Share

Bab 7

Penulis: Lin shi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-13 23:02:45

Dina tetap terdiam dalam kamar, memilih untuk tidak menjawab panggilan Danang yang dilakukan dengan lembut di luar pintu. Meskipun ia bisa mendengar suara-suara dari sisi lain pintu, hati dan pikirannya terasa terkunci dalam kesedihan dan rasa kekecewaan yang mendalam.

Dalam keheningan kamar yang sunyi, Dina menutup mulutnya dengan rapat, menahan kata-kata yang ingin diucapkannya. "Maaf, Mas, aku kecewa denganmu," bisiknya dalam hati, tanpa mendengar alasan dari Danang mengapa ia ditinggalkan tidur di luar ruangan.

Tanpa memahami sepenuhnya alasan di balik tindakan Danang, Dina merasakan kekecewaan dan kesedihan yang menyelimuti hatinya. Dia merasa terluka dan ditinggalkan tanpa penjelasan yang memadai, dan biarkan perasaan tersebut menjadi bayangan yang mengganggu atau memberi tekanan pada hubungan mereka.

Dina kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, air matanya mengalir tanpa henti. Dengan tangan yang gemetar, ia mengusap air mata tersebut dengan kasar, mencoba menahan emosinya yang meluap. Dalam keheningan dan kesendirian kamar, Dina berbicara kepada dirinya sendiri dengan suara lembut, "Dina, jangan menangis, jangan menangis ya," ucapnya dengan tekad untuk menenangkan diri sendiri meskipun hatinya hancur.

Dalam kesedihannya, Dina teringat dengan nasihat yang pernah diberikan oleh bunda dan ayahnya, di mana keduanya menasehati Dina untuk tidak menikah terlalu muda. Terbayang jelas di benaknya kata-kata mereka, "Bunda, Ayah, apakah aku salah menikah muda?" gumamnya dengan suara yang penuh keraguan dan rasa penyesalan.

Perkataan kedua orang tuanya melintas dalam benaknya, membawa kembali memori yang menyakitkan. "Dina, kenapa kau tidak kuliah saja," kata bundanya saat Dina menyatakan bahwa dia tidak ingin melanjutkan sekolah setelah menyelesaikan pendidikannya. "Ya, Dina, kuliahlah, Ayah masih sanggup membiayaimu untuk kuliah," kata ayahnya dengan penuh kepedulian.

"Tidak, Yah. Biar Deni saja yang sekolah tinggi, Dina ingin bekerja saja."

"Bunda bisa membantu ayah mencari biaya kuliahmu, Dina. Orang masih banyak jahit baju pada bunda," kata bundanya.

Meskipun sarat dengan nasehat dari orang tuanya, Dina tetap teguh dengan keputusannya untuk bekerja di kota setelah lulus sekolah. Keinginannya untuk merantau dan mencari pengalaman baru membawanya pada jalan yang berbeda. Setelah bekerja selama enam bulan, takdir membawanya bertemu dengan Danang, dan ia memutuskan untuk menikah muda, usia yang baru menginjak 19 tahun dan Danang 25 tahun.

Pernikahan mereka yang dilakukan dengan restu setengah hati dari ayah dan bunda Dina menjadi langkah berani dan penting dalam hidupnya. Meskipun perjalanan menuju keputusan itu penuh liku-liku dan pertimbangan, Dina merasa bahwa langkah tersebut adalah bagian dari perjalanan hidupnya yang harus dijalani.

Dalam keheningan kamarnya, Dina merenungkan kembali bagaimana perjalanan hidupnya membawanya pada keputusan untuk menikah muda. Meskipun teringat akan nasihat orang tuanya, Dina percaya bahwa setiap pilihan yang diambilnya membentuk jalan hidupnya sendiri, termasuk dalam pernikahan yang menjadi titik balik kehidupannya.Dina kembali merenungkan perjalanan hidupnya yang membawanya pada keputusan untuk menikah muda, meskipun pernah mendapat nasehat dan tuntutan dari orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan. 

~~**~~

Keesokan harinya, Dina kembali menjalani aktivitas seperti biasa. Ia memulai hari dengan meninggalkan kejadian semalam untuk fokus pada rutinitas sehari-harinya, dimulai dengan kegiatan memasak di pagi hari. Saat ia sibuk di dapur, tiba-tiba Dina merasakan tangan yang melingkar di pinggangnya dan sebuah kecupan lembut di pipinya, disertai suara, "Selamat pagi, sayang."

"Pagi," balas Dina dengan suara yang lirih.

Lalu, Danang menyampaikan penjelasan atas keterlambatan kepulangannya semalam, "Maaf, semalam aku pulang terlalu malam karena tiba-tiba motorku rusak dan ponselku juga habis baterai," katanya dengan suara penuh penyesalan. 

