Harusnya minggu pagi yang mendung ini gue habiskan dengan meringkuk di bawah selimut sampai siang karena semalaman tadi gue begadang di kamar Candra main Play Station sampai jam empat pagi. Selepas subuh gue baru bisa terlelap tapi suara ketukan di pintu sangat mengusik kenyamanan gue pagi itu. Awalnya gue abaikan, tapi makin diabaikan suaranya malah semakin keras.
"iya bentar!" gue menggerutu dengan kesal lalu keluar dari balik selimut ke arah pintu.
"hay Her..." gue mendapati Echi tersenyum lebar ke gue.
"baru bangun ya?" tanya nya
"eh, kamu Chi." gue buru-buru mengusap wajah gue dengan sarung yg melingkar di pundak gue.
"tadi lagi tidur ya?" tanya Echi lagi.
"ya begitulah. hehe.." gue nyengir pait.
Gue yakin saat itu gue culun banget, muka kusut, rambut acak-acakan ditambah sisa-sisa iler yg mungkin masih menempel di pipi. (gak usah dibayangin ya!)
"masuk yuk Chi," gue mempersilakan Echi masuk sementara gue bergegas cuci muka di kamar mandi.
"gue ganggu tidur lo ya Her?"
"Enggak kok nyantai aja lah kayak di pantai hahaha," suara gue menggema di dalam kamar mandi kecil itu.
"lo nggak lembur?" tanya Echi lagi begitu gue keluar dari kamar mandi dan menyeka wajah dengan handuk.
"staff mana dapet lembur sih? paling yg lembur orang-orang di jalur produksi aja." gue duduk bersandar di dinding, seberang tempat Echi duduk.
Gue nyalakan sebatang Marlboro sambil sedikit merapikan sisiran rambut.
"tumben amat pagi-pagi gini lo ke sini? perasaan baru semalem kita ketemu deh?" asap dari mulut gue mulai memenuhi seantero kamar.
"gue beliin lo sarapan. nih," Echi menyodorkan bungkusan plastik hitam yg sejak tadi dipegangnya.
"apaan tuh?" tanya gue
"cuma nasi uduk kok, kebetulan lewat depan gang masih ada yg jual. Sok dimakan, nanti basi dulu." Kata dia
"wah lo tau aja gue laper,hehe" gue meraih bungkusan itu
"sory yah Chi ngerepotin." Kata gue sambil ngebuka bungkusannya.
"enggak papa kok, enggak ngerepotin juga." Jawab dia
"yaa gue basa-basi aja biar lo nggak kapok beliin sarapan buat gue, yg sering aja ya?" kata gue sambil terkekeh
"yeeeey.....enak aja lo. Tekor dong gue?! hehehe." Jawab Echi sambil liat liat kamar gue
"kok belinya cuma satu? lo udah sarapan?" tanya gue
"tadi gue belinya memang pas udah mau abis. itu juga cuma ada segitunya kok." Jelas dia
"lo udah sarapan belum?" tanya gue lagi
Echi menggeleng.
"ya udah kita barengan aja," gue mengambil dua buah sendok dari rak kecil di samping dispenser.
"entar lo nya kurang nggak?" Echi menerima sendok dari gue dengan ragu.
"udah nyantai aja, kalo kurang entar gue beli lagi di gang sebelah ada yg jualan." gue terpaksa mematikan rokok gue dulu di asbak.
"yakin nih?" tanya Echi lagi.
"yaelaah masih nanya aja nih anak. udah ayo makan," gue mulai melahap sendokan pertama.
Awalnya dia ragu tapi kemudian Echi melakukan hal yg sama dan akhirnya kami sarapan sepiring berdua. hanya butuh sepuluh menit untuk menghabiskan nasi di piring.
"thanks ya Chi," gue bersendawa kecil setelah minum.
