Share

Bab 4

Author: Lin shi
last update Last Updated: 2024-12-04 20:42:15

Mereka berdua melanjutkan sarapan mereka dengan obrolan ringan dan tawa kecil. Tiba-tiba, Yoga mengucapkan sesuatu yang membuat Danang terdiam dan meletakkan cangkir kopinya ke meja. Pandangan Danang beralih dari kopinya, menatap Yoga.

Yoga mencoba mencari kejelasan dari reaksi Danang, "Dan, kau mendengar apa yang kukatakan?" tanya Yoga dengan nada penasaran.

Namun, Danang masih terdiam tanpa memberikan respon yang jelas, sepertinya teralih oleh pikirannya sendiri.

Karena Danang tidak merespon perkataannya, Yoga kembali berkata, "Ditanya kok bengong, Dan."

"Sinta?" ucap Danang dengan sedikit kebingungan.

"Iya, Sinta. Anak magang di sini dulu. Kau pernah dekat dengannya,"  ungkap Yoga, mencoba menghadirkan kenangan masa lalu yang semoga bisa membangkitkan rasa nostalgia Danang.

"Di mana kau bertemu?" tanya Danang, semakin tertarik dengan cerita yang Yoga bagikan.

"Dia bekerja di PT Anugrah sebagai sekretaris. Kau tahu, Dan. Sekarang dia semakin cetar membahana," kata Yoga dengan antusiasme.

Yoga kemudian menambahkan, "Dia menanyakanmu, dan minta nomor ponselmu. Tapi, aku tidak memberikannya, Dan. Kan belum minta izinmu."

Danang mengangguk mengerti, menghargai sikap bijaksana Yoga untuk tidak memberikan nomor teleponnya tanpa izin.

"Bagaimana? Kau suka dengannya, kan?" tanya Yoga, dengan suara penuh keingintahuan.

Ditanya demikian, Danang tersenyum sopan sebelum menjawab, "Sinta adalah teman yang baik. Kami dulu dekat, tapi itu kan dulu. Sekarang sudah punya jalan cerita yang berbeda."

Yoga mengangguk paham, "Tentu, kalian sudah punya cerita yang berbeda, dan mungkin dia sudah punya pasangan. Kenapa aku lupa menanyakannya," kata Yoga.

"Dari pengelihatan mata batinku, sepertinya dia masih sendiri," kata Yoga sambil memegang gelasnya sebagai alat medium dengan penuh kecermatan berpura-pura sedang melakukan penerawangan.

"Sok jadi cenayang," goda Danang dengan nada jenaka.

"Hehehehe, mungkin saja aku bisa beralih profesi menjadi cenayang," balas Yoga sambil tersenyum lebar, membalas ejekan Danang dengan santai.

Tok... tok...

Dina yang sedang sibuk di dapur menoleh ke arah pintu, "Sepertinya ada yang mengetuk pintu."

Dina dengan cepat mengelap tangannya, lalu bergegas menuju pintu untuk melihat siapa yang datang. Saat pintu terbuka, sorot matanya langsung bertemu dengan senyuman cerah.

"Alma!" seru Dina dengan gembira, lalu tanpa ragu ia melangkah maju dan memeluk temannya.

Keduanya memeluk erat di depan pintu, "Kau datang tanpa memberi kabar," ujar Dina dengan senyum hangat.

"Surprise," ucap Alma dengan senyuman yang tak kalah cerah.

"Surprise! Gaya lo," balas Dina sambil tertawa, menyambut kedatangan tak terduga dari Alma dengan antusiasme.

Mereka berdua tetap berpelukan di pintu, menikmati momen kejutan yang tak terduga. Dina merasa bahagia bisa bertemu Alma lagi setelah sekian lama tidak bersua. Mereka kemudian saling melepaskan pelukan dan masuk ke dalam rumah.

Dina tersenyum ramah, "Ayo, duduk. Maaf, tempatnya kecil," ia menawarkan kursi kepada Alma.

"Santai saja, Din. Kau kira rumahku besar," balas Alma dengan senyuman hangat.

"Berapa lama akan tinggal di sini?" Tanya Dina.

