Pagi ini Nayra tercenung di kursi teras halaman rumahnya. Kejadian kemaren berjalan cepat seperti mimpi, bahkan sejujurnya ia masih belum siap menerima itu semua.
Bagaimanapun, Nayra dan Guna sudah membangun bahtera rumah tangganya selama tiga tahun.
Nayra memijat sebelah pelipisnya. Semalam ia sama sekali tidak tidur. Pikirannya kalut, tidak siap memikirkan bagaimana dirinya menyandang status janda dan kembali menjadi beban kedua orang tuanya.
Nayra lalu menghela napas sembari memandang ke langit kebiruan nan berhias awan. "Kenapa pernikahanku jadi begini?"
Rasanya campur aduk. Dada Nayra masih sesak, sedang kedua matanya bengkak karena tangisnya sepanjang malam.
Nayra tahu, ia masih sangat mencintai Guna. Guna adalah separuh hidupnya dari awal pertemuan mereka. Sosok pria manis yang dapat menggait hatinya untuk pertama kali. Guna memang cinta pertama bagi Nayra.
Pria mancung dan memiliki bibir tebal, Guna sangat mempesona saat itu. Pria tersebut tak sengaja bertemu dengannya di sebuah panti asuhan tempat Nayra melakukan KKN semasa kuliah.
"Hai, Cantik! Namamu Nayra, kan? Jangan tanya aku tahu dari mana. Wajahmu paling bersinar seperti cahaya keperakan milik sang rembulan." Begitulah yang dikatakan Guna saat pertama kali berjumpa dengannya. Kedua pipi Nayra merona, bayangan mata Guna yang berbinar selalu singgah di pikirannya.
Guna merupakan salah satu anak kurang beruntung dimana ia tidak memiliki orang tua dan akhirnya harus tinggal di panti asuhan sampai pria itu dewasa.
Nayra sempat kagum dengan hidup Guna. Saat awal-awal bertemu, Guna selalu menceritakan kisah hidupnya yang mungkin saja dibuang oleh orang tua kandungnya. Tak hanya itu, Guna juga mengisahkan perjuangan hidupnya hingga ia berhasil bekerja di salah satu perusahaan di sini. Meskipun Guna belum menjadi karyawan tetap.
Nayra ingat betul, si pria pemilik mata bulat dengan manik hitam tersebut seringkali pandai merangkai kata untuk Nayra hingga dapat melambungkan tinggi hatinya.
Namun setelah menikah tahun kedua, barulah Nayra mulai mencium satu per satu sikap Guna yang menunjukkan ketidaksetiaannya.
Hari masih pagi, tapi kedua mata Nayra berkabut lagi. Air matanya meleleh kembali saat merenungkan bagaimana pernikahannya harus berujung seperti sekarang.
Nayra segera mengusap pipinya ketika mendengar langkah kaki ibunya yang baru saja keluar. Tapi tetap saja Ida dapat melihat kepedihan yang jelas tergurat di paras cantik Nayra.
Dengan membawa dua baju yang masih berada dalam kemasan plastik, Ida berhenti sebelum memasuki rumah. Ia memperhatikan Nayra yang mulai gusar, takut ketahuan jika baru saja menangis.
Ida menggelengkan kepala sambil berdecak pelan. "Nayra… Nayra… kamu itu singkirin dulu rasa egoismu. Jangan masalah sedikit meledak terus minta cerai, malu ih sama tetangga."
Nayra menunduk masih dalam keadaan terisak. "Ya… bagaimana, Bu. Nayra sudah sakit banget. Laki-laki kan kalau sekali selingkuh bakal susah sembuh."
"Lagian kamu kan masih tahu dia selingkuh sekali. Kamu itu coba pikir dan lihat rumah tangga orang-orang dulu. Awet kan sampai puluhan tahun? Nggak mungkin di dalam rumah tangga mereka nggak ada masalah. Anak muda sekarang mah sudah biasa kawin cerai, kayak pernikahan itu kayak hal sepele." Ida mencebik.
Nayra mendongak, kemudian protes. "Tapi, Bu. Ini demi Nayra sendiri. Percuma mempertahankan rumah tangga tapi Guna nggak berubah. Nayra yang sakit."
