Ida mulai tersulut emosi, lantas berpaling ke arah Nayra yang terlihat tersiksa karena cengkeraman tangan Guna pada lengannya.
"Nggak, Bu. Jangan percaya sama Guna! Guna justru berselingkuh di kamar kami! Aku serius, Bu!" Nayra berusaha membela diri. Kedua pipinya masih basah.
"Nayra, kamu itu sudah umur 23 tahun, harus bisa lebih dewasa sedikit! Jangan apa-apa dibilang selingkuh!" gertak Ida.
"Bu, aku punya bukti! Sungguh." Nayra tergugu.
"Nayra, kamu jangan fitnah aku di depan Ibu! Cepat, mana ponselmu, jangan sampai aku melakukan tindakan yang lebih jauh!" Guna menggoyangkan tubuh Nayra dengan keras akibat amarahnya yang semakin tak terbendung.
Menyadari usahanya sia-sia, Guna lantas mendorong tubuh Nayra hingga membentur dinding. Ia langsung berhambur menuju ke dalam kamar Nayra demi menemukan ponsel wanita tersebut dan menghapus rekam jejaknya di sana.
Nayra tak tinggal diam. Ia segera berlari demi menghadang Guna. Ida pun tak mau berdiam diri. Wanita paruh baya itu melangkahkan kaki cepat menyusul ke dalam kamar.
Sementara Budi yang hanya membeku di tempat mulai menitikkan bulir bening dari pelupuk mata yang telah menua. Rasanya ingin sekali Budi menghentikan sikap Ida yang selalu ikut campur dengan urusan rumah tangga anaknya.
Guna berhasil menemukan ponsel Nayra yang tergeletak di atas kasur. Ia segera memungut benda persegi panjang tersebut lantas menyalakannya.
Begitu melihat layar ponsel Nayra, Guna semakin meradang. Bagaimana tidak, video yang tadi Nayra rekam sudah menyebar dimana-mana.
Nasi telah menjadi bubur. Hujatan yang diterima Guna dan si wanita selingkuhannya meluap. Begitu juga simpati masyarakat mengalir deras tertuju kepada Nayra.
Guna mencengkeram kepala dengan kedua tangannya. Raut mukanya memerah. Ini seperti akhir dari hidupnya. Bahkan teman-teman kerjanya sudah menghubunginya untuk menemui pimpinan langsung siang ini juga. Si bos marah besar dan memanggil dirinya sekarang.
Ida yang mengetahui video tersebut terperanjat. Seketika ia menutup bibirnya dengan rasa tidak percaya.
"Guna, tega-teganya kamu berbuat seperti ini!" murka Ida saat itu juga.
Ida hanya tahu perselingkuhan Guna yang ini, sebelumnya Nayra memilih bisu dan membiarkan dirinya mengatasi masalah rumah tangganya sendiri.
"Bu, Guna khilaf. Guna tidak bermaksud mengecewakan Nayra maupun Ibu." Guna bersimpuh di kaki Ida sekarang.
Ida pun tak kuasa menahan tangisnya. Ia tidak sanggup melihat Guna lagi.
"Tolong, beri Guna kesempatan satu kali lagi," suara Guna serak karena menangis.
Ida diam, tidak tahu lagi harus bagaimana. Hatinya kian teriris menyaksikan perselingkuhan yang dimainkan oleh menantunya sendiri.
"Pergi dari sini, Gun! Aku sudah nggak mau melihatmu lagi!" pekik Nayra dari belakang.
Guna tidak peduli, ia terus memohon pengampunan kepada ibu mertuanya.
"Aku mau kita cerai!"
Sontak ada keterkejutan di wajah Guna maupun ibunya. Guna langsung bangkit berdiri, lalu memandang Nayra dengan tatapan skeptis.
"Apa? Apa maksudnya, Nay?!" Guna melebarkan kedua matanya.
"Kita cerai saja, Gun. Percuma kalau dilanjutkan lagi. Toh, aku juga sudah malu dengan sikapmu itu," ungkap Nayra getir.
"Nay, kamu malu karena kamu sendiri yang menyebarkannya! Kalau kamu nggak begitu, orang lain nggak akan tahu." Guna mulai membela diri.
Nayra mengernyit. "Kamu mau bilang itu salahku, hah? Astaga, ngaca, Gun. Ngaca!"
