Dina merasa asyik dengan menggambar desain baju hingga lupa akan waktu. Ketika akhirnya menyadari, punggungnya terasa letih, Dina memperbaiki posisi tubuhnya dan menggerakkan leher serta pundaknya. Ketika pandangannya menatap keluar jendela, ia menyadari bahwa hari telah mulai gelap.
"Sudah malam," gumamnya, merenungkan keadaan sekitar. Kecemasan perlahan merayap saat ia menyadari bahwa Mas Danang belum juga pulang. Dina bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu, namun tidak melihat kendaraan roda dua milik Danang berada di teras.
"Sudah setengah delapan, ke mana Mas Danang? Apa lembur? Kenapa Mas Danang tidak kasih kabar, kalau lembur? Biasanya Mas Danang selalu memberitahukan," pikir Dina dengan khawatir. Perasaan gelisah mulai merayap di dalam hatinya, memunculkan pertanyaan besar tentang keberadaan dan keadaan sang suami, Danang.Dina, dengan perasaan cemas dan gelisah, menyadari keterlambatan sang suami, Danang dan mulai bertanya-tanya tentang alasan di balik keterlambatannya yang tidak biasa.
Dina mulai merasa gelisah dan khawatir dengan keberadaan Danang yang belum pulang. Tanpa menunggu lama, ia mengambil ponselnya dan mencoba menelepon Danang. Namun, panggilan tersebut tidak diangkat.
Dengan ketidakangkatan panggilan telepon dari Mas Danang, Dina mulai merasa semakin gelisah dan panik. Ia kembali mencoba menghubungi nomor sang suami, namun panggilannya sekali lagi tidak diangkat. "Ayo, Mas, angkatlah," gumam Dina dengan wajah yang penuh kepanikan, dihantui oleh pikiran-pikiran buruk.
Pikiran negatif mulai menghantui Dina, seperti kemungkinan bahwa Danang mengalami kecelakaan. Namun, Dina segera menenangkan diri dengan berpikir positif, "Tidak, tidak, Mas Danang pasti baik-baik. Tidak mungkin terjadi sesuatu yang buruk," ucapnya dalam hati. Namun, pemikiran lain muncul, "Apakah Mas Danang masih marah ? karena itu dia tidak bilang kalau lembur, dan tidak mau mengangkat telepon dariku?" pikir Dina.
Dina berusaha untuk tetap tenang dan mengendalikan rasa cemasnya, namun hatinya masih dipenuhi dengan ketidakpastian dan kegelisahan atas keberadaan suaminya yang masih belum dapat dihubungi. Dengan keprihatinan dan kecemasan yang memuncak, Dina berjuang untuk menenangkan dirinya di tengah ketidakpastian akan keberadaan suaminya, Danang.
Dengan kecemasan yang semakin memuncak, Dina merasa bingung tentang langkah selanjutnya. "Siapa yang harus aku hubungi? Aku tidak tahu teman-teman kantor Mas Danang. Atau apakah aku harus telpon ibu? Ah, tidak, ibu pasti nanti marah padaku," pikir Dina cepat dalam keadaan panik. Mengambil keputusan, Dina memilih untuk tidak menghubungi ibunya Danang dan memilih untuk menghadapi situasi ini sendirian.
Dina bangkit dan berdiri melihat jalan, lalu kemudian Dina kembali masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Ia duduk di ruang tamu, dengan perut yang tadi lapar kini terlupakan karena kecemasan yang melanda pikirannya. Dalam keheningan ruang tamu, Dina merenungkan langkah selanjutnya yang harus diambil untuk menyelesaikan situasi yang mengganggu pikirannya.
Dengan perasaan cemas yang masih menghantui pikirannya, Dina akhirnya memutuskan untuk menunggu sambil berusaha untuk tetap tenang. "Ah, aku tunggu saja. Ini baru jam delapan," ucap Dina dengan suara yang lirih. Setelah itu, Dina mengambil remote TV dan menghidupkan televisi. Matanya menatap ke layar TV, namun pikirannya melayang ke berbagai arah yang penuh kekhawatiran.
Dina terbangun dari tidurnya dengan kaget, menyadari bahwa dia tertidur sambil menatap televisi. "Ah, aku ketiduran," gumam Dina, yang tersadar bahwa dia terlalu lelah sehingga tertidur tanpa sadar. Dengan cepat, ia bangun dan melihat jam, sudah pukul 11.00 malam. Kekhawatiran atas keberadaan Mas Danang yang belum pulang masih menghantuinya.
Dina lalu bergegas berdiri, melangkah ke arah pintu dan membuka tirai untuk melihat ke luar, mencari tanda keberadaan motor Danang. Namun, apa yang dia lihat, membuatnya terkejut. Dina bergegas menuju kamarnya, membuka pintu dengan hati-hati, dan melihat sang suami sudah terlelap di atas ranjang. Sang, suami telah pulang, namun tampaknya telah meninggalkan Dina di luar tanpa membangunkannya.