Kesabaran Ida mulai habis. "Ah, kamu itu selalu menjawab semua omonganku! Terserah, pikir aja sendiri! Toh yang ngejalanin kamu!"
Ida lantas segera berlalu dan enyah dari hadapan Nayra dengan menekuk wajah.
Tak berapa lama suara motor Guna terdengar, membuat Nayra langsung berjingkat kemudian berdiri dengan tubuh menegang.
Pria itu menjagang motornya dengan kasar, lantas berderap ke arah Nayra.
"Mau apa kamu ke sini?!" tanya Nayra was-was.
Mendadak Guna menampilkan ekspresi memelasnya. "Nayra… apa kamu yakin akan menyelesaikan pernikahan kita?"
Nayra terdiam. Setengahnya ia takut jika Guna dapat melihat matanya yang bengkak hingga memunculkan rasa percaya diri pada pria tersebut.
Tapi percuma, Guna sudah tahu. Kini pria itu mengulum senyum tipis tanpa disadari oleh Nayra.
"Melihat kelakuanmu selama ini, tentu saja aku yakin." Suara Nayra sedikit bergetar.
Guna semakin mendekat kemudian menyentuh kedua bahu Nayra. "Nay, tatap mataku. Aku tahu kamu masih ragu."
Nayra segera menepis tangan Guna. "Hentikan! Aku sudah dapat pengacara. Nggak mungkin lagi aku batalkan."
"Nay, aku mohon… aku cinta sama kamu. Meskipun kemaren terjadi seperti itu, tapi aku beneran khilaf. Sumpah!"
Nayra menajamkan tatapannya. "Bohong. Kalau kamu masih cinta, nggak mungkin kamu selingkuh berkali-kali, Gun. Harusnya kamu paham itu!"
"Maaf, Nay. Aku beneran khilaf. Aku janji nggak akan mengulanginya lagi, please. Lagian hanya aku yang mau menerima kekuranganmu itu!" Guna hendak meraih tangan Nayra, namun ditepis lagi oleh wanita tersebut. Wajah Nayra menegang mendengar kalimat pedas yang diucapkan Guna di akhir.
Bersamaan dengan itu Ida muncul di ambang pintu. Tiba-tiba senyumnya merekah begitu saja saat melihat Guna.
"Loh, Gun. Ayo masuk dulu, ngopi-ngopi dulu," tawar Ida.
Nayra langsung mengernyitkan dahi, heran sendiri terhadap sikap Ibu yang tetap saja memperlakukan Guna dengan baik.
"Tidak usah, Bu. Saya hanya ingin bicara sebentar saja dengan Nayra," tolak Guna segan. Nayra melirik Guna lantas mencebik menyaksikan pria itu bersikap manis.
Nayra melipat tangan, kemudian menyela. "Sudah terlambat, Gun. Besok aku akan menggugatmu. Ikuti saja prosedurnya biar cepat selesai!" ketusnya sambil berlalu meninggalkan Guna dan Ida yang terpaku di sana.
Hari terus berjalan, bulan berganti bulan. Tak terasa 4 bulan sudah Nayra lalui dengan persidangan beberapa kali. Lantas tepat hari ini, Nayra akan mengambil akta cerai di Pengadilan Negeri.
"KTP aslinya mana, Mbak?" tanya petugas membuyarkan lamunan Nayra di meja nomor tiga.
Nayra segera membuka tasnya, kemudian meraih dompet serta mengeluarkan kartu identitas dari dalamnya.
"Ini, Pak." Nayra menyerahkan kepada petugas.
Si petugas terlihat mengisi dokumen, menyusun sebuah akta di map kertas warna biru lantas mengulurkannya ke arah Nayra.
"Sudah, Mbak. Silakan diperiksa dulu."
Nayra membuka map kertas itu dan membacanya sekilas. Sesudahnya ia mengangguk sekali dan mengulas senyumnya ramah. "Baik, Pak. Terima kasih."
Petugas membalas seraya menganggukkan kepala. Setelah itu, si petugas justru menggeleng dan menyenggol temannya di sebelah.
"Kasihan, kayaknya orang tadi banyak pikiran. Mana masih muda."
Si petugas langsung berhenti, saat posisi kosong kursi di depannya telah terisi seorang pria usia 25 tahun yang berdeham keras.
"Bisa lihat KTP asli dan fotokopinya, Mas?"