Tangan Nayra terkepal erat di sisi tubuhnya. Rasanya semua uneg-unegnya ingin ia sampaikan di sini. Nayra sudah tidak sanggup lagi untuk hidup bersama Guna. Ia sadar, selama ini dirinya tidak bahagia.
Guna menggeram. Karena diberondong beberapa telepon sekaligus, ia meraih ponsel dan memeriksanya singkat. Ketika Guna tahu bahwa telepon-telepon itu berasal dari rekan kerjanya, maka ia segera memutuskan untuk melenggang pergi dan menuju kantor.
Selepas kepergian Guna, Ida menatap nanar ke arah Nayra yang berhambur dan memeluk ayahnya yang menangis. Ida mendekat, kemudian menyentuh pelan bahu Nayra.
"Nay, kamu yakin akan menceraikan Guna?"
Nayra mendongak, lantas mengangguk. "Iya, Ibu. Keputusan Nayra sudah bulat."
"Mungkin sekarang ini kamu lagi emosi, makanya kamu bisa bilang begitu. Coba pikirkan dulu baik-baik. Penyesalan selalu datang di akhir." Setelah mengucapkan itu, Ida menyeret kaki menuju kamarnya.
Sementara di tempat lain, Guna memarkir motornya, lalu melepas helm. Pandangannya menyapu area gedung perkantoran dengan gundah.
Guna melangkahkan kakinya berat menuju koridor kantor. Tampak beberapa orang yang berpapasan dengannya memandang dengan tatapan yang sulit diartikan.
Terdengar juga suara berbisik yang ada di sekitarnya. Ketika Guna melempar pandang ke arah mereka, orang-orang itu pun segera berpaling secara eksplisit.
Guna menekuk wajah, lantas menghela napas kasar sebelum menemui atasannya.
Tangannya meraih gagang pintu kemudian menariknya, hingga menampilkan sosok pria paruh baya dengan kepala hampir botak.
Guna meneguk ludah. Dari mimiknya terlihat pria yang tengah ia hadapi sedang marah.
"Guna Aditya," geram pria itu dengan suara berat nan tegas.
"Iya, Pak." Guna mendudukkan tubuhnya di kursi yang ada dihadapannya. Keringat dingin mulai mengucur baik dari dahi maupun telapak tangannya.
"Aku langsung saja. Hari ini aku sudah melihatmu dimana-mana. Kamu juga sudah mempermalukan citra perusahaan yang telah kubangun dari nol! Aku tahu urusan pekerjaan dan pribadi itu beda. Tapi kalau kamu pintar, kamu pasti sudah tahu jika etika karyawan merupakan wajah perusahaan."
Guna menunduk, tahu benar apa yang dimaksud oleh atasannya.
"Aku sudah tidak mau lagi melihatmu di sini. Kelakuanmu sangat memalukan! Kamu kupecat!"
Guna tersentak. Ia mendongak dengan ekspresi tidak terima. Guna sempat membujuk pimpinannya tersebut, namun nihil. Ia tetap ditolak dan dipecat saat ini juga.
Dengan amarah yang membara, Guna keluar dari ruangan. Wajahnya sudah merah padam sambil mengepalkan tangannya erat.
"Shit! Semua ini gara-gara Nayra! Awas kamu!"
Bersambung..
Pagi ini Nayra tercenung di kursi teras halaman rumahnya. Kejadian kemaren berjalan cepat seperti mimpi, bahkan sejujurnya ia masih belum siap menerima itu semua.Bagaimanapun, Nayra dan Guna sudah membangun bahtera rumah tangganya selama tiga tahun.Nayra memijat sebelah pelipisnya. Semalam ia sama sekali tidak tidur. Pikirannya kalut, tidak siap memikirkan bagaimana dirinya menyandang status janda dan kembali menjadi beban kedua orang tuanya.Nayra lalu menghela napas sembari memandang ke langit kebiruan nan berhias awan. "Kenapa pernikahanku jadi begini?"Rasanya campur aduk. Dada Nayra masih sesak, sedang kedua matanya bengkak karena tangisnya sepanjang malam.Nayra tahu, ia masih sangat mencintai Guna. Guna adalah separuh hidupnya dari awal pertemuan mereka. Sosok pria manis yang dapat menggait hatinya untuk pertama kali. Guna memang cinta pertama bagi Nayra.Pria mancung dan memiliki bibir tebal, Guna sangat mempesona saat itu. Pria tersebut tak sengaja bertemu dengannya di sebu
Nayra sudah cukup sabar menghadapi ibunya selama ini. Wanita itu terus saja memperlakukan Nayra dan ayahnya semena-mena.Nayra ingat tujuh tahun yang lalu, saat Budi yang masih bugar tiba-tiba mengajak seorang wanita dengan rambut hitam legam sebahu ke rumah tepat 40 hari kematian ibunya sendiri.Nayra terperanjat, juga kecewa terhadap keputusan ayahnya membawa wanita tersebut."Posisi Ibu tidak akan pernah bisa tergantikan, Yah!" pekik Nayra yang masih berusia 16 tahun saat itu.Budi menghela napas. Perlahan ia membujuk Nayra yang tidak menyukai kehadiran Ida. Setelah Nayra berlari ke kamar dengan berurai air mata, Budi menatap nanar ke arah Ida yang merupakan penyembuh rasa kehilangannya terhadap sang istri.Kulit cerah kuning langsat, rambut ikal warna hitam, juga alis tebal milik Ida membuat Budi langsung jatuh hati. Manik legam kedua mata Ida menyorotkan sebuah kekhawatiran.Budi menepuk bahu Ida pelan, berusaha menyampaikan sebuah janji bahwa ia akan mencoba berbicara dengan ana
Pria itu mendongak, lalu tersenyum ramah kepada Nayra."Mbak Nayra Eka Sania ya? Silakan masuk, Mbak." Pria tersebut menunjuk kursi hadap di depannya.Nayra menelan salivanya. Perlahan ia melangkahkan kaki menuju kursi itu dan mendudukkan tubuhnya. Ini pertama kali ia melakukan wawancara kerja.Meskipun Nayra merupakan lulusan sarjana, Guna tidak mau Nayra bekerja setelah mereka menikah. Jadi, hari ini adalah pengalaman pertamanya hingga membuat kegugupan melanda Nayra seketika.Pria tersebut kemudian melanjutkan. "Tadi saya sudah membaca sekilas dokumen Mbak. Hmm, ya…" Ia mengangguk memandangi beberapa kertas di depannya. "Oh, iya. Saya belum memperkenalkan diri saya ya?"Nayra meresponnya dengan tersenyum simpul. Sementara pria di hadapannya sudah mengulurkan tangan menyeberangi meja di depan. Nayra menyambut tangan itu."Saya Arvin, selaku asisten dari Presdir sendiri," ujarnya mantap di sela jabat tangan mereka.Kedua mata Nayra melebar takjub. Lalu mengangguk dan tersenyum kembal
"Hei, tunggu dulu! Kurang ajar!" pekik Nayra begitu melihat kondisi baju yang tengah ia pakai.Nayra menggerutu, tidak mungkin ia kembali lagi ke rumah demi mengganti pakaiannya. Nayra sudah mencapai lebih dari separuh perjalanannya.Tak ingin membuang waktu, Nayra segera mengejar mobil itu."Heh, tanggung jawab!"Namun percuma, si pengendara tidak bisa mendengar teriakan Nayra. Mobil mewah warna hitam berkilat tersebut tetap melaju kencang meninggalkan Nayra yang berlari dengan napas terengah-engah.Nayra sempat melihat nomor plat mobil yang menyebabkan kesialannya pagi ini. Ia tahu jika si pemilik pasti orang kaya karena beberapa kombinasi angka dan huruf di plat mobil itu membentuk sebuah nama."Aldo?" Nayra mencoba menebak nama sang pemilik.Nayra tetap memacu kakinya cepat, sehingga ia beruntung dapat mencapai perusahaan saat ini.Begitu mendekat, Nayra terperanjat. Kedua mata dengan iris warna cokelatnya membulat sempurna. Tampak mobil dan plat nomor yang sama terparkir rapi di
