Di Rumah Sakit
Setelah menunggu lebih dari dua jam tanpa kepastian, akhirnya seorang dokter pria paruh baya dengan jas putih dan stetoskop melingkar di lehernya keluar dari ruang pemulihan. Ia menghampiri meja perawat lalu menyebut nama pasien: “Danang Saputra?”
Bu Endang dan Dinda yang sedari tadi duduk gelisah langsung berdiri dan menghampiri dokter itu.
“Saya ibunya, Dok. Ini adiknya,” kata Bu Endang cepat. “Bagaimana keadaan anak saya? Suster tadi bilang dia belum sadar…”
Dokter itu menatap mereka dengan ekspresi serius, namun tetap tenang. “Kami sudah melakukan CT Scan pada kepala pasien Danang untuk memastikan tidak ada cedera lain yang tak terlihat.”
“CT Scan?” Dinda mengulang dengan gugup.
“Iya,” jawab dokter. “Dan hasilnya menunjukkan adan
Di depan ruang operasi, suasana terasa begitu tegang. Endang duduk gelisah, tangannya tak henti meremas tas kecil di pangkuannya. Sesekali ia berdiri dan berjalan mondar-mandir, lalu duduk kembali dengan raut wajahnya yang cemas. Dinda berusaha menenangkan ibunya, meski dirinya sendiri tak kalah resah. Sementara Dina hanya bisa menunduk, jari-jarinya saling meremas dalam diam, menahan kekalutan yang tak mampu diucapkan.Jam dinding di lorong rumah sakit menunjukkan pukul 12.45 siang. Sudah satu jam setengah berlalu sejak Danang dibawa ke ruang operasi. Ketiganya hampir tak bicara, hanya tatapan yang sesekali saling bertukar, penuh tanya dan harap.Lalu, pintu ruang operasi terbuka. Seorang perawat keluar dengan wajah tenang. Ketiganya langsung berdiri mendekat.“Operasi sudah selesai,” ucap perawat itu sopan.Endang langsung memegang dadanya. “Ya Allah&he
Dina duduk di sudut ruangan, tak jauh dari pintu tempat Danang dirawat. Hatinya bergolak. Tangannya gemetar, tapi ia genggam erat jemarinya sendiri, mencoba menenangkan diri.Dalam diam, ia menunduk, memejamkan mata. Doa meluncur lirih dari hatinya.“Ya Allah… jika ini cobaan untukku, kuatkanlah. Jika ini jalan untuk Danang berubah, sembuhkanlah dia. Walau hatiku terluka… meski dia sudah mengkhianati pernikahan kami, aku tetap ingin melihatnya sehat, kembali pulih. Bukan karena aku masih mencintainya…"Air mata mengalir perlahan di pipinya. Ia segera menyekanya sebelum orang lain melihat.Beberapa menit kemudian, pintu ruang perawatan terbuka kembali. Seorang perawat keluar.“Keluarga bapak Danang Prasetya?” tanya perawat dengan suara tenang namun sigap.“Iya, saya..saya,” jawab Endang, Mamanya
Di Rumah SakitSetelah menunggu lebih dari dua jam tanpa kepastian, akhirnya seorang dokter pria paruh baya dengan jas putih dan stetoskop melingkar di lehernya keluar dari ruang pemulihan. Ia menghampiri meja perawat lalu menyebut nama pasien: “Danang Saputra?”Bu Endang dan Dinda yang sedari tadi duduk gelisah langsung berdiri dan menghampiri dokter itu.“Saya ibunya, Dok. Ini adiknya,” kata Bu Endang cepat. “Bagaimana keadaan anak saya? Suster tadi bilang dia belum sadar…”Dokter itu menatap mereka dengan ekspresi serius, namun tetap tenang. “Kami sudah melakukan CT Scan pada kepala pasien Danang untuk memastikan tidak ada cedera lain yang tak terlihat.”“CT Scan?” Dinda mengulang dengan gugup.“Iya,” jawab dokter. “Dan hasilnya menunjukkan adan
“Dina?” panggil Alma cemas dari balik pintu kamar mandi.Tak lama, terdengar jawaban lirih, nyaris tenggelam oleh suara air. “Iya… aku di sini…”Alma membuka pintu perlahan. Matanya langsung menangkap sosok Dina yang tengah bersandar lemah di dinding kamar mandi. Wajah sahabatnya itu tampak pucat pasi, rambutnya berantakan, dan napasnya tersengal-sengal. Di sebelahnya, ember kecil dengan sisa muntahan di samping ember.“Kamu muntah lagi?” tanya Alma khawatir sambil berjongkok, lalu meraih lengan Dina untuk membantunya berdiri.“Iya…,” bisik Dina lirih. “Entah kenapa perutku mual banget…”Alma segera membimbing Dina keluar dan membaringkannya di kasur lantai. Ia lalu mengambil segelas air putih dari meja, menyodorkannya ke Dina. Setelah itu, ia meraih handuk kecil, m
