Nayra sudah cukup sabar menghadapi ibunya selama ini. Wanita itu terus saja memperlakukan Nayra dan ayahnya semena-mena.
Nayra ingat tujuh tahun yang lalu, saat Budi yang masih bugar tiba-tiba mengajak seorang wanita dengan rambut hitam legam sebahu ke rumah tepat 40 hari kematian ibunya sendiri.
Nayra terperanjat, juga kecewa terhadap keputusan ayahnya membawa wanita tersebut.
"Posisi Ibu tidak akan pernah bisa tergantikan, Yah!" pekik Nayra yang masih berusia 16 tahun saat itu.
Budi menghela napas. Perlahan ia membujuk Nayra yang tidak menyukai kehadiran Ida. Setelah Nayra berlari ke kamar dengan berurai air mata, Budi menatap nanar ke arah Ida yang merupakan penyembuh rasa kehilangannya terhadap sang istri.
Kulit cerah kuning langsat, rambut ikal warna hitam, juga alis tebal milik Ida membuat Budi langsung jatuh hati. Manik legam kedua mata Ida menyorotkan sebuah kekhawatiran.
Budi menepuk bahu Ida pelan, berusaha menyampaikan sebuah janji bahwa ia akan mencoba berbicara dengan anaknya pelan-pelan. “Kamu tenang saja, perlahan Nayra akan luluh dan menerimamu sebagai ibu yang utuh.”
Saat itu usia Ida terbilang muda, yaitu 32 tahun. Selisih sepuluh tahun dengan Budi yang kala itu berumur 42 tahun.
Ida berasal dari desa. Ia bekerja di Jakarta demi memenuhi kebutuhan orang tua yang mulai berada di usia senja, juga ketiga adiknya.
Ida merasa sangat beruntung ketika bertemu dengan Budi yang bernotabene sebagai pegawai negeri. Ia merasa bahwa bebannya akan semakin ringan jika ditanggung oleh Budi yang baru saja menyandang status duda.
Saat itu, keluarga Budi memang sangat berkecukupan. Rumah besar tingkat dua bahkan mobil, mereka memiliki semuanya. Jadi status duda dengan anak satu yang mulai beranjak dewasa tidak akan menjadi penghambat bagi Ida untuk mendapatkan Budi.
“Aku harus bisa mendapatkannya. Jangan nyerah!” gertak Ida pada diri sendiri suatu malam. Ia tengah terisak karena sikap penolakan Nayra dan keluarga di kampung yang kian terhimpit ekonomi.
Hingga akhirnya tepat Nayra berusia 19 tahun—saat gadis tersebut menjalani kehidupan kuliahnya, barulah ia menerima kehadiran Ida di kehidupannya. Ternyata tidak mudah menaklukkan seorang gadis di masa labilnya, sungut Ida di dalam hati.
Akhirnya Ida bisa menikmati kesejahteraan yang Budi berikan. Uang belanja, berikut uang untuk membeli skincare dan barang-barang incarannya dari dulu sudah Ida dapatkan dengan mudah.
Lalu Nayra menikah di usianya yang ke dua puluh. Nayra membawa Guna ke keluarganya dan langsung disambut baik oleh Ida. Namun beberapa bulan berikutnya, Budi justru jatuh sakit.
Sebenarnya dari awal Budi sudah mengalami gejala stroke ringan. Tetapi karena menyaksikan sendiri sebuah rahasia yang tersingkap di antara keluarganya, sakitnya semakin parah.
Budi tiba-tiba jatuh. Kaki dan tangannya tak bisa ia gerakkan. Saraf di wajahnya kaku, hingga ia tak bisa bicara lagi sampai saat ini.
Hal tersebut membuat Budi terpaksa dipensiunkan dini. Keluarganya semakin berantakan. Ditambah Ida yang tidak bisa mengatur keuangan membuat rumah dan mobilnya ludes terjual.