Gue duduk lagi di tempat gue tadi, menyulut kembali sebatang Marlboro sebagai "hidangan penutup" sarapan pagi itu. Gue lirik jam dinding menunjukkan pukul sembilan lewat seperempat. berarti tadi gue tidur hanya sekitar tiga jam. Hufft......gue mengembuskan asap putih dari mulut gue, berharap rasa kantuk yg masih menggelayuti mata gue juga ikut pergi bersamanya.
"Candra lembur ya?" tanya Echi membuyarkan lamunan sekaligus membuat gue terjaga dari lelap yg sempat menghinggapi gue beberapa detik yg lalu.
"eh, enggak kok. Semalaman gue begadang sama dia maen game. Jam segini mah dia masih asyik sama bantalnya." Jawab gue
"kalian begadang sampe pagi yah?" tanya Echi lagi
Gue mengangguk.
"wah berarti tadi gue beneran ganggu dong? lo pasti masih ngantuk ya, Her?" gue tersenyum.
"kurang lebih seperti itu," nggak ada gunanya basa-basi pura-pura nggak ngantuk.
"emh...ya udah deh lo lanjutin aja lagi tidurnya." Kata dia merasa gak enak
"nah terus elo nya?" tanya gue bingung
"gue jagain lo tidur deh," katanya tanpa nada terpaksa.
"lo punya koleksi novel kan? lo tidur aja, gue mau baca novel deh." Jawab Echi
"apa enggak bosen tuh? kalo nggak kuat dan mau balik, ya balik aja Chi nggak usah ngerasa nggak enak sama gue." Jawab gue yang merasa ga enak
"lo ngusir nih ceritanya?" jawab Echi
"hehehe.. enggak kok bukan gitu. Ya udah tuh novelnya ambil aja," gue menunjuk tumpukan buku di atas lemari kecil di sudut kamar.
"Bentar gue abisin dulu rokoknya, tanggung nih."
Beberapa saat kemudian Echi sudah larut dalam novel yg dibacanya, gue menikmati hisapan terakhir rokok gue, setelah itu beranjak ke kasur. Rasanya nyaman sekali merebahkan tubuh ini.
"jangan lupa doa dulu," Echi mengingatkan.
"wah gue hafalnya doa makan nih." Echi menepuk kaki gue.
Gue sudah memejamkan mata saat gue rasakan kehangatan mulai menyelimuti tubuh gue. Gue membuka mata. Echi menutup tubuh gue dengan selimut.
"thanks Chi. lo baik banget yah?" kata gue sambil merem
"udah tidur sana jangan banyak komentar." Echi duduk di samping kasur tepat di sebelah kepala gue.
Dia kembali asyik dengan novel yg dipegangnya. Ah, pagi yang dingin ini gue rasakan mendadak hangat. Entah karena selimut ini atau karena sosok wanita di samping gue, yang jelas nggak butuh waktu lama buat gue masuk ke dunia mimpi.....
Hari-hari gue kini jadi sedikit banyak berbeda dengan sebelumnya karena ada Echi yang hadir menjelma jadi pengisi kekosongan yang gue rasakan sebelumnya. kalau nggak Echi yg menginap di kamar gue, maka gue yg ngandong ke kosannya. Kebetulan kami berdua sama-sama non shift jadi nggak ada istilah jam kerja malam. Layaknya pasangan lain yg tengah dimabuk asmara, gue dan Echi juga kerap memilih menghabiskan waktu berdua meski harus menolak jam lembur yang ditawarkan bos di kantor, gue pikir gaji tanpa lembur gue sudah lebih dari cukup. Selain itu Echi juga adalah tipe cewek yang pengertian, dia menilai nggak harus selalu cowok yg nraktir cewek, beberapa kali gue bahkan makan gratis dari dia. Soal Candra, awalnya dia heran sama gue karena gue sering nggak menampakkan diri di kosan. Setelah gue beritahu kalo gue udah jadian sama Echi dia cuma tertawa lebar sambil tetap ngomong"jangan diapa-apain dulu!" kata Candra tegasdan gue jawab "udah terlanjur!" heheJarang bal
