Masuk"Ruth, Gerald akan dimandikan, sebaiknya letakkan dia. Nanti kau bisa melihatnya lagi setelah selesai," ucap ibuku pelan.
"Tidak, Ma. Tidak! Gerald tidak boleh mandi dalam keadaan seperti ini, nanti dia kedinginan!"
"Ruth, lepaskan, nak. Ikhlaskan Gerald," bujuk ibuku sambil merangkul pundakku.
Aku segera mendorong ibuku dan berusaha melepaskan diri dari rangkulannya.
"Mama jangan bicara sembarangan. Gerald tidak bisa jauh dari aku. Kalau aku pergi, dia pasti akan menangis mencari aku. Jadi jangan mama suruh aku membiarkan dia sendirian!" teriakku sambil menangis.
"Biarkan saja dulu," ucap ayahku sambil menarik lengan ibuku agar menjauh dariku.
"Gerald, bangun yuk nak. Sebentar lagi kartun kesukaan Gerald mulai, sayang. Hari ini mama akan kasih Gerald nonton sepuasnya, tapi Gerald harus bangun, nak," ucapku sambil terus menangis.
Dadaku terasa sesak, tapi aku berusaha menahan raunganku agar Gerald bisa mendengar suaraku dengan jelas.
"Gerald, anak kesayangan mama, bangun nak. Kita jalan-jalan yuk, sayang. Bangun Gerald, jangan begini nak, nanti Gerald kedinginan!" pintaku terus dengan suara serak.
Aku tidak rela melepaskannya, aku tidak bisa membayangkan hari esok tanpa putraku di sisiku.
Aku mencium kepalanya, tapi aromanya berubah. Ini bukan aroma rambut putraku. Aku menjadi histeris, karena tidak bisa mencium aromanya.
"Gerald! Gerald! Maafkan mama, nak. Kesayangan mama, Gerald!"
***
Aku membuka mataku perlahan, aku terbangun di kamarku sendiri.
"Kakak sudah sadar?"
Adik iparku segera mendekatiku. Aku menatap wajahnya yang bengkak, dan pakaiannya yang serba hitam. Aku melihat tubuhku dan ternyata aku pun sudah memakai pakaian berwarna hitam.
"Kakak pingsan cukup lama. Tadi mama kakak yang mengganti pakaian kakak."
"Dimana semua orang?" tanyaku dengan suara parau.
"Di luar."
Aku segera turun dari tempat tidur dan berlari keluar.
Rumah kami ramai dengan orang-orang yang berpakaian hitam dan suara tangisan yang bersahut-sahutan.
"Gerald! Gerald," panggilku dengan panik.
Anak itu pasti ketakutan karena tidak bersamaku di tengah-tengah orang sebanyak ini. Tiba-tiba semua mata tertuju padaku, tapi aku tidak peduli. Aku harus mencari anakku.
"Gerald, dimana kamu?" panggilku sambil memeriksa sekelilingku.
Tiba-tiba mataku berhenti di depan sebuah peti kecil yang diletakkan tepat di tengah ruang tamu. Aku berjalan perlahan menuju peti itu dan langsung tersungkur jatuh begitu melihat putraku terbaring disana.
Aku merangkak perlahan mendekati peti itu dengan air mata yang mulai menetes ke pipiku. Dia disana, putraku Gerald tergeletak disana, dengan pakaian dan sepatu kesayangannya. Di samping tubuhnya ada begitu banyak mobil-mobilan kesukaannya.
Matanya tertutup rapat dan wajahnya tampak sangat pucat. Aku tidak pernah membayangkan akan melihatnya seperti ini. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tahu rasanya kehilangan harapan. Sepertinya semua gelap, pikiranku kosong dan aku tidak yakin dengan apa yang sedang terjadi.
Seseorang membantuku duduk di samping Alex suamiku, yang terus menangis. Alex tidak mengatakan apa-apa, dia hanya menangis dan menangis. Kami tidak saling bicara dan sibuk dengan perasaan sakit kami masing-masing.
"Kita akan menguburkan Gerald hari ini. Alex sudah setuju, bagaimana menurutmu?" tanya ibuku sambil berjongkok di hadapanku.
"Terserah saja," jawabku singkat tanpa ekspresi apapun.
"Kuatkan hatimu, Gerald sudah tidak sakit lagi."
Aku tahu ibuku mencoba untuk menghiburku tapi entah mengapa rasanya lebih mirip penghakiman bagiku. Aku hanya mengangguk, tanpa melepaskan pandanganku dari wajah Gerald.