Alma tersenyum misterius, "Aku sekarang tinggal di kota ini," ungkapnya, memberikan kejutan lain kepada Dina. 

Saat mendengar bahwa Alma akan tinggal di kota, Dina terkejut namun senang dengan keputusan temannya tersebut.

"Serius? Itu kabar baik! Kita bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama seperti dulu," ujar Dina dengan senyum cerah.

Alma mengangguk setuju, "Iya, aku pikir akan menyenangkan tinggal di kota ini dekat dengan teman-teman seperti kamu."

"Sebentar," ucap Dina sambil bangkit dari kursi.

"Mau kemana?" tanya Alma dengan rasa ingin tahu.

"Aku tadi membuat kue, kau harus mencicipinya," ujar Dina sambil melangkah menuju dapur.

"Wow, buatmu pasti sudah enak. Kau juga pandai membuat kue sejak dulu," kata Alma sambil mengikuti Dina ke dapur.

Dina tersenyum sambil menggoda, "Mulutmu manis sekali, Alma. Tidak pernah berubah."

"Mulutku ini penuh dengan gula, tidak pernah bicara pahit ," balas Alma sambil tertawa. Dan Dina juga tertawa menanggapi perkataan Alma.

"Ayo duduklah, kita ngobrol di dapur saja ya. Tidak apa-apa kan?" ajak Dina.

"Oke...oke saja, Dina. Tidak apa-apa," kata Alma sambil mengangguk setuju. Dia kemudian mengambil sepotong kue yang terletak di atas meja, yang baru dibuat Dina.

"Bagaimana?" Tanya Dina.

"Wow, enak sekali, Dina," puji Alma sambil menikmati kuenya.

"Serius, jangan kau bilang enak, karena untuk menyenangkan hatiku saja," kata Dina dengan serius.

"Din, benar enak. Kau sih, tidak percaya diri. Kau itu sudah bisa membuka toko kue. Kau kan suka membuat kue, sejak dulu," kata Alma sambil memberikan pujian tulus.

Alma melanjutkan, "Oh ya, kau kan suka menjahit, kan? Bagaimana? Apakah kau masih menjahit?" tanya Alma dengan rasa ingin tahu. Dina menganggukkan kepalanya lalu berdiri.

"Ini hasil jahitanku sendiri," ucap Dina sambil menunjukkan gaun yang sedang dikenakannya.

"Serius, bagus sekali," kata Alma sambil melihat gaun yang dikenakan oleh Dina dengan penuh rasa kagum.

"Terima kasih," jawab Dina dengan senyum lembut, merasa bangga dengan hasil karyanya.

Tiba-tiba, Alma mengajukan permintaan yang membuat Dina terkejut, "Din, kau bisa buatkan aku gaun?" tanya Alma.

"Gaun? Ih... nggak ah!" tolak Dina cepat, terlihat sedikit canggung.

"Kenapa?" tanya Alma dengan rasa ingin tahu.

"Aku tidak bisa membuatnya."

"Yang kau pakai begitu bagus, kok tidak bisa?" tanya Alma heran.

"Ini kan baju rumahan, baju sederhana. Gaun? Aku tidak berani," jelas Dina dengan suara yang rendah, merasa ragu dengan permintaan Alma.

"Kau belum mencobanya, Dina ! Coba dulu, baru kau bisa berkata kau tidak mampu untuk melakukannya," kata Alma.

"Ayolah, Din." 

Dina masih merasa ragu dengan permintaan Alma untuk membuat gaun. Namun, melihat ekspresi antusias dari wajah Alma, Dina mulai mempertimbangkan dengan hati-hati.

Alma meyakinkan Dina, "Din, aku percaya padamu. Aku yakin gaun yang kau buat pasti luar biasa."

Dengan dukungan dan keyakinan dari Alma, Dina mulai memikirkan kesempatan untuk menantang dirinya sendiri dan mencoba hal baru. Setelah beberapa saat berpikir, Dina akhirnya tersenyum, "Baiklah, aku akan mencoba membuat gaun untukmu. Tapi, ini mungkin butuh waktu ."