Sementara itu, Nayra melangkahkan kakinya keluar. Terik matahari pagi yang hangat menyorot parasnya yang cantik alami. Alis tebal, hidung mancung dan bibirnya yang mungil membuat kombinasi wajah ovalnya kian sempurna.
Nayra yang berwajah kalem diturunkan dari Budi, sementara kedua mata bulat dengan manik kecokelatan adalah satu-satunya peninggalan yang diwarisi dari ibunya.
Nayra lalu membuka map biru yang berada di genggamannya. Sebuah senyum tersungging dari bibirnya tatkala memandangi dokumen yang berada di dalamnya. Bagaimanapun, ia akhirnya lega dapat menyelesaikan proses panjang yang amat melelahkan.
Namun senyuman itu tak bertahan lama. Setiba di rumah, Nayra justru mendengar suara keributan dari dalam ruang keluarga. Nayra langsung berlari karena khawatir.
"Ayah!" Nayra lantas berhambur menuju Budi yang sudah terjatuh dari kursi roda.
Bulir bening Nayra jatuh seketika. Ia memeluk dan memapah ayahnya ke dudukan kursi roda lagi. Wajah ayahnya terlihat basah karena menangis.
Sementara dari arah dalam kamar, Ida mengomel sembari melempar beberapa pakaian Budi. Nayra melebar mata tak percaya.
"Bu, apa yang telah Ibu lakukan?!"
"Tuh! Ayahmu udah bisu, nggak bisa dibilangin juga. Disuruh kalau mau kencing bilang dulu! Menurutmu aku nggak capek apa harus nyuci celanamu! Hih, anak sama bapak sama aja!" Wajah Ida sudah merah padam.
"Bu, nggak usah dicuci. Biar Nayra aja," lirih Nayra dalam keadaan terisak. Nayra tidak tega jika Ayah diperlakukan begini.
"Kamu juga Nayra! Sekarang kamu malah ngeyel cerai, padahal kamu tahu sendiri kalau uang pensiunan bapakmu itu nggak cukup! Dulu Guna masih mending bisa bantu keuangan kita! Sekarang kamu bangga jadi beban keluarga lagi, hah?"
Nayra sesenggukkan, lalu mengusap jejak air matanya dengan kasar. Tapi tetap saja ia tidak mampu untuk menjawab semua makian ibunya.
"Ibu itu malu tahu! Para tetangga udah ngomongin kamu janda! Makanya, kamu itu jangan sok cantik terus keras kepala cerai sama Guna! Kalo statusmu janda kayak gini mana ada yang masih mau? Paling cuma bapak-bapak duda dari RT sebelah noh yang ngincer kamu!"
Telinga Nayra semakin panas. Ia menggelengkan kepalanya tidak terima.
"Bu, cukup!"
Bersambung..
Nayra sudah cukup sabar menghadapi ibunya selama ini. Wanita itu terus saja memperlakukan Nayra dan ayahnya semena-mena.Nayra ingat tujuh tahun yang lalu, saat Budi yang masih bugar tiba-tiba mengajak seorang wanita dengan rambut hitam legam sebahu ke rumah tepat 40 hari kematian ibunya sendiri.Nayra terperanjat, juga kecewa terhadap keputusan ayahnya membawa wanita tersebut."Posisi Ibu tidak akan pernah bisa tergantikan, Yah!" pekik Nayra yang masih berusia 16 tahun saat itu.Budi menghela napas. Perlahan ia membujuk Nayra yang tidak menyukai kehadiran Ida. Setelah Nayra berlari ke kamar dengan berurai air mata, Budi menatap nanar ke arah Ida yang merupakan penyembuh rasa kehilangannya terhadap sang istri.Kulit cerah kuning langsat, rambut ikal warna hitam, juga alis tebal milik Ida membuat Budi langsung jatuh hati. Manik legam kedua mata Ida menyorotkan sebuah kekhawatiran.Budi menepuk bahu Ida pelan, berusaha menyampaikan sebuah janji bahwa ia akan mencoba berbicara dengan ana