Dengan datar, Dina menjawab, "Oh, iya, tidak apa-apa," tetap mempertahankan sikap tenangnya.

Dina menunjukkan sikap yang bijaksana dengan menerima penjelasan Danang tanpa membuat kehebohan atau konfrontasi yang tak perlu. Dalam keadaan yang tegang dan penuh ketidakpastian, Dina memilih untuk mempertahankan suasana yang tenang. Dia tetap melakukan apa yang sedang dikerjakannya, sedangkan Danang masih berada di belakangnya dengan melingkarkan tangannya di pinggang Dina.

"Maaf, ya."

"Iya, mas."

"Tadi malam karena keletihan, Mas sampai lupa membangunkan. Maaf, ya," ungkap Danang dengan suara penuh penyesalan.

Dina, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, hanya menganggukkan kepala sebagai tanggapannya.

"Marah?" tanya Danang, mencoba untuk memahami perasaan Dina.

Dengan lembut, Dina menggelengkan kepalanya sebagai isyarat bahwa ia tidak marah, tetapi kesedihan hatinya masih terasa.

"Bagaimana kalau hari ini kita belanja, sudah lama kita tidak keluar," usul Danang dengan harapan membawa kesegaran dalam hubungan mereka.

Dina kemudian melepaskan tangan Danang yang melingkar di pinggangnya, "Aku mandi dulu," gumam Dina dengan suara lembut, lalu meninggalkan sang suami di dapur.

Langkah Dina yang menjauh tidak memberi petunjuk jelas atas perasaan yang sesungguhnya, namun keheningan yang tercipta menunjukkan kesunyian yang menggelayuti keduanya.

Saat Dina meninggalkan dapur, Danang duduk dengan perasaan campur aduk. Dia merenungkan secara dalam tentang kejadian semalam dan bagaimana keletihan yang dialaminya bisa menyebabkan lupa. 

Sementara itu, Dina yang berada di kamar mandi, membiarkan air mengalir menyiram tubuhnya sambil merenungkan kejadian-kejadian belakangan ini. Perkataan Danang terus terngiang di telinganya, menyulut pertanyaan-pertanyaan yang membuat hatinya gelisah.

"Apa aku begitu memalukan? Bukankah kesederhanaanku yang membuatmu mencintaiku, Mas? Apa kau sudah berubah, Mas?" gumam Dina di bawah guyuran shower, suara gemetar mencerminkan kegalauan dan kekhawatiran yang menyelimutinya. Pertanyaan-pertanyaan itu menusuk benaknya, mempertanyakan nilai dirinya dan hubungan mereka kedepannya.

"Belum setahun pernikahan kita, Mas. Kau sudah mulai bosan denganku, apa pernikahan ini akan panjang," gumam Dina dengan suara penuh kekhawatiran dan kebingungan. Dalam refleksi yang dalam, Dina merasa tercabik antara rasa takut akan kehilangan dan rasa ragu akan masa depan hubungan mereka.

Dina, yang masih berada di dalam kamar mandi, tengah tenggelam dalam pemikiran dan emosinya sendiri. Sementara itu, Danang duduk di meja makan, menunggu Dina selesai mandi, saat tiba-tiba mendapatkan pesan dari Yoga yang mengajaknya untuk jalan.

"Dan, jalan yok." pesan Yoga.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 143

    Sinta berjalan cepat dengan wajah memerah karena emosi. Tumit sepatunya menghentak lantai, menimbulkan suara tajam yang bersahut dengan gerutuan-gerutuannya.“Kurang ajar!” umpatnya, “Adik Mas Danang kurang ajar sekali ! Anak bawang tiba-tiba main seret-seret aku, kayak aku maling aja!”Ia terus berjalan, tapi pikirannya belum bisa lepas dari kejadian barusan. Napasnya masih memburu. Namun di tengah langkahnya yang terburu-buru, tiba-tiba ia berhenti. Alisnya berkerut.Sinta menoleh, seolah mencari sesuatu di udara. Lalu ia bergumam, “Tadi dia bilang aku apa sih?”Keningnya berkerut dalam-dalam, mencoba mengingat kembali.“Pelakor ! Dia memanggilku pelakor," ucapnya pelan, seperti baru sadar.Ia terdiam sesaat, lalu tertawa kering—penuh ketidakpercayaan. “Pelakor? Gila! Aku pelakor? Maksudnya

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 142

    Dina terdiam, matanya menyipit. Ia hanya bisa melihat punggung wanita itu—rambut panjang tergerai, langkah cepat, dan sikap penuh percaya diri.Beberapa detik… satu menit… dua menit.Wanita itu tidak keluar.Ia mempercepat langkahnya. Rasa penasaran mencubit hatinya. Wajah perempuan itu tidak bisa dilihatnya.Dina berdiri tepat di depan pintu kamar yang tidak tertutup sempurna. Ia bisa mendengar suara perempuan itu dari balik pintu. Jantungnya berdegup keras, seperti tahu akan ada sesuatu yang tak ingin ia saksikan, namun juga tak bisa ia hindari.Perlahan, ia mendorong pintu beberapa senti—cukup untuk mengintip ke dalam.Jantungnya nyaris berhenti. "Dia... Wanita itu," gumamnya dalam hati.Sinta. Wajahnya jelas. Wanita dalam foto itu. Wanita yang menjadi duri dalam rumah tangganya.

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 141

    Dina sudah hampir satu jam duduk di taman. Saat menjaga Danang, ia lebih suka duduk di luar. Dia malas untuk satu ruangan dengan Danang, saat Danang tidak tidur. Jika dia lihat Danang tidur, baru Dina masuk. Ponsel Dina berdering saat ia sedang duduk taman rumah sakit, tak jauh dari kamar Danang. Nama “Tante Hanum” terpampang di layar. Dina segera mengangkatnya.“Assalamu'alaikum , Tante?”“Walaikumsalam Dina, kamu sibuk? Tante mau ketemu. Bisa kita ngobrol?”Dina menarik napas. “Saya di rumah sakit, Tante.”Hanum langsung panik. “Hah? Kamu sakit, Nak?”“Bukan. Mas Danang, Tante. Dia kecelakaan, sempat dioperasi. Sekarang dirawat di sini.”“Ya Allah… Tante ke sana sekarang.”Sambungan terputus setelah Dina mengatakan ruma

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 140

    Deni dan Johnny baru saja turun dari angkot sepulang sekolah. Karena Deni hari ini tidak bawa motor. Depan pos ronda dekat rumahnya. Pak Johan, salah satu tetangga yang cukup dikenalnya duduk di pos ronda, memanggilnya.“Den, kamu sudah dengar kabar di pasar tadi pagi?” tanyanya sambil menatap Deni dengan wajah serius.Deni mengernyit. “Kabar apa, Pak?”Pak Johan menoleh kanan kiri, lalu berbisik, “Itu, soal juragan Zuki yang ngomong aneh-aneh soal ibumu.”Deni terdiam. Wajahnya langsung berubah. “Maksud Bapak apa?”“Dia bilang di depan orang-orang kalau ibumu janda, dan… ya, nadanya enggak pantas. Banyak yang dengar,” kata Pak Johan pelan."Bapak tidak bohong?""Nggaklah Den. Untuk apa bapak bohong. Bapak ini sudah kenal lama dengan almar

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 139

    "Kamu mengetahuinya, Dinda?" tanya Dina dengan tatapan mata memicing tajam.Dinda menghela napas, lalu menatap lurus ke depan. “Aku pernah lihat, Kak… Mas Danang bersama seorang wanita. Mereka kelihatan… mesra. Terlalu dekat untuk dikatakan sekadar teman biasa.”Ucapan itu menusuk langsung ke jantung Dina. Ia terdiam, wajahnya memucat. Seketika ingatannya melayang pada gambar yang ia terima beberapa waktu lalu—foto Danang dengan seorang perempuan. Foto yang membuat hatinya remuk dan pikirannya penuh pertanyaan, siapa yang mengirimya.Dina menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. “Kapan kamu lihat mereka?” tanyanya pelan, nyaris berbisik.“Beberapa minggu lalu,” jawab Dinda. “Aku nggak yakin awalnya. Rasanya, tidak mungkin Mas Danang berbuat begitu. Aku mengikutinya dan melihat kemesraan keduanya. Tidak mun

  • Ceraikan Aku, Jika Sudah Tidak Cinta    Bab 138

    "Kalian ngobrol saja, Ibu mau keluar sebentar," kata Endang sebelum meninggalkan kamar perawatan Danang. Ia memberi ruang bagi Danang dan ketiga rekannya untuk berbincang.Begitu pintu tertutup, Yoga langsung duduk di kursi dekat ranjang, sementara Toni dan Rudy berdiri santai di sisi lain tempat tidur."Gila, Dan. Kencang sekali motormu, sampai tangan patah" ujar Toni, menatap Danang prihatin."Iya, tangan patah, bro? Gimana ceritanya?" tanya Rudy penasaran.Danang menghela napas pelan. "Kecelakaan motor malam-malam. Gue sendiri nggak ingat jelas kejadiannya gimana. Tahu-tahu udah di rumah sakit.""Dengar-dengar ada pendarahan juga, ya?" Yoga bertanya sambil mencondongkan badan sedikit ke depan."Iya, kecil sih. Tapi cukup bikin gue nggak sadar cukup lama," jawab Danang pelan, mencoba tetap tenang meski tubuhnya masih terasa lemas

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status