Dina mengerjakan jahitan dengan serius, jemarinya lincah menuntun kain di bawah jarum mesin jahit. Suara mesin yang berputar berulang-ulang terasa begitu menenangkan, seolah menggantikan hiruk-pikuk pikirannya.
Untuk sesaat, ia benar-benar melupakan masalahnya dengan Danang. Tidak ada lagi kepedihan yang membebani dadanya—hanya ada pekerjaannya, benang yang mengalir mulus di atas kain, dan suara orang-orang di luar rukonya yang mulai melirik tempat usahanya.
Dina melirik sekilas ke arah pintu, melihat beberapa orang yang berdiri di depan ruko, saling berbisik sambil melayangkan pandangan ke arah papan nama usaha yang baru ia pasang beberapa hari lalu.
Ia tersenyum kecil. "Semoga mereka menjadi pelanggan …"
Pikirannya bergerak cepat, mendorong semangatnya semakin kuat.
"Kalau aku bisa me
Dina mengerjakan jahitan dengan serius, jemarinya lincah menuntun kain di bawah jarum mesin jahit. Suara mesin yang berputar berulang-ulang terasa begitu menenangkan, seolah menggantikan hiruk-pikuk pikirannya.Untuk sesaat, ia benar-benar melupakan masalahnya dengan Danang. Tidak ada lagi kepedihan yang membebani dadanya—hanya ada pekerjaannya, benang yang mengalir mulus di atas kain, dan suara orang-orang di luar rukonya yang mulai melirik tempat usahanya.Dina melirik sekilas ke arah pintu, melihat beberapa orang yang berdiri di depan ruko, saling berbisik sambil melayangkan pandangan ke arah papan nama usaha yang baru ia pasang beberapa hari lalu.Ia tersenyum kecil. "Semoga mereka menjadi pelanggan …"Pikirannya bergerak cepat, mendorong semangatnya semakin kuat."Kalau aku bisa me
Alma berdiri di samping mobil, matanya mengamati koper kecil yang dibawa Dina. Ia mengernyit, merasa tak percaya."Hanya ini barangmu?" tanyanya, nada suaranya terdengar sedikit heran.Dina menarik napas, memandang koper kecil di tangannya sebelum mengangguk. "Aku tidak bawa semua," jawabnya pelan.Alma menyilangkan tangan di dada, masih tak puas dengan jawaban itu. "Kenapa? Apa masih berat untuk meninggalkannya?" tanyanya lagi, kali ini lebih hati-hati.Dina menunduk sebentar sebelum menjawab. "Bukan itu… Aku takut Mas Danang mencariku ke kampung. Aku takut Bunda sakit karena khawatir," ujarnya lirih, suaranya terdengar mengandung kecemasan yang nyata. "Aku akan mengatakan pada Bunda nanti, setelah aku berhasil mendapatkan buku nikah."Alma menghela napas panjang, mengangguk pelan. "Be
Danang terbangun karena mendengar suara motor berlalu-lalang di depan rumah. Suara knalpot yang bising seakan menampar kesadarannya, memaksanya keluar dari tidur yang tidak benar-benar nyenyak.Dengan gerakan cepat, ia bangkit dan duduk di tepi tempat tidur, pandangannya langsung tertuju ke arah jam dinding."Jam 6?! Sial!"Ia mengumpat pelan, mengusap wajahnya dengan kedua tangan sebelum menggerutu lebih keras."Kenapa Dina tidak membangunkanku?"Ia segera berdiri dan bergegas menuju kamar mandi, melangkah dengan terburu-buru. Pikiran tentang pertengkaran semalam lenyap begitu saja—kesibukan pagi ini lebih mendesak daripada urusan hati yang ia pilih untuk abaikan.Di bawah guyuran air dingin dari shower, Danang menghela napas panjang.
Setelah melangkah beberapa langkah menjauh dari kotak yang tergeletak di lantai, Dina tiba-tiba berhenti. Ia diam sejenak, pikirannya beradu antara meninggalkannya atau kembali. Rasa penasaran akhirnya mengalahkan keraguannya. Perlahan, ia membalikkan badan dan melangkah kembali menuju kotak itu, ingin mengetahui apa yang tersembunyi di dalamnya.Dina membungkukkan badannya dan kemudian mengambil kotak tersebut. Dengan tangan gemetar, Dina membuka kotak kecil itu, napasnya sedikit tertahan saat tutupnya perlahan terbuka. Matanya membesar, sorotnya dipenuhi keterkejutan yang bercampur dengan berbagai perasaan yang sulit diuraikan."Kalung," ujarnya pelan, nyaris berbisik.Cahaya lampu kamar mengenai permata di liontin kecil yang tergeletak di dalamnya, memantulkan kilauan lembut yang seharusnya indah—tetapi bagi Dina, benda itu lebih seperti pengingat daripada hadiah. 
Deni menelan ludah, seolah kata-kata yang ingin ia sampaikan tersangkut di tenggorokan. Ia menggeser posisi duduknya sedikit, pandangannya menghindari mata bundanya. "Itu, Bun..." ucapnya pelan, suaranya terdengar penuh keraguan, nyaris bergetar.Aini semakin memperhatikan perubahan raut wajah Deni, sorot matanya mulai dipenuhi kecemasan. Ia tidak suka ketika anaknya bersikap seperti ini—seperti ada sesuatu yang berat yang ingin disampaikan tetapi masih ditahan."Apa, Deni? Dina sakit?" tanyanya, nada suaranya kini berubah menjadi sedikit khawatir.Deni menggeleng cepat, tetapi tetap tidak langsung berbicara. Ia menarik napas panjang, mencoba mencari keberanian untuk mengatakan apa yang sebenarnya ingin ia ungkapkan.Aini semakin tidak tenang melihatnya. Ia menggeser duduknya lebih dekat, lalu meraih tangan Deni dan men
Danang bangkit dari duduknya, dadanya terasa sesak saat mendengar suara isakan lirih dari kamar tamu. Isakan yang begitu halus, tetapi terasa menyayat, seolah setiap tangis yang ditahan oleh Dina menghantam kesadarannya dengan pukulan yang tidak terlihat.Langkahnya berat saat ia mendekati pintu kamar tamu, seolah ada sesuatu yang menghalanginya untuk melangkah lebih dekat. Hatinya bergetar, penuh penyesalan, penuh ketidakpastian.Dengan ragu, ia mengetuk pintu kamar dengan lembut."Tok… tok… Din… Dina…" panggilnya, suaranya bergetar, tidak seperti biasanya.Namun, tidak ada sahutan dari dalam. Hanya keheningan yang terasa semakin tebal, semakin menghimpit.Danang menelan ludah, lalu mengetuk pintu sekali lagi, kali ini sedikit lebih kuat. "Tok… tok… D
Aini duduk termenung di teras rumahnya, menatap langit yang mulai berubah warna menjelang senja. Udara terasa lembab, seolah ikut membebani pikirannya yang sudah penuh dengan kegelisahan. Tangannya perlahan mengelus dadanya, mencoba meredakan ketidaknyamanan yang tiba-tiba muncul. Ada rasa sesak, rasa yang sulit dijelaskan. Bukan hanya fisik, tetapi juga batin yang terasa berat. "Ada apa ini? Perasaanku tidak nyaman... Apa jantungku bermasalah?" batinnya, mulai diliputi kecemasan. Aini menutup matanya, berusaha mengatur napas yang tiba-tiba terasa lebih pendek dari biasanya. Pikirannya melayang ke berbagai arah, tetapi yang paling kuat adalah ketakutannya terhadap sesuatu yang mungkin akan terjadi. "Allah, jangan buat hamba sakit sekarang ini. Suami hamba sudah Engkau ambil, jangan sampai hamba juga dipanggil sekarang ini..." Suara hatinya terdengar lirih, penuh harap. Kehilangan suami sudah menjadi luka yang masih belum benar-benar sembuh, dan kini ketakutan akan meninggalkan
Danang duduk termenung di teras depan rumah, matanya menatap lurus ke jalanan yang sepi.Ia teringat kata-kata Deni sebelum masuk mobil menuju terminal bus. Kata-kata yang begitu sederhana, tetapi menghantamnya tanpa ampun."Kembalikan Kak Dina, jika Mas sudah tidak mencintainya lagi. Sebab, tak ada kerajaan yang bisa bertahan dengan dua ratu berada didalamnya."Danang tertegun, dadanya terasa sesak. Ia tidak menyangka Deni akan mengatakan hal itu—seolah mengetahui semuanya, seolah melihat sesuatu yang selama ini ia tutupi dengan berbagai alasan dan kebohongan."Deni tahu? Sejak kapan? Apa selama ini dia diam sambil memperhatikan? Atau, Dina mengatakannya?""Tidak mungkin Dina yang mengatakan. Dina menutupinya."Ia menggenggam jemarinya di atas lutut, perasaan tidak nyaman mulai menjalar dalam dirinya.
Dina menghela napas panjang, mencoba meredam emosinya yang mulai memuncak. Ia menatap Danang dengan mata yang penuh ketegasan, tapi ada kelelahan yang tak bisa disembunyikan."Apa maumu, Mas?" tanyanya lirih, tetapi nadanya tetap tegas.Danang mendekat sedikit, tatapannya penuh harap. "Kita seperti dulu, Din. Saling cinta, jangan ada pertengkaran," ucapnya dengan suara pelan, seolah mencoba meraih kembali sesuatu yang telah lama hilang.Dina tersenyum kecil, tapi senyum itu tidak menghadirkan kehangatan—melainkan kepahitan. Ia menghela napas sebelum menjawab, suaranya tenang, tapi dingin. "Itu tidak mungkin, Mas. Ketika sudah terjadi pengkhianatan pada janji suci pernikahan, tidak mungkin kita baik-baik saja."Ia menatap lurus ke mata Danang, memastikan lelaki itu memahami sepenuhnya. "Mas, kita pisah, ya," katanya deng