"Kapan mertua Nifa itu pulang, Mak? Hadi mau kerja loh," gerutuku. Emak mencubit perutku pelan dan akan memulai ceramahnya."Kamu ini ya, gak sopan banget. Kalau tamu datang, harusnya kamu bersyukur masih ada orang yang mau berkunjung ke rumah sederhana kita. Akan menyedihkan kalau orang takut bertamu. Baru semalam di sini, kamu udah nanya kapan balik," cerocos perempuan yang memakai daster lengan panjang ini. Ini masih hal biasa yang harus kudengarkan jika melakukan kesalahan.Aku tahu kalau bertamu lazimnya tiga hari, tapi aku heran saja dengan tingkah keduanya yang datang tiba-tiba. Padahal, anak menantu dan cucunya tak ikut. Apa segitu kangennya mereka pada Emak? Atau Emak punya daya magnet untuk menarik kedua besannya."Mereka gak dengar kok, Mak," kilahku. Kedua tamu kami sedang menonton serial drama korea dan sibuk membaca terjemahan dengan bantuan kaca mata. Duh, enggak bange
"Abang pulang dulu, Santo! Kamu urus semuanya," seruku dan berlari ke motor. Aku tak memedulikan pertanyaan Santo lagi yang kayak wartawan. Walau dalam keadaan khawatir, aku harus menormalkan detak jantungku dan membaca doa sebelum berkendara. Semoga Emak baik-baik saja.Jarak yang tidak terlalu jauh serta jalalan yang lengang membuatku bisa cepat sampai ke rumah. Aku mengernyitkan kening melihat sang permaisuri menghentikanku."Abang! Kamu sudah datang?" tanya Rika dengan santainya. Pertanyaan unfaedah. Suaminya udah di depan mata, tetap aja ditanya apa sudah pulang. Istriku memang telah terkontaminasi keanehan sifat mertuanya."Udah, Dek. Mana Emak, Dek? Ada apa dengannya?" cecarku karena Rika menghadangku di dekat pagar. Apa Emak sakit dan dibawa ke rumah sakit? Tapi kenapa ekspresi wanita hamil ini biasa saja?"Ayo, antar Rika ke toko Maem
"Kenapa rupanya kalau bros, hah?" seru Emak dan mencubit perutku. Kedua tangannya beraksi. Gak terlalu sakit sih, tapi aku harus bisa bersikap berlebihan agar Emak mengasihi sekaligus mengasihani anaknya yang malang ini. Aku memasang wajah kesakitan yang teramat dalam."Perempuan suka perhiasan, kan, Mak? Ini hadiah untuk Emak. Jangan lampiaskan kekesalan Emak pada suami dari menantu kesayanganmu ini!" seruku dan merogoh kantong. Sebuah kotak kecil berwarna merah kuperlihatkan dan mengambil isinya."Cincin ini terlihat menyedihkan saat di toko perhiasan. Sekarang, cincin ini terlihat indah setelah dipakai Emak. Dia tersenyum lebar, Mak," kelakarku. Perempuan yang tadinya naik tensi itu jadi semringah dan menoyor kepalaku dengan rasa sayang.Emak menaik-naikkan alisnya ke arah yang lain seolah membanggakan anaknya ini. Dulu, Emak memberikan cincinnya untuk kuberikan pada menantu
Aku menatap langit yang tiada mendung sama sekali. Sepertinya, doaku tidak diijabah oleh Yang Maha Kuasa. Apa aku bukan termasuk golongan orang yang teraniaya?Aku mengambil dua plastik yang Rika letakkan di dekat kakiku. Astaga! Aku bagai kuli panggul Mak Eda saja. Aku memandangi Emak untuk mengasihani anaknya yang malang ini. Namun, Emak malah tersenyum dan menepuk-nepuk bahuku seolah mentransfer kekuatan super.Tiada harapan lagi, aku harus mengiringi gadis tua yang juga menyebalkan itu. Mana ada sih orang yang mau godain. Udah keriput, cerewet pulak. Eh? Aku kok malah kayak lagi ngatain mertua Rika? Maafkan hamba ya, Allah!Setelah berpamitan, aku mengikuti Mak Eda yang berjalan duluan. Perempuan yang nampak muda kalau dilihat dari belakang itu ternyata berjalan dengan gesit. Aku sampai ngos-ngosan mengejarnya karena harus membawa dua plastik buah-buahan.A