Dengan rasa sedih yang tak terlukiskan, Dina merasa terpukul ketika menyadari bahwa Danang telah pulang namun tidak membangunkannya. "Dia membiarkanku tidur di luar," gumam Dina dengan perasaan yang campur aduk. Dia merasa terluka karena kebiasaan Danang yang selalu membangunkannya saat tidur di luar tidak dilakukan kali ini.
"Segitunya mas Danang, marah."
Dalam keheningan ruang tamu, Dina terombang-ambing antara kekecewaan dan rasa sedih, mencoba mencerna tindakan sang suami yang tidak dimengertinya. Perasaan terpukul dan hati yang terluka membayanginya saat ia berusaha memahami alasan di balik perlakuan Danang yang tidak terduga ini.Dina, dalam kekecewaan dan kepahitan yang mendalam, merenungkan tindakan Danang yang meninggalkannya di luar tanpa memberitahunya. Perasaan tercampur aduk dari kekecewaan dan kesedihan menciptakan rasa tak menentu dalam dirinya.
"Hanya karena pakaian yang aku kenakan, Mas Danang begitu marah ?"
Dalam kamar, Danang menggeliat, "Panas sekali, Din, hidupkan AC," ucapnya dengan mata masih tertutup dalam keadaan setengah sadar.
Satu detik berlalu, dan ketika waktu mencapai detik ketiga, Danang kembali berkata tanpa mendapat respons, "Dina, hidupkan AC."
Namun, Danang tidak merasakan efek sejuk dari AC yang seharusnya menyala. Dengan ketidaknyamanannya yang semakin bertambah, Danang membuka matanya dengan niat untuk menegur Dina karena tidak mematuhi perintahnya. "Dina," ucap Danang dengan suara penuh ketidakpuasan. Namun, kejutan lain menunggunya, ketika ia menyadari bahwa Dina tidak berada di sampingnya. "Di mana dia? Ya ampun, kenapa aku lupa, dia kan tidur di luar tadi," kata Danang dengan perasaan campur aduk yang tak terkendali.
Saat ia pulang, ia melihat Dina tidur di sofa saat menunggu kepulangan, dan Danang memutuskan untuk membersihkan diri dulu, baru membangunkan Dina. Tapi, karena ia terlalu letih, ia lupa membangunkan Dina, setelah ia selesai mandi.
Semua rasa marah dan kekecewaan seolah lenyap dalam kegelisahan dan penyesalan. Danang merasa tidak bisa mempercayai kecerobohannya, menyadari bahwa Dina telah ditinggalkannya di luar ruangan tanpa sengaja. Dengan wajah penuh penyesalan, Danang bangkit dari ranjang dan kemudian keluar dari kamar untuk membangunkan Dina.
"Mana dia?" Danang bertanya-tanya, tidak melihat keberadaan Dina di ruang tamu di mana seharusnya Dina tidur. Dengan perasaan cemas yang semakin merayap, Danang mulai memeriksa ruangan-ruangan lain dalam rumah, mencari tanda-tanda keberadaan istrinya.
Mata Danang langsung tertuju pada sebuah kamar yang tertutup. "Apakah dia tidur di situ?" gumamnya, merenungkan kemungkinan keberadaan Dina di dalam kamar tersebut. "Sepertinya dia sedang menjahit lagi," tambah Danang, mencoba menebak aktivitas Dina.
Danang melangkah menuju ke kamar yang tertutup tersebut, berharap menemukan Dina di sana.
Ketika dia ingin membuka pintu kamar, Danang tersadar bahwa pintu tersebut terkunci dari dalam. Dengan perasaan yang semakin gelisah, Danang mengetuk pintu dengan lembut sambil memanggil nama Dina, "Dina, Dina, Din, tok-tok-tok, Din, tok-tok-tok." Danang berkali-kali memanggil Dina, diiringi dengan ketukan. Namun, tidak ada sahutan dari dalam.
"Mungkin Dina sudah tidur," ujar Danang dalam hati. Danang kemudian memutuskan untuk kembali ke kamar untuk melanjutkan tidurnya.
Dina terdiam, matanya menyipit. Ia hanya bisa melihat punggung wanita itu—rambut panjang tergerai, langkah cepat, dan sikap penuh percaya diri.Beberapa detik… satu menit… dua menit.Wanita itu tidak keluar.Ia mempercepat langkahnya. Rasa penasaran mencubit hatinya. Wajah perempuan itu tidak bisa dilihatnya.Dina berdiri tepat di depan pintu kamar yang tidak tertutup sempurna. Ia bisa mendengar suara perempuan itu dari balik pintu. Jantungnya berdegup keras, seperti tahu akan ada sesuatu yang tak ingin ia saksikan, namun juga tak bisa ia hindari.Perlahan, ia mendorong pintu beberapa senti—cukup untuk mengintip ke dalam.Jantungnya nyaris berhenti. "Dia... Wanita itu," gumamnya dalam hati.Sinta. Wajahnya jelas. Wanita dalam foto itu. Wanita yang menjadi duri dalam rumah tangganya.
Dina sudah hampir satu jam duduk di taman. Saat menjaga Danang, ia lebih suka duduk di luar. Dia malas untuk satu ruangan dengan Danang, saat Danang tidak tidur. Jika dia lihat Danang tidur, baru Dina masuk. Ponsel Dina berdering saat ia sedang duduk taman rumah sakit, tak jauh dari kamar Danang. Nama “Tante Hanum” terpampang di layar. Dina segera mengangkatnya.“Assalamu'alaikum , Tante?”“Walaikumsalam Dina, kamu sibuk? Tante mau ketemu. Bisa kita ngobrol?”Dina menarik napas. “Saya di rumah sakit, Tante.”Hanum langsung panik. “Hah? Kamu sakit, Nak?”“Bukan. Mas Danang, Tante. Dia kecelakaan, sempat dioperasi. Sekarang dirawat di sini.”“Ya Allah… Tante ke sana sekarang.”Sambungan terputus setelah Dina mengatakan ruma
Deni dan Johnny baru saja turun dari angkot sepulang sekolah. Karena Deni hari ini tidak bawa motor. Depan pos ronda dekat rumahnya. Pak Johan, salah satu tetangga yang cukup dikenalnya duduk di pos ronda, memanggilnya.“Den, kamu sudah dengar kabar di pasar tadi pagi?” tanyanya sambil menatap Deni dengan wajah serius.Deni mengernyit. “Kabar apa, Pak?”Pak Johan menoleh kanan kiri, lalu berbisik, “Itu, soal juragan Zuki yang ngomong aneh-aneh soal ibumu.”Deni terdiam. Wajahnya langsung berubah. “Maksud Bapak apa?”“Dia bilang di depan orang-orang kalau ibumu janda, dan… ya, nadanya enggak pantas. Banyak yang dengar,” kata Pak Johan pelan."Bapak tidak bohong?""Nggaklah Den. Untuk apa bapak bohong. Bapak ini sudah kenal lama dengan almar
"Kamu mengetahuinya, Dinda?" tanya Dina dengan tatapan mata memicing tajam.Dinda menghela napas, lalu menatap lurus ke depan. “Aku pernah lihat, Kak… Mas Danang bersama seorang wanita. Mereka kelihatan… mesra. Terlalu dekat untuk dikatakan sekadar teman biasa.”Ucapan itu menusuk langsung ke jantung Dina. Ia terdiam, wajahnya memucat. Seketika ingatannya melayang pada gambar yang ia terima beberapa waktu lalu—foto Danang dengan seorang perempuan. Foto yang membuat hatinya remuk dan pikirannya penuh pertanyaan, siapa yang mengirimya.Dina menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. “Kapan kamu lihat mereka?” tanyanya pelan, nyaris berbisik.“Beberapa minggu lalu,” jawab Dinda. “Aku nggak yakin awalnya. Rasanya, tidak mungkin Mas Danang berbuat begitu. Aku mengikutinya dan melihat kemesraan keduanya. Tidak mun
"Kalian ngobrol saja, Ibu mau keluar sebentar," kata Endang sebelum meninggalkan kamar perawatan Danang. Ia memberi ruang bagi Danang dan ketiga rekannya untuk berbincang.Begitu pintu tertutup, Yoga langsung duduk di kursi dekat ranjang, sementara Toni dan Rudy berdiri santai di sisi lain tempat tidur."Gila, Dan. Kencang sekali motormu, sampai tangan patah" ujar Toni, menatap Danang prihatin."Iya, tangan patah, bro? Gimana ceritanya?" tanya Rudy penasaran.Danang menghela napas pelan. "Kecelakaan motor malam-malam. Gue sendiri nggak ingat jelas kejadiannya gimana. Tahu-tahu udah di rumah sakit.""Dengar-dengar ada pendarahan juga, ya?" Yoga bertanya sambil mencondongkan badan sedikit ke depan."Iya, kecil sih. Tapi cukup bikin gue nggak sadar cukup lama," jawab Danang pelan, mencoba tetap tenang meski tubuhnya masih terasa lemas
Aini melangkah cepat keluar dari pasar. Tas belanjaannya ia genggam erat, seolah ingin melampiaskan kekesalan lewat jemarinya yang mencengkeram kain belanja. Nafasnya memburu, bukan karena lelah, tapi karena hatinya masih bergemuruh oleh ucapan Juragan Zuki.Ia memilih duduk di bangku kayu tua di bawah pohon ketapang, tak jauh dari parkiran pasar. Tempat itu agak sepi, hanya beberapa orang lalu lalang. Dari sana, ia bisa melihat orang-orang yang datang dan pergi, tapi pikirannya melayang jauh.“Aku janda, iya. Tapi bukan berarti aku kehilangan harga diri.”Tatapan Aini menerawang. Ia teringat wajah suaminya, Abdi, yang meninggal beberapa bulan lalu karena serangan jantung. Hidup sebagai janda bukan hal yang ia pilih. Tapi ia menjalani semua ini dengan tegar, demi anak-anaknya.“Aku harus kuar. Jangan masukkan dalam hati apa yang dikatakan juragan Zuki," gumamnya lirih, hampir