Raib sudah seluruh harta Budi, hingga kini mereka hanya memiliki sebuah rumah kecil nan sederhana. Bahkan untuk Nayra dan Guna pun tidak cukup luas sehingga keduanya memutuskan untuk kontrak di satu kawasan agar masih bisa membantu merawat Budi.
Awalnya Ida marah ketika Nayra memutuskan untuk kontrak sendiri. “Apa yang kamu lakukan? Pindah dari sini?! Kamu pengen lempar tanggung jawab ke Ibu, hah?! Nggak usah pindah lah! Ibu juga nggak mau kesusahan ngerawat bapakmu sendiri!”
Padahal Nayra setiap hari selalu ke rumah mereka. Untuk kehidupan orang tuanya sendiri diperoleh dari tunjangan pensiun dari Budi, juga sebagian lagi dari gaji Guna yang memang disisihkan demi membantu mereka.
Bukan Nayra namanya kalau tidak keras kepala dan memutuskan untuk tetap kontrak sendiri. Ia tidak mau jika urusan rumah tangganya dicampuri oleh orang tuanya.
Napas Nayra memburu karena emosinya yang sudah membuncah. "Ibu boleh melakukan apapun ke Nayra, tapi jangan ke Ayah, Bu!"
Ida langsung mendelik tajam dan berkacak pinggang. "Sekarang kamu berani ya teriak-teriak!"
"Maaf, Bu. Tapi ini sudah kelewatan. Ayah juga lagi sakit. Sudah, aku tidak mau bertengkar dengan Ibu." Nayra berusaha menurunkan nada di setiap ucapannya. Ia lalu segera mendorong ayahnya ke dalam kamar.
Sebelum meninggalkan Budi, Nayra memeluknya terlebih dulu. Sementara isakan halus terdengar dari bibir keduanya.
"Maafkan aku, Ayah. Nayra berjanji akan segera bekerja demi Ayah." Nayra menempelkan kepalanya tepat di bawah dagu Budi.
Tanpa bisa bicara apapun Budi sesenggukkan. Ia sungguh menyesali semua perbuatannya setelah sang istri meninggalkan dunia. Seandainya ia merasa cukup dan hidup berdua saja dengan Nayra—anak satu-satunya, kehidupannya tak mungkin jadi seperti ini.
Nayra kemudian berpamitan kepada Budi untuk mencari pekerjaan. Wanita tersebut mengecup singkat dahi ayahnya, lantas pergi menerjang panasnya ibukota.
Nayra sudah berpakaian rapi sebelum keluar. Ia juga telah menyiapkan beberapa keperluan untuk melamar pekerjaan. Dari satu gedung ke gedung lain, ia bertanya kepada sekuriti mengenai lowongan di sana.
"Sementara belum ada, Mbak."
Nayra menelan kekecewaannya, lalu melanjutkan perjalanannya. Peluh mengalir dari dahi Nayra. Ia yakin pangkat sarjananya akan berguna.
Namun Nayra belum juga mendapat pekerjaan manakala hari sudah sore. Kakinya bahkan terlalu letih hingga membuat Nayra memutuskan untuk pulang saja.
Di perjalanan Nayra tak sengaja menangkap lowongan cleaning service di sebuah rumah makan. Nayra kemudian mengeratkan niatnya. Tidak apa-apa untuk sekarang pekerjaan tersebut akan berguna.
Tetapi di luar ekspektasinya, pemilik rumah makan tersebut menjelaskan dengan seulas senyuman sungkan.
"Maaf, Mbak. Posisi itu baru saja terisi."
Nayra hanya melempar senyum, lantas kembali kecewa. Sementara di rumah, Ida selalu menyindirnya mengenai pekerjaan.
"Mana, katanya mau kerja?! Beban ya tetap jadi beban! Nyesel kan cerai sama Guna!"
Nayra memilih tak menghiraukan ucapan ibunya yang seringkali membuat dirinya meradang.
Ini sudah hari yang ketiga sejak Nayra mencari pekerjaan. Selama itu, ia sama sekali tak mendapatkan hasil dari jerih payahnya. Nayra menghela napas, ia tidak mau putus asa sebelum mendapatkannya.
Beruntung, Nayra melewati area perkantoran yang merupakan salah satu perusahaan besar di Jakarta. Perusahaan itu fokus memproduksi mie berskala nasional.
Atmajaya Group.
Nayra membaca tulisan besar dari bahan acrylic tersebut di ruang lobi lantai pertama, sementara dirinya disuruh menunggu setelah menyerahkan berkas dokumen untuk melamar lowongan yang tersedia di sana.
Seorang resepsionis berseragam dengan rambut yang disanggul rapi berdiri menerima telepon. Wanita itu terlihat mendengarkan lawan bicara di seberang telepon secara khidmat dengan sesekali mengangguk.
Setelah meletakkan teleponnya, resepsionis tadi memanggil Nayra. Sontak Nayra berdiri dan mendekat ke arah meja besar tersebut.
"Mbak, silakan masuk ke dalam. Anda ditunggu." Wanita itu menunjuk ke arah pintu pertama di ujung lorong. Nayra mengangguk paham lantas pamit undur diri.
Nayra melangkahkan kaki mengikuti arahan wanita tadi. Keringat kedua tangannya basah saking gugupnya. Ia juga merapalkan doa dalam hati agar bisa diterima bekerja di sini.
Membuka pintu perlahan, Nayra tercekat melihat seorang pria berkacamata duduk di belakang meja besar. Ia menunduk lantas bergerak tak nyaman.
Bersambung..
Pria itu mendongak, lalu tersenyum ramah kepada Nayra."Mbak Nayra Eka Sania ya? Silakan masuk, Mbak." Pria tersebut menunjuk kursi hadap di depannya.Nayra menelan salivanya. Perlahan ia melangkahkan kaki menuju kursi itu dan mendudukkan tubuhnya. Ini pertama kali ia melakukan wawancara kerja.Meskipun Nayra merupakan lulusan sarjana, Guna tidak mau Nayra bekerja setelah mereka menikah. Jadi, hari ini adalah pengalaman pertamanya hingga membuat kegugupan melanda Nayra seketika.Pria tersebut kemudian melanjutkan. "Tadi saya sudah membaca sekilas dokumen Mbak. Hmm, ya…" Ia mengangguk memandangi beberapa kertas di depannya. "Oh, iya. Saya belum memperkenalkan diri saya ya?"Nayra meresponnya dengan tersenyum simpul. Sementara pria di hadapannya sudah mengulurkan tangan menyeberangi meja di depan. Nayra menyambut tangan itu."Saya Arvin, selaku asisten dari Presdir sendiri," ujarnya mantap di sela jabat tangan mereka.Kedua mata Nayra melebar takjub. Lalu mengangguk dan tersenyum kembal
"Hei, tunggu dulu! Kurang ajar!" pekik Nayra begitu melihat kondisi baju yang tengah ia pakai.Nayra menggerutu, tidak mungkin ia kembali lagi ke rumah demi mengganti pakaiannya. Nayra sudah mencapai lebih dari separuh perjalanannya.Tak ingin membuang waktu, Nayra segera mengejar mobil itu."Heh, tanggung jawab!"Namun percuma, si pengendara tidak bisa mendengar teriakan Nayra. Mobil mewah warna hitam berkilat tersebut tetap melaju kencang meninggalkan Nayra yang berlari dengan napas terengah-engah.Nayra sempat melihat nomor plat mobil yang menyebabkan kesialannya pagi ini. Ia tahu jika si pemilik pasti orang kaya karena beberapa kombinasi angka dan huruf di plat mobil itu membentuk sebuah nama."Aldo?" Nayra mencoba menebak nama sang pemilik.Nayra tetap memacu kakinya cepat, sehingga ia beruntung dapat mencapai perusahaan saat ini.Begitu mendekat, Nayra terperanjat. Kedua mata dengan iris warna cokelatnya membulat sempurna. Tampak mobil dan plat nomor yang sama terparkir rapi di