Aku hanya terpaku menatap Gerald yang terlihat seperti sedang tidur dengan nyenyak. Aku tahu setelah dikuburkan maka aku tidak akan melihat wajah kecil itu lagi. Aku tidak boleh berhenti menatapnya, agar aku tidak melupakan wajahnya. Aku bahkan tidak ingin mengedipkan mataku.
Semua kenangan bersamanya terus muncul di kepalaku. Tangis pertamanya ketika lahir ke dunia ini. Tawa pertamanya, langkah pertamanya, kata pertamanya, bahkan amarah pertamanya. Pelukannya setiap kali aku memarahinya, tangisnya ketika dilarang melakukan sesuatu yang dia sukai, teriakkannya ketika ketakutan, senyum dan tawanya ketika melihat sesuatu yang menurutnya lucu.
Semua itu membuatku semakin terluka. Dadaku benar-benar sesak, hingga rasanya sulit untuk bernapas.
Aku menatap dada kecilnya yang tidak bergerak dan bibirnya yang membiru, dia tidak sama lagi dengan Gerald yang selama ini bersamaku. Saat itulah aku menyadari, kalau putraku Gerald sudah tiada. Dia sudah meninggalkanku dan setelah hari ini aku tidak akan pernah lagi bertemu dengannya.
"Ruth, apa kau masih disana?" panggil Sissy khawatir."Ya, aku masih di sini.""Ada apa?""Aku hanya sedang memikirkan ... Alex. Aku yakin kami tidak saling mencintai, lalu kenapa dia lakukan semua ini?""Kau yakin atau kau meyakinkan dirimu sendiri? Cobalah sekali-kali jujur pada dirimu sendiri tentang perasaanmu, Ruth. Tidak usah mencari alasan, memaksakan keadaan atau bahkan memanipulasi perasaanmu sendiri.""Aku-""Tidak usah menjelaskan apapun kepadaku. Sekarang renungkan saja sendiri. Nanti aku akan ke rumah sakit mengunjungimu. Sebelumnya, ada beberapa hal yang harus kuselesaikan dulu.""Baiklah," jawabku pelan.Aku duduk di luar kamar ayahku mencoba mencerna semua hal yang terjadi. Keputusanku untuk kembali bersama Bram dan menjauhi Alex. Sikap Bram yang sering membuatku tidak nyaman dan sikap Alex yang membuatku merasa pulang ke rumah yang sudah lama kutinggalkan.Hal yang paling menggangguku adalah, hasratku terhadap Alex tidak berubah malah semakin menjadi. Tadinya aku piki
"Ruth, Alex," panggil seseorang.Kami langsung berpaling ke arah orang yang memanggil kami."Mama," ucapku kaget."Kapan kalian sampai? Kenapa tidak masuk?" tanya ibuku sambil menatap kami bergantian."Selamat malam, bibi. Tadi kami sudah masuk, tapi karena bibi sedang tidur kami keluar agar tidak mengganggu," jawab Alex dengan santai."Kenapa mama keluar?" "Mama, mau mengambil air panas.""Sini bibi, aku saja yang ambilkan.""Tidak boleh. Pakai maskermu, jangan sampai ada yang melihatmu disini, atau mereka akan menyerbumu.""Tidak apa-apa, bibi. Aku-""Nak, aku tahu niat baikmu. Aku juga senang melihatmu kesini bersama Ruth. Tapi sekarang kau adalah artis besar. Kalau ada yang tahu kau kesini dan mengorek masa lalumu, karirmu bisa hancur.""Tapi-""Alex, pulanglah. Aku akan menemani mama," potongku sambil menatap Alex dengan sungguh-sungguh."Baiklah. Aku akan meminta Deo membawa kopermu kesini.""Bibi, aku pulang dulu. Tolong jaga kesehatan, bi. Jangan terlambat makan dan banyak-ban
