Home / Rumah Tangga / Catatan Usang / Aku Harus Bagaimana?

Share

Aku Harus Bagaimana?

Author: ERIA YURIKA
last update Last Updated: 2022-07-22 10:55:54

Sejak pulang dari tempat itu Ibu memaksaku  meminum banyak obat setiap hari. Baru kemarin aku tahu mereka mencoba melakukan hipnoterapy untuk menghilangkan ingatanku pada Akbar. Mereka memaksaku percaya kalau Akbar sudah meninggal. Aku seperti orang gila terus mendoakan agar aku tenang di surga tapi nyatanya, kabar kematianmu hanya sebuah rekayasa. Kenapa kamu begitu, Akbar? Apa kamu tak pernah mencoba mencariku? Kenapa kamu mematahkan hatiku, setelah kau berjanji untuk menjaganya agar tetap baik-baik saja. Kau tahu bahkan hidupku telah berhenti sejak saat ayahku membawa kabar kematianmu. Kau tahu berapa banyak derita yang kulalui setelah kepergianmu? Demi terus hidup aku harus menikah dengan pria asing. Aku pikir semua pria akan sama sepertimu. Lembut, penuh perhatian dan tak pernah perhitungan. Kenyataanya dia begitu berbeda. Dia sering marah hanya karena aku membeli barang yang mahal.

Akbar, apa kau marah padaku. Sehingga kau meminta Tuhan mengirim suami sepertinya untukku. Kau pernah berjanji untuk menjamin aku tidak kelaparan. Namun, lihatlah aku sekarang. Aku sudah ikut gila, karena terlalu lama tinggal bersamanya. Aku benar-benar menahan lapar hanya demi memiliki anak darinya.

Akbar, setahun lalu dia membeli hunian mewah. Impian pertamanya sejak kami menikah. Awalnya aku tak pernah terpikir untuk memiliki buah hati dengannya. Namun, setelah melihat seorang anak yang menangis di atas makam ibunya. Hatiku benar-benar tersentuh. Aku bertemu dengan anak itu setiap kali aku mengunjungi peristirahatan terakhirmu. Konyol bukan? Aku mendoakan agar kau tenang di surga, padahal kenyataannya kau masih hidup di dunia yang sama denganku. Pantas saja aku tak pernah bertemu dengan orang tuamu setiap kali aku pergi berkunjung. Namun, karena anak itu hatiku tersentuh. Aku pikir dengan punya anak aku tak akan kesepian. Sayangnya itu tak semudah yang kupikirkan.

Dia terus saja memaksaku meminum pil kontrasepsi. Aku bingung, apakah dia mencintaiku atau tidak? Sudah setahun tapi dia terus saja memaksaku meminum kontrasepsi. Kau tahu Akbar hidup bersamanya membuatku setiap hari ingin menyusulmu saja. Beberapa tahun setelah terapi mungkin di mata ibu terlihat  membaik di mata ibu dan ayah sehingga mereka nekat menjodohkanku. Padahal pada kenyataannya, membuatmu seolah mati juga bukan solusi’. Aku hanya dibuat putus asa untuk mencarimu, tetapi justru membuatku merindukan kematian.

~

Pintu ruanganku tiba-tiba terbuka, lalu muncul Hisyam di balik pintu. Langkahnya mengendap-endap, beberapa kali matanya melihat ke belakang sebelum akhirnya mendekat ke ranjang.

“Ke mana laki-laki si pelit itu, Mbak?” tanyanya.

“Kau ini, begitu pun dia masih suamiku.”

“Mbak ngapain sih masih mau mempertahankan dia, nih ya. Kalau tadi Mbak bilang buat usir dia ke aku. Bagaimana pun caranya aku siap mengusirnya. Enggak peduli kalau abis itu aku bakal dipukulin Ayah habis-habisan.” Hisyam ini selalu saja bersemangat setiap kali membelaku, sejak dahulu dialah yang paling bersemangat. Kau tak tahu Hisyam biaya perawatan ayah sangat besar. Kalau aku melepasnya takutnya kamu juga mengorbankan kuliahmu demi menghidupi kami. Aku yang sudah sakit-sakitan begini bagaimana bisa membantumu. Aku sudah pernah menjadi orang yang gagal, dan itu menyakitkan. Menyia-nyiakan masa mudaku demi mengejar pria. Kau tak boleh lemah sepertiku. Setidaknya kalau aku tiada, kamu harus bisa menjaga mereka. Tak peduli seberapa sakitnya luka yang mereka torehkan padamu. Mereka tetap orang tuamu. Meski tak ada ikatan darah di antara kalian. Kuharap kamu tidak akan pernah meninggalkan keluarga ini.

“Mbak, hey kenapa kok malah nangis.”

“Hmmm enggak apa-apa. Kamu enggak lihat Mas Juna di luar?”

“Enggak, kenapa sih masih ditanyain. Ya elah suami zalim kayak gitu mah, mati juga enggak apa-apa.”

“Hisyam, jangan begitu. Jasa dia besar buat keluarga kita. Sifatnya memang pelit tapi dia juga ‘kan yang membuatmu bisa sekolah sampai sekarang?”

“Kamu tahu enggak Mbak? Aku tuh bosan banget dengar kalian bahas ini terus-terusan. Rasanya aku pengen cepat-cepat lulus sekolah terus kerja dan jadi orang kaya? Biar Mbak enggak perlu lagi tinggal sama si pelit itu. Mbak enggak lihat apa, dulu tuh Mbak agak gendut dikit. Sekarang udah kayak mayat hidup. Tulang doang!” Entah kenapa Hisyam selalu saja bisa memancing senyumku. Caranya memperhatikanku memang kejam dan menusuk, tapi sejenak benar-benar membuatku melupakan masalah.

“Nah gitu dong senyum, kalau diam aja aku merinding Mbak. Berasa nengokin mayat.”

“Astaghfirrullah, jangan bicara sembarangan Hisyam!”

“Maaf Mbak, bercanda. Oh iya, aku pulang dulu.”

“Kenapa buru-buru?”

“Si pelit mau datang,” katanya sembari melihat ke arah gawainya. Pasti dia menyuruh seseorang untuk berjaga di luar.

“Bukannya biasanya kamu enggak takut apa pun?”

“Mbak yang memaksaku buat tunduk, asalkan Mbak bilang mau pisah. Aku akan tetap di sini.” Aku bingung Hisyam. Meski aku ingin sekali berpisah dengannya, tetapi nuraniku berkata tidak. Bagaimana kalau Akbar sudah memiliki kehidupan sendiri. Aku hanya akan jadi wanita menyedihkan. Bukankah selama 10 tahun ini dia tak pernah mencariku. Seharusnya kalau dia memang punya kehidupan yang baik, dia pasti menepati janjinya. Ibu bilang dia punya perusahaan yang akhir-akhir ini cukup berkembang. Ibu pernah tak sengaja bertemu dengan Akbar sepulang dari rumah sakit. Pria itu bahkan cukup sopan, dia masih mau menyapa Ibu. 10 tahun berlalu Ayah dan Ibu tetap sama. Hanya karena Akbar terlihat menjanjikan dia langsung menyuruhku berpisah. Padahal selama ini, mereka yang menguatkanku agar mempertahankan rumah tanggaku.

“Mbak enggak usah berpura-pura lagi, aku tahu Mbak pasti masih memikirkan Mas Akbar. Ibu pasti sudah mengatakannya kemarin sama Mbak. Makanya Mbak tiba-tiba mutusin buat pisah sementara? Kenapa enggak selamanya aja. Bukankah Mbak sudah lama menunggunya. Mungkin aja dia mulai menunjukkan diri buat bawa Mbak  pergi.” Hisyam masih saja bicara.

“Kamu mendukungku bersama Akbar?” tanyaku.

“Asal dia bisa buat Mbak bahagia. Aku jelas mendukung, tetapi kalau sampai dia membuat Mbak terpuruk lagi aku enggak akan segan menghabisinya.”

“Hisyam ….” Entah kenapa aku mendadak emosional. Ke mana saja aku selama ini, sehingga aku mengabaikan kehadirannya.

“Mbak kenapa kamu jadi lemah begini. Dia mungkin baik pada keluarga kita, tapi dia memintamu menunda untuk punya anak, bagaimana mungkin Mbak tetap yakin mau hidup sama laki-laki seperti itu. Dia yang begitu perhitungan pada calon darah dagingnya sendiri, enggak layak dipertahankan.”

“Hisyam, Mbak cuma takut dia sudah punya orang lain. Kalau Mbak saja sudah menikah, mana mungkin dia juga masih melajang. Apa lagi dengan keadaan ekonominya yang sekarang. Mbak justru merasa enggak percaya diri.”

“Mbak ‘kan belum tahu, makanya kalian ketemu dulu. Apa perlu aku yang cari tahu Mas Akbar sudah menikah atau belum?”

“Enggak usah, kalau memang sudah takdir kita dipertemukan. Allah pasti akan kasih jalan buat ketemu.”

“Mbak benar-benar udah keracunan sama si pelit itu. Mbak besok-besok kubawakan kyai buat rukiah ya, Mbak pokoknya jangan sampai jatuh cinta sama dia. Eh tapi Mbak enggak cinta ‘kan sama dia?”

Aku sendiri bingung dengan perasaanku. Sebatas balas budi atau jatuh cinta. Aku memang gila menyerahkan uang tabunganku padanya. Setelah melihat anak-anak bermain di taman di dekat rumahku, Ibu hamil yang setiap hari mengusap perut buncitnya yang menggemaskan. Aku ingin sekali mengalaminya. Merasakan jadi Ibu, setidaknya mungkin dengan itu bisa memberiku semangat hidup.

“Ehem!” seseorang tiba-tiba saja datang dari arah pintu. Membuat Hisyam sedikit terkejut. Namun, kali ini dia justru menantangnya.

“Sudah curhatnya?”

“Mm Mas kamu sejak kapan di situ? Terus itu wajah kamu kenapa lebam-lebam?”

“Apa urusannya denganmu, aku ingin tidur. Kalian jangan berisik.” Mas juna terlihat tak acuh. Apa dia telah mendengar obrolan kami, lalu merasa cemburu? Aku tidak tahu apa yang telah dia lakukan di luar sana. Namun, melihatnya penuh dengan lebam membuatku sedikit cemas. Akbar, kenapa kamu harus hadir saat aku telah mencoba mengikhlaskanmu. Sekarang aku harus bagaimana, sedang pria ini. Haruskah aku meninggalkannya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Catatan Usang   Aku Sungguh Membutuhkanmu

    “Hisyam, kamu tidak ingin berkata apa pun?”“Aku hanya ingin minta maaf Mbak. Seharusnya aku enggak ikut membencimu.”“Sudahlah, Mbak titip Ayah sama Ibu ya.”“Memangnya Mbak mau ke mana, tolong jangan bikin Hisyam takut.”“Sayangi mereka, Hisyam … berjanjilah.” Bahkan pemuda yang biasanya tampak acuh, hari ini terlihat begitu rapuh.“Hisyam janji, Mbak.”“Ayah.”“Iya, Sayang.”“Lihat dia, bukankah suamiku sangat tampan?" tanya Prily. Sejenak membuat Ayah Jeri memutar kepala ke arah Arjuna.“Iya, dia sangat tampan."“Jangan membencinya lagi, Ayah. Aku sudah sangat bahagia, percayalah.”“Ayah tidak akan membencinya Nak, tapi bisakah kamu berhenti menakuti kami. Dokter pasti bisa sembuhin kamu. Berapa pun biayanya biarlah kami yang membayarnya. Kalau perlu jual saja rumah kami untuk biaya pengobatanmu.” Sekali lagi Prily hanya tersenyum saja.“Dokter, putri saya pasti bisa sembuh ‘kan?” tanya Ayah Jeri. Sayangnya tak mendapat jawaban dari dokter di belakangnya. Namun, ia bukan orang bod

  • Catatan Usang   Maaf

    Masa bodo dengan norma dan kesantunan. Wajah yang selalu tampak ramah itu hari ini hanya ada kemarahan di sana. Siapa pun yang menyaksikannya malam itu dibuat merinding. Beberapa warga tampak menahannya, tetapi Arjuna tetap bersikukuh ingin merusak pintu pagar yang terbuat dari besi itu dengan menginjaknya berulang kali. Tak ia pedulikan rasa sakit yang di kakinya. Hanya ada satu wajah yang ada dalam benaknya. Wajah yang selama sembilan bulan ini selalu menyembunyikan kesedihan di balik senyumnya itu sungguh membuatnya semakin muak dengan semua penghuni di rumah ini.Sampai akhirnya ketiga orang yang berada di dalam rumah itu keluar.“Apa kamu sudah gila membuat keributan di jam malam begini?” sentak Ayah Jeri dengan wajah yang merah padam.“Ya, saya gila karena Anda. Anda yang membuat istri saya bersedih sepanjang hari hingga berbulan-bulan. Anda tahu hari ini dia hanya ingin bertemu orang tuanya, tapi sungguh dua orang itu benar-benar egois. Bahkan sedikit pun tak punya belas kasiha

