Share

13. Datang pun Tidak Mereka

Mayra pun berdiri menjangkau tangan Shelia. Gadis itu dibawanya duduk kembali. "Duduk dulu. Jangan emosi," ujarnya lembut.

Shelia menurut dan kembali duduk. Tapi marahnya belum lenyap. "Aku itu sudah minta maaf dan mau bertanggungjawab. Tapi kalau situ tidak mau menerimanya ya terserah." dengusnya tanpa memandang Rendi.

Rendi memandangi Shelia. "Hanya soal uang itu. Lainnya sudah selesai. Tidak ada masalah."

"Oke kalau begitu!"

Mayra menengahi. "Sudah-sudah. Tidak perlu dibahas. Yang penting sudah ada kesepakatan damai itu," ujarnya berencana menyelesaikan ketegangan ini dengan caranya sendiri. Ia tidak ingin terjadi pertikaian di antara kedua orang yang dekat denganya.

Ketika kemudian Shelia pamit, ia pun tidak menahan lagi. "Kapan-kapan aku ke kantor kamu ya. Masih di Jalan Gunung Merapi itu kan?" tanya Mayra yang dijawab Shelia dengan anggukan.

"Kenapa begitu sewotnya?" tanya Mayra pada Rendi sepeninggal Shelia. Ia tidak habis pikir kenapa Rendi tidak mau bertolak-angsur sedikit pun.

"Sombong!"

Mayra tersenyum. "Aku sudah lama kenal dia. Jadi tidak heran lagi dengan sikapnya. Tidak salah sebutannya Lia CB."

***

"Ya, udah. Biarkan saja. Kalau itu maunya," kata Mama menanggapi laporan Shelia perihal pertemuannya dengan Rendi bersama Mayra yang memastikan ia tidak berubah sikap. "Belagu betul dia. Memangnya dia siapa!"

Shelia setuju dengan Mama. Ia malah gregetan betul sama Rendi yang menurutnya jual mahal yang tidak jelas juntrungannya. Beralasan dengan prinsip yang entah betul atau tidak prinsip itu masih bisa dipakai.

"Kalau soal di Kepolisian, Ma?"

"Kan sudah diurus sama Siahaan."

"Sudah selesai. Tidak ada masalah lagi?"

Mama tidak menjawab. Ia menjangkau HP di meja. Ia menghubungi seseorang. "Di polisi itu sudah selesai semua kan? Tidak adalah masalah lagi?" tanyanya.

Mama mendengarkan.

"Benar sudah selesai semua ya. Oke. Oke makasih ya," ujar Mami seraya menutup HP. "Kata Siahaan sudah selesai semua. Tidak ada masalah lagi. Dah, tidak perlu kamu risaukan lagi. Biarkan saja dia itu tidak mau terima. Malah bagus."

"Tidak keluar uang kita," tambah Shelia mendukung.

"Kata Siahaan pula kecelakaan ini tidak menyebabkan korban meninggal. Jadi kalau sudah ada kesepakatan damai, bisa dihentikan tuntutan dan proses hukumnya. Beda kalau ada yang meninggal. Meski sudah damai tapi proses hukumnya terus berlanjut," jelas Mama.

"Begitu ya."

Mama menaikkan dagunya. "Kamu dah tahu siapa dia?"

Shelia mengangguk. "Dia itu mahasiswa Sastra Inggris. Dia buka les privat Bahasa Inggris. Datang ke rumah murid-muridnya. Nah, ketabrak aku kemarin itu dia lagi pulang memberikan les," jelas Shelia.

"Bukan orang Bandung?"

"Mahasiswa perantauan dia. Kampungnya di Riau," tambah Shelia. "Tapi..." Ia ragu melanjutkan kalimatnya.

"Kenapa?"

"Dia itu juga wartawan, Ma."

Mama kaget. "Wartawan?"

Shelia membenarkan dengan anggukan kepala.

"Wartawan mana dia?"

"Katanya media online. Tapi tidak tahu pasti juga apa medianya."

Mama menyandarkan badannya. Ia merasa penyelesaian terhadap kasus kecelakaan Shelia sepertinya tidak akan berjalan mulus. Tidak semudah bayangan semula. Profesinya sebagai wartawan tentu tidak bisa dipandang sebelah mata.

"Papa kamu sudah tahu?"

Shelia menggeleng. "Belum."

"Kasih tau Papa. Apa tanggapannya?"