Nayra membeku di tempat. Tatapan pria itu seakan sanggup membunuhnya sekarang juga. Tubuhnya meremang lantas segera menyelinap kembali ke dalam toilet.Sementara Pria bernama Aldo beserta orang-orangnya terus berderap. Arvin yang berada jauh di belakang rombongan tersebut terlihat bingung. Ia hendak memanggil Nayra, namun seketika ia urungkan karena yang lainnya berlalu begitu cepat.Kini tangan Nayra mencengkeram tepi wastafel kuat. Kedua matanya mengerjap sambil mencoba mencerna apa yang baru saja ia saksikan.Nayra menggigit bibir bawahnya. Ia lalu mendongak dan memandang cermin. Di pantulan cermin itu, ia dapat melihat raut mukanya yang takut dan khawatir."Apa aku sudah gila?" Nayra bergerak gelisah. Ia lalu menuntun langkahnya ke sana ke mari dengan frustasi.Nayra mencoba menjernihkan pikirannya yang sedang keruh. "Sebentar. Aldo itu ternyata presdir di sini? Bukannya namanya Alfredo? Eh, Aldo, Alfredo…" gumamnya sembari menggigit jari beberapa kali."Astaga!" Sontak Nayra menu
Arvin meneguk ludah, lalu membuka mulut hendak bicara. Namun ia urungkan karena Nayra mendahuluinya."Sa-saya dipecat, Pak?" Suaranya parau menunjukkan kekecewaan.Kedua mata sipit Aldo menatap Nayra nyalang. Ia lalu mendengus dan membuang muka. Malas untuk bicara dengan karyawan yang menurutnya tidak berguna dan membuang-buang waktunya saja."Pak, sebenarnya tidak ada yang melamar posisi sekretaris Anda kecuali Mbak ini," aku Arvin akhirnya.Aldo tertegun. Ia lantas memandang ke arah Arvin, meminta penjelasan lebih lanjut kepada pria berkacamata tersebut."Apa maksudmu? Yang benar saja?!" sembur Aldo keras."Iya, Pak. Maka dari itu saya langsung menerima Mbak Nayra." Arvin membungkukkan badan lagi. "Saya minta maaf, Pak."Aldo mengatupkan rahangnya. Ia berkacak pinggang sembari terlihat berpikir. Wajahnya sangat serius.Sementara itu, Nayra melirik Aldo yang tepat berada di depannya. Setelah ia amati, secara fisik Aldo memang mirip dengan Pak Nugroho.Kulit putih, mata sipit tajam, a
Arvin terlonjak ketika menyadari perkataannya. Ia segera menegakkan tubuh sekaligus memperbaiki kacamatanya.Arvin lalu memperhatikan Aldo yang diam sembari berpikir."Kenapa, Pak? Ada masalah?" Arvin cemas.Aldo meletakkan bolpoinnya lantas menggeleng. "Coba bawa sini ponselmu," sahutnya memberi kode agar Arvin menghampirinya di meja.Arvin lekas berdiri kemudian menyodorkan ponsel yang masih menampilkan berita dari salah satu website nasional.Aldo mencondongkan tubuhnya demi membaca judul besar yang bertengger di atas artikel tersebut.[Suami Ketahuan Selingkuh di Kontrakan Sendiri, Wanita ini Nekat Memviralkannya Lewat Video Live.]Kedua mata sipit Aldo menajam. Manik hitamnya bergerak cepat selaras dengan tempo bacanya. Ia lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, lantas membuang napas kasar.Arvin yang sedari tadi berada di depannya menjadi canggung. "Ada apa, Pak? Anda baik-baik saja?" tanyanya penuh kekhawatiran."Tidak. Aku hanya berpikir suaminya beneran brengsek. T
Nayra refleks memejamkan kedua mata tatkala cangkir berikut isinya terlempar ke lantai di sekitarnya.Setelah membuka mata pelan, Nayra tersentak. Kedua manik matanya terbelalak kaget. Nayra menutup mulut dengan salah satu tangan agar pekikan ketakutannya tidak lolos saat itu juga.Sekarang ia tengah memandangi pecahan cangkir sekaligus tumpahan kopi di lantai di dekat kakinya. Bahkan beberapa bercak noda kopi mendarat di blouse putih yang sedang ia kenakan.Kedua netra Nayra lalu terseret ke arah Aldo yang menatapnya tajam. Kulitnya yang semula putih pucat kini bersemu merah karena murka."Kamu itu bodoh atau apa, hah! Cepat buatkan minuman lagi!"Nayra tertegun. Setengahnya ia bingung, ada dimana letak kesalahannya?Kemudian kerongkongan Nayra terasa penuh, suaranya juga tak bisa ia keluarkan secara leluasa. Nayra sedang menahan agar tak menjatuhkan buliran bening yang hampir meluap dari pelupuknya. Ia begitu ketakutan melihat mimik kemarahan yang ditunjukkan Aldo.Tanpa menjawab ap