"Din, aku serius ingin kau menjahit baju untukku," kata Alma, menyinggung kembali mengenai permintaannya.
"Kalau hasil jahitanku tidak sesuai dengan ekspektasimu, jangan marah," kata Dina dengan penuh kehati-hatian, ingin memastikan bahwa Alma tidak akan kecewa.
"Aku percaya dengan tanganmu, Din. Tunggu," ucap Alma. Dia kemudian mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan mode pakaian yang diinginkannya.
"Nih, lihat," ujarnya sambil memberikan ponselnya pada Dina.
Dina melihatnya dengan serius, "Bahannya sama seperti ini?" tanya Dina, ingin memastikan detail tentang desain yang diinginkan oleh Alma.
"Sedikit mirip. Aku punya bahan yang sudah lama diberikan kakakku. Bagaimana? Kau pasti bisa," kata Alma dengan antusias.
Dina masih dengan tatapan serius melihat mode pakaian yang diinginkan oleh Alma.
"Baiklah, akan aku coba," ucap Dina dengan tekad, menerima tantangan dengan senang hati.
"Terimakasih, Din! Kau pasti bisa," kata Alma dengan gembira, percaya sepenuhnya pada kemampuan Dina.
Keduanya kemudian menceritakan mengenai teman-teman mereka yang sudah punya kehidupan masing-masing, sehingga hari mendekati sore hari.
"Sudah sore," kata Alma, karena keasikan ngobrol, keduanya sampai lupa waktu.
"Kita tidak pernah bertemu sejak kita lulus SMA, wajar kita asyik mengobrol sampai lupa waktu," tutur Dina, merasa senang dengan kebersamaan tersebut.
"Lusa aku datang dengan membawa kain bakal bajunya," kata Alma, memberi kabar akan kunjungannya selanjutnya.
"Baiklah," kata Dina.
Mereka berdua beriringan melangkah menuju pintu keluar. Di depan pintu, Alma membalikkan tubuhnya ke arah Dina, melihat Dina dengan serius.
"Din, kau bahagia?" Tanya Alma penuh perhatian.
"Kenapa kau menanyakan itu?" Tanya Dina, merasa sedikit terkejut dengan pertanyaan Alma.
"Ingin tahu apakah Mas Danang baik padamu," Tanya Alma, menunjukkan kepeduliannya.
"Dia baik," jawab Dina dengan tegas.
"Serius, kau tidak menyembunyikan sesuatu dariku, kan?" Tanya Alma dengan ekspresi serius.
"Tidak, Alma, aku baik-baik saja."
"Oke, jika kau tidak ingin bercerita padaku. Tapi Din, aku melihat perubahan pada dirimu. Kau tidak seperti yang dulu, selalu ceria," kata Alma dengan penuh perhatian.
"Biasalah, setelah menikah, banyak yang harus kupikirkan," ucap Dina dengan lembut.
"Oke, jika kau ingin bercerita apapun, aku bisa menjadi pendengarmu yang baik," kata Alma dengan tulus, menawarkan dukungan dan pendengaran kepada Dina.
"Terimakasih," ucap Dina.
Kemudian Alma pergi meninggalkan rumah Dina dengan diiringi tatapan mata Dina.
Dina merasa terkejut, "Ih, sudah mau pukul 5.00, aku belum masak untuk makan malam," gumamnya. Tanpa ragu, Dina langsung menuju ke dapur dan mempersiapkan bahan-bahan yang akan dia olah untuk menu makan malam.
Setengah jam kemudian, Dina selesai menyediakan makan malam dengan penuh semangat. Setelah meletakkan hidangan di atas meja, Dina menuju kamarnya untuk membersihkan dirinya dan bersiap-siap untuk menunggu kepulangan Danang.
