Musik dentum bergema di seantero ruangan klub malam itu. Lampu-lampu berwarna menari-nari di langit-langit, berpadu dengan aroma parfum mahal dan alkohol yang menyengat.
Sinta datang lebih dulu. Dia sudah duduk di sudut sofa bundar dengan sebotol minuman keras di depannya saat Sani dan Rina tiba.
Keduanya terkejut melihat Sinta—yang biasanya menolak ajakan keluar malam dengan berbagai alasan—malam ini malah menjadi orang yang mencalling mereka.
“Gila, Sin,” ujar Rina sambil meletakkan clutch-nya di atas meja. “Kau yang ngajak kita ke sini? Dunia udah mau kiamat ya?”
Sani ikut duduk di samping Sinta. “Kau kenapa? Ada apa?”
Sinta hanya menjawab dengan satu gerakan: mengangkat gelas, lalu menenggak isi minuman itu dalam sekali teguk. Wajahnya mengernyit sejenak, tapi dia kembali menuang lagi ke dalam gelas.<
“Sinta?!” Danang terlonjak, matanya melebar saat melihat sosok itu berdiri di ambang pintu kamar rawatnya. “Kamu ngapain ke sini lagi?”Pandangan Danang melirik gugup ke arah kamar mandi. Pintu di sana tertutup, tapi ia tahu benar—mamanya baru saja masuk ke dalam.Sinta tersenyum lembut, seolah kedatangannya adalah hal yang wajar. “Kenapa, Mas? Apa aku nggak boleh datang menjenguk kekasihku yang sedang sakit?”“Sinta, jangan mulai lagi. Tolong... pergilah,” ujar Danang, suaranya pelan namun tegas.“Kamu usir aku?” Wajah Sinta langsung berubah. Air mukanya memelas, matanya berkaca-kaca. “Mas Danang... kejam banget kamu. Aku ke sini karena peduli, bukan buat cari ribut, mas. Aku rindu kamu mas."“Sinta, aku janji akan bicara sama kamu,” Danang merunduk, mencoba menahan na
“Num!”“Bagaimana, Num? Ketemu dengan Dina? Apa dia baik-baik saja?”“Dina nggak baik-baik saja, In.” ucapnya akhirnya, pelan namun mantap.Aini tercekat. “Maksudmu? Apa dia sakit? Dia kenapa?”Hanum menggeleng perlahan. “Bukan fisik, mbak... hatinya. Dina... sedang terluka.”Aini menggenggam tangan Hanum lebih erat. “Terluka karena Danang?”Hanum mengangguk.“Astaghfirullah...” desis Aini, tubuhnya bersandar ke sandaran kursi, seolah kehilangan tenaga. “Laki-laki itu telah membuat anakku terluka begini?”Hanum menggenggam balik tangan Aini. “Danang benar-benar selingkuh, mbak. Dina bahkan berpikir untuk bercerai.”Aini menutup mulutnya dengan tangan, tubuhn
“Dina… Assalamualaikum…”Alma menyibakkan tirai pintu toko yang terbuka lebar. Suara mesin jahit tidak terdengar, begitu pula tawa riang Dina yang biasanya menyambut siapa pun yang datang.“Kemana sih orang ini? Pintu terbuka, tapi sepi banget…” gumam Alma, melangkah masuk. Begitu kakinya menyentuh ruang tengah toko, pandangannya langsung menangkap sosok sahabatnya duduk bersandar di dinding. Di sampingnya, setumpuk kain dan jahitan separuh selesai.“Din! Astaga…”Alma langsung menghampiri dan jongkok di depan Dina, mengguncang pelan bahunya.“Kamu kenapa? Dari tadi aku panggil-panggil. Toko kamu kaya rumah hantu begini. Dina, hei!”Dina membuka mata perlahan, ekspresinya lelah, wajahnya pucat.“Aku nggak apa-apa… cuma ngga
Musik dentum bergema di seantero ruangan klub malam itu. Lampu-lampu berwarna menari-nari di langit-langit, berpadu dengan aroma parfum mahal dan alkohol yang menyengat.Sinta datang lebih dulu. Dia sudah duduk di sudut sofa bundar dengan sebotol minuman keras di depannya saat Sani dan Rina tiba.Keduanya terkejut melihat Sinta—yang biasanya menolak ajakan keluar malam dengan berbagai alasan—malam ini malah menjadi orang yang mencalling mereka.“Gila, Sin,” ujar Rina sambil meletakkan clutch-nya di atas meja. “Kau yang ngajak kita ke sini? Dunia udah mau kiamat ya?”Sani ikut duduk di samping Sinta. “Kau kenapa? Ada apa?”Sinta hanya menjawab dengan satu gerakan: mengangkat gelas, lalu menenggak isi minuman itu dalam sekali teguk. Wajahnya mengernyit sejenak, tapi dia kembali menuang lagi ke dalam gelas.
Suasana ruang rawat inap masih sunyi saat Endang mendorong pintu perlahan. Wajahnya terlihat letih tapi tetap rapi seperti biasa. Namun langkahnya langsung terhenti ketika matanya menangkap Danang yang sedang duduk bersandar di ranjang—sendirian.Endang menoleh cepat ke sekeliling ruangan. Tidak ada tas atau barang Dina. Tidak ada suara di kamar mandi. Sepi."Kok kamu sendirian, Dan?" tanyanya curiga, nada suaranya mulai naik satu oktaf. "Istrimu mana? Dina ke mana?!"Danang mengerjap pelan, seolah terbangun dari lamunan. Ia membuka mulut, namun tak langsung menjawab.Endang mendekat. “Kamu baru habis kecelakaan! Masih lemah begini! Dina ke mana, ha? Bukannya dia yang seharusnya jaga kamu?! Apa-apaan ini?!”Sebelum Danang bisa berkata apa-apa, suara langkah cepat terdengar dari arah luar pintu, lalu pintu terbuka. Dinda masuk, berhent
Sinta berjalan cepat dengan wajah memerah karena emosi. Tumit sepatunya menghentak lantai, menimbulkan suara tajam yang bersahut dengan gerutuan-gerutuannya.“Kurang ajar!” umpatnya, “Adik Mas Danang kurang ajar sekali ! Anak bawang tiba-tiba main seret-seret aku, kayak aku maling aja!”Ia terus berjalan, tapi pikirannya belum bisa lepas dari kejadian barusan. Napasnya masih memburu. Namun di tengah langkahnya yang terburu-buru, tiba-tiba ia berhenti. Alisnya berkerut.Sinta menoleh, seolah mencari sesuatu di udara. Lalu ia bergumam, “Tadi dia bilang aku apa sih?”Keningnya berkerut dalam-dalam, mencoba mengingat kembali.“Pelakor ! Dia memanggilku pelakor," ucapnya pelan, seperti baru sadar.Ia terdiam sesaat, lalu tertawa kering—penuh ketidakpercayaan. “Pelakor? Gila! Aku pelakor? Maksudnya