Bukan. Itu bukan dia... suaranya lain. Eh, iya itu dia tapi bukan! Cara menyanyinya lain! Ah, daripada bingung sendiri gue balikkan badan dan... "hemmpph........" gue cukup dibuat terkejut saat mendapati sosok Echi berdiri di belakang gue. Nyaris saja gue terlompat ke bawah"kamu ngagetin aja Chi," gue sedikit terengah karena benar-benar terkejut tadi"by the way kok lo ke sini gak bilang dulu sih?"Echi tersenyum simpul sangat sederhana dengan sedikit sudut bibirnya terangkat ke samping beda dengan cara dia tersenyum biasanya."Lo kenapa Chi? kok murung gitu?" tanya gue lagi mendapati Echi yg berdiri mematung di samping gue.Echi menggeleng perlahan"mau bikin kopi?" gue menawarkanEchi menggeleng lagi"atau lo laper?"Dijawab dengan gelengan lagi.Gue turun dari tempat gue duduk, menyandarkan gitar ke dinding lalu berdiri di samping Echi. Gue raih dan genggam tangannya, hmm dingin... tadi sore memang sempa
"Tok tok tok!" ketukan di pintu membangunkan gue dari tidur.Ketukannya makin cepat terdengar dan hampir saja pintu roboh kalau gue nggak cepat-cepat membukanya."apaan sih lo Ndra?" gue mendengus begitu tau yg mengetuk pintu adalah Candra."masih pagi juga udah gedor-gedor kamar orang. Ini kan kamar gue?""iya iya gue ulangi deh, ngapain pagi-pagi gedor kamar elo? buruan pake pakean lo!" kata Candra tetap berdiri di tempatnya."ada apaan emang?""sms gue masuk nggak sih??" gue cek hp yg masih tersambung dg charger.Di layarnya terdapat pemberitahuan memori pesan penuh, maka gue segera hapus semua pesan di inbox dan satu pesan baru dari nomor Candra langsung masuk. 'Echi kecelakaan. dia dirawat di RS Dewi S*i nanti gue jelaskan lagi, ketemu di sana aja.'"maksudnya apaan nih?" tubuh gue bergetar cukup hebat.Gue berharap yang gue baca ini hanya sms lelucon."tadinya gue mau kita ketemu di sana, tapi gue sms elo ko
N 6689 M Gue pandangi coretan nomor plat motor di kertas kecil yang lagi di tangan gue, sudah dua hari ini gue sering menatap berlama-lama deretan angka itu meski tanpa hasil apapun. Dua hari yg lalu saat gue ke kantor Polsek gue mendapat informasi tentang identitas pelaku tabrak lari Echi, salah satu saksi berhasil menghafal plat nomor sepeda motor yg melarikan diri itu. Sebuah sepeda motor Me*a P*o berplat nomor N 6689 M. Untuk identitas pelakunya, sayang belum ada kejelasan karena saat kejadian si pelaku menggunakan helm full face dan jaket kulit serta celana jeans hitam sehingga cukup menutup ciri-ciri fisiknya, yang pasti dia memiliki tinggi badan se Candra lah.. lumayan tinggi. Pihak Polisi sedang melacak keberadaan kendaraan asal kota Malang itu (huruf N adalah kode nopol Malang). Hal ini juga menjadi ironi sendiri buat gue, dimanapun gue berada, setiap gue melihat sepeda motor melintas gue jadi selalu tertarik untuk memperhatikan plat nomornya. Siap
"Heyy... apa yg terjadi? lo baik-baik aja kan?!" gue gedor pintunya berkali-kali"buka pintunya!" teriak gue karna panikBeberapa kali pun gue memutar handle pintu itu tetap tidak bergeming, tidak ada respon dari orang di dalam. Hanya suara tangisnya yg kini lenyap."minggir.." Candra memasang kuda-kudaGue menepi dan kemudian dia menghempaskan tubuhnya ke pintu berusaha mendobraknya."aaaaarrggggh..." suara Candra terdengar miris, dia terhuyung mundur sambil pegangi kaki kanannya yg kesakitan akibat benturan tadi."ah lo belagak di film laga aja," komentar gue melihat Candra yang gagal dan kesakitan.Aneh memang di saat seperti ini gue pengen ketawa, cairan merah di bawah pintu masih menjalar sampai nyaris menyentuh ujung kaki gue. Gue gedor lagi pintunya. tetap tidak ada jawaban."Bongkar aja jendelanya," Candra mengusulkan"nih ambil obengnya di bagasi motor gue." Kata Candra lagiDengan gelagapan gue menangkap