Selesai mandi, Dina melangkah keluar dari dalam kamar mandi dengan melilitkan handuk untuk menutupi tubuhnya. Karena dia lupa membawa baju ganti, Dina berjalan ke lemari, berpikir, "Pakai baju apa aku hari ini ya? Hah, jangan baju tidur ini lagi, nanti Mas Danang marah," gumam Dina dalam hati. Lalu, ia memutuskan untuk mengambil baju berupa kaos dan rok selutut untuk dikenakannya.
"Ini aja," ucap Dina, lalu membawanya kembali ke dalam kamar mandi. Tidak lama kemudian, Dina keluar dari dalam kamar mandi, menyisir rambutnya dan memberikan wewangian pada tubuhnya. Tak lupa, ia juga mengaplikasikan bedak tipis dan lipstik di bibirnya.
"Sudahlah, begini saja. Nanti Mas Danang heran melihat aku berdandan menyambut kepulangannya," kata Dina dalam hati, sambil menyelesaikan persiapan penampilannya. Dengan hati gembira dan senyum yang merekah, Dina siap menyambut kepulangan Mas Danang dengan penuh semangat.
Dina keluar dari dalam kamar, lalu melangkah menuju dapur untuk menyiapkan teh hangat yang selalu disediakannya untuk Danang. Setelah jadi, Dina meninggalkan dapur dan duduk di ruang tamu, menunggu kedatangan Danang.
Saat menunggu sang suami, Danang, Dina mengambil waktu untuk melihat kembali desain pakaian yang diinginkan Alma untuk dia jahit. Dina memperhatikan dengan teliti setiap detail desainnya, memikirkan cara terbaik untuk merealisasikan permintaan temannya dengan sempurna.
Dalam suasana yang tenang dan hangat, Dina memikirkan pakaian milik Alma yang akan di jahit, merupakan tantangan, karena ia tidak pernah menjahit baju untuk orang kenakan, dan ia berharap bisa memberikan hasil terbaik untuk Alma. Sambil menunggu Danang pulang, Dina merencanakan langkah selanjutnya dalam menciptakan gaun impian Alma.Dengan fokus dan kehati-hatian, Dina menggunakan waktu menunggu Danang untuk merenungkan dan merencanakan proyek menjahit gaun yang diinginkan oleh Alma, menciptakan suasana kreatif dan penuh semangat dalam rumah.
Dina mulai menggoreskan pena pada buku gambarnya, memulai langkah pertama dalam membuat pola desain baju milik Alma. Dengan perhatian dan serius, Dina fokus pada detail-desain yang sesuai dengan keinginan Alma. Setiap garis yang digambarnya memperlihatkan ketelitian dan keahlian Dina dalam menciptakan pola yang bernilai seni.
Waktu berlalu tanpa disadari, Dina tenggelam dalam kreativitasnya, menciptakan pola dengan penuh semangat dan tekad untuk memberikan yang terbaik untuk temannya. Suara pena yang meluncur di atas kertas menjadi melodi yang menenangkan bagi Dina, menggambarkan proses kreatif yang mengalir dengan lancar.
Dalam keheningan dan ketenangan ruang kerjanya, Dina melanjutkan perjalanan menuju penyelesaian pola desain baju untuk Alma, menunjukkan dedikasi dan bakat seninya dalam menciptakan karya yang istimewa.Dengan ketekunan dan fokusnya, Dina menggarap pola desain baju dengan sepenuh hati, menciptakan karya yang penuh dengan cinta dan keterampilan untuk memenuhi harapan Alma.
Setelah selesai menggambar, Dina melihat hasil pola desain dengan tersenyum puas, "Lumayan."
"Ternyata, tidak begitu sulit," gumam Dina kepada dirinya sendiri, merasa senang dengan karyanya yang selesai. Dina merasa bangga atas kemampuannya untuk menciptakan sebuah pola desain baju yang sesuai dengan harapan Alma.
Setelah mengamati dengan tersenyum puas, Dina memutuskan untuk mengevaluasi lebih detail pola desain yang telah digambar. Dengan teliti, ia memeriksa setiap garis dan sudut untuk memastikan keakuratan dan kesesuaian dengan ukuran yang diperlukan. Dina memperhatikan setiap detail kecil agar nantinya gaun yang dijahitkan akan pas dan sesuai dengan harapan Alma.
Saat ia melihat kembali pola desain, inspirasi kreatif mulai mengalir kembali. Dina mulai memikirkan tambahan detail yang bisa membuat gaun lebih istimewa, seperti hiasan renda atau aksen unik yang dapat menonjolkan desain secara keseluruhan. Langkah ini memperkaya konsep awal dan memberikan sentuhan pribadi dalam karya seninya.
Dengan tambahan detail yang dipikirkannya, Dina merasa semakin termotivasi dan antusias untuk mulai proses menjahit. Dia yakin bahwa dengan sentuhan ekstra ini, gaun yang akan dihasilkan tidak hanya akan memenuhi harapan Alma, tetapi juga akan menjadi karya yang istimewa dan memukau.Dina, dengan penuh teliti dan kreativitasnya, menjelajahi setiap detail pola desain dengan hati-hati, menambahkan sentuhan personal dan tambahan detail yang memperkaya konsep awal.
"Semoga Alma suka dengan desain baju ini."
Dengan perasaan puas atas karyanya, Dina mulai merencanakan langkah selanjutnya dalam proses menjahit gaun untuk Alma. Dia siap untuk menghadapi tantangan dan ekspresi kreatif dalam mewujudkan desain yang telah dia ciptakan.Dengan kepuasan dan keyakinan atas hasil karyanya, Dina siap melanjutkan perjalanan dalam proses menjahit gaun, memadukan keahlian dan kreativitasnya untuk menciptakan gaun impian bagi Alma.
Sinta berjalan cepat dengan wajah memerah karena emosi. Tumit sepatunya menghentak lantai, menimbulkan suara tajam yang bersahut dengan gerutuan-gerutuannya.“Kurang ajar!” umpatnya, “Adik Mas Danang kurang ajar sekali ! Anak bawang tiba-tiba main seret-seret aku, kayak aku maling aja!”Ia terus berjalan, tapi pikirannya belum bisa lepas dari kejadian barusan. Napasnya masih memburu. Namun di tengah langkahnya yang terburu-buru, tiba-tiba ia berhenti. Alisnya berkerut.Sinta menoleh, seolah mencari sesuatu di udara. Lalu ia bergumam, “Tadi dia bilang aku apa sih?”Keningnya berkerut dalam-dalam, mencoba mengingat kembali.“Pelakor ! Dia memanggilku pelakor," ucapnya pelan, seperti baru sadar.Ia terdiam sesaat, lalu tertawa kering—penuh ketidakpercayaan. “Pelakor? Gila! Aku pelakor? Maksudnya
Dina terdiam, matanya menyipit. Ia hanya bisa melihat punggung wanita itu—rambut panjang tergerai, langkah cepat, dan sikap penuh percaya diri.Beberapa detik… satu menit… dua menit.Wanita itu tidak keluar.Ia mempercepat langkahnya. Rasa penasaran mencubit hatinya. Wajah perempuan itu tidak bisa dilihatnya.Dina berdiri tepat di depan pintu kamar yang tidak tertutup sempurna. Ia bisa mendengar suara perempuan itu dari balik pintu. Jantungnya berdegup keras, seperti tahu akan ada sesuatu yang tak ingin ia saksikan, namun juga tak bisa ia hindari.Perlahan, ia mendorong pintu beberapa senti—cukup untuk mengintip ke dalam.Jantungnya nyaris berhenti. "Dia... Wanita itu," gumamnya dalam hati.Sinta. Wajahnya jelas. Wanita dalam foto itu. Wanita yang menjadi duri dalam rumah tangganya.
