Part: 17***Hari ini kami sarapan bertiga, ada degup jantung yang tak bisa aku gambarkan dengan kata-kata.Aku yakin Rena juga merasakan hal yang sama, karena sedari tadi ia menatap Dokter Wiliam dengan mata yang berbinar-binar."Nanti sore jadi kan kita makan di luar?" tanya Dokter Wiliam memecahkan keheningan."Em ... i-iya Dok," jawabku gugup.Rena menatap serius ke arahku, membuat aku semakin salah tingkah.Setelah selesai sarapan, Dokter Wiliam berpamitan pulang, "saya permisi dulu ya, nanti sore saya akan menjemput kalian.""Berarti saya juga ikut?" tanya Rena dengan semangat."Tentu saja, bertiga akan lebih seru."Aku tersenyum mendengar jawaban Dokter Wiliam itu, dan aku juga menjadi lega karena Rena turut ikut bersama.Usai kepergian Dokter Wiliam, aku dan Rena berbincang-bincang tentang hal konyol yang menyenangkan."Ci, bagaimana jika kita bersaing dengan sehat untuk mendapatkan hati Doktam?" Rena memulai kekonyolannya."Doktam itu apa? Gak usah saingan segala, mending kam
Part: 18***"Kenapa kalian tampak kaget begitu?" tanya Dokter Wiliam heran.Aku cepat-cepat menstabilkan degub jantungku, dan Rena, ia tak bisa menyembunyikan kekecewaannya.Sedari tadi makanan yang dipesannya hanya diaduk-aduk tak karuan."Dokter mau melamar siapa?" Aku bertanya dengan hati-hati."Rahasia dong, kalian cukup katakan hal apa yang paling disukai kaum wanita!" Rena masih tak bersuara, wajahnya tampak lesu seketika."Wanita itu suka kepastian, kalau memang Dokter mau melamar seseorang, cepatlah lakukan, karena menunggu terlalu lama itu membesonkan bagi wanita, dan satu lagi, wanita suka laki-laki yang jujur dan berani dalam menyatakan perasaan." Aku berlagak bijak kali ini.Rena masih membisu, bahkan ia tidak tertarik untuk membahas topik ini.Dokter Wiliam mengangguk mendengar perkataanku, ia juga memandang ke arah Rena yang tampak tak bersemangat."Gadis bawel, kenapa mendadak jadi pendiam?" Goda Dokter Wiliam.Rena hanya menatap sekilas, lalu membuang kembali pandang
Part: 19***Aku dan Rena bersemangat sekali hari ini, toko pakaianku pun sudah sangat ramai sekarang.Setelah jam makan siang, Dokter Wiliam menjemput Rena. "Hey, bos Suci! Apa saya boleh meminjam temanmu sebentar?" tanya Dokter Wiliam meminta izin."Tentu saja, tolong kembalikan lagi dengan utuh seperti ini!" Aku melempar candaan.Walau pun hati sebenarnya sedikit perih."Tenang saja, ayo Ren!"Rena hanya tersenyum, berbeda dengan biasanya, siang ini Rena bersikap sangat anggun.Dokter Wiliam dan Rena pergi, kini aku sendirian di toko.Selang beberapa saat, Mas Aryo menghampiriku."Kok sendiri aja, Dek? Temenmu mana?" tanya Mas Aryo."Rena lagi keluar," sahutku cuek."Kalau diperhatikan, sekarang kamu tambah manis Dek."Mas Aryo mencoba merayuku lagi, entah apa tujuannya. Jika dulu, aku pasti selalu klepek-klepek dengan gombalannya itu, tapi sekarang malah ingin muntah."Katakan saja ada perlu apa Mas ke sini?" "Jangan jutek begitu dong, Dek! Mas cuma mau hubungan kita baik-baik s
Part: 20***Hari semakin sore, aku menutup kembali toko pakaianku.Langkahku semakin lemah, kecemasanku semakin tak terbendung.Setelah sampai ke depan kontrakkan, aku tidak langsung masuk ke dalam.Langkahku beralih menuju rumah Dokter Wiliam, aku akan menanyakan pada Tante Ratna atau Jeniffer.Kini aku berada di depan pintu, bell aku tekan dengan cepat, Tante Ratna membukakan pintu."Suci," lirihnya."Maaf, Tante. Saya cuma mau menanyakan keberadaan Dokter Wiliam," ujarku tanpa basa-basi."Ayo masuk dulu," ajaknya.Aku menurut, kini kami telah berada di ruang tengah, Jeniffer dan Om Wilson juga ada."Tadi kamu bilang mau bertanya soal Wiliam kan?" Tante Ratna membuka suara."Benar, Tente.""Kami juga menunggu kepulangannya, kemarin dia pamit untuk ke luar kota," papar Tante Ratna."Tapi kemarin Dokter Wiliam membawa temen saya, Tante. Katanya hanya ingin mengajak Rena bicara di luar." Aku mengatakan yang sejujurnya.Tante Ratna dan yang lain sontak saling melempar pandangan.Aku ju
Part: 21***Hari sudah gelap, aku duduk di teras menunggu tukang bakso lewat.Aku sudah hafal jam Mang Sudir keliling, jadi aku menunggunya karena sebentar lagi pasti ia lewat sini."Bakso ... bakso!" Teriak Mang Sudir yang sudah kedengaran dari jauh.Kini langkahnya mulai mendekat ke arah depan kontrakkanku.Ia tersenyum sambil menghentikan dorongan gerobaknya."Semangkok ya, Mang! Seperti biasa," ucapku.Mang Sudir menggangguk dan bergegas membuatkan aku semangkok bakso.Setelah selesai ia menyerahkannya sembari berkata, "Dokter Wiliam biasanya selalu keluar jika mendengar saya sudah tiba.""Mungkin lagi diet," sahutku asal.Tak lama kemudian yang dibicarakan keluar, Dokter Wiliam berjalan ke arah sini."Buatin juga ya!" ujarnya pada Mang Sudir.Dokter Wiliam duduk di sebelahku. Perasaanku kembali tak karuan."Sorry ya, Ci. Kemarin saya dan Rena membuatmu cemas," ucanya menatapku penuh rasa bersalah."Sudahlah, lagian saya hanya takut kalian kenapa-napa. Cuma saya masih bingung den
Part: 22***Aku dan Dokter Wiliam mengobrol di ruang tamu. Perasaanku menjadi tak karuan, antara gugup dan senang."Sebenarnya saya ingin mengatakan ini dari jauh hari, tapi merasa sungkan," ujar Dokter Wiliam."Katakan saja, Dok!" Aku mencoba bersikap tenang."Dari awal kamu pindah ke sini, saya sudah menaruh simpati padamu.""Simpati? Saya rasa itu wajar, karena dokter mengetahui masalah saya yang sebenarnya," paparku."Iya memang, tapi lebih tepatnya saya menaruh hati padamu."Deg!Dentak jantungku mulai tak terkontrol lagi, apa sekarang aku tengah bermimpi?"Tetapi bukankah ....""Rena?" Dokter Wiliam memotong kalimatku.Aku mengangguk, karena aku fikir Dokter Wiliam menyukai Rena."Saya hanya menganggap Rena sebagai teman biasa. Kemarin saya mengajaknya pergi untuk menceritakan tentang ini. Jika tidak percaya tanyakan saja padanya," papar Dokter Wiliam.Aku tersenyum senang, rasanya hatiku dipenuhi bunga-bunga.Namun bagaimana dengan Rena?Apa perubahan sikapnya karena ini?"Lal
***Air mataku ikut berjatuhan, logika dan hati bertolak belakang."Apa ini benar?" Aku bertanya dengan gemetar."Untuk apa aku berbohong untuk hal sebesar ini Ci," jawab Rena."Aku tidak tahu harus mempercayai siapa saat ini, Ren."Rena menatapku cukup lama, aku benar-benar tidak bisa menyimpulkan apa pun sekarang."Ci, martabak dari siapa ini?" Rena menatap ke arah meja."Dokter Wiliam." Aku menjawab jujur."Berarti dia tadi ke sini?" tanya Rena lagi.Aku mengangguk pelan, Rena menghapus air matanya dan meraih kedua tanganku."Aku tidak memaksamu untuk percaya Ci. Silahkan cari tahu sendiri kebenarannya. Namun, jangan sampai terjebak sepertiku. Sekarang aku sudah kehilangan masa depanku Ci," papar Rena."Aku akan mencari tahunya Ren. Jika yang kamu katakan terbukti benar, maka aku sendiri yang akan menuntut pertanggung jawaban dari Dokter Wiliam itu!"Aku memeluk Rena, aku memang belum bisa mempercayai ucapan Rena sepenuhnya. Namun, aku juga tak tega jika membiarkan Rena larut dalam
***Saat sore hari, aku bersantai di depan teras setelah usai mandi. Ibu dan Mas Aryo akan berkunjung ke siniEh, bukan berkunjung! Lebih tepatnya ingin meminta tolong.Tak lama aku menunggu, kini terlihat sebuah mobil berhenti di depan kontrakkanku.Mas Aryo turun bersama Ibunya, sedangkan Desy tidak ikut serta."Silahkan masuk! Kita bicara di dalam saja," ucapku.Ibu memandang sekeliling ruang tamuku yang kecil. Namun, barang-barangku tentunya cukup banyak."Ini sofa mahal, kamu benar-benar hebat," puji Ibu.Aku hanya berdehem menanggapi ucapannya itu."Kamu juga sekarang tampak lebih cantik dan segar Dek," sambung Mas Aryo."Terima kasih, silahkan duduk dulu! Saya akan mengambil uangnya di kamar." Aku berlalu.Sampai di dalam kamar, aku mengambil uang yang tadi sudah aku tarik di ATM. Dengan santai aku berjalan mengahampiri mereka kembali, "ini, Bu ...." Aku menyodorkan uang yang ingin dipinjam Ibu itu."Wah, terima kasih. Kami akan membayar secepatnya," ujar Ibu.Mas Aryo tersen