Pria itu mendongak, lalu tersenyum ramah kepada Nayra."Mbak Nayra Eka Sania ya? Silakan masuk, Mbak." Pria tersebut menunjuk kursi hadap di depannya.Nayra menelan salivanya. Perlahan ia melangkahkan kaki menuju kursi itu dan mendudukkan tubuhnya. Ini pertama kali ia melakukan wawancara kerja.Meskipun Nayra merupakan lulusan sarjana, Guna tidak mau Nayra bekerja setelah mereka menikah. Jadi, hari ini adalah pengalaman pertamanya hingga membuat kegugupan melanda Nayra seketika.Pria tersebut kemudian melanjutkan. "Tadi saya sudah membaca sekilas dokumen Mbak. Hmm, ya…" Ia mengangguk memandangi beberapa kertas di depannya. "Oh, iya. Saya belum memperkenalkan diri saya ya?"Nayra meresponnya dengan tersenyum simpul. Sementara pria di hadapannya sudah mengulurkan tangan menyeberangi meja di depan. Nayra menyambut tangan itu."Saya Arvin, selaku asisten dari Presdir sendiri," ujarnya mantap di sela jabat tangan mereka.Kedua mata Nayra melebar takjub. Lalu mengangguk dan tersenyum kembal
"Hei, tunggu dulu! Kurang ajar!" pekik Nayra begitu melihat kondisi baju yang tengah ia pakai.Nayra menggerutu, tidak mungkin ia kembali lagi ke rumah demi mengganti pakaiannya. Nayra sudah mencapai lebih dari separuh perjalanannya.Tak ingin membuang waktu, Nayra segera mengejar mobil itu."Heh, tanggung jawab!"Namun percuma, si pengendara tidak bisa mendengar teriakan Nayra. Mobil mewah warna hitam berkilat tersebut tetap melaju kencang meninggalkan Nayra yang berlari dengan napas terengah-engah.Nayra sempat melihat nomor plat mobil yang menyebabkan kesialannya pagi ini. Ia tahu jika si pemilik pasti orang kaya karena beberapa kombinasi angka dan huruf di plat mobil itu membentuk sebuah nama."Aldo?" Nayra mencoba menebak nama sang pemilik.Nayra tetap memacu kakinya cepat, sehingga ia beruntung dapat mencapai perusahaan saat ini.Begitu mendekat, Nayra terperanjat. Kedua mata dengan iris warna cokelatnya membulat sempurna. Tampak mobil dan plat nomor yang sama terparkir rapi di
Nayra membeku di tempat. Tatapan pria itu seakan sanggup membunuhnya sekarang juga. Tubuhnya meremang lantas segera menyelinap kembali ke dalam toilet.Sementara Pria bernama Aldo beserta orang-orangnya terus berderap. Arvin yang berada jauh di belakang rombongan tersebut terlihat bingung. Ia hendak memanggil Nayra, namun seketika ia urungkan karena yang lainnya berlalu begitu cepat.Kini tangan Nayra mencengkeram tepi wastafel kuat. Kedua matanya mengerjap sambil mencoba mencerna apa yang baru saja ia saksikan.Nayra menggigit bibir bawahnya. Ia lalu mendongak dan memandang cermin. Di pantulan cermin itu, ia dapat melihat raut mukanya yang takut dan khawatir."Apa aku sudah gila?" Nayra bergerak gelisah. Ia lalu menuntun langkahnya ke sana ke mari dengan frustasi.Nayra mencoba menjernihkan pikirannya yang sedang keruh. "Sebentar. Aldo itu ternyata presdir di sini? Bukannya namanya Alfredo? Eh, Aldo, Alfredo…" gumamnya sembari menggigit jari beberapa kali."Astaga!" Sontak Nayra menu
Arvin meneguk ludah, lalu membuka mulut hendak bicara. Namun ia urungkan karena Nayra mendahuluinya."Sa-saya dipecat, Pak?" Suaranya parau menunjukkan kekecewaan.Kedua mata sipit Aldo menatap Nayra nyalang. Ia lalu mendengus dan membuang muka. Malas untuk bicara dengan karyawan yang menurutnya tidak berguna dan membuang-buang waktunya saja."Pak, sebenarnya tidak ada yang melamar posisi sekretaris Anda kecuali Mbak ini," aku Arvin akhirnya.Aldo tertegun. Ia lantas memandang ke arah Arvin, meminta penjelasan lebih lanjut kepada pria berkacamata tersebut."Apa maksudmu? Yang benar saja?!" sembur Aldo keras."Iya, Pak. Maka dari itu saya langsung menerima Mbak Nayra." Arvin membungkukkan badan lagi. "Saya minta maaf, Pak."Aldo mengatupkan rahangnya. Ia berkacak pinggang sembari terlihat berpikir. Wajahnya sangat serius.Sementara itu, Nayra melirik Aldo yang tepat berada di depannya. Setelah ia amati, secara fisik Aldo memang mirip dengan Pak Nugroho.Kulit putih, mata sipit tajam, a