"Ada apa?""Kau melamun? Aku bilang sebaiknya kau juga memakai masker dan topi, demi keamananmu.""Oh, baiklah," jawabku cepat sambil mengambil masker dan topi dari tangan manajer Alex, lalu segera mengeluarkan telepon genggamku untuk mengalihkan rasa gugup yang tiba-tiba muncul."Sebaiknya, tinggalkan saja dulu kopermu, agar kita bisa masuk dengan cepat. Nanti Deo akan membawakannya," lanjut Alex, aku hanya mengangguk.Akhirnya kami tiba di Community Medical, bayangan tentang tubuh Alex langsung menguap digantikan rasa sesak di dadaku. Semua bayangan tentang pengalamanku di rumah sakit ini tiba-tiba muncul lagi.Aku menutup mata dan memegang dadaku sambil mencoba bernapas dengan tenang."Apa kau bisa masuk ke sana?" tanya Alex khawatir. Aku membuka mataku perlahan lalu mengangguk dengan pelan."Pegang tanganku," pintanya sambil memberikan tangannya."Alex, kalau ada yang melihat-"Deo terlihat panik."Tidak apa-apa," potong Alex terus menatapku.Perlahan kuraih tangan Alex, lalu Ale
Aku menatap Alex dengan berbagai pikiran berkecambuk di kepalaku."Iya," jawabku singkat. Hanya itu yang sanggup keluar dari mulutku."Apa karena kau mencintainya atau karena kau merasa bersalah?" tanyanya lagi."Alex, tapi aku tidak ingin membicarakan masalah pribadiku denganmu, terutama tentang hal itu," tegasku tanpa basa-basi."Baiklah, aku mengerti. Lagipula saat ini kita hanya dua orang asing," jawabnya sambil tersenyum, sama sekali tidak terganggu dengan penolakanku, tapi ... kenapa rasanya sakit, melihatnya tidak peduli saat aku bersama orang lain?"Itu panggilan untuk kita. Ayo, kita masuk," ajak Alex dengan santai setelah mendengar pengumuman dari pengeras suara, seakan-akan kami memang dua orang asing yang baru bertemu dan tidak memiliki masa lalu apapun.Alex mempersilakan aku berjalan duluan, lalu mengikuti di belakangku. Dari ruang tunggu menuju ke pesawat, aku bisa mendengar beberapa orang menyapa Alex dengan cukup heboh, tapi aku tidak menengok ke belakang.Ternyata di
"Aku mau ke ibukota, ada sesuatu yang harus kuselesaikan di sana. Aku tidak menyangka akan melihatmu mengeluh disini," jawabnya sambil duduk di hadapanku."Apa Andine yang memberitahumu? Karena dia lah yang membelikanku tiket," tanyaku curiga."Lalu?" tanya Alex terlihat bingung."Maksudku, apa kau mengikutiku?""Untuk apa?" tanya Alex lagi, membuatku salah tingkah. Aku terlalu besar kepala. Alex benar, untuk apa dia mengikutiku? "Maaf aku pikir ... Aku sedang panik, jadi tidak bisa berpikir jernih, maaf," ucapku terbata-bata."Aku dengar dari mama apa yang terjadi dengan ayahmu," jawab Alex mengacuhkan kesalahanku.Aku hanya mengangguk, lagi-lagi airmata mulai mengalir ke pipiku.Alex segera mengeluarkan sapu tangan dan menyerahkannya kepadaku."Jangan terlalu khawatir. Paman adalah laki-laki yang kuat, aku yakin dia pasti akan mengalahkan penyakitnya," hibur Alex dengan tenang.Aku mengangguk sambil menyeka air mataku dengan sapu tangan yang Alex berikan. Sapu tangan dengan aroma y
"Papa, sakit?" tanyaku terkejut."Bagaimana mama bisa tahu?" lanjutku bertanya dengan jantung yang tiba-tiba berdetak cepat."Saat Alex bertemu denganmu, dia langsung memberitahu mama. Dia memberitahu kalau nenekmu suidah meninggal dan meminta mama menemui kedua orangtuamu untuk mengucapkan belasungkawa, sekaligus menanyakan kabar mereka."Aku diam tapi air mata mulai berkumpul di sekitar mataku."Saat itulah ibumu menceritakan tentang pertengkaran kalian dan penyakit ayahmu.""Apakah sangat parah?" tanyaku berhati-hati. Ibu Alex mengangguk."Bukankah lebih baik kalau kau menghubungi ibumu dan bicara dengannya?""Tapi-""Kalau begitu, bagaimana kalau aku yang menghubunginya dan memberitahu dia, kalau kau bersamaku?" Aku mengangguk. Semarah-marahnya aku tidak mungkin aku mengacuhkan ayahku yang sakit parah."Halo nyonya, apa kabar?""Aku sedang bersama Ruth sekarang, apakah anda mau bicara dengannya?"Aku diam saja menunggu reaksi ibuku. Tiba-tiba ibu Alex menyerahkan telepon genggamn







