Baru saja dia bersikap manis kemarin, dan hari ini sifatnya kembali ke
Aku memakai pakaian yang Williams berikan, aku berusaha tidak memedulikan sesuatu yang terjadi di balik pakaian ini. Meskipun terkadang ketika aku memperhatikan pakaian ini secara mendalam, kepalaku kembali terasa sedikit sakit. Aku merapikan pakaian di hadapan cermin, dan mengepang rambutku agak ke samping, yang seharusnya lurus ke belakang. Terlihat sedikit berantakan memang, karena aku melakukannya sendiri tanpa bantuan Amy. Aku belum memotong poniku, terlihat sangat panjang dan ikal, akan sangat mengganggu jika aku melakukan banyak aktivitas. Aku menjepit poniku dengan jepitan yang diberikan Williams. Setelah semuanya selesai, aku mengikat tali sepatuku. Sepatu boot yang panjang sehingga menutupi seluruh betisku. Jujur saja, aku lebih terasa nyaman mengenakan sepatu ini daripada sepatu yang berhak.Pakaian ini sangat melekat di tubuhku. Meskipun terlihat jelas lekukannya, aku masih bisa bernapas lega. Tidak seperti ketika mengenakan korset. Aku merasa sangat nyaman dengan pakaian
Aku melaju dengan kencang, gerbang kastil terbuka ketika prajurit melihatku. Aku bisa merasakan kecepatan ini, hampir saja angin menghempaskan tubuhku. Setelah sekian jarak yang aku tempuh, aku mulai memperlambat kecepatanku. Entah berapa jarak yang aku tempuh sampai sini. Aku bisa melihat pemukiman warga beberapa meter ke depan. Aku menuruni kuda yang kutunggangi, dan mengikatnya di bawah pohon besar sebelum memasuki ke pemukiman. Ketika aku memasuki pemukiman, di sini ramai sekali. Mereka sedang sibuk dengan masing-masing kegiatannya. Ada yang sedang bertransaksi jual beli, ada pula anak-anak yang sedang bermain berlari ke sana kemari. Ah, terasa sangat bergembira dan tidak ada beban hidup sama sekali. Mereka hanya senang bermain dengan riang. Aku merindukan masa kecilku. Meskipun aku tidak ingat sama sekali, tapi sepertinya aku banyak bermain daripada mempelajari suatu hal. Betapa bodohnya diriku. Aku mencari sebuah tempat agak sepi, untuk beristirahat. Akhirnya aku menemukan sebu