Nayra membeku di tempat. Tatapan pria itu seakan sanggup membunuhnya sekarang juga. Tubuhnya meremang lantas segera menyelinap kembali ke dalam toilet.Sementara Pria bernama Aldo beserta orang-orangnya terus berderap. Arvin yang berada jauh di belakang rombongan tersebut terlihat bingung. Ia hendak memanggil Nayra, namun seketika ia urungkan karena yang lainnya berlalu begitu cepat.Kini tangan Nayra mencengkeram tepi wastafel kuat. Kedua matanya mengerjap sambil mencoba mencerna apa yang baru saja ia saksikan.Nayra menggigit bibir bawahnya. Ia lalu mendongak dan memandang cermin. Di pantulan cermin itu, ia dapat melihat raut mukanya yang takut dan khawatir."Apa aku sudah gila?" Nayra bergerak gelisah. Ia lalu menuntun langkahnya ke sana ke mari dengan frustasi.Nayra mencoba menjernihkan pikirannya yang sedang keruh. "Sebentar. Aldo itu ternyata presdir di sini? Bukannya namanya Alfredo? Eh, Aldo, Alfredo…" gumamnya sembari menggigit jari beberapa kali."Astaga!" Sontak Nayra menu
Arvin meneguk ludah, lalu membuka mulut hendak bicara. Namun ia urungkan karena Nayra mendahuluinya."Sa-saya dipecat, Pak?" Suaranya parau menunjukkan kekecewaan.Kedua mata sipit Aldo menatap Nayra nyalang. Ia lalu mendengus dan membuang muka. Malas untuk bicara dengan karyawan yang menurutnya tidak berguna dan membuang-buang waktunya saja."Pak, sebenarnya tidak ada yang melamar posisi sekretaris Anda kecuali Mbak ini," aku Arvin akhirnya.Aldo tertegun. Ia lantas memandang ke arah Arvin, meminta penjelasan lebih lanjut kepada pria berkacamata tersebut."Apa maksudmu? Yang benar saja?!" sembur Aldo keras."Iya, Pak. Maka dari itu saya langsung menerima Mbak Nayra." Arvin membungkukkan badan lagi. "Saya minta maaf, Pak."Aldo mengatupkan rahangnya. Ia berkacak pinggang sembari terlihat berpikir. Wajahnya sangat serius.Sementara itu, Nayra melirik Aldo yang tepat berada di depannya. Setelah ia amati, secara fisik Aldo memang mirip dengan Pak Nugroho.Kulit putih, mata sipit tajam, a
Arvin terlonjak ketika menyadari perkataannya. Ia segera menegakkan tubuh sekaligus memperbaiki kacamatanya.Arvin lalu memperhatikan Aldo yang diam sembari berpikir."Kenapa, Pak? Ada masalah?" Arvin cemas.Aldo meletakkan bolpoinnya lantas menggeleng. "Coba bawa sini ponselmu," sahutnya memberi kode agar Arvin menghampirinya di meja.Arvin lekas berdiri kemudian menyodorkan ponsel yang masih menampilkan berita dari salah satu website nasional.Aldo mencondongkan tubuhnya demi membaca judul besar yang bertengger di atas artikel tersebut.[Suami Ketahuan Selingkuh di Kontrakan Sendiri, Wanita ini Nekat Memviralkannya Lewat Video Live.]Kedua mata sipit Aldo menajam. Manik hitamnya bergerak cepat selaras dengan tempo bacanya. Ia lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, lantas membuang napas kasar.Arvin yang sedari tadi berada di depannya menjadi canggung. "Ada apa, Pak? Anda baik-baik saja?" tanyanya penuh kekhawatiran."Tidak. Aku hanya berpikir suaminya beneran brengsek. T
Nayra refleks memejamkan kedua mata tatkala cangkir berikut isinya terlempar ke lantai di sekitarnya.Setelah membuka mata pelan, Nayra tersentak. Kedua manik matanya terbelalak kaget. Nayra menutup mulut dengan salah satu tangan agar pekikan ketakutannya tidak lolos saat itu juga.Sekarang ia tengah memandangi pecahan cangkir sekaligus tumpahan kopi di lantai di dekat kakinya. Bahkan beberapa bercak noda kopi mendarat di blouse putih yang sedang ia kenakan.Kedua netra Nayra lalu terseret ke arah Aldo yang menatapnya tajam. Kulitnya yang semula putih pucat kini bersemu merah karena murka."Kamu itu bodoh atau apa, hah! Cepat buatkan minuman lagi!"Nayra tertegun. Setengahnya ia bingung, ada dimana letak kesalahannya?Kemudian kerongkongan Nayra terasa penuh, suaranya juga tak bisa ia keluarkan secara leluasa. Nayra sedang menahan agar tak menjatuhkan buliran bening yang hampir meluap dari pelupuknya. Ia begitu ketakutan melihat mimik kemarahan yang ditunjukkan Aldo.Tanpa menjawab ap
"Pak Aldo serius akan melakukan itu?" Arvin terperanjat, tidak percaya.Aldo kemudian mendongak lagi. "Kenapa? Kamu tidak setuju?" cecarnya sembari menautkan alis.Arvin terdiam. Sambil memperbaiki letak kacamatanya, ia merenung."Bukannya begitu, Pak. Tapi Anda apa tidak kasihan sama Mbak Nayra? Mbak Nayra janda, Pak. Tidak punya suami," erang Arvin tersulut empati."Aku tidak peduli apapun statusnya, Vin. Aku hanya melihat kinerjanya. Kalau pekerjaannya baik, aku tidak mungkin melakukan ini." Aldo membela diri."Tapi tetap saja, Pak. Sebaiknya jangan terlalu membuatnya menderita." Arvin tampak khawatir. Ia tahu bahwa wanita manapun pasti mengalami kesulitan di masa awal mereka bercerai."Kamu yang jangan terlalu banyak bicara! Dia pegawaiku, jadi aku bebas melakukan apa saja." Aldo sengaja menekan di kalimat terakhir."Sudah, Vin. Kamu diam saja dan lihat apa yang akan aku lakukan."Arvin membeku di tempat. Ia tahu Aldo memang keras kepala dan keputusannya sudah tidak bisa diganggu
Kedua pupil Nayra melebar. Ia memicingkan mata sambil mencoba fokus untuk mendengarkan pembicaraan Ida dengan seseorang di seberang telepon wanita tersebut. Indra pendengarnya menangkap hal yang membuat Nayra tercekat. "Guna?" Bibir Nayra bergerak menyebut nama itu dengan mimik tak percaya. Kenapa Ibu berbicara dengan Guna? Mereka masih berhubungan? Pertanyaan muncul saling bersimpangan dari dalam pikiran Nayra. Ia harus menerima jawaban sekarang juga, pikir Nayra lagi. Namun suara keras membuyarkan konsentrasinya. Nayra tersentak. Bunyi itu berasal dari ruang tamu dimana Budi berada. Nayra panik dan lekas berlari menuju sumber suara tersebut. Ketika melihat apa yang terjadi, Nayra terkesiap lalu berhambur menuju ayahnya. "Ya ampun, Ayah. Ayah kenapa?" Nayra memandang ke arah ayahnya dengan tatapan khawatir. Sedetik kemudian ia memeriksa kondisi Budi, takut jika terjadi sesuatu pada ayahnya. "Ayah tidak apa-apa kan?" tanyanya lagi untuk memastikan. Budi berusaha menggerakkan mu