Home / Rumah Tangga / Catatan Usang / Bukankah Adil, Sayang?

Share

Bukankah Adil, Sayang?

Author: ERIA YURIKA
last update Last Updated: 2022-07-22 10:56:29

Plak!

Ayah tiba-tiba saja menamparku.  Rupanya mereka masih menunggu di luar, setelah aku berhasil mengusir semua orang. Saat itu jam kunjung memang sudah habis jadi yang diperbolehkan masuk hanya satu orang saja. Tentu aku memanfaatkan kesempatan itu untuk membuat mereka pergi, karena dalam hal ini aku yang paling berhak atas istriku sendiri. Terlepas mereka orang tuanya. Sekarang tanggung jawab itu sudah berpindah padaku.

“Ayah kenapa lagi?”

“Jangan panggil aku Ayah, selama kamu belum menceraikan istrimu!”

“Ayah, yang anakmu itu dia atau aku?” Saat itu Ayah sudah bersiap menamparku kembali kalau saja Ibu tidak menahannya. Sudah pasti tak akan terelakkan lagi.

“Berani kamu mengatakan itu padanya. Kau tahu kalau bukan karena Jasa mertuamu mana bisa kita hidup dengan layak. Kau tahu berapa banyak hutangku yang sudah dia bayar tanpa meminta ganti sedikit pun? Kau tahu rasanya dipukuli rentenir hanya karena tak bisa bayar hutang, bahkan Ibumu hampir dipaksa melayani nafsu mereka hanya karena aku tak sanggup membayar. Kau tahu siapa yang menyelamatkannya?”

“Aku minta maaf, Ayah.”

“Ayah hanya meminta kamu memperlakukannya dengan baik.  Aku pikir kalian saling cinta, tapi nyatanya apa? Kalau saja kamu menolak menikahinya itu bukan masalah. Kamu enggak perlu merendahkannya dengan kesepakatan yang enggak masuk akal itu.” Ayah andai kau tahu, kalau kesepakatan itu hanya semu. Aku mencintai putri sahabatmu. Hanya saja aku merasa tak percaya diri kalau harus mengungkapkannya. Dia terlalu misterius kadang-kadang aku bingung mengartikan perasaannya.

“Tapi waktu itu kondisi Ayah kritis, mana tega aku berkata enggak. Aku enggak mau kalau Ayah sampai kenapa-kenapa?” kilahku.

“Ayah lebih baik mati, dari pada melihat perlakuanmu yang tak bisa menghargai perempuan. Kau ini lahir dari perempuan juga. Kenapa kau sampai begitu perhitungan? Kamu enggak akan miskin hanya karena memberikan sebagian hartamu untuk menafkahi keluarga.”

“Aku tahu itu salahku. Aku yang terlalu terobsesi ingin punya segalanya, tapi maaf kalau Ayah meminta kami berpisah. Aku tidak bisa melakukannya.”

“Kau!” Ayah kembali mengangkat tangannya.

“Ayah sudah!” Ibuku berteriak.

“Ayah aku berjanji akan membahagiakan Prily. Bagaimanapun caranya, tolong kasih kesempatan aku sekali lagi.”

“Kenapa aku harus membantumu? Pergi dari sini! Selama kau tidak menceraikannya kau bukan lagi anakku! Kamu benar-benar manusia yang tak tahu diri!” Ayah dan Ibu langsung beranjak pergi. Namun, nyatanya kepergian mereka begitu membekas di hatiku. Ada nyeri yang perlahan menjalar. Kenapa Ayah begitu membela Prily, padahal aku ini putranya. Salahkah kalau aku cemburu. Aku hanya berusaha membahagiakannya dengan kemewahan. Bukankah Ayah dan Ibu yang mendidikku kalau makan tak perlu mewah-mewah yang penting tabungan dan membeli barang yang punya nilai investasi. Aku menerapkan prinsip yang Ibu bilang sampai hari ini, tetapi kenapa kalian malah menyalahkanku. Aku hanya mengikuti cara kalian mendidikku, bukankah kalian juga yang memutuskan untuk punya satu anak, karena berpikir tentang bagaimana membiayainya. Aku benci kalian, seharusnya kalian tak mengajarkanku cara hidup yang seperti itu. Kalau setelah aku menerakannya dengan teganya kalian mengucap kata itu. Kata yang sangat membuatku sakit hati.

