Share

4. Kehadiran Ida

Nayra sudah cukup sabar menghadapi ibunya selama ini. Wanita itu terus saja memperlakukan Nayra dan ayahnya semena-mena.

Nayra ingat tujuh tahun yang lalu, saat Budi yang masih bugar tiba-tiba mengajak seorang wanita dengan rambut hitam legam sebahu ke rumah tepat 40 hari kematian ibunya sendiri.

Nayra terperanjat, juga kecewa terhadap keputusan ayahnya membawa wanita tersebut.

"Posisi Ibu tidak akan pernah bisa tergantikan, Yah!" pekik Nayra yang masih berusia 16 tahun saat itu.

Budi menghela napas. Perlahan ia membujuk Nayra yang tidak menyukai kehadiran Ida. Setelah Nayra berlari ke kamar dengan berurai air mata, Budi menatap nanar ke arah Ida yang merupakan penyembuh rasa kehilangannya terhadap sang istri.

Kulit cerah kuning langsat, rambut ikal warna hitam, juga alis tebal milik Ida membuat Budi langsung jatuh hati. Manik legam kedua mata Ida menyorotkan sebuah kekhawatiran.

Budi menepuk bahu Ida pelan, berusaha menyampaikan sebuah janji bahwa ia akan mencoba berbicara dengan anaknya pelan-pelan. “Kamu tenang saja, perlahan Nayra akan luluh dan menerimamu sebagai ibu yang utuh.”

Saat itu usia Ida terbilang muda, yaitu 32 tahun. Selisih sepuluh tahun dengan Budi yang kala itu berumur 42 tahun.

Ida berasal dari desa. Ia bekerja di Jakarta demi memenuhi kebutuhan orang tua yang mulai berada di usia senja, juga ketiga adiknya.

Ida merasa sangat beruntung ketika bertemu dengan Budi yang bernotabene sebagai pegawai negeri. Ia merasa bahwa bebannya akan semakin ringan jika ditanggung oleh Budi yang baru saja menyandang status duda.

Saat itu, keluarga Budi memang sangat berkecukupan. Rumah besar tingkat dua bahkan mobil, mereka memiliki semuanya. Jadi status duda dengan anak satu yang mulai beranjak dewasa tidak akan menjadi penghambat bagi Ida untuk mendapatkan Budi.

“Aku harus bisa mendapatkannya. Jangan nyerah!” gertak Ida pada diri sendiri  suatu malam. Ia tengah terisak karena sikap penolakan Nayra dan keluarga di kampung yang kian terhimpit ekonomi.

Hingga akhirnya tepat Nayra berusia 19 tahun—saat gadis tersebut menjalani kehidupan kuliahnya, barulah ia menerima kehadiran Ida di kehidupannya. Ternyata tidak mudah menaklukkan seorang gadis di masa labilnya, sungut Ida di dalam hati.

Akhirnya Ida bisa menikmati kesejahteraan yang Budi berikan. Uang belanja, berikut uang untuk membeli skincare dan barang-barang incarannya dari dulu sudah Ida dapatkan dengan mudah.

Lalu Nayra menikah di usianya yang ke dua puluh. Nayra membawa Guna ke keluarganya dan langsung disambut baik oleh Ida. Namun beberapa bulan berikutnya, Budi justru jatuh sakit.

Sebenarnya dari awal Budi sudah mengalami gejala stroke ringan. Tetapi karena menyaksikan sendiri sebuah rahasia yang tersingkap di antara keluarganya, sakitnya semakin parah.

Budi tiba-tiba jatuh. Kaki dan tangannya tak bisa ia gerakkan. Saraf di wajahnya kaku, hingga ia tak bisa bicara lagi sampai saat ini.

Hal tersebut membuat Budi terpaksa dipensiunkan dini. Keluarganya semakin berantakan. Ditambah Ida yang tidak bisa mengatur keuangan membuat rumah dan mobilnya ludes terjual.

Raib sudah seluruh harta Budi, hingga kini mereka hanya memiliki sebuah rumah kecil nan sederhana. Bahkan untuk Nayra dan Guna pun tidak cukup luas sehingga keduanya memutuskan untuk kontrak di satu kawasan agar masih bisa membantu merawat Budi.

Awalnya Ida marah ketika Nayra memutuskan untuk kontrak sendiri. “Apa yang kamu lakukan? Pindah dari sini?! Kamu pengen lempar tanggung jawab ke Ibu, hah?! Nggak usah pindah lah! Ibu juga nggak mau kesusahan ngerawat bapakmu sendiri!”

Padahal Nayra setiap hari selalu ke rumah mereka. Untuk kehidupan orang tuanya sendiri diperoleh dari tunjangan pensiun dari Budi, juga sebagian lagi dari gaji Guna yang memang disisihkan demi membantu mereka.

