Share

4. Keputusan Santi.

"Bu Santi, minta tolong cetakkan data-data murid yang menerima bantuan kemarin." Ucap seseorang dengan seragam abu memasuki ruangan dimana Santi berada. Kantor ruangan guru. 

"Baik bu, segera saya cetakkan." Jawab Santi singkat dan segera membuka file dalam laptop yang terbuka di depannya.

Santi Wardani, putri pertama pak Bandi. Seorang guru muda cantik yang menjadi salah satu staf di sebuah sekolah menengah pertama. Sebagai putri pertama, ia merasa mendapatkan sebuah kewajiban untuk memberikan yang terbaik atas dirinya untuk keluarganya. Ia tahu bahwa sang ayah tak pernah meminta apalagi menuntutnya. Tapi pemikiran itu sudah terpatri di benaknya semenjak ia beranjak dewasa. Bahwa arti posisi anak pertama adalah posisi rentan, dimana ia harus menjadi sebuah tauladan dan memikul kewajiban sebagai pemangku nama keluarga untuk dijaga sebaik-baiknya.

Tak pernah keluar dari jalurnya sebagai anak pertama yang pantas dibanggakan. Tak pernah membantah semua petuah dari sang ayah. Sang ibu yang lebih dulu meninggalkan mereka ketika dirinya masih berusia 12 tahun, tidak lagi bisa memberikan nasehat kepada dirinya. Dan sebagai gantinya, dirinya lah yang saat itu masih begitu muda merawat sang adik bersama dengan sang ayah.

Santi ingin seperti ibunya. Karier yang diambilnya saat ini adalah karier sang ibu sebelum beliau meninggal. 

Ibunya yang cantik, ibunya yang bijaksana, ibunya yang selalu disegani oleh masyarakat sekitar. Santi ingin sepertinya. Dan berhasil.

Santi memperhatikan sekitarnya saat sebuah suara ketukan terdengar. Sepi, sudah pergi semua untuk mengajar kelas masing-masing. Dengan cepat merapikan berkas-berkas dan menghampiri pintu yang setengah terbuka. 

"Ya... " Jawab Santi saat mendengar lagi ketukan itu. 

Dan ketika Santi membuka lebar pintu, ia mendapati seorang pria muda tengah membelakangi dirinya. Dari belakang terlihat gagah dengan punggung yang kokoh. 

"Siapa ya..." Tanya Santi memanggil tamunya. Sosok pria itu memalingkan tubuhnya dan tersenyum saat mendapati Santi berdiri di depannya. 

"Selamat pagi, saya mengantarkan surat ijin keponakan saya yang kebetulan mulai hari ini hingga tiga hari ke depan tidak bisa masuk karena ada kepentingan keluarga."

Santi terpana. Santi terpesona. Pria itu berdiri menjulang tinggi di depannya. Tampan. Sangat tampan. Suaranya yang lembut dan senyumnya yang meneduhkan. Santi terjatuh, berkali-kali. Gugup seketika melanda hatinya. Namun tak cukup membuatnya malu berhadapan. 

"Ah iya, a-atas nama siapa ya?" Tanya Santi gugup. Pria itu tetap mempertahankan senyumnya yang tampan dan menjawab dengan lemah lembut.

"Atas nama Genta Wicaksana kelas 8A."

"Oh, Genta. Kebetulan saya wali kelasnya." Ucap Santi sambil menerima iluran amplop putih didepannya. 

"Oh ya, kebetulan sekali. Perkenalkan saya paman Genta, Langit."

***

Santi menerawang tanpa sadar senyuman tak jua lekang dari bibirnya yang merah. 

Langit. Calon suami yang dipilihkan budhenya, kakak dari ibunya.

Bagaimana tidak bisa Santi terus tersenyum bahagia. Karena laksana sebuah takdir, ia akan berdampingan hidup dengan seorang pria yang pertama kalinya membuat jantungnya berdetak hebat hingga tak mampu membuatnya tidur nyenyak saat malam tiba.

1minggu setelah pertemuan singkat itu, saat malam hari dan ketika dirinya tengah membuat tugas bagi murid-muridnya, sang ayah mendatangi dirinya didalam kamar. Mengatakan perihal rencana lamaran atas dirinya dari keluarga pak Priyadi, juragan keramik desa sebelah. 

Kata ayahnya, pak Priyadi sedang mencarikan calon istri untuk putra sulungnya yang hingga umur 27 tahun tak juga menemukan pendamping hidup.

Pak Priyadi yang notabene adalah teman sekolah budhe Santi mendatangi wanita itu dan meminta tolong untuk dikenalkan kepada wanita-wanita muda pilihan untuk dijadikan istri bagi putranya. Sang budhe, Tatik segera teringat kepada kedua keponakannya yang adalah wanita-wanita pilihan. Lahir dari keluarga berkecukuptap menjunjung tinggi kesederhanaan. Santi dan Wulan. Pilihan pak Priyadi jatuh pada Santi. Selain karena ia putri pertama namun juga seorang guru muda. Status yang dibanggakan oleh setiap orangtua. Beda dengan adiknya yang hanya seorang pengusaha kecil dan tak mampu dipandang tinggi masa depannya. Pak Priyadi menginginkan Santi sebagai calon menantu. 

Budhe Tatik pun menyetujui rencana pak Priyadi. Dan mengatakan berita baik ini kepada pak Bandi. Pak Bandi pun meneruskan hal ini kepada yang bersangkutan. Santi belum memutuskan akan menerima atau tidak karena kegugupannya. Dan meminta waktu untuk memikirkan jawabannya. 

Ayahnya menyanggupi dan memberikan Santi waktu. Beliau juga berpesan bahwa jika ada yang ingin ditanyakan, menyuruhnya untuk menemui sang budhe.

Dan disinilah ia berada, Santi duduk dihadapan budhenya dan menanyakan perihal Langit. Karena bagaimana pun ia ingin mengetahui latar belakang Langit sebagai calon suami. 

"Putra pak Priyadi itu kerja di bank Santi. Masa depannya cerah. Anaknya juga ganteng dan sholeh. Cocok buat kamu. Budhe gak akan mungkin mengenalkan pria gak jelas buat keponakan tersayang budhe." Kata budhe Tatik kepada Santi. 

Santi mendengarkannya dengan seksama. Sebuah pemahaman muncul di benaknya. Bekerja di lingkungan bank yang pastinya menuntut para stafnya untuk berpenampilan menarik. Pantas saja kalau Langit terlihat begitu menjaga kebersihan wajah dan penampilannya yang rapi. Santi menganggukkan kepala mengerti. 

"Apalagi bapaknya itu juragan keramik. Wes tho, terjamin nanti masa depanmu San. Budhe yakin itu. Gak usah ragu karena budhe sudah memilihkan pria pilihan untuk menjadi suamimu."

"Dia... Tidak sedang menjalin hubungan dengan perempuan lain kan budhe? Maksud Santi..."

"Punya pacar maksudmu? Nggak. Yakin budhe kalau Langit gak punya pacar. Kan bapaknya sendiri yang mencarikan. Masak iya bapaknya nggak tau kalo putranya punya pacar. Kalaupun misal Langit menjalin hubungan dengan perempuan lain, pasti juga bukan untuk diseriusi. La buktinya, bapaknya sendiri nggak tau."

Santi mengiyakan dan menyetujui kata-kata wanita dewasa pengganti ibu baginya. Budhe Tatik adalah wanita baik. Selalu menemani saat dirinya beranjak remaja. Sebagai budhe yang baik, Tatik selalu memberikan waktunya untuk mberikan perhatian yang cukup bagi kedua putri adikknya yang telah meninggal lebih dulu. Kasihan dan memang menyayangi kedua keponakan yang menurutnya sangat penurut sekali kepada orangtua. Maka memberikan jodoh yang baik untuk keponakannya adalah hasil dari menjadi anak baik selama ini.

"Masih ragu? Masih mau tanya-tanya apalagi? Atau... Kamu mau ketemu sama calon suamimu dulu sebelum memutuskan biar makin yakin sama pilihan budhemu? Kamu gak percaya kalau yang nanya Langit itu ganteng?" Tanya budhe Tatik beruntun.

Santi menggelengkan kepalanya. Ia percaya dan yakin atas penilaian budhenya karena ia sendiri pernah bertemu dengan lelaki itu. Dan Santi sadar betul dengan pesona yang dimiliki calon suaminya. 

"Emm.. Kalau begitu Santi pulamg dulu ya budhe. Santi mau mandi. Udah sore banget."

"Lah terus jawaban kamu gimana?" Tanya budhe Tatik berdiri menyusul keponakannya yang berkemas dan mealngkah menuju keluar rumah. 

Santi memakai sepatu dan menatap ke arah budhenya, "nanti Santi ngomong ke ayah dulu ya budhe. Biar ayah menjadi yang pertama yang mendengar jawaban Santi. Besok ayah bisa menemui budhe untuk mengatakan jawaban Santi." Terang Santi dan kemudian meminta tangan sang budhe untuk dicium. Sebuah kebiasaan keluarga saat pamit kepada orang yang lebih tua. Budhenya mengangguk dan tersenyum lebar mengantar keponakannya pergi. 

Malam itu Santi menemui sang ayah yang saat itu sedang duduk di halaman menikmati suasana cerah setelah mereka makan malam bersama.

"Ayah... Santi mau bicara." 

Pak Bandi mendongak dan menatap putrinya. Menganggukkan kepala dan mempersilakan Santi duduk disampingnya. Karena tahu bahwa sang putri akan membicarakan perihal apa.

"Bagaimana? Apa yang mau kamu bicarakan?"

Santi menundukkan kepala dan memainkan jarinya bergantian. Gugup.

"Eemm.. Tadi siang Santi menemui budhe yah..."

"Iya, ayah sudah menduganya. Terus menurut kamu gimana? Sudah lega dengan jawaban budhemu atau belum?"

Santi menganggukkan kepala, "sudah."

"Dan jawaban kamu?"

Semakin dalam menundukkan kepala, Santi berucap lirih serta gugup. 

"Santi mau yah. Santi mau menikah dengan mas Langit." 

Pak Bandi tersenyum lebar mendengar jawaban Santi. Sementara di balik pintu ada Wulan yang tengah berlinang air mata.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status