Share

Bab 6. Cinta?

“Ambillah!Atau mau saya pecat,” ucap Aksara yang memegang tangan kanan Celine. Diletakkannya ponsel tersebut ke tangan gadis itu.

“Tapi, Tuan ....” 

Tangan Celine yang gemetar membuat Aksara terkekeh. Baru kali ini, ia mendapati gadis lugu seperti Celine. Gadis yang diam-diam mencuri hatinya.

“Maaf saya hanya bercanda.”

Celine menghela nafas panjang sambil memegang dadanya yang bergemuruh, “Syukurlah, Tuan. Saya kira, saya beneran dipecat.”

Aksara tersenyum kecil. Ia seperti kembali menemukan kehidupannya yang berwarna. Hari-hari yang dilalui dengan suram itu mendadak seperti mendapatkan secercah sinar. Senyum semu yang biasa ia tampakkan kini menjelma menjadi senyum nyata kebahagiaan.

“Tidak, tidak, saya hanya simpati saja dengan gadis itu, ini bukan perasaan seorang lelaki dewasa kepada wanita,” batin Aksara yang terus menutupi perasaannya. Ia masih belum bisa menerima kalau hatinya tertambat dengan wanita yang lebih macam dipanggil gadis bau kencur.

“Tuan, maaf, kenapa tidak segera jalan?” tanya Celine yang menyadarkan lamunan Aksara. 

“Iya, ini juga mau jalan.”

Roda kendaraan mulai berputar perlahan. Celine kembali bermain dengan Denim. Diberikannya snack anak kepada bocah kecil tersebut, di mana Denim terus menggigit dan mengunyahnya. Aksara menoleh, ia tersenyum melihat kedua orang di sebelahnya tertawa bahagia. 

“Maaf, Tuan, apa ada yang mau dibeli lagi?” tanya Celine ketika kendaraannya kembali menepi. Sebuah bangunan mewah yang tampak tertutup. 

“Iya.”

Celine terdiam. Ia tak berani lagi menanyakan apa pun, meskipun pikirannya kembali berkelana dengan rentetan pertanyaan. “Sudah malam kenapa gak langsung pulang? Tuan Aksara mau beli apalagi si, bukannya sudah belanja banyak hingga jutaan? Apa semua orang kaya itu memang boros, suka membelanjakan sesuatu sesuka hatinya?” batin Celine.

“Ayo turun! Kenapa malah bengong.” Celine terkejut ketika pintu di sebelahnya sudah terbuka. Lelaki gagah dengan cambang halus itu menatap ke arahnya dengan tajam. 

“Maaf, Tuan.”

“Berikan Denim kepada saya! Kamu pasti capek bukan?”

“Tapi, Tuan.”

“Ini perintah, Celine!”

“Baik, Tuan.” 

Celine memberikan Denim kepada papanya. Lalu, ia mulai beranjak turun dari kendaraan Aksara. Celine tak pernah bermimpi bisa duduk di kendaraan roda empat seperti itu. Aplaagi mobil mewah dengan interior yang wah. Sayang, ia tak terlalu betah dengan suhu AC yang dirasanya begitu dingin. 

Aksara yang menggendong Denim masuk terlebih dulu, lalu diikuti Celine yang berada di belakangnya. Lagi-lagi gadis itu dibuat kagum dengan tempat baru yang disinggahi. Netranya ingin berkelana menjelajahi setiap inci tempat ini. Tapi, mengingat statusnya yang seorang bawahan, ia takut kalau Aksara marah karena Celine berbuat memalukan. 

“Duduklah!”

“Apa, Tuan? Duduk?” tanya Celine kaget ketika lelaki dewasa di depannya mulai mendudukkan  Denim di kursi makan anak.

“Iya, kamu mau makan sambil berdiri?”

Celine meneguk salivanya yang mendadak mengering. Padahal baru saja beberapa menit lalu, ia minum air mineral ketika berada di mobil. “Kita satu meja, Tuan?”

“Iya. Mau makan di mana lagi kamu?” tanya Aksara dengan nada meninggi. Celine cukup menguras stok sabarnya. Tapi di sisi lain, ia juga terhibur dengan sifat polos dan penakut gadis itu.

Celine menurut. Ia duduk dengan terus menundukkan pandangan. Gadis itu begitu takut berhadapan dengan lelaki yang dipanggilnya Tuan. Baginya, duduk bersama dalam satu meja adalah tindakan yang tak sopan. Gadis itu menyadari kasta mereka yang jauh berbeda. Ia tak pantas untuk duduk bersama.

Celine memilin bajunya ketakutan, di mana waktu seperti berhenti dan enggan untuk beranjak.

“Kenapa? Apa kamu tak nyaman bersama saya?” tanya Aksara ketika menyadari gelagat babysitter kesayangannya.

“Tidak, Tuan. Saya hanya merasa tidak pantas duduk di sini.”

“Kenapa?”

Celine menatap ke arah pengunjung lain, lalu kembali menundukkan pandangannya, “Semua pengunjung di sini orang kaya semua.”

“Bagaimana kamu tahu kalau mereka orang kaya?”

“Pakaian mereka bagus-bagus, Tuan.”

Lelaki bercambang tipis itu tersenyum, “Besok saya belikan baju. Jadi tak perlu minder lagi.”

“Tidak usah, Tuan. Saya -.”

“Apa? Mau nolak? Mau saya pecat?”

“Jangan, Tuan. Saya mohon jangan pecat saya.”

Mendapati jawaban tersebut, Aksara justru terkekeh. Raut wajah Celine yang ketakutan seperti sebuah hiburan tersendiri untuknya. “Makanya jangan sering nolak kalau diberi sesuatu.”

“Saya sungkan, Tuan.”

“Kenapa harus sungkan?”

Belum juga gadis itu menjawab, seorang pramusaji datang membawa makanan yang dipesan oleh Aksara. Tumis tauge, daging asap, gurami saus mangga, dan sup ayam. Celine dibuat Teheran dengan banyaknya makananan yang mengisi mejanya.

“Maaf, Tuan, makanan sebanyak ini untuk siapa?”

“Ya untuk kita. Siapa lagi?”

Celine terdiam. Ia tak brani menyaut, meskipun sejujurnya ia ingin protes dengan majikannya.

“Kenapa harus mengahmburkan uang dengan memubadzirkan makanan? Sedangkan di luaran sana banyak orang yang tak bisa makan.”

“Kenapa kamu menangis?” tanya Aksara kebingungan. 

Secepat kilas Celine menghapus sudut matanya. Ia tak sadar menjatuhkan air mata itu di depan majikannya. 

“Maaf, Tuan, Saya hanya ingat adik-adik saya. Mereka belum pernah makan ikan sebesar ini. Biasanya hanya makan ikan betok kalau ada tetangga yang pulang memancing.”

“Makanlah! Kalau kita pulang kampung, kita bawakan makanan yang enak untuk adik-adikmu.”

“Kita, Tuan?” tanya Celine menunjuk tubuhnya dan tubuh Aksara bergantian. 

Lelaki itu tergagap. Dari dasar hatinya, ia memang ingin menemani Celine pulang kampung nantinya. Ia ingin mempersunting gadis yang belum lama dikenalnya itu. "Tidak, tidak, tidak, bukankah hatiku hanya satu? Dan semua telah diisi oleh istriku?” batin Aksara yang tak mau mengakui. Ia tak bisa terima jika hatinya kembali terisi oleh wanita lain.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status