Lihatlah Prily demi mempertahankanmu, aku bahkan rela tak dianggap anak oleh orang tuaku sendiri. Padahal, kalau memang caraku salah, tak cukupkah hanya menegurku. Kenapa malah menyuruh kami bercerai. Aku bahkan tak pernah protes saat ayah memintaku membiayai keluarga mereka. Suka tak suka aku tetap menunaikannya, tapi kenapa begini.

Entahlah kenapa dunia senang sekali mempermainkanku. Aku ingin bebas mereka memaksaku terikat, tetapi saat aku ingin terikat semua orang malah berusaha melepaskan diri.

Aku memutuskan kembali ke ruangan Prily. Emosiku sudah sedikit mereda. Lebih baik pergi menjauh dari pada harus melampiaskan amarahku padanya. Aku tahu bahkan tanpa dia dirawat pun mentalnya memang sudah tak baik-baik saja. Entah kenapa dia menyembunyikan masalah itu padaku, sebenarnya sudah lama aku ingin menanyakan masalah apa yang dia alami sampai harus bergantung pada obat-obatan anti depresant, yang dia bilang vitamin itu. Aku bukan orang bodoh, meski dia berbohong. Dunia sudah canggih, hanya dengan mengetikkan kata kunci nama obatnya, semua fakta yang berkaitan dengan obat itu akan langsung muncul. Jadi bagaimana pun menyebalkannya sikap Prily yang terlampau pendiam, aku selalu memaafkannya. Namun, hari ini tak menyangka kalau dia bisa sampai meminta pisah. Mungkin aku yang terlalu emosi hingga terpancing dengan kalimat yang belum selesai itu. Entah apa yang dibisikkan ayah dan ibu mertuaku sehingga Prily yang semula begitu yakin, ingin memiliki anak dariku. Bisa memutuskan untuk berpisah, meski hanya untuk sementara. Ini sedikit tak masuk akal, seharusnya ada alasan kuat yang membuat pendiriannya roboh begitu saja. menabung selama 4 tahun bukan waktu yang sebentar.

Pintu ruangan itu sedikit terbuka, aku gegas mendekat dengan sedikit mengendap-ngendap. Rupanya ada Hisyam di sana, mereka sepertinya tengah asyik mengobrol sampai-sampai tak menyadari kalau aku sudah ikut bergabung di ruangan ini.

“Hatiku sudah lama mati, Hisyam. Kalau kau tanya kenapa aku membela dia mati-matian, itu karena dia suamiku. Selebihnya kau tahu apa yang kurasakan. Apa orang yang sudah mati masih bisa merasakan cinta?” ucap Prily. Apa maksudnya. Jadi selama ini dia tak pernah mencintaiku? Jadi semua kekhawatiranku benar?

Prily … bagus sekali, kau tahu ucapanmu itu. Bahkan terasa lebih menyakitkan dibandingkan ayahku yang memutuskan hubungan kekeluargaan denganku.

Melihat keberadaanku mereka mendadak kikuk.

“Sudah curhatnya? Jangan berisik, aku mau tidur!” ucapku santai, tetapi cara Hisyam melihatku justru seperti menantang perang. Aku benar-benar tak tertarik untuk melakukan apa pun. Aku butuh tidur jadi mengabaikan mereka yang masih melempar tatapan heran padaku. Aku tetap merebahkan tubuhku di sofa. Mataku mulai terpejam, tapi sepertinya Hisyam masih saja tertarik untuk bergulat denganku satu ronde lagi.

“Hisyam, kamu keluar dulu ya!”

“Tapi, Mbak kalau dia nyakitin bagaimana?”

“Enggak akan, Mbak bisa teriak. Tinggalkan Mbak ya, please!” Suara Prily terdengar memohon. Memangnya apa yang mau dia bicarakan. Bukankah dia bilang hatinya sudah mati. Tak lama setelah terdengar pintu tertutup Prily mulai mengajakku bicara.

“Mas, aku tahu kamu belum tidur,” katanya.

“Aku sedang enggak ingin bicara apa pun, jangan ganggu aku!” ucapku tanpa membuka mata. Kali ini aku tak berbohong, baik fisik maupun mentalku benar-benar lelah.