Bukan Nayra namanya kalau tidak keras kepala dan memutuskan untuk tetap kontrak sendiri. Ia tidak mau jika urusan rumah tangganya dicampuri oleh orang tuanya.

Napas Nayra memburu karena emosinya yang sudah membuncah. "Ibu boleh melakukan apapun ke Nayra, tapi jangan ke Ayah, Bu!"

Ida langsung mendelik tajam dan berkacak pinggang. "Sekarang kamu berani ya teriak-teriak!"

"Maaf, Bu. Tapi ini sudah kelewatan. Ayah juga lagi sakit. Sudah, aku tidak mau bertengkar dengan Ibu." Nayra berusaha menurunkan nada di setiap ucapannya. Ia lalu segera mendorong ayahnya ke dalam kamar.

Sebelum meninggalkan Budi, Nayra memeluknya terlebih dulu. Sementara isakan halus terdengar dari bibir keduanya.

"Maafkan aku, Ayah. Nayra berjanji akan segera bekerja demi Ayah." Nayra menempelkan kepalanya tepat di bawah dagu Budi.

Tanpa bisa bicara apapun Budi sesenggukkan. Ia sungguh menyesali semua perbuatannya setelah sang istri meninggalkan dunia. Seandainya ia merasa cukup dan hidup berdua saja dengan Nayra—anak satu-satunya, kehidupannya tak mungkin jadi seperti ini.

Nayra kemudian berpamitan kepada Budi untuk mencari pekerjaan. Wanita tersebut mengecup singkat dahi ayahnya, lantas pergi menerjang panasnya ibukota.

Nayra sudah berpakaian rapi sebelum keluar. Ia juga telah menyiapkan beberapa keperluan untuk melamar pekerjaan. Dari satu gedung ke gedung lain, ia bertanya kepada sekuriti mengenai lowongan di sana.

"Sementara belum ada, Mbak."

Nayra menelan kekecewaannya, lalu melanjutkan perjalanannya. Peluh mengalir dari dahi Nayra. Ia yakin pangkat sarjananya akan berguna.

Namun Nayra belum juga mendapat pekerjaan manakala hari sudah sore. Kakinya bahkan terlalu letih hingga membuat Nayra memutuskan untuk pulang saja.

Di perjalanan Nayra tak sengaja menangkap lowongan cleaning service di sebuah rumah makan. Nayra kemudian mengeratkan niatnya. Tidak apa-apa untuk sekarang pekerjaan tersebut akan berguna.

Tetapi di luar ekspektasinya, pemilik rumah makan tersebut menjelaskan dengan seulas senyuman sungkan.

"Maaf, Mbak. Posisi itu baru saja terisi."

Nayra hanya melempar senyum, lantas kembali kecewa. Sementara di rumah, Ida selalu menyindirnya mengenai pekerjaan.

"Mana, katanya mau kerja?! Beban ya tetap jadi beban! Nyesel kan cerai sama Guna!"

Nayra memilih tak menghiraukan ucapan ibunya yang seringkali membuat dirinya meradang.

Ini sudah hari yang ketiga sejak Nayra mencari pekerjaan. Selama itu, ia sama sekali tak mendapatkan hasil dari jerih payahnya. Nayra menghela napas, ia tidak mau putus asa sebelum mendapatkannya.

Beruntung, Nayra melewati area perkantoran yang merupakan salah satu perusahaan besar di Jakarta. Perusahaan itu fokus memproduksi mie berskala nasional.

Atmajaya Group.

Nayra membaca tulisan besar dari bahan acrylic tersebut di ruang lobi lantai pertama, sementara dirinya disuruh menunggu setelah menyerahkan berkas dokumen untuk melamar lowongan yang tersedia di sana.

Seorang resepsionis berseragam dengan rambut yang disanggul rapi berdiri menerima telepon. Wanita itu terlihat mendengarkan lawan bicara di seberang telepon secara khidmat dengan sesekali mengangguk.

Setelah meletakkan teleponnya, resepsionis tadi memanggil Nayra. Sontak Nayra berdiri dan mendekat ke arah meja besar tersebut.

"Mbak, silakan masuk ke dalam. Anda ditunggu." Wanita itu menunjuk ke arah pintu pertama di ujung lorong. Nayra mengangguk paham lantas pamit undur diri.

Nayra melangkahkan kaki mengikuti arahan wanita tadi. Keringat kedua tangannya basah saking gugupnya. Ia juga merapalkan doa dalam hati agar bisa diterima bekerja di sini.

Membuka pintu perlahan, Nayra tercekat melihat seorang pria berkacamata duduk di belakang meja besar. Ia menunduk lantas bergerak tak nyaman.

Bersambung..

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status