Share

9. Shelia Positif Narkotika

Sheila juga terkejut. Ia menoleh pada Rendi. Namun ia merasa pandangan yang tajam justru datang dari Siska. Siska merasa kepalanya panas.

“Kenapa kamu kabur waktu kejadian itu? Tidak menolong?” tandas Siska lebih tajam.

“Malam itu aku buru-buru,” jelas Sheila lemah.

“Karena buru-buru itulah kamu menabrak orang. Pertanyaan aku kenapa kamu tidak berhenti? Tidak menolong korban yang kamu tabrak.”

Sheila diam. Matanya mengerjap-ngerjap.

“Kamu tahu kan menabrak orang? Atau kamu lagi mabuk malam itu? Narkoba? Tidak sadar kalau mobil yang kamu menabrak orang,” cecar Siska dengan mata tidak lepas dari wajah Sheila.

Sheila menggeleng cepat-cepat. “Tidak. Tidak,” ujarnya kencang. Ia tidak tabrakan itu dikaitkan pula dengan narkotika.

Siska terus mendesak. “Lalu kenapa kabur?”

“Takut."

"Takut apa?"

"Aku takut dihakimi orang ramai.”

“Kamu mestinya bertanggung jawab. Apalagi yang menjadi korban mengalami luka-luka dan patah kaki. Kamu lihat kan bagaimana kondisi korbannya? Terkapar di sini,” ujarnya dengan muka sangat serius.

Siska mengalihkan pandangan ke Rendi. "Kasus tabrakan ini sampai ke polisi kan?” tanyanya yang dijawab Rendi dengan anggukan. “Ya, bagusnya diselesaikan saja secara hukum. Siapa yang salah akan ketahuan nanti. Juga untuk pelajaran bagi orang-orang yang tidak bertanggungjawab.”

HP Siska berdering. Usai berbicara beberapa patah kata, ia memandangi Shelia dan Rendi bergantian.

"Aku pamit dulu ya. Kelupaan. Ada janji jumpa sama teman," jelasnya sambil menyentuh lengan Rendi. Ia hanya menganggukan kaku tanpa suara pada Sheila.

Siska pergi, Sheila lega. Terdengar ia melepaskan nafas beberapa kali. Shelia duduk di kursi tempat duduk Siska sebelumnya. Hanya sekitar semeter dari tempat tidur Rendi. Ia mau berbicara. Beberapa kali memandangi Rendi. Rendi menunggu apa yang akan dikatakan gadis itu.

“Dia itu pacar kamu?” tanya kemudian.

“Kenapa?”

“Marah betul dia sama aku.”

Rendi tidak memberikan tanggapan. Tidak perlu dijelaskan. Sheila diam saja. Kesimpilannya, diam berarti iya. Gadis itu menautkan ujung jari di depan mulut. Menoleh sekilas.

"Aku bisa minta teken surat lagi?" tanyanya ragu.

"Surat itu sudah aku teken kan?"

"Iya. Tapi masih perlu surat lainnya."

"Kenapa tidak pakai preman lagi?" tanya Rendi. Kalau preman kalian datang besok, akan berhadapan terlebih dahulu dengan anak-anak Dojo sebelum masuk ke kamar ini, kata Rendi dalam hati. Pasti tidak akan bisa masuk mereka.

"Maaf. Papa itu. Mereka anggota Papa. Bukan preman."

"Bilang ke Papa kamu kalau nyuruh orang yang bisa dipercaya."

"Kenapa?"

"Bilang ja begitu!"

Shelia diam dengan pandangan heran. Ia enggan bertanya lagi. Tak tahu juga apa yang mesti disampaikan ke Papa. Ia pun tidak kenal siapa yang disuruh Papa menjumpai Rendi.

"Mau surat apa lagi?"

"Cabut surat di polisi."

"Mencabut laporan polisi tidak mudah. Aku harus di sana memberikan penjelasan. Berikan surat perdamaian. Baru bisa diajukan pencabutan laporan. Mesti tunggu pengobatan di sini selesai," tutur Rendi

"Kata Papa bisa cepat," kilah Sheila.

"Pakai ancam-ancam lagi? Mau pakai preman lagi? Kalau begitu mungkin bisa cepat."

Sheila menggeleng. "Bukan. Maksud aku..."

"Cobalah kalian urus kalau bisa.”

***

“Aku dapat berita bagus, Bro. Ini benar-benar berita penting!” cerocos Fadely begitu masuk dalam kamar. Ia datang bersama Hernan, kawan kost lainnya.

Fadely menarik kursi dan segera duduk. Ia menoleh pada Hernan. “Nan, di sini sama dengan gedung dewan. Kursi sangat mahal dan sudah mendapatkanya. Makanya kau berdiri saja. Cari modal untuk mendapatkan kursi,” tuturnya.