“Mas, tapi lukamu enggak bisa dibiarkan begitu aja!”

“Diam! Berhenti berpura-pura baik. Mulai hari ini dan seterusnya kamu enggak perlu lagi melakukan kewajibanmu sebagai istriku.”

“Astaghfirrullah Mas, maksud kamu apa?” Aku bisa melihat Prily tampak shock, dengan ucapanku.

Bodoh! Bisa-bisanya aku jatuh cinta pada wanita seperti itu. Lihat saja akan kubuat kau merasakan hal yang sama. Akan kubuat kau jatuh cinta padaku, tapi saat itu terjadi aku akan meninggalkanmu. 'Bukankah ini adil, Sayang?'

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Catatan Usang   Aku Sungguh Membutuhkanmu

    “Hisyam, kamu tidak ingin berkata apa pun?”“Aku hanya ingin minta maaf Mbak. Seharusnya aku enggak ikut membencimu.”“Sudahlah, Mbak titip Ayah sama Ibu ya.”“Memangnya Mbak mau ke mana, tolong jangan bikin Hisyam takut.”“Sayangi mereka, Hisyam … berjanjilah.” Bahkan pemuda yang biasanya tampak acuh, hari ini terlihat begitu rapuh.“Hisyam janji, Mbak.”“Ayah.”“Iya, Sayang.”“Lihat dia, bukankah suamiku sangat tampan?" tanya Prily. Sejenak membuat Ayah Jeri memutar kepala ke arah Arjuna.“Iya, dia sangat tampan."“Jangan membencinya lagi, Ayah. Aku sudah sangat bahagia, percayalah.”“Ayah tidak akan membencinya Nak, tapi bisakah kamu berhenti menakuti kami. Dokter pasti bisa sembuhin kamu. Berapa pun biayanya biarlah kami yang membayarnya. Kalau perlu jual saja rumah kami untuk biaya pengobatanmu.” Sekali lagi Prily hanya tersenyum saja.“Dokter, putri saya pasti bisa sembuh ‘kan?” tanya Ayah Jeri. Sayangnya tak mendapat jawaban dari dokter di belakangnya. Namun, ia bukan orang bod

  • Catatan Usang   Maaf

    Masa bodo dengan norma dan kesantunan. Wajah yang selalu tampak ramah itu hari ini hanya ada kemarahan di sana. Siapa pun yang menyaksikannya malam itu dibuat merinding. Beberapa warga tampak menahannya, tetapi Arjuna tetap bersikukuh ingin merusak pintu pagar yang terbuat dari besi itu dengan menginjaknya berulang kali. Tak ia pedulikan rasa sakit yang di kakinya. Hanya ada satu wajah yang ada dalam benaknya. Wajah yang selama sembilan bulan ini selalu menyembunyikan kesedihan di balik senyumnya itu sungguh membuatnya semakin muak dengan semua penghuni di rumah ini.Sampai akhirnya ketiga orang yang berada di dalam rumah itu keluar.“Apa kamu sudah gila membuat keributan di jam malam begini?” sentak Ayah Jeri dengan wajah yang merah padam.“Ya, saya gila karena Anda. Anda yang membuat istri saya bersedih sepanjang hari hingga berbulan-bulan. Anda tahu hari ini dia hanya ingin bertemu orang tuanya, tapi sungguh dua orang itu benar-benar egois. Bahkan sedikit pun tak punya belas kasiha

  • Catatan Usang   Patah

    “Mulai besok biar Mas yang membersihkan rumah.”“Mana bisa begitu? Aku masih sehat, kalau sekedar mengurus rumah, itu bukanlah pekerjaan yang berat. Mas jangan terlalu berlebihan! Masa iya sepanjang hari aku hanya berbaring di tempat tidur. Itu sangat membosankan,” elaknya saat pasangan itu kembali ke rumah.“Ini perintah, tidak ada tapi.” Prily tampak menghembuskan nafas kasar. Seorang yang aktif sepertinya tentu saja tak akan setuju.“Mas hanya ingin menjagamu dan bayi kita. Menurutlah sekali, enggak akan lama kok.”“Tapi, aku rasa ini terlalu berlebihan.”“Rumah ini besar, kamu tidak akan sanggup membersihkannya sendirian setiap hari dengan keadaan yang seperti ini. Biar Mas, yang pikirkan bagaimana cara mengurusnya. Mungkin kita akan membayar pekerja part time sesekali.”“Keuangan kita belum stabil, bagaimana bisa kita mengeluarkan uang selagi kita bisa menghematnya?” Kali ini Arjuna yang semula berdiri mendadak menekuk lutut tepat di depan Prily. Tangannya perlahan mengusap lutut

  • Catatan Usang   Aroma Surga

    Semula Arjuna berpikir semua akan kembali baik-baik saja, bahwa pernikahannya akan berjalan lancar. Tak ada lagi rasa sakit, khawatir atau pun ketakutan. Mereka akan punya banyak anak, menemani mereka sekolah, sampai tumbuh dewasa. Lalu, menyaksikan saat mereka menemukan pasangan hidup. Sungguh rencana yang bahagia, akan tetapi ia lupa bahkan terkadang rencana yang dirancang begitu sempurna pun bisa gagal hanya dalam sekejap mata.Sore itu dibantu Andika tetangga samping rumahnya. Mereka melajukan mobil dengan kecepatan maksimal menuju rumah sakit. Pria itu langsung tanggap menawarkan bantuan, seolah mengerti di situasi panik, Arjuna akan kesulitan berkonsentrasi dalam menyetir.“Bisa lebih cepat enggak, Mas?” pinta Arjuna, sesekali ia mengusap peluh yang mulai menetes membasahi wajah lelahnya seusai bekerja itu. Prily yang kini berbaring di pangkuannya bahkan sesekali ikut terguncang, saat sesekali melintas pada jalanan yang berlubang. Andika memilih mengiyakan perintah itu, meski se

  • Catatan Usang   Baby Breath

    “Mas.” Prily buru-buru menutup kembali pakaiannya, lalu bangkit dan meraih lenganku.“Maafin aku, Mas. Aku enggak bilang sama kamu dulu. Aku tahu kamu pasti enggak akan setuju, tapi aku enggak bisa Mas, aku enggak akan sanggup melihat kamu meninggalkan aku lebih dahulu.”“Kenapa, Prily?”“Karena aku mencintai kamu.”“Kamu bodoh, untuk apa mempertaruhkan hidupmu demi orang sepertiku?”“Lalu, bagaimana caranya aku harus berterima kasih? Katakan.”“Tetaplah hidup bersamaku.”Sungguh aku sama sekali tidak senang, aku sering membaca artikel tentang orang yang hidup dengan satu ginjal, itu sangat tak mudah. Dia masih muda, seharusnya dia tak sekonyol ini mengorbankan hal paling vital bagi kelangsungan hidupnya. Malam itu aku benar-benar bingung, meski Prily terus meyakinkan dengan dalih jika dia akan menjaga kesehatan dan pola hidupnya dengan sebaik-baiknya tetap saja semua tak akan lagi sama. Ceroboh, bagaimana bisa aku sampai kecolongan memberi tanda tangan pada surat persetujuan itu.“Ka

  • Catatan Usang   Luka yang Sama

    Hari demi hari berlalu, tetapi tak tampak kehadiran Prily. Pergi ke mana dia sebenarnya, jika benar apa yang dikatakan Nadia jika selama aku tak sadarkan diri ia terus berada di dekatku kenapa begitu aku terjaga. Justru tak pernah sekali pun wajahnya tampak di dekatku. Bahkan sudah sepekan aku berbaring tapi, ia berbohong. Mengatakan jika akan selalu di sisiku, tapi hari ini kenapa pergi.“Assalamu’alaikum,” ucap seseorang dari arah luar. Aku jelas mengenali suara itu. Namun, sungguh bukan aku tak mau bertemu dengan mereka. Hanya saja bukan mereka yang ingin kutemui.“Nak, ini kami Ibu sama Ayah,” lirih suara Ibu yang terdengar bergetar. Kedua matanya bahkan memerah seiring dengan tangannya yang mengusap pelan pergelanganku. Sementara Ayah pria yang selalu tegas dan penuh wibawa itu kini terlihat menyedihkan. Ia bahkan tak segan menitikkan air mata di hadapan sampah. Ya, aku sampah yang dia buang hanya, karena merasa malu pada karibnya.“Kenapa menangis? Saya masih hidup.” ucapku.“Ma

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status