"DIAM!!!" Sebuah tamparan mendarat di pipi kiri wanita ituSeketika dia berhenti memberontak, dengan cukup terkejut gue menatap bergantian Candra dan wanita itu. Gue nggak nyangka Candra akan melakukan hal itu, iya menampar si wanita."Gue mau nolong lo... please lo jangan berontak terus," suara Candra terdengar bergetarWanita itu hanya diam dan nafasnya masih terengah-engah. Saat ini seprai kasur Candra yang berwarna putih sudah nyaris ber metamorfosa jadi warna merah gara-gara darah yang terus mengucur dari kaki si wanita ini."Ri, lo lap dulu lukanya gue bikin perban deh," Candra bergegas membuka lemari baju dan mulai menggunting di bagian depan dan belakang baju yang dia ambil"sorry," gue pegang kaki wanita itu dan mulai menyeka darah dari kakinya dengan secarik kaos yang diberikan Candra tadi.Luka di kaki dan tangannya cukup dalam. Meski sekarang darah yang mengucur nggak sebanyak di awal tadi, wanita itu meringis kesakitan saa
"Ri... bangun Ri....." sebuah tepukan di bahu membangunkan gue "ikut gue…" bisik candra.Kepala gue mendadak pening, gue baru saja tertidur selama beberapa menit. Tidur sebentar memang selalu nggak baik buat gue. Perlahan gue bangkit dan mengikuti Candra ke tembok balkon, bahkan saat itu gue masih nggak menyadari kalo pakaian gue masih belepotan darah wanita itu."Kita harus bereskan ini sebelum yang lain tau," kata Candra melirik percikan darah yg menghubungkan dua pintu kamar"gimana sama si Anna? kita perlu bawa dia ke rumah sakit." Jawab gue"enggak, lo tau sendiri kan dia ngotot nolak ke rumah sakit? Biar gue minta dokter kenalan gue ke sini. Makanya gue butuh bantuan lo, lo beresin kamarnya sementara gue yang jalan yaa?" jelas Candra dan gue mengangguk setuju.Dan lima menit kemudian mulailah gue membersihkan noda darah di lantai sekitar pintu ini."Gue nggak bakal lama kok magrib juga balik," kata Candra sambil be
"Jadi gimana nih selanjutnya?" tanya gue ke Candra sambil menatap tumpukan obat yang tadi diberikan dokter.Candra diam sebentar, "kita tunggu dia bangun dulu, baru kita bicarakan baik-baik apa yang harus kita lakukan," jawabnya.Potongan kain di kedua kakinya sudah diganti dengan perban oleh Dr. Yusuf, wanita berkaos kaki hitam itu kini jadi wanita "berkaos kaki" putih. Dalam hati gue sendiri nggak pernah menyangka kaos kaki hitam yang dipakainya ternyata untuk menutupi bekas-bekas luka yang dibuatnya sendiri. Muncul rasa iba sekaligus takut melihat sosok wanita yang sekarang sedang tertidur di kasur itu. Gue melangkah keluar kamar menuju tembok balkon favorit gue. Haah... betapa tadi gue masih meratapi kesedihan karena kehilangan Eci dan beberapa jam terakhir pikiran gue tersedot ke wanita berkelainan jiwa yang bernama Arianna. Sekarang waktunya gue mengistirahatkan otak gue, gue duduk di kursi kecil depan kamar yang gue taro di sudut tembok balkon. Sambil menjulurka