Dan tanggapan Papa biasa-biasa saja. Tidak terlihat kaget sedikit pun. Ia malah tertawa.

"Bagus itu," ujarnya.

"Bagus kenapa?" tanya Shelia heran.

"Menguji siapa yang kuat channelnya di Polresta itu," kata Papa pula.

Papa orangnya keras kepala juga. Tidak suka ditantang. Dan ia merasa ditantang dengan penolakan dari Rendi itu meski tidak ada yang menyampaikannya.

***

Hari ini, Rendi keluar rumah sakit. Ia sudah boleh pulang. Dan menjalani perawatan sambil jalan.

Pagi-pagi sudah diberitahunya Tante Rieka. Juga Fadely dan Hernan. Dari keterangan pihak administrasi rumah sakit total biaya pengobatannya Rp15,5 juta.

Rendi senang. Itu berarti uang sumbangan dari para orangtua murid bisa menanggulangi. Bahkan ada lebihnya. Dengan demikian, ia pun tidak berpikir dua kali untuk menolak Shelia bila masih berkinginan menanggung biaya rumah sakitnya.

"Sudah Tante selesaikan pembayaran rumah sakit. Ini kwitansi dan surat-suratnya," ujar Tante Rieka menyerahkan amplop berwarna coklat.

Rendi membuka amplop. Ada juga uang di dalamnya. "Itu lebihnya. Kemarin itu terkumpul Rp19,5 juta," jelas Tante Rieka tersenyum.

Kemudian datang Fadely dan Hernan. Juga ikut Siska bersama mereka.

Rendi memperkenalkan mereka. "Tan, ini teman-teman kuliah dan kosan aku. Aku pulang nanti bersama mereka," katanya.

Tante Rieka pamit. Ia mengaku akan kembal kantor. Bekerja.

"Cantik tantenya, Bro," ujar Fadely begitu Tante Rieka menghilang di balik pintu. Untuk orang-orang berwajah mulus, Fadely memang tidak bisa menahan diri untuk tidak memberikan apresiasi sejujurnya.

Rendi tersenyum. "Berminat?"

"Itu penilaian, Bro. Bukannya menyampaikan minat."

"Itu orang tua murid aku," jelas Rendi.

"Administrasi rumah sakit untuk kepulangan sudah selesai?" tanya Siska.

"Ini baru dikasih Tante Rieka." Rendi mengangkat amplop di tangannya.

"Tante itu yang selesaikan?" tanya Siska heran.

"Bersama. Para orang tua murid aku urunan. Terkumpul bisa untuk bayar rumah sakit. Hehe, malah ada lebihnya," sebut Rendi menjelaskan.

"Shelia tidak membantu?" Siska kembali bertanya.

Rendi tersenyum kecut. "Tidak perlu. Dari mereka itu malah ada lebihnya. Ini dia," kata Rendi mengeluarkan lembaran uang kertas merah di dalam amplop memperlihatkan bukti.

"Jadi mereka tidak ada bantu samasekali?" Fadely berkerut keningnya. "Tidak bisa itu. Mereka harus bertanggung jawab juga," tambah Hernan.

"Toh ini sudah lebih dari cukup."

"Bro, ini bukan soal lebih atau kurang. Ini soal tanggungjawab. Masak menabrak orang dan korbannya sampai patah, tapi lengah begitu saja. Samasekali tidak peduli," kata Fadely yang tidak bisa menerima penjelasan Rendi.

"Datang pun tidak mereka," ujar Siska sependapat.

"Ini perlu diberikan pelajaran, Bro. Tidak bisa kita dianggap remeh begitu."

"Ya," dukung Fadely. "Bisa kita persulit mereka nanti di Kepolisian. Dipertanyakan saja soal positif narkotika itu akan panjang masalahnya," sebutnya.

Siska melotot dengan mulut terbuka. "Jadi, dia itu positif narkotika? Saat tabrakan itu terjadi?"

Rendi diam saja. Fadely yang mengangguk. "Betul! Positif pada hari kejadian itu!" tegasnya.

"Di Kepolisian tidak dilanjutkan?" tanya Siska lagi.

"Sepertinya tidak."

"Bro mestinya mempermasalahkan pada Kapolresta."

"Bapaknya bukan orang biasa, Bro. Pasti kenal juga dengan Kapolresta."

"Tapi kita berada di pihak yang benar. Dan kita menjadi korban."

"Bro tak berