Share

Chapter 2

Aku membuka mataku, buram. Kepalaku pusing. Aku menutup kembali mataku.

“Siapa dia? Mengapa kau membawa gadis itu kemari?”

“Diam jangan berisik, dia sedang tidur!”

Terdengar suara dua lelaki yang sedang bercakap, aku membuka mata perlahan menatap langit-langit. Tidak seperti sebelumnya, langit-langit ini tampak seperti rumah biasa saja. Apa aku sudah terbangun dari mimpi gila tadi? Akan tetapi jika itu mimpi mengapa ada dua orang laki-laki di luar kamar ini?

Aku mencoba memulihkan diriku sendiri. Diam sejenak—mengamati lingkungan sekitar. Ingatanku belum pulih secara menyeluruh. Aku bahkan tidak ingat sama sekali bagaimana rupa kamar diriku sendiri. Jelas ini bukan kamarku sepertinya, berantakan sekali. Aku bangun dan duduk di atas kasur sambil memegang kepalaku yang masih terasa pusing. Aku harus bersiap diri, jika memang ini bukan kamarku, berarti ini kamar milik orang lain. Orang itu entah baik ataupun jahat aku tidak tahu sama sekali. Aku harus menjaga diriku sendiri.

Aku mulai berdiri dan melangkahkan kaki, tiba-tiba lelaki di luar tadi masuk ke kamar. Mereka siapa? Kedua lelaki itu sangat tampan, tapi bolehkah aku mempercayai kepribadiannya dari tampangnya? Aku rasa aku tidak boleh mengandalkan insting perempuan gila seperti itu.

“Nona kau sungguh tak apa? Aku melihatmu tak sadarkan diri di atas rerumputan. Aku sudah memeriksa badanmu, tapi aku tidak menemukan luka sedikit pun.”

Apa?! Berani-beraninya dia memeriksa badanku?

“Tenang nona, ini rumah singgahku. Maaf, bukan yang seperti kau bayangkan, kami tidak memeriksa sama sekali badanmu. Aku tinggal dengan seorang teman. Jangan pikirkan dia, dia memang agak sedikit menyebalkan.”

Sepertinya dia tahu, bahwa aku memancarkan aura tidak suka.

"Dari mana asalmu, nona?"

Aku terdiam.

"Um, siapa namamu?"

"Nama?" Siapa namaku? Aku pun tidak ingat sama sekali.

"Kau bahkan tidak ingat siapa namamu sama sekali?" tanya laki-laki yang menyebalkan tadi.

"Baiklah. Bagaimana jika namamu Jane. Perkenalkan aku Tom." Dia memberikan salam kepadaku. Aku membalasnya. Kemudian aku kembali terdiam. Benar-benar seperti orang bodoh. Memalukan sekali tidak ingat nama sama sekali.

Jane? Baiklah itu namaku sekarang, tampak tidak buruk.

"Oh ya, temanku bernama Williams"

Lelaki menyebalkan tadi bernama Williams. Dia lelaki tampan yang mungkin berumur 2-5 tahun lebih tua dariku, tapi dari penampilannya terlihat seorang lelaki biasa. Namun, Tom terlihat lebih tua dari Williams. Tom mempunyai kulit sedikit gelap dari Williams, meskipun sama berkulit putih. Untuk sekilas aku bisa menilai bahwa Tom lebih baik daripada Williams. Wajar saja aku menilai seperti itu, kesan pertama aku dan Williams cukup buruk. Ah menyebalkan, tidak punya sopan santun. Mereka tampak seumuran, bahkan tingginya pun hampir sama. Williams mempunyai rambut berwarna hitam, sedangkan Tom berwarna keemasan. Apa hubungan Tom dan Williams? Wajah mereka sama sekali tidak menunjukkan bahwa mereka bersaudara. Apakah aku akan percaya apa yang di ucapkan Tom jika mereka hanya berteman?

Sebaiknya aku pergi dari sini atau tinggal untuk sementara waktu?

“Nona, jika tidak keberatan tinggallah sesuka dan selama kau mau. Aku tidak melarang. Karena jarak tempatmu terjatuh dan rumah ini sungguh sangat jauh.”

Mungkin perkataan dia ada benarnya. Bukan hanya jauh, tapi aku pun sebenarnya meragukan tempat tadi. Bisa saja tempat itu membahayakan untukku dan aku pun tak tahu ke mana aku harus pulang. Aku tidak ingat sama sekali di mana rumahku berada.

"Baiklah, terima kasih."

"Aku kira dia akan pergi," sela Williams sambil meninggalkan kamar ini.

Tom hanya bisa memelototi dari belakang Williams. Tingkah mereka sedikit lucu meskipun memang menyebalkan.

"Abaikan saja ucapan dia tadi."

Aku hanya tersenyum.

Tiba-tiba perutku bunyi. Astaga, ini hal paling memalukan dalam hidupku. Aku memegang perutku dan aku menyeringai menahan malu. Tom hanya bisa tersenyum menahan tawa. Dia juga tampan. Tunggu, sepertinya wajah Williams tadi tidak asing bagiku. Apa aku pernah bertemu dengannya?

"Ada masalah?"

"Apa kami benar-benar pernah bertemu sebelumnya? Sepertinya temanmu tidak asing bagiku?"

"Entahlah, sebaiknya kau tanyakan langsung kepada dia. Namun, sepertinya aku belum pernah bertemu denganmu. Um, sebaiknya kau segera mandi dan siap-siap untuk makan. Sepertinya perutmu harus segera diisi oleh makanan. Karena aku tahu betapa laparnya dirimu, kan?" Dia tersenyum sinis.

Astaga! aku sangat malu sekali dia menyindir seperti itu. Andaikan di dunia ini tidak ada yang namanya lapar, ataupun perut bunyi mungkin aku akan lolos di tahap memalukan ini.

Aku bergegas mandi setelah Tom meninggalkan kamar ini.

***

Air yang dingin menusuk langsung ke dalam tubuhku. Namun, ini benar-benar menyegarkan. Aku membersihkan badanku dari kotornya lumpur. Memang benar kata Williams, tidak ada luka. Apa memang benar dia memeriksa tubuhku? Tunggu—tidak masuk akal bukannya? Dia bilang sudah memeriksa tubuhku, tapi dia tidak melihat memar-memar di sekujur tubuhku. Ada beberapa memar, tapi tidak banyak. Namun, ketika ditekan lumayan sakit. Ah, lelaki itu menyebalkan sekali beraninya mempermainkanku seperti itu. Aku mengenakan kembali pakaian yang tadi kupakai. Kotor memang, tapi mau bagaimana lagi? Setelah aku keluar dari kamar mandi, tampak baju bersih berada di atas kasur. Aku langsung segera memakainya. Baju ini berbeda dengan yang tadi. Meskipun sudah lusuh, akan tetapi baju yang tadi adalah gaun yang cukup indah sedangkan ini baju biasa seperti rakyat biasa. Ah, sudahlah yang penting aku merasa cukup aman berada di sini.

Aku keluar kamar—di sana tampak langsung berhadapan dengan ruang makan. Rumah ini sepertinya sangat sempit, dan juga berantakan. Namun aku tidak menemukan noda atau debu di sini, cukup bersih. Ada apa dengan pekerjaan mereka? Sampai-sampai tidak punya waktu luang untuk merapikan tempat ini?

Di luar dugaanku, menu makanan ini cukup lengkap untuk ukuran rumah seperti ini dan ternyata semua ini disuguhkan oleh beberapa orang pelayan. Mereka sanggup membayar pelayan untuk melakukan ini, tapi tidak sanggup merapikan rumah? Sebenarnya mereka siapa? Menurut pendapatku, tentunya rumah ini bukanlah rumah mereka.

Aku menikmati santapan ini. Sungguh lezat. Dan tentunya aku tidak perlu berlaga seperti bangsawan, kan? Toh, di hadapanku hanya rakyat biasa tidak seperti dengan Raja tua dan para anaknya.

Aku menyadari bahwa Tom dan Williams hanya memperhatikanku tanpa ikut makan.

Aku terdiam sejenak

"Kenapa? Apakah makanan ini tidak enak?" tanya Tom

"Kau ini aneh, Tom. Bagaimana bisa dibilang tidak enak? Dia cukup lahap untuk menyantap makanan ini."

Tidak Tom, jangan katakan bahwa aku benar-benar lapar.

"Um, makanan ini sungguh lezat. Terima kasih sudah membuatkannya untukku. Hanya saja aku heran mengapa kalian tidak makan sama sekali?"

"Tidak kau saja."

Aku mengerutkan dahi. " Apa jangan jangan—"

"Memang benar aku memasukkan racun yang banyak ke dalam makananmu"

Aku melotot.

"Wil, hentikan!" Tom sedikit tertawa.

"Maaf, Nona, kami yang memasak ini semua. Para tuan muda tidak pernah ikut membantu kami," bisik salah seorang pelayan.

"Um, Oke. Terima kasih atas masakannya. Ini lezat sekali. Maaf telah berburuk sangka kepadamu." Aku tersenyum

Aku melirik Williams sepintas, tampaknya dia puas telah membuatku cemas. Dia sepertinya memang tidak suka kepadaku, entahlah. Apa aku pergi saja dari sini? Akan tetapi aku masih agak sedikit takut untuk melangkah kaki keluar. Tidak ada satu pun orang yang aku kenal.

Aku menghabiskan semua makananku tanpa sisa.

"Badanmu cukup kecil untuk makan sebanyak ini? Apa benar makananmu masuk langsung ke dalam perut atau kau membuangnya di suatu tempat? Apa sebenarnya kau itu hantu?"

"Dasar bodoh," ucapku pelan.

"Apa kau bilang?"

"Aku tidak mengatakan apa pun."

"Sudah hentikan. Bagaimana Wil, apa kau sudah memikirkan bagaimana kita selanjutnya?"

"Entahlah, kau kan tahu aku tidak punya tempat tinggal. Selama ini aku hanya menumpang di tempatmu. Tidak mungkin juga kita meninggalkan dia sendiri di tempat ini. Tempat ini tidak layak sama sekali. Dipakai hanya untuk persinggahan sementara."

"Tidak usah mengkhawatirkan aku, aku akan pergi dari sini. Terima kasih atas perawatannya." Aku tersenyum dan bergegas pergi.

Entah ke mana aku akan pergi, yang jelas aku tidak mau menjadi beban bagi orang lain. Aku harus mencari tahu bagaimana bisa aku berada di sini, dan mencoba mengingat semua yang sudah kulupakan.

Ketika aku keluar dari rumah itu, aku dikagetkan bagaimana keadaan luar. Hutan—ini seperti hutan belantara, tidak ada penduduk satu pun. Bagaimana mereka bisa kemari, sedangkan di luar tidak ada kereta kuda sama sekali? Baiklah aku akan mengandalkan instingku untuk keluar dari hutan ini. Sepertinya jalan itu merupakan jalan setapak. Jika aku mengikuti jalan setapak ini, besar kemungkinan ke arah pemukiman.

"Hei tunggu!" Seseorang menarik tanganku.

Dia adalah Williams.

"Jangan ceroboh, kau mungkin akan tersesat. Besar kemungkinan kau akan mati sebelum menemukan pemukiman. Kau tahu? Sudah Tom katakan tadi, jarak dari sini dan tempat asalmu sangat jauh. Kau juga bisa tinggal di sini sementara waktu. Tidak perlu khawatir, akan aku temani."

Mataku berbinar, dan secara spontan aku memeluk Williams. "Terima kasih banyak, aku kira kau orang yang jahat. Menyebalkan"

"Hei, lepaskan aku. Jangan sentuh aku, wanita gila." Williams mendorong badanku, tapi aku tetap memeluknya. Karena aku bingung harus bagaimana. Apa aku bisa hidup tanpa makan? Aku menangis tersedu-sedu.

"Hei, siapa suruh kau temani Jane? Kalian berdua ikut aku. Kita pergi dari sini," sahut Tom

"Kau bisa dengarkan apa kata Tom? Jadi lepaskan aku!"

"Baiklah, maafkan aku. Aku tidak mau mati!" Aku melepaskan Williams, dan tetap menangis tersedu-sedu, sambil mengusap air mataku.

"Ah sialan." Sepertinya Williams tampak kesal.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status