Arvin terlonjak ketika menyadari perkataannya. Ia segera menegakkan tubuh sekaligus memperbaiki kacamatanya.Arvin lalu memperhatikan Aldo yang diam sembari berpikir."Kenapa, Pak? Ada masalah?" Arvin cemas.Aldo meletakkan bolpoinnya lantas menggeleng. "Coba bawa sini ponselmu," sahutnya memberi kode agar Arvin menghampirinya di meja.Arvin lekas berdiri kemudian menyodorkan ponsel yang masih menampilkan berita dari salah satu website nasional.Aldo mencondongkan tubuhnya demi membaca judul besar yang bertengger di atas artikel tersebut.[Suami Ketahuan Selingkuh di Kontrakan Sendiri, Wanita ini Nekat Memviralkannya Lewat Video Live.]Kedua mata sipit Aldo menajam. Manik hitamnya bergerak cepat selaras dengan tempo bacanya. Ia lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, lantas membuang napas kasar.Arvin yang sedari tadi berada di depannya menjadi canggung. "Ada apa, Pak? Anda baik-baik saja?" tanyanya penuh kekhawatiran."Tidak. Aku hanya berpikir suaminya beneran brengsek. T
Nayra refleks memejamkan kedua mata tatkala cangkir berikut isinya terlempar ke lantai di sekitarnya.Setelah membuka mata pelan, Nayra tersentak. Kedua manik matanya terbelalak kaget. Nayra menutup mulut dengan salah satu tangan agar pekikan ketakutannya tidak lolos saat itu juga.Sekarang ia tengah memandangi pecahan cangkir sekaligus tumpahan kopi di lantai di dekat kakinya. Bahkan beberapa bercak noda kopi mendarat di blouse putih yang sedang ia kenakan.Kedua netra Nayra lalu terseret ke arah Aldo yang menatapnya tajam. Kulitnya yang semula putih pucat kini bersemu merah karena murka."Kamu itu bodoh atau apa, hah! Cepat buatkan minuman lagi!"Nayra tertegun. Setengahnya ia bingung, ada dimana letak kesalahannya?Kemudian kerongkongan Nayra terasa penuh, suaranya juga tak bisa ia keluarkan secara leluasa. Nayra sedang menahan agar tak menjatuhkan buliran bening yang hampir meluap dari pelupuknya. Ia begitu ketakutan melihat mimik kemarahan yang ditunjukkan Aldo.Tanpa menjawab ap
"Pak Aldo serius akan melakukan itu?" Arvin terperanjat, tidak percaya.Aldo kemudian mendongak lagi. "Kenapa? Kamu tidak setuju?" cecarnya sembari menautkan alis.Arvin terdiam. Sambil memperbaiki letak kacamatanya, ia merenung."Bukannya begitu, Pak. Tapi Anda apa tidak kasihan sama Mbak Nayra? Mbak Nayra janda, Pak. Tidak punya suami," erang Arvin tersulut empati."Aku tidak peduli apapun statusnya, Vin. Aku hanya melihat kinerjanya. Kalau pekerjaannya baik, aku tidak mungkin melakukan ini." Aldo membela diri."Tapi tetap saja, Pak. Sebaiknya jangan terlalu membuatnya menderita." Arvin tampak khawatir. Ia tahu bahwa wanita manapun pasti mengalami kesulitan di masa awal mereka bercerai."Kamu yang jangan terlalu banyak bicara! Dia pegawaiku, jadi aku bebas melakukan apa saja." Aldo sengaja menekan di kalimat terakhir."Sudah, Vin. Kamu diam saja dan lihat apa yang akan aku lakukan."Arvin membeku di tempat. Ia tahu Aldo memang keras kepala dan keputusannya sudah tidak bisa diganggu