Share

Bab 3

Penulis: Lin shi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-04 17:59:27

Sementara Danang sibuk dengan pikirannya di kantor, Dina di rumah kedatangan tamu tak terduga yaitu mertuanya, Ibu Endang.

Dina menyambut kedatangan Ibu Endang dengan senyum ramah, namun ekspresi sang mertua terlihat kaku dan tidak senang.

"Selamat pagi, Bu. Silakan masuk," ucap Dina, mempersilakan Ibu Endang untuk masuk.

Namun, alih-alih membalas senyuman Dina, Ibu Endang justru memandang pakaian Dina dengan tatapan menilai.

"Pakaian apa ini? Kenapa kau selalu berpakaian seperti ini di rumah?" tanya Ibu Endang dengan nada ketus.

Dina terkejut mendengar pertanyaan itu. "Eh? Ini hanya pakaian rumah biasa, Bu. Memangnya kenapa?" tanya Dina dengan suara tetap lembut, walaupun suara sang mertua menghinanya.

"Biasa? Kau istri seorang manajer, tapi penampilanmu seperti ini?" Ibu Endang menggeleng-gelengkan kepala. "Kemana uang yang Danang berikan padamu? Kenapa kau tidak bisa berpakaian yang layak? Kau pasti beli pakaian di pasar, kan ?"

Dina merasa tersinggung mendengar kritikan Ibu Endang, tapi dia tetap lembut berkata pada ibu mertuanya tersebut. "Uang itu saya gunakan untuk kebutuhan rumah tangga kami, Bu. Saya selalu berusaha mengatur keuangan dengan baik. Dan, baju yang saya kenakan ini hasil dari jahitan saya sendiri. Dan saya bangga mengenakannya."

"Mengatur keuangan? Tapi lihat penampilanmu! Apa Danang tidak malu memperkenalkanmu pada teman-temannya?" cerca Ibu Endang.

"Apa yang kau katakan tadi? Baju hasil jahit sendiri? Dan kau bangga dengan itu?" Omelan Endang terdengar tajam dan penuh kekecewaan. "Hei, suamimu seorang manajer, seharusnya istrinya mengenakan busana dari butik, bukan hasil jahitan sendiri! Aku hampir tidak percaya!"

Endang melanjutkan omelannya tanpa filter, mencurahkan kekecewaannya tanpa memikirkan efeknya pada Dina. "Kenapa Danang memilih untuk menikahi wanita seperti kamu yang sangat 'udik'? Apa dosaku sehingga mendapatkan menantu yang tidak bisa bergaya seperti ini!" Suara Endang penuh dengan kekecewaan dan ketidaksetujuan, menciptakan ketegangan dan kesedihan di antara mereka. Dia duduk dan mengipas-ngipaskan jari tangannya ke wajahnya.

Dina terdiam, hatinya terasa terluka. Ia tidak menyangka akan mendapat perlakuan seperti ini dari mertuanya sendiri. Apakah memang ada yang salah dengan dirinya?

Dina merasakan kepedihan yang menusuk hatinya. Kata-kata pedas dari Endang membuatnya merasa rendah dan tak berharga. Namun, di tengah semua omelan dan celaan, Dina mencoba untuk tetap tenang dan mengendalikan emosinya.

"Aku tidak pernah bermaksud membuat siapapun kecewa, Bu.  Inilah, aku. Mas Danang tahu aku bagaimana, dan dia memilihku menjadi istrinya."

Namun, Endang terus melancarkan serangannya tanpa ampun. Setiap kata yang keluar dari mulutnya membuat Dina semakin terluka dan terpojok. Dia merasa seperti tidak bisa melakukan apa pun selain bertahan dan menahan rasa sedih yang menghimpit dadanya. Dina sudah malas untuk melawan perkataan sang ibu mertua. Dia diam.

Sementara itu, di kantor, Danang tengah duduk di meja kerjanya dengan pikiran yang kacau. Dia masih bergulat dengan pikirannya sendiri, mengenai Family gathering yang akan diadakan perusahaan tempatnya bekerja Minggu depan membuat pikirannya kacau.

Danang tengah duduk di meja kerjanya dengan pikiran yang kacau.

"Aku suruh Dina untuk berubah, dia pasti mau. Atau, aku katakan saja aku belum menikah. Orang kantor kan belum tahu aku belum menikah. Hanya Rudy saja yang tahu ." batin Danang.

°°°

Danang menguap berkali-kali, "Aku sangat ngantuk." Danang Merasakan kelelahan yang menyergapnya, dia mengerakkan leher dan pundaknya untuk mencoba mengusir rasa kantuk yang menghampirinya tiba-tiba.

"Ini semua gara-gara Dina, dia membuatku tidak bisa tidur dengan tenang. Entah apa yang dilakukannya sepanjang malam dengan mesin jahitnya itu," pikir Danang dengan frustrasi, mencoba mencari alasan atas kesulitan tidurnya.

"Tidak bisa terus begini, tugasku belum selesai," pikirnya sambil menutup laptopnya dan beranjak menuju pintu untuk keluar. Dengan langkah berat, ia melangkah ke area belakang, menuju kantin tempat yang dituju. Saat tiba di kantin, ia langsung memesan secangkir kopi pahit. Begitu kopi datang, Danang langsung menyeruputnya dengan penuh kenikmatan, merasakan aroma kopi yang menyegarkan kembali pikiran dan tubuhnya.

"Legaaa," gumamnya pelan, merasakan sedikit kesegaran dan semangat baru setelah menyeruput kopi tersebut. Perasaannya sedikit lebih tenang dan fokus setelah meminum kopi.

Tiba-tiba, pundak Danang ditepuk dengan lembut, "Tumben ngopi, Dan?"

Danang mendongak dan bertemu dengan senyuman ramah dari Yoga. "Ngantuk," akui Danang dengan ekspresi lelah.

"Kau sendiri, ngapain, Yoga?" tanya Danang sambil mencoba memulai percakapan.

Yoga, duduk di sampingnya dengan sikap santai, lalu berkata, "Nih, minta diisi," sambil mengusap perutnya dengan dibarengi tawa kecil.

Seorang pelayan membawa pesanan Yoga. Dan, Yoga menawarkan roti bakar pada Danang.

"Ini makan, Dan. Jangan ngopi saja," kata Yoga, menyodorkan roti pada Danang dengan senyum ramah.

Danang tersenyum dan kemudian mengambil sepotong roti bakar roti dari Yoga, "Terima kasih," ucapnya sambil menunjukkan rasa terima kasihnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 142

    Dina terdiam, matanya menyipit. Ia hanya bisa melihat punggung wanita itu—rambut panjang tergerai, langkah cepat, dan sikap penuh percaya diri.Beberapa detik… satu menit… dua menit.Wanita itu tidak keluar.Ia mempercepat langkahnya. Rasa penasaran mencubit hatinya. Wajah perempuan itu tidak bisa dilihatnya.Dina berdiri tepat di depan pintu kamar yang tidak tertutup sempurna. Ia bisa mendengar suara perempuan itu dari balik pintu. Jantungnya berdegup keras, seperti tahu akan ada sesuatu yang tak ingin ia saksikan, namun juga tak bisa ia hindari.Perlahan, ia mendorong pintu beberapa senti—cukup untuk mengintip ke dalam.Jantungnya nyaris berhenti. "Dia... Wanita itu," gumamnya dalam hati.Sinta. Wajahnya jelas. Wanita dalam foto itu. Wanita yang menjadi duri dalam rumah tangganya.

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 141

    Dina sudah hampir satu jam duduk di taman. Saat menjaga Danang, ia lebih suka duduk di luar. Dia malas untuk satu ruangan dengan Danang, saat Danang tidak tidur. Jika dia lihat Danang tidur, baru Dina masuk. Ponsel Dina berdering saat ia sedang duduk taman rumah sakit, tak jauh dari kamar Danang. Nama “Tante Hanum” terpampang di layar. Dina segera mengangkatnya.“Assalamu'alaikum , Tante?”“Walaikumsalam Dina, kamu sibuk? Tante mau ketemu. Bisa kita ngobrol?”Dina menarik napas. “Saya di rumah sakit, Tante.”Hanum langsung panik. “Hah? Kamu sakit, Nak?”“Bukan. Mas Danang, Tante. Dia kecelakaan, sempat dioperasi. Sekarang dirawat di sini.”“Ya Allah… Tante ke sana sekarang.”Sambungan terputus setelah Dina mengatakan ruma