  • Catatan Usang   Patah

    “Mulai besok biar Mas yang membersihkan rumah.”“Mana bisa begitu? Aku masih sehat, kalau sekedar mengurus rumah, itu bukanlah pekerjaan yang berat. Mas jangan terlalu berlebihan! Masa iya sepanjang hari aku hanya berbaring di tempat tidur. Itu sangat membosankan,” elaknya saat pasangan itu kembali ke rumah.“Ini perintah, tidak ada tapi.” Prily tampak menghembuskan nafas kasar. Seorang yang aktif sepertinya tentu saja tak akan setuju.“Mas hanya ingin menjagamu dan bayi kita. Menurutlah sekali, enggak akan lama kok.”“Tapi, aku rasa ini terlalu berlebihan.”“Rumah ini besar, kamu tidak akan sanggup membersihkannya sendirian setiap hari dengan keadaan yang seperti ini. Biar Mas, yang pikirkan bagaimana cara mengurusnya. Mungkin kita akan membayar pekerja part time sesekali.”“Keuangan kita belum stabil, bagaimana bisa kita mengeluarkan uang selagi kita bisa menghematnya?” Kali ini Arjuna yang semula berdiri mendadak menekuk lutut tepat di depan Prily. Tangannya perlahan mengusap lutut

  • Catatan Usang   Aroma Surga

    Semula Arjuna berpikir semua akan kembali baik-baik saja, bahwa pernikahannya akan berjalan lancar. Tak ada lagi rasa sakit, khawatir atau pun ketakutan. Mereka akan punya banyak anak, menemani mereka sekolah, sampai tumbuh dewasa. Lalu, menyaksikan saat mereka menemukan pasangan hidup. Sungguh rencana yang bahagia, akan tetapi ia lupa bahkan terkadang rencana yang dirancang begitu sempurna pun bisa gagal hanya dalam sekejap mata.Sore itu dibantu Andika tetangga samping rumahnya. Mereka melajukan mobil dengan kecepatan maksimal menuju rumah sakit. Pria itu langsung tanggap menawarkan bantuan, seolah mengerti di situasi panik, Arjuna akan kesulitan berkonsentrasi dalam menyetir.“Bisa lebih cepat enggak, Mas?” pinta Arjuna, sesekali ia mengusap peluh yang mulai menetes membasahi wajah lelahnya seusai bekerja itu. Prily yang kini berbaring di pangkuannya bahkan sesekali ikut terguncang, saat sesekali melintas pada jalanan yang berlubang. Andika memilih mengiyakan perintah itu, meski se

  • Catatan Usang   Baby Breath

    “Mas.” Prily buru-buru menutup kembali pakaiannya, lalu bangkit dan meraih lenganku.“Maafin aku, Mas. Aku enggak bilang sama kamu dulu. Aku tahu kamu pasti enggak akan setuju, tapi aku enggak bisa Mas, aku enggak akan sanggup melihat kamu meninggalkan aku lebih dahulu.”“Kenapa, Prily?”“Karena aku mencintai kamu.”“Kamu bodoh, untuk apa mempertaruhkan hidupmu demi orang sepertiku?”“Lalu, bagaimana caranya aku harus berterima kasih? Katakan.”“Tetaplah hidup bersamaku.”Sungguh aku sama sekali tidak senang, aku sering membaca artikel tentang orang yang hidup dengan satu ginjal, itu sangat tak mudah. Dia masih muda, seharusnya dia tak sekonyol ini mengorbankan hal paling vital bagi kelangsungan hidupnya. Malam itu aku benar-benar bingung, meski Prily terus meyakinkan dengan dalih jika dia akan menjaga kesehatan dan pola hidupnya dengan sebaik-baiknya tetap saja semua tak akan lagi sama. Ceroboh, bagaimana bisa aku sampai kecolongan memberi tanda tangan pada surat persetujuan itu.“Ka

  • Catatan Usang   Luka yang Sama

    Hari demi hari berlalu, tetapi tak tampak kehadiran Prily. Pergi ke mana dia sebenarnya, jika benar apa yang dikatakan Nadia jika selama aku tak sadarkan diri ia terus berada di dekatku kenapa begitu aku terjaga. Justru tak pernah sekali pun wajahnya tampak di dekatku. Bahkan sudah sepekan aku berbaring tapi, ia berbohong. Mengatakan jika akan selalu di sisiku, tapi hari ini kenapa pergi.“Assalamu’alaikum,” ucap seseorang dari arah luar. Aku jelas mengenali suara itu. Namun, sungguh bukan aku tak mau bertemu dengan mereka. Hanya saja bukan mereka yang ingin kutemui.“Nak, ini kami Ibu sama Ayah,” lirih suara Ibu yang terdengar bergetar. Kedua matanya bahkan memerah seiring dengan tangannya yang mengusap pelan pergelanganku. Sementara Ayah pria yang selalu tegas dan penuh wibawa itu kini terlihat menyedihkan. Ia bahkan tak segan menitikkan air mata di hadapan sampah. Ya, aku sampah yang dia buang hanya, karena merasa malu pada karibnya.“Kenapa menangis? Saya masih hidup.” ucapku.“Ma

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status