Malam ini terasa panjang, karena Rika terus saja meringis dan mondar-mandir di ruang tamu, kamar hingga dapur. Emak menyuruhku mengikuti Rika kemanapun dia pergi, bahkan ke toilet. Takut kepeleset. Kalau diukur, mungkin jarak tempuh kami sudah beberapa kilometer. Untung saja, menjelang tengah malam, kedua mertuaku datang dengan raut khawatir.Emak sama ibunya Rika terus saja menyemangati istriku. Bidan yang rumahnya dekat dari istana kami ini sebenarnya sudah mengajak Rika ke puskesmas saja, tapi Emak menolak. Gak enak jagain orang sakit di sana, gak bebas, katanya.Ya iyalah gak bebas. Kalau mau bebas, lari-lari di lapangan, Mak! Saat menjaga istriku yang sedang kontraksi, rasa kantuk mulai menyerang. Tapi, rasanya tidak tenang jika istriku kesakitan, sedangkan suaminya ini bermimpi buruk. Aku yakin, baru saja melek, Emak akan menyiramku dengan seember air. Astaga! Aku tak mau membayangkan.&nb
Sebagai istri, eh suami yang baik dan penyayang, aku harus bisa berbagi suka duka dengan istriku. Sakitnya adalah deritaku. Aku juga harus bisa menghibur batinnya yang kelelahan. Jangan sampai seorang istri merasa kalau suaminya tidak peduli lagi karena melihat badannya yang melar. Kalau tidak melar, tak akan bisa aku jadi seorang ayah.Hmmm, gimana kalau aku ikut menirukan dirinya, ya? Kayaknya Rika akan tertawa dan lupa deh sama sakitnya.Saat semuanya sibuk, aku mulai membongkar baju-baju di tas dan menemukan daster lengan pendek. Aku juga mengambil tiga kain gendong dan kerudung, lalu membawanya ke toilet. Yeah, saatnya berubah jadi bapak-bapak bunting.Aku berjalan dengan cepat menuju ruangan istriku untuk menghindari pandangan aneh dari orang yang berpapasan. Yang perlu kuhibur adalah menantu si Emak, bukan menantu orang lain.Tara
"Ini air panasnya, Bu," ujarku dan meletakkan termos di samping tempat tidur mereka. Bapak tidur di kamar tamu, sedangkan Emak dan Ibu menggunakan matras springbed, mengapit kedua cucu mereka.Ingin kuangkat saja Rika dari matras single ke kamar agar di ada teman tidur. Kasihan istriku, dia mungkin kesepian, heheh.Ibu menyerahkan bayi perempuan yang mewarisi kecantikan istriku, agar mertuaku itu bisa membuat susu untuk anak-anakku."Kamu jangan cerewet seperti nenekmu yang itu, ya, Sayangku," bisikku sambil menunjuk Emak dengan dagu. Si Kakak terus saja menangis, tak sabar dengan gerakan slow motion dari Ibu. Tiba-tiba, aku merasa ada cairan hangat yang membasahi celana tidurku. Astaga!"Emaaak! Dia pipiiis!" seruku dan meletakkan bayiku yang masih saja berkoar-koar. Emak sama ibunya Rika terbahak-bahak dan mengatakan kalau cucu mereka protes
"Di! Kamu itu beruntung punya Emak yang sayang pada menantu dan cucunya," ujar Bapak mertua setelah pekerjaan kami berdua beres. Ternyata, lebih ringan rasanya membereskan dapur daripada mengurus dua bocil. Sementara, kami bisa rehat sebentar sebelum mencuci baju. Mencuci baju anak dan istri saat baru lahiran adalah kewajibanku, kata Emak. Semenjak tidak wajib bayar spp lagi, kewajibanku makin banyak saja."Iya, sayang sih, Pak. Tapi Emak semena-mena pada anaknya," balasku, lalu menyesap teh manis yang kuseduh sendiri. Maklumlah, saat ini tidak ada yang melayani."Kalau sama anak sih, gak usah ditanya, Di. Setiap ibu akan menyayangi anak yang dia perjuangkan dari dalam kandungan, sampai dewasa. Bapak bilang gini, bukan karena Rika itu putri bapak. Tapi, saat melihat belahan jiwa kita tidak akur dengan mertuanya, hati kita akan dilema memilih diantara keduanya," sahut Bapak yang membuatku manggut-manggut.