Hernan menanggapi dengan senyuman. “Tidak susah. Campur saja sianida pada kopimu. Kamu almarhum, aku lakukan PAW. Dapat kan kursimu itu. Aku lagi yang duduk di situ.”

“Ah, betul juga ya. Jadi, aku harus hati-hati.”

“Tidak hanya hati-hati, tetapi juga harus sering bagi-bagi dana aspirasi.”

Fadely terkekeh. Rendi pun tidak bisa menahan tawanya. “Betul. Betul itu. Kalau mau aman harus berpandai-pandai. Tidak bisa pandai saja,” ujarnya mengikuti debat kedua rekannya.

“Nah, sekarang bagilah dana aspirasi itu,” tagih Hernan segera.

Fadely mengibaskan tangannya. “Aman itu. Jangan di sini dibaginya. Di luar nanti.”

“Kenapa?”

“Kalau di sini ntar jadi berita pula. Terpampang pula beritanya di media online, Bro ini,” ujar Fadely.

“Makanya itu harus berpandai-pandai. Kalau kalian berpandai-pandai dengan aku, tentu aku bisa memakluminya. Ia akan menjadi fakta yang tidak diperlu diberitakan. Bagaimana?” tawar Rendi.

“Setuju!” angguk Hernan dan Fadely bersamaan.

“Jadi, berita apa yang Bro bawa?” tanya Rendi.

“Berita yang sangat penting. Sangat menggemparkan. Benar-benar akan menjadi pembicaraan banyak orang”

“Berita apa?”

Fadely menahan senyum. “Kalau di koran cetak letaknya bisa di HL halaman satu. Jadi berita utama.”

“Ya. Berita apa?” tanya Rendi makin tertarik.

Fadely masih berliku-liku. “Bro tahu, kalau di tivi ini akan menjadi berita breaking news. Berita yang akan diupdate terus menerus. Tiap jam diberitakan."

Tidak hanya Rendi, Hernan pun mulai penasaran. “Jangan berputar-putar juga. Berita apa?”

Fadely tertawa panjang. Seakan tak peduli dengan Rendi yang tidak bisa mengurangi ketertarikannya. Tidak peduli dengan Hernan yang keningnya makin banyak kerutnya.

“Cepatlah Bro. Jangan bikin aku sampai mati penasaran pula,” kata Hernan yang matanya membulat. Kondisi yang sama juga terjadi dengan Rendi.

“Berita tentang Sheila.” Fadely masih berputar-putar. Belum mau masuk ke titik utama.

“Siapa Sheila?” tanya Hernan.

“Gadis penabrak Rendi”

Fadely diam. Ia mengunci mulut. Ia memandangi Hernan. Lama. Berpindah pada Rendi. Dengan pandangan yang lama pula. Berpindah lagi. Dari Rendi ke Hernan. Terlihat gerahamnya bergerak-gerak. Menahan agar tidak terbuka. Berpindah lagi pandangannya dari Hernan ke Rendi.

Fadely melepaskan nafas. “Sheila... Sheila itu…” Ia mengantung kata. Beberapa lama. Hernan menunggu dengan mata bulat. Rendi menanti dengan mata melotot.

"Shelia itu positif narkotika," ujar Fadely singkat dan pelan.

Meski singkat dan pelan, namun terdengar bagai letusan bom. Terdengar menggelegar. Rendy melotot dengan mata tidak percaya. Sementara Hernan menggeleng bingung. Ia tidak kenal orangnya. Siapa yang narkotika?

Fadely menarik nafas. Ia melanjutkan penjelasannya. "Ia positif memakai narkotika saat tabrakan itu terjadi. Begitu diketahui polisi ia pelaku tabrakan, langsung dilakukan tes urine. Dan hasilnya positif," jelas Fadely.

"Sumber informasinya bisa dipercaya? A satu?" tanya Rendi yang masih belum percaya dengan kabar yang disampaikan Fadely.

Sebagai orang media massa, aktif sebagai koresponden media online, Rendi sangat paham dengan macam-macam sumber informasi yang layak dijadikan berita. Mana yang bisa dipercaya. Mana yang hoaks.

"Tidak mungkin kan polisi memberikan informasi kalau tidak A satu. Bro pasti lebih tahu tentang itu."

"Bro dapat informasi dari dalam?"

Fadely tersenyum miring. "Tidak mungkin dapat informasi dari luar."

Rendi membenarkan. "Dari angota Reskrim?"

"Bang Kornel yang ngomong."

Rendi kenal dengan Bang Kornel. Ia anggota Reskrim yang senior. Bisa dipercaya bila informasi darinya.

"Lalu bagaimana prosesnya lagi?" tanya Hernan.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status