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 140

    Deni dan Johnny baru saja turun dari angkot sepulang sekolah. Karena Deni hari ini tidak bawa motor. Depan pos ronda dekat rumahnya. Pak Johan, salah satu tetangga yang cukup dikenalnya duduk di pos ronda, memanggilnya.“Den, kamu sudah dengar kabar di pasar tadi pagi?” tanyanya sambil menatap Deni dengan wajah serius.Deni mengernyit. “Kabar apa, Pak?”Pak Johan menoleh kanan kiri, lalu berbisik, “Itu, soal juragan Zuki yang ngomong aneh-aneh soal ibumu.”Deni terdiam. Wajahnya langsung berubah. “Maksud Bapak apa?”“Dia bilang di depan orang-orang kalau ibumu janda, dan… ya, nadanya enggak pantas. Banyak yang dengar,” kata Pak Johan pelan."Bapak tidak bohong?""Nggaklah Den. Untuk apa bapak bohong. Bapak ini sudah kenal lama dengan almar

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 139

    "Kamu mengetahuinya, Dinda?" tanya Dina dengan tatapan mata memicing tajam.Dinda menghela napas, lalu menatap lurus ke depan. “Aku pernah lihat, Kak… Mas Danang bersama seorang wanita. Mereka kelihatan… mesra. Terlalu dekat untuk dikatakan sekadar teman biasa.”Ucapan itu menusuk langsung ke jantung Dina. Ia terdiam, wajahnya memucat. Seketika ingatannya melayang pada gambar yang ia terima beberapa waktu lalu—foto Danang dengan seorang perempuan. Foto yang membuat hatinya remuk dan pikirannya penuh pertanyaan, siapa yang mengirimya.Dina menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. “Kapan kamu lihat mereka?” tanyanya pelan, nyaris berbisik.“Beberapa minggu lalu,” jawab Dinda. “Aku nggak yakin awalnya. Rasanya, tidak mungkin Mas Danang berbuat begitu. Aku mengikutinya dan melihat kemesraan keduanya. Tidak mun

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 138

    "Kalian ngobrol saja, Ibu mau keluar sebentar," kata Endang sebelum meninggalkan kamar perawatan Danang. Ia memberi ruang bagi Danang dan ketiga rekannya untuk berbincang.Begitu pintu tertutup, Yoga langsung duduk di kursi dekat ranjang, sementara Toni dan Rudy berdiri santai di sisi lain tempat tidur."Gila, Dan. Kencang sekali motormu, sampai tangan patah" ujar Toni, menatap Danang prihatin."Iya, tangan patah, bro? Gimana ceritanya?" tanya Rudy penasaran.Danang menghela napas pelan. "Kecelakaan motor malam-malam. Gue sendiri nggak ingat jelas kejadiannya gimana. Tahu-tahu udah di rumah sakit.""Dengar-dengar ada pendarahan juga, ya?" Yoga bertanya sambil mencondongkan badan sedikit ke depan."Iya, kecil sih. Tapi cukup bikin gue nggak sadar cukup lama," jawab Danang pelan, mencoba tetap tenang meski tubuhnya masih terasa lemas

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 137

    Aini melangkah cepat keluar dari pasar. Tas belanjaannya ia genggam erat, seolah ingin melampiaskan kekesalan lewat jemarinya yang mencengkeram kain belanja. Nafasnya memburu, bukan karena lelah, tapi karena hatinya masih bergemuruh oleh ucapan Juragan Zuki.Ia memilih duduk di bangku kayu tua di bawah pohon ketapang, tak jauh dari parkiran pasar. Tempat itu agak sepi, hanya beberapa orang lalu lalang. Dari sana, ia bisa melihat orang-orang yang datang dan pergi, tapi pikirannya melayang jauh.“Aku janda, iya. Tapi bukan berarti aku kehilangan harga diri.”Tatapan Aini menerawang. Ia teringat wajah suaminya, Abdi, yang meninggal beberapa bulan lalu karena serangan jantung. Hidup sebagai janda bukan hal yang ia pilih. Tapi ia menjalani semua ini dengan tegar, demi anak-anaknya.“Aku harus kuar. Jangan masukkan dalam hati apa yang dikatakan juragan Zuki," gumamnya lirih, hampir

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status