Dina sudah hampir satu jam duduk di taman. Saat menjaga Danang, ia lebih suka duduk di luar. Dia malas untuk satu ruangan dengan Danang, saat Danang tidak tidur. Jika dia lihat Danang tidur, baru Dina masuk. Ponsel Dina berdering saat ia sedang duduk taman rumah sakit, tak jauh dari kamar Danang. Nama “Tante Hanum” terpampang di layar. Dina segera mengangkatnya.“Assalamu'alaikum , Tante?”“Walaikumsalam Dina, kamu sibuk? Tante mau ketemu. Bisa kita ngobrol?”Dina menarik napas. “Saya di rumah sakit, Tante.”Hanum langsung panik. “Hah? Kamu sakit, Nak?”“Bukan. Mas Danang, Tante. Dia kecelakaan, sempat dioperasi. Sekarang dirawat di sini.”“Ya Allah… Tante ke sana sekarang.”Sambungan terputus setelah Dina mengatakan ruma
Deni dan Johnny baru saja turun dari angkot sepulang sekolah. Karena Deni hari ini tidak bawa motor. Depan pos ronda dekat rumahnya. Pak Johan, salah satu tetangga yang cukup dikenalnya duduk di pos ronda, memanggilnya.“Den, kamu sudah dengar kabar di pasar tadi pagi?” tanyanya sambil menatap Deni dengan wajah serius.Deni mengernyit. “Kabar apa, Pak?”Pak Johan menoleh kanan kiri, lalu berbisik, “Itu, soal juragan Zuki yang ngomong aneh-aneh soal ibumu.”Deni terdiam. Wajahnya langsung berubah. “Maksud Bapak apa?”“Dia bilang di depan orang-orang kalau ibumu janda, dan… ya, nadanya enggak pantas. Banyak yang dengar,” kata Pak Johan pelan."Bapak tidak bohong?""Nggaklah Den. Untuk apa bapak bohong. Bapak ini sudah kenal lama dengan almar
"Kamu mengetahuinya, Dinda?" tanya Dina dengan tatapan mata memicing tajam.Dinda menghela napas, lalu menatap lurus ke depan. “Aku pernah lihat, Kak… Mas Danang bersama seorang wanita. Mereka kelihatan… mesra. Terlalu dekat untuk dikatakan sekadar teman biasa.”Ucapan itu menusuk langsung ke jantung Dina. Ia terdiam, wajahnya memucat. Seketika ingatannya melayang pada gambar yang ia terima beberapa waktu lalu—foto Danang dengan seorang perempuan. Foto yang membuat hatinya remuk dan pikirannya penuh pertanyaan, siapa yang mengirimya.Dina menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. “Kapan kamu lihat mereka?” tanyanya pelan, nyaris berbisik.“Beberapa minggu lalu,” jawab Dinda. “Aku nggak yakin awalnya. Rasanya, tidak mungkin Mas Danang berbuat begitu. Aku mengikutinya dan melihat kemesraan keduanya. Tidak mun
"Kalian ngobrol saja, Ibu mau keluar sebentar," kata Endang sebelum meninggalkan kamar perawatan Danang. Ia memberi ruang bagi Danang dan ketiga rekannya untuk berbincang.Begitu pintu tertutup, Yoga langsung duduk di kursi dekat ranjang, sementara Toni dan Rudy berdiri santai di sisi lain tempat tidur."Gila, Dan. Kencang sekali motormu, sampai tangan patah" ujar Toni, menatap Danang prihatin."Iya, tangan patah, bro? Gimana ceritanya?" tanya Rudy penasaran.Danang menghela napas pelan. "Kecelakaan motor malam-malam. Gue sendiri nggak ingat jelas kejadiannya gimana. Tahu-tahu udah di rumah sakit.""Dengar-dengar ada pendarahan juga, ya?" Yoga bertanya sambil mencondongkan badan sedikit ke depan."Iya, kecil sih. Tapi cukup bikin gue nggak sadar cukup lama," jawab Danang pelan, mencoba tetap tenang meski tubuhnya masih terasa lemas