Tubuh Danang terpental dari motornya, jatuh menghantam aspal dengan keras. Suara benturan memecah keheningan malam. Beberapa pengendara langsung berhenti, sebagian turun dan berlari menghampiri.“Mas! Mas, tidak apa-apa?” tanya seorang pria yang keluar dari mobil yang ditabrak Danang.Danang terbaring dengan mata terpejam, napasnya tersengal. Darah mengalir dari pelipisnya. Ponsel yang tadi digenggamnya tergeletak tak jauh dari tubuhnya, layarnya retak.Orang-orang mulai berkumpul. Ada yang menelpon ambulans, ada pula yang mencoba membangunkannya dengan menggoyangkan tubuhnya. Namun, dicegah yang lain. Karena takut tubuh Danang ada yang cedera parah.“Cepat, tolong hubungi keluarganya!” ujar seseorang panik.Namun tak ada yang tahu, siapa yang harus dihubungi. Danang tetap terbaring diam, tubuhnya lemah, sementara di hatinya—meski nyaris kehilangan k
Suara motor berhenti di depan rumah. Deni baru saja pulang dari sekolah, wajahnya letih tapi tetap menyunggingkan senyum saat melihat Aini dan Hanum sedang duduk di ruang tamu.“Assalamualaikum,” sapanya singkat sambil melepas sepatu.“Waalaikumsalam,” jawab Aini cepat. Namun kali ini, nada suaranya terdengar lebih serius. “Deni, sini sebentar. Bunda mau tanya.”Deni berjalan masuk, meletakkan tasnya di sofa, lalu menyalami tantenya dan bundanya dan kemudian duduk dengan santai. “Ada apa, Bun?”Hanum menatapnya tajam namun lembut. “Dua hari lalu kamu ke kota, kan? Kamu sempat ke rumah Kak Dina?”Deni mengangguk, sedikit heran. “Iya. Kenapa?”Aini langsung menyambung, nada suaranya agak menekan. “Gimana kondisi Kakakmu? Dia kelihatan baik-baik saja? Hubung
Sore itu, Aini sedang menyapu halaman samping rumah. Daun-daun kering berguguran dari pohon mangga yang rindang, membuat sudut halaman tampak berantakan. Angin semilir berhembus pelan, membawa aroma tanah basah sisa hujan semalam.Tiba-tiba, terdengar suara dari arah depan rumah. Suara seseorang mengucapkan salam dengan lantang, “Assalamualaikum.” Aini menghentikan sapuannya sejenak. Alisnya berkerut, mencoba mengingat. Suara itu terasa begitu familiar di telinganya, seolah berasal dari seseorang yang sudah lama tidak ia temui.Dengan langkah cepat, Aini berjalan menuju depan rumah. Saat membuka pintu pagar, matanya langsung menangkap sosok perempuan yang tak asing. Wajahnya ceria, membawa senyum lebar yang menenangkan.“Hanum!” seru Aini dengan nada penuh kehangatan dan kejutan. “Kenapa datang nggak ngabarin dulu?”Hanum tersenyum lebar
Dina sedang sibuk mengerjakan jahitan ketika ponselnya bergetar di atas meja. Ia melirik layar dan seketika wajahnya berbinar melihat nama yang tertera di sana."Bunda!"Tanpa pikir panjang, ia langsung mengangkatnya, nada suaranya terdengar penuh kegembiraan."Bunda," ucapnya dengan senyum lebar.Namun, suara lembut dari seberang langsung mengingatkannya pada sesuatu yang tak boleh ia lupakan."Ucapkan salam dulu, Nak. Assalamualaikum," suara bundanya terdengar hangat, penuh ketenangan yang selalu membuat Dina merasa aman.Dina terkikik kecil, sedikit malu karena terburu-buru. "Wa'alaikumussalam, Bunda. Maaf," ucapnya, nada suaranya lebih lembut.Bundanya tertawa pelan. "Sedang apa, Nak?"Dina menyand
Danang terkejut melihat Dinda berdiri di depannya dengan wajah serius, sorot matanya tajam seolah telah menyimpan pertanyaan yang lama ingin ia lontarkan."Mas, ada yang ingin aku bicarakan," ucap Dinda, nada suaranya jelas menunjukkan bahwa ini bukan percakapan biasa.Danang mengerutkan kening. "Mau bicara apa? Apa tidak bisa dibicarakan di rumah?" tanyanya, mencoba memahami urgensinya."Tidak!" jawab Dinda tegas, tanpa memberi ruang untuk argumen. Ia mengayunkan tangan, menunjuk ke arah kafe di sebelah kantor. "Ayo kita bicara di sana."Danang menatapnya sejenak, merasa ada sesuatu yang tidak beres dari ekspresi wajah adiknya. Namun, tanpa banyak perlawanan, ia mengangguk dan mengikuti langkah Dinda menuju kafe.Di dalam kafe, keduanya memilih meja yang cukup jauh dari keramaian. Danang masi