Alma berseri-seri, "Terima kasih, Din! Aku akan sabar, walaupun sebenarnya, Ihh... Aku tidak sabar melihat hasil karyamu."

Dina menyampaikan kekhawatirannya kepada Alma, "Jangan terlalu semangat, Alma. Aku masih belajar. Bagaimana jika jahitanku nanti jelek dan kau tidak suka?"

Alma dengan ramah menjawab, "Tenang saja, aku pasti suka. Jaminan 100%! Jahitanmu pasti bagus, kan dari dulu, kau bisa  menjahit, bisa memasak, ih kau itu istri paling sempurna."

"Hai, ngomong-ngomong, di mana Mas Danang?" tanya Alma, mencari tahu keberadaan Danang.

"Ini kan jam kantor, sedang di kantorlah," jawab Dina dengan santai.

"Oh iya, lupa. Maklum pengangguran," kata Alma sambil tertawa, menciptakan suasana yang penuh canda di antara mereka.

Dina meledek Alma, "Kau sih pengangguran, elit pengangguran, tapi dompetnya terus tebal."

Alma membalas sambil bercanda, "Tapi kan malu pengangguran, dompetnya diisi ortu terus."

"Aku mikir, bagaimana kalau aku menikah saja ya," ucap Alma, mencoba mengalihkan perhatian dari topik sebelumnya.

"Wow, berita teranyar !! kau sudah punya pacar?" tanya Dina penasaran.

"Belum," jawab Alma dengan santai, "Menikah dengan siapa ya ? kalau tidak punya pacar," tambahnya.

"Dasar kau ! Aku kira ada kabar gembira," kata Dina.

"Kabar gembira dariku, masih lama sekali ," balas Alma.

Mereka berdua tertawa merespons percakapan ringan mereka, menciptakan suasana yang penuh keceriaan di antara teman baik tersebut.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 189 Ending

    Ruangan sidang terasa sunyi. Hanya suara hakim yang memimpin sidang terdengar.“Karena tergugat tidak hadir dan telah memberikan kuasa penuh kepada kuasa hukumnya untuk menerima gugatan, serta telah menyatakan menerima permohonan penggugat, maka... Pengadilan Agama memutuskan untuk mengabulkan gugatan cerai penggugat, Dina Ardhiani, terhadap Danang Sahputra Prasetyo.”Ketukan palu hakim terdengar nyaring.Dina memejamkan mata, menahan air mata yang mengambang di pelupuk matanya. Di sampingnya, Vina menggenggam tangannya erat, memberi kekuatan.Semua keluar dalam keadaan campur aduk. Ada sedih dan ada perasaan lega.Di luar ruang sidang, Aini memeluk putrinya. “Sudah selesai, Nak. Sekarang kamu bisa mulai dari awal, tanpa luka yang sama.”"Bangkitlah, demi mereka." Hanum memeluk Dina."Semangat kak," ucap Deni."Strong Din," ujar Alma yang terus ada mendampinginya.Dina menganggukkan kepalanya menatap wajah-wajah yang selalu memberinya semangat.Dari pengadilan agama, Dina langsung men

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 188

    Ruangan rumah sakit itu dipenuhi aroma antiseptik. Suara detak alat monitor berdentum pelan, menghitung detak jantung Danang yang masih berbaring lemas di atas ranjang.Endang duduk di sisi ranjang dengan wajah murung, sesekali menyeka air matanya dengan tisu. Sementara Dinda berdiri di dekat jendela, mondar-mandir dengan gelisah.Danang mengerang pelan. Kepalanya tampak berat dan matanya enggan terbuka. Ia sudah dua kali muntah dalam dua jam terakhir."Mas?" panggil Dinda cemas, menghampiri.Danang hanya menggeliat, memegangi kepalanya sambil mendesah kesakitan.Tak lama kemudian, pintu kamar diketuk pelan lalu terbuka. Seorang dokter pria masuk, mengenakan jas putih dengan papan nama bertuliskan: dr. Reza – Sp.S (Spesialis Saraf). Di belakangnya, seorang perawat mendorong alat bantu portable."Bu Endang? Kami sudah lakukan

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 187

    Kelopak mata Danang perlahan terbuka. Cahaya lampu ruangan terasa menyilaukan, membuatnya menyipit. Napasnya masih berat, dadanya naik turun pelan. Untuk beberapa detik, ia hanya memandangi langit-langit, mencoba menyadari di mana ia berada.“Mas… Mas Danang…” suara lembut Dinda memanggil, terdengar serak menahan tangis.Endang yang duduk di sisi ranjang langsung berdiri. Matanya sembab, tapi kini menyala haru.“Alhamdulillah, kamu sadar, Nak…” ucapnya lirih.Danang memutar kepala perlahan, dan mulutnya bergerak.“Ma… aku… kenapa aku di sini?”Suara itu parau. Lirih. Hampir seperti bisikan.Dinda mendekat, menaruh tangannya di lengan Danang.“Mas… Mas tadi pingsan di pengadilan. Kita langsung bawa ke r

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 186

    Endang mulai panik.“Danang! DANANG!” teriaknya keras, berlari menghampiri.Danang mencoba berdiri tegak, tapi tubuhnya tak sanggup menahan beban emosi dan tekanan fisik yang memuncak. Dalam sekejap, ia terhuyung dan—BRUK!Tubuhnya ambruk menghantam lantai marmer pengadilan. Kepalanya nyaris membentur keras jika Dinda tak segera menahan bagian belakangnya. Namun tetap saja, tubuh itu jatuh lemas."DANANG!!" Endang menjerit. Suaranya menggetarkan udara. Orang-orang di sekitar langsung menoleh, beberapa berlari mendekat.Dinda berlutut, memegangi kakaknya dengan gemetar. "Mas! Mas, bangun! Jangan begini… Mas, bangun dong!" Suaranya pecah. Matanya berkaca-kaca.Endang menjerit ke arah petugas. “Tolong! Panggil ambulans! Anak saya pingsan!”Kerumunan mulai

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 185

    Setelah pembukaan persidangan oleh Majelis Hakim, sidang kedua dilanjutkan dengan agenda mediasi, sesuai aturan hukum agama yang berlaku. Hakim menunjuk Hakim Mediator yang berbeda dari Majelis Hakim yang menyidangkan perkara ini.Setelah proses administrasi selesai, baik Danang maupun Dina, masing-masing didampingi oleh pengacara mereka—Rani dan Vina—diminta masuk ke ruang mediasi yang terpisah dari ruang sidang utama. Namun, dalam ruang mediasi, hanya pihak yang bersengketa yang diperbolehkan hadir. Pengacara, keluarga, maupun pendamping tidak diperkenankan masuk.Di ruang mediasi:Hakim Mediator, seorang pria paruh baya dengan raut wajah tenang, membuka sesi dengan senyum ringan."Selamat pagi, Bapak Danang dan Ibu Dina. Saya ditugaskan sebagai mediator dalam perkara kalian. Tujuan mediasi ini adalah mencari titik temu dan rekonsiliasi, jika masih memungkink

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 184

    Pengadilan Agama pagi itu masih sepi. Hanya petugas keamanan dan beberapa staf yang tampak sibuk membuka berkas-berkas dan menyiapkan ruang sidang.Jam masih menunjukkan pukul delapan lebih sedikit saat mobil yang dikemudikan Dinda berhenti di halaman parkir. Danang turun dengan jas rapi dan wajah penuh harap. Di belakangnya, Endang menyusul keluar dari mobil."Masya Allah, Danang… ini belum juga mulai. Kamu bawa kita pagi-pagi sekali, orang kantor pengadilan juga belum siap semua," omel Endang, mamanya, sambil merapikan kerudungnya yang sedikit miring karena tergesa-gesa.Danang hanya diam. Tatapannya menatap ke arah gedung, lalu ke jam tangannya. Nafasnya pendek-pendek. Gugup jelas terbaca dari gerakan tangannya yang bolak-balik membetulkan letak dasi. Dia duduk, lalu berdiri celingukan melihat parkiran. Terlihat sekali ia gelisah.Dinda memandang sekeliling dan b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status