“Saya hanya salah bicara. Maksud saya kalau kamu pulang,” ucap Aksara yang mulai tak jujur dengan hatinya. Hati dan pikiran tak sinkron. Ia tak mengakui rasa yang mulai tumbuh di hatinya.
“Mungkin saya hanya merasa kalau Celine seperti istri saya. Dia yang baik, santun dan terlihat sangat sayang anak kecil. Tidak, tidak, tidak, tak mungkin Celine dan Istri saya sama. Mereka dua orang yang berbeda dan saya sangat mencintai istri saya,” batin Aksara yang mulai kacau.“Dek Denim, kita makan sama-sama yuk!”“Maemm, maem,” ucap lelaki kecil yang tengah memegang sendok di tangannya. “Berdoa dulu ya, Dek! Gimana, Dek, caranya? Angkat tangannya, lalu baca doa,” ucap Celine sambil melakukan hal yang sama. Gadis kecil itu mengadahkan tangan yang diikuti dengan tangan-tangan kecil Denim yang terangkat. Lalu perlahan, Celine baca doa perkata, yang diikuti oleh bibir Denim. Meskipun hanya huruf vocal belakangnya saja. Tapi setidaknya, lelaki kecil itu sudah antusias dan menurut. Aksara tersenyum kecil. Meskipun ada bagian dalam hatinya yang merasa tersindir. Selama ini, ia memang tak pernah berdoa sebelum makan. Aksara mulai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Sedangkan Celine terlihat sibuk dengan suapa-suapan kecil di bibir anaknya. Hingga di menit berikutnya, Aksara mengambil piring yang dipegang babysitternya itu.“Makanlah! Biar Denim saya yang suapi.”“Tapi, Tuan. Ini tugas saya. Apa ini artinya saya hendak dipecat?” tanya Celine dengan nada ketakutan. Gadis itu terlalu menggantungkan hidup dengan pekerjaannya sekarang. Mbok Inah pernah bercerita kepadanya, kalau perbulan bekerja di rumah Tuan Aksara bisa digaji sampai jutaan. Hal yang sangat menggiurkan untuk dirinya. Sangat-sangat cukup untuk biaya hidup adik-adiknya di kampung dan juga biaya sekolah. Apalagi, di rumah tuannya itu, ia diberikan fasilitisas mewah dengan makan dan minum gratis.“Saya pecat kalau kamu menolak. Segera makan!” Ekspresi ketakutan dari Celine lagi-lagi mampu membuat sudut bibir Aksara tertarik. Ia mulai memperhatikan paras cantik babysitter kesayangannya. Wajahnya yang bulat dengan mata indah dan bibir yang tipis. Kulitnya tampak sehat dan cerah meskipun tak terpoles make up apapun.Sedetik kemudian Aksara menggeleng. Ia tak ingin berlarut menikmati wajah wanita lain. Cukup almarhum istrinya yang akan terus ada di hatinya.“Kenapa? Apa mau saya suapi?” tanya Aksara yang mulai nakal. Ia menatap gadis di depannya yang hanya tertunduk tak segera makan. Bagaimana pun ia tetap lah laki-laki normal yang pikiran dan hatinya bisa tergerak ketika melihat lawan jenis.“Tidak, Tuan. Saya bisa makan sendiri. Mohon maaf saya banyak merepotkan,” ucap Celine dengan tertunduk. Ia sama sekali tak berani menatap lelaki yang berada di depannya. Satu sendok, dua sendok, Denim terus menerima suapan dari ayahnya. Sedangkan Aksara yang kini mulai tak fokus terkaget ketika Celine kembali bersuara.“Tuan, apa ada yang salah dengan saya?” tanya Celine ketika ia menyadari Tuannya telah menatap ke arahnya dengan senyuman.“A-apa?”“Apa makan saya berantakan, Tuan?” tanya Celine sambil memegang sekitar bibirnya. Takut makannya belepotan dan membuat Tuan di depannya risih.“Oh, iya, ini, kamu makannya kayak anak kecil. Kayak Denim saja,” ucap Aksara yang mengambil tisu dan membersihkan area sekitar bibir.Detik jam seakan berhenti di mana kedua pasang mata itu saling berpandangan. Mereka mulai menyalam ke mata masing-masing dengan perasaan yang semakin berantakan. Jantung Celine berdetak tak pada semestinya. Aliran darahnya berdesir hebat. Apalagi ketika Aksara menarik sudut bibirnya, masih dalam satu pandangan yang sama. “Maaf, Tuan, saya bisa bersihin sendiri. Terima kasih,” ucap Celine yang mengambil tisu dari tangan Tuannya. Ia membuang nafas panjang untuk mengatur ritme nafasnya yang berantakan.Aksara tersenyum, membuat gadis itu semakin salah tingkah. Dipercepatnya menghabiskan makanan agar tak berada posisi seperti ini dalam kurun yang lama.“Uhuk.” Kali ini jutsru ia tersedak. Tenggorokannya yang kecil tak mampu langsung menerima suapannya yang terlalu banyak.Gadis itu terbatuk-bauk di mana Tuannya dengan sigap memberikan air putih kepadanya. Bukan hanya memberikan, melainkan membantunya untuk minum dengan tangan kekarnya. Tanpa sadar, punggung tangan mereka tertumpuk memegang satu gelas yang sama.“Kamu kenapa? Saya perhatikan, kamu kurang focus.”“Maaf, Tuan. Jangan pecat saya! Saya hanya ….” Celine menggantungkan kalimatnya. Ia tak mungkin bilang kepada Tuannya kalau ia grogi dengan sikap majikanya yang berlebihan itu. “Hanya apa?”“Saya hanya belum pernah makan enak. Jadi terburu-buru,” ucap Celine berdusta. Lelaki itu mulai duduk di tempat yang semula dengan senyum yang mengembang. Ia baru menyadari kalau akhir-akhir ini bukan amarah yang di terus disuguhkan. Tapi, senyuman. “Terima kasih banyak, Tuan. Saya terus merepotkan.”“Buang jauh perasaan itu.”Dalam perjalanan, Denim mulai tertidur. Sedangkan Celine yang juga kelelahan itu, memaksakan matanya untuk terus membuka. Ia tak ingin terlelap sedangkan Tuannya terus terjaga dengan mengendarai kendaraan. Rasanya kurang sopan. Sesekali ia menguap dan mengucek matanya yang mulai memberat.“Kamu ngantuk, Celine?”“Tidak, Tuan,” ucap gadis itu yang kembali berdusta. Ia takut jika kinerjanya di rumah itu dianggap buruk oleh Tuannya. Waktu terasa begitu lama untuk Celine. Matanya semakin memberat dan susah untuk terbuka, hingga tak sadar kendaraan yang ia tumpangi sudah berhenti di depan pintu rumah. Aksara telah membuka pintu di sebelahnya dan kini mulai mengambil Denim yang tertidur.“Maaf, Tuan, saya ketiduran.”Belum juga Aksara menjawab. Kalimat dari Baskoro membuat gadis yang tersadar dari mimpinya itu terkaget.“Babysitter untuk Tuan Denim sudah ada, Pak. Besok pagi akan saya jemput.”“Apa, Tuan? Saya mau dipecat?” tanya Celine ketakutan. Ia tak menyangka, karena kantuknya itu membuat ia kehilangan pekerjaan.“Itu tadi lihatin saya.” Aksara tersenyum smirk, “Kamu itutidak pandai berdusta, Sayang. Terlihat dari matau,” ucapnya kembali.“Iya-iya, Mas. Celine ngaku kalau lihatin Mas Aksara.”Wanita itu masih menunduk tidak berani menatap. Diingatkan tentang hal sepertiini membuatnya malu.“Kenapa tidak jujur dari awal? Lagian, gak ada masalah kankalau kamu pandangin saya. Saya juga sering melakukan itu ke kamu. Karena sayasayang sama kamu.” Aksara memegang kedua pipi istriya dan mendongakkan wajahitu untuk menatapnya, “Kita sudah menikah, Sayang. Untuk apa harus malumengakuinya? Kita seorang suami istri, bukan masa pacaran lagi.”Celine tersenyum. Wajahnya masih memerak bak buah tomatlayak panen.“Ini tuh yang buat saya semakin sayang sama kamu. Wajahmulangsung memerah ketika tersipu.”“Tuh kan digodain mulu.”“Saya tampan kan sampai kamu lihatin terud tadi?”“Iya-iya mas Aksara itu tampan.”Pria itu puas dengan jawaban istrinya. Lalu melepas bajukerja dan celana yang dipakainya. Terlihat tela
“Kenapa sayang? Sah-sah saja kan, sepasang suami istri beli baju dinas seperti itu?”“Mas Aksara emang agak lain, kalau Denim bertanya tentang baju kurang bahan itu bagaimana?”“Saya berniat hanya makan berdua bersama kamu. Sekalian kita kencan. Kamu tahu, kita sudah lama sekali tidak berjalan berdua.”“Ngak-nggak, Celine gak setuju. Denim dan Danisa harus ikut, Mas.”“Sayang ... Danisa masih terlalu kecil. Gak bagus terkena angin malam.”“Ya sudah, kalau begitu Denim saja yang ikut.”“Ok lah. Dari pada kamu menolak makan malam bersama saya.”“Mas Aksara tuh yang aneh-aneh. Di rumah saja, makanan dan lauk banyak, tapi tetap saja ingin makan di luar.”“Ganti suasana saja, Sayang.” Aksara membubuhkan kecupan di dahi istrinya. Tak lupa di kedua pipi berisi yang terasa candu untuk pria bertubuh kekar itu. “See you, Baby. I love you.”“I lop you too, Mas,” ucap Celine dengan logatnya yang terasa kaku berbicara bahasa Inggris. *** Celine kembali berjibaku dengan aktifitasnya seperti biasa
“Kenapa diam saja, Sayang? Kenapa pernyataan cinta saya tidak dibalas.”“Memang wajib dijawab kah, Mas? Bukankah itu bukan pertanyaan.”“Ya terserah.” Aksara mengacak rambut istrinya. Mendaratkan kecupan di pipi tembem itu dan bergegas masuk ke kamar mandi. Tidak selang lamasuara nyanyian dengan suara fals terdengar di ruangan tersebut. Seakanmenyiratkan betapa bahagianya Aksara saat ini. Lirik-lirik nyanyian cinta keluar dari bibirnya dengan semangat.Sementara itu, Celine terus tersenyum kala mengingatmalamnya bersama suami. Ia seperti orang tidak waras yang kadang kala berbicarasendiri. Umur pernikahan yang tidak dibilang muda lagi, nyatanya tidakmengurangi kadar cinta keduanya. Celine menyiapkan pakaian untuk Aksarabekerja. Ia memilah puluhan pakaian yang menggantung di almari.“Ambil yang mana ya?’ tanyanya bermonolog sambil menyibaksatu persatu pakaian itu.Hingga tiba-tiba, ia dikejutkan dengan lengan yang melingkardi perutnya dari belakang. Aksara memeluknya dengan kepala yang
“Papa mau main?”“Mas Aksara mau main?” tanya Celine dan Denim dalam waktu bersamaan.“Iya. Kenapa?” tanya Aksara menoleh ke arah istri dan anaknya bergantian.Wanita berambut pendek itu pun tertawa lebar. Begitu pun dengan anak prianya yang tengah memegang pistol mainan. “Door ... door ... door ... kejar aku papa! Papa jadi Pak Ladushing.” Denim mengarahkan pistolnya ke arah Aksara lalu berlari menjauh. Sedangkan Aksara menoleh ke arah istrinya dengan menaikkan alis hitamnya. Paham dengan maksud Aksara, Celine tersenyum dan memberikan pistol yang dipegangnya. “Pak Ladushing itu polisi India. Tokoh di serial Shiva. Orangnya gendut, hitam, kumisnya tebal.”Aksara memegang kumisnya yang tumbuh tipis. “Apa saya seburuk itu?”Celine meringis.“Apa maksud senyummu adalah iya?’ tanyanya kembali.“Ya gak lah, Mas. Mas Aksara itu ganteng.”“Apa? saya tidak mendengarnya, Sayang. Sepertinya indra pendengaran saya kembali bermasalah,” ucap aksara yang memang sengaja menggoda. Kalimat yang teru
“Mas, jangan yang itu. Untuk apa?” protes Celine ketika suaminya mengambil sebuah boneka besar berwarna merah muda.“Ya untuk main Danisa lah, Sayang.”Celine menggeleng. Ia mengembalikan boneka yang dipegang suaminya ke tempat semula.“Kenapa sih, Sayang? Apa karena harganya? Uang saya lebih dari cukup untuk membeli boneka itu bersama pabriknya.”“Mas, Danisa itu baru berumur beberapa hari. Belum pahamboneka sebesar itu. Mending ini saja,” ucap Celine sambil memperlihatkan sebuahmainan bayi dengan pegangan dan suara gemerincing.“Suara ini untuk menstimulus indra pendengarannya.” Celinemembunyikan suara mainan itu dengan menggerakkan ke kanan dan kiri.“Pegangan ini untuk menstimulus indra perabanya, Mas. Bonekajuga bisa. Tapi, gak sebesar itu.” Celine tersenyum. “Bukan karena Mas Aksarapunya banyak uang, terus membeli sesuatu yang tidak penting. Itu namanyamemubadzirkan sesuatu, Mas. Bisa menghambat rejeki.”Aksara tersenyum tipis. Kalimat dari istrinya yang panjangkali lebar dan te
“Pak, ini tidak mungkin,” ucap Celine masih tidak percaya.Ia mencubit lengannya sendiri berharap apa yang terjadi saat ini adalah mimpi.“Mbak Celine ada apa?” tanya Asih- babysitternya Danisa. Iamendapati wajah nonanya seputih susu.“Mbak Asih, tolong panggilkan Pak Baskoro,” ucap Celinedengan pandangan kosong. Wanita cantik itu dihantui rasa bersalah. Semua jauhdari apa yang dimimpikan. Semalam Aksara menelfon kalau ia hendak memberikejutan. Nyatanya, kejutan itu berhasil membuat Celine terperangah. Kejutanyang menggoreskan luka yang menganga.Seorang pria berlari menuju kamar Danisa. Baskoroterengah-engah. Ia menatap sendu ke arah majikannya, “Bu, Pak Aksarakecelakaan.”Entah, kabar itu didengar Baskoro oleh siapa. Meyakinkantentang kabar buruk yang tidak ingin didengar oleh Celine.Wanita itu masih tidak merespon. Hanya butiran air beningyang ke luar dari sudut matanya.Hening. Semua dalam kebisuan. Terkecuali Danisa yang kinimenangis dengan suara yang melengking.“Saya ijin ke lo