“Aku enggak selemah itu.” Prily kesal. Mulut suaminya benar-benar jahat. “Nyesel aku, tahu begini kubiarkan saja kamu lompat,” gerutunya pelan, tetapi tetap saja sampai pada indera pendengaran milik Arjuna.“Yakin nyesel? Buktinya dicium.” Arjuna tersenyum mengejek, yang dibalas dengan kerlingan malas dari Prily. Namun, sejenak ia baru sadar. Harusnya orang mabuk tak akan mengingat apa yang terjadi.“Mas ngerjain aku, ya? Sebenarnya kemarin itu enggak benar-benar mabukk ‘kan?” Arjuna semakin melebarkan senyumnya. Seiring dengan dahi Prily yang mengerut karena heran. Sejak kamarin ia terus mengkhawatirkan keselamatan suaminya. Bisa-bisanya pria ini malah mengerjainya hanya untuk mendapatkan ciuman.“Ya sudah sih, sana jalan. Ngapain masih di sini? Katanya enggak selemah itu, Awas!” Arjuna sengaja menaikkan ke dua kakinya ke atas. Lalu meluruskannya di sana hingga membuat Prily mau tak mau bangkit dari tempat duduknya. Ia bahkan meniru gaya bicara istrinya yang sok kuat itu. Mengab
“Kenapa? Apa begini cara orang tuamu mendidik putrinya? Habis manis sepah dibuang. Ada pria yang lebih kaya, kamu langsung menempel dengannya seperti prangko, sedangkan si miskin yang selama ini menemanimu dibuang begitu saja,” sindir Arjuna, masih dengan smirk yang menyeramkan.“Mas Arjuna cukup! Kamu boleh marah padaku, tapi bukan berarti kamu boleh menjelekkan orang tuaku.” Kali ini Prily mengeraskan suaranya.“Cih, Aku tahu, seperti apa aku di mata keluargamu. Bukankah dari dulu, kamu juga menyukai dia? Seharusnya kamu enggak meninggalkan catatanusangmu di kamar kita. Aku tahu sejak pulang dari rumah sakit, kamu mencaribenda ini siang dan malam ‘kan?”“Jadi buku itu ada di kamu?” Prily tak tahu lagi harus bicara apa, selain pertanyaan sia-sia yang dia sendiri sudah tahu jawabannya. Ia begitu gugup, Arjuna pasti telah membaca semua isinya. Mati sudah, buku ituhampir semuanya berisi curahan hatinya tentang Akbar. Belum lagi beberapa keluhannya selama berumah tangga dengan Arjuna.“A
“Berapa semalam?”“500 ribu,” jawab Suminah cepat. Arjuna mulai merogoh saku celana. Lalu beberapa lembar uang merah ia serahkan pada perempuan itu.“Cukup ‘kan?” tanyanya kembali memastikan, sebelum ia beranjak pergi. Wanita itu masih terpaku di tempatnya. Menyadari langkah Arjuna yang semakin menjauh, ia gegas mengikuti laki-laki itu.“Pulanglah. Anggap saja itu bayaranmu karena telah menemaniku ngobrol.”“A-apa?” Wanita itu tergagap, masih tak percaya kalau Arjuna kembali mematahkan dugaannya. Ia tetaplah pria baik yang setia pada keluarganya di rumah.“Jangan mengikutiku, kita sudah dilihat banyak orang. Pulang, udara malam enggak bagus buat manusia.”“Ya Tuhan, mulutmu itu.”“Kamu ‘kan manusia?” Gadis itu mengerling malas.“Apa kamu sedang memberiku sedekah, tapi maaf aku bukan pengemis. Ini aku kembalikan saja, aku akan menerima jika aku melakukan pekerjaan,” katanya angkuh dengan satu tangannya yang menyodorkan uang itu kembali.“Terserah mau menganggapnya apa, tapi aku sudah t
"Asal kamu enggak merepotkanku. Kamu boleh tinggal di sini! Besok pagi aku ada pertemuan penting. Kalau tidak ada yang penting aku akan pergi tidur sekarang.”Mendengar Prily yang tak menjawab justru, hanya diam Arjuna berbalik. Ia melihat Prily justru tengah tertunduk menatap lantai yang kosong.“Kamarmu di lantai bawah!” jelasnya. Seketika membuat Prily mengerjap.“Terima kasih, untuk tumpangannya. Arjuna tak peduli, ia kembali meneruskan langkah hingga sosoknya menghilang dibalik pintu.Malam itu terasa panjang bagi sepasang suami istri yang kini berada dalam ruangan yang berbeda meski masih dalam satu atap yang sama. Prily tidur dengan gelisah. Bayang-bayang Akbar yang berniat menjamah tubuhnya masih lekat dalam ingatannya. Beberapa kali ia menutup wajahnya dengan bantal. Menyembunyikan diri dibalik selimut hingga tak terlihat sedikit pun.‘Aku enggak bisa, begini. Ya Allah apa engkau sedang marah padaku, karena telah menyia-nyiakan suamiku. Betapa naifnya diri ini mengagumi seseo
“Mas Arjuna?” Aku begitu senang saat pintu kamarku terbuka. Aku pikir itu dia ternyata seorang perempuan yang entah siapa. Dia tersenyum ramah, tapi sungguh bukan dia yang aku harapkan kehadirannya.“Maaf kupikir tadi suamiku, Mbak ini siapa?”“Saya dokter Nadia, Mas Arjuna yang minta saya datang ke sini. Boleh saya lihat lukanya.”“Di-dia yang minta?”“Iya, kenapa? Bukankah wajar suami perhatian sama istrinya. Mbak ini beruntung loh, punya suami kayak Mas Juna.” Aku hanya tersenyum, saat dokter Nadia terus saja membanggakan suamiku. Jujur saja aku kurang suka saat dia mengatakan kebaikan-kebaikan Mas Arjuna, seperti menujukan kalau hubungan mereka memang lebih dari sekedar dokter dan pasien.“Dokter kenal Mas Arjuna sudah lama?”“Dia hmm kita kebetulan teman lama sih.”“Oh gitu.” Entah aku merasa ragu, dari wajahnya saja ia seperti menyimpan kebohongan. “Boleh saya lihat lukanya sekarang? Mbak enggak usah sungkan, bajunya dibuka saja!” Meski ragu tapi aku tak boleh terus seperti ini
“Aku tidak bertemu siapa pun malam itu jangan mencoba memutar balikkan fakta!” Mas Arjuna terlihat menahan kesal, ia bahkan sudah bersiap untuk beranjak pergi.“Aku bisa mencium aroma parfum perempuan di kemejamu.” Sejenak ia menghentikan langkah, lantas berbalik.“Jika kamu tahu rasanya cemburu itu menyakitkan, kenapa melakukannya berkali-kali padaku. Aku memang bertemu seseorang malam itu, tapi kami hanya mengobrol biasa, aku tak sehina itu untuk melampiaskan kekesalanku. Beri aku waktu. Aku tidak ingin mengambil keputusan yang salah.”“Bukan soal seberapa lama mau menunggu. Aku hanya ingin membuktikan kalau aku tidak pernah melakukan itu. Jadi kalau suatu hari kita memang harus berpisah. Mas tidak lagi menganggapku kotor.”“Semua ini butuh waktu, Prily. Kita terlalu muda dan sama-sama emosional. Kita mengambil keputusan hanya berdasarkan emosi sesaat. Bagaimana bisa kita memulai hubungan itu sekarang juga? Bukankah kamu mendambakan kehidupan yang normal. Aku bisa memberikannya unt
“Kalau semua itu ada pada suamimu, pertahankan dia. Takutnya kamu tidak akan menemukan sosok sepertinya lagi,” ucap Zahiya sembari mengusap pelan tubuhku.“Terima kasih ya, karena kamu, sekarang aku merasa jauh lebih baik.”“Sama-sama, jangan sungkan untuk cerita. Masalah itu seperti kotoran, Prily. Tidak baik jika selamanya dipendam sendirian. Aku harus pulang, lain waktu kita bertemu lagi.”“Zahi tunggu, apa suamimu baik?”“Suamiku, hmm baik,” katanya ragu, padahal dulu Zahi adalah orang yang sangat terbuka.“Rumahku hanya berjarak 4 rumah darimu, Prily. Kalau ada masalah kamu bisa datang padaku.” Aku mengangguk lalu kami saling melambai untuk terakhir kali. Namun, saat aku akaj kembali menutup pintu gerbang justrudikejutkan dengan seseorang yang tiba-tiba mencekal lenganku. Aku refleks berteriak. Untung saja Zahi masih belum melangkah jauh. Ia segera berlari.“Tolong! Tolong!” Keringat dingin langsung keluar di sahi juga area telapak tanganku yang langsung terasa basah.“Prily, ak
“Aku hanya pergi 2 jam, bukan selamanya.”Aku harap juga begitu. Semoga ini hanya perasaanku saja.Seperti biasa setelah berpamitan ia akan pergi begitu saja. Namun, aku tak menyerah tetap kuulurkan tanganku padanya. Lagi-lagi Mas Arjuna hanya tersenyum.“Aku belum pantas.” Dari pada menerima uluran tanganku. Mas Juna malah mengacak kepalaku yang tertutup hijab.“Kenapa bisa bilang belum pantas, bukankah wajar suami istri melakukannya? Dulu juga kita terbiasa melakukannya.”“Karena aku belum bisa membahagiakanmu, seperti dulu pria itu lakukan padamu.”“Kamu sampai seperti itu, Mas? Apa buku itu membuatmu sakit.”“Tidak juga. Apa aku terlihat begitu? Tenanglah aku tak selemah yang kamu pikirkan, apa lagi hanya karena buku.”“Maafkan aku.” Dia mengangguk lalu kembali mencubit pipiku.“Jangan lupa untuk makan sesuatu.”“Aku akan mengantar Mas sampai depan.”“Tidak usah, istirahatlah di dalam! Biar aku yang akan mengunci pintunya.”~Aku sungguh sangat merindukan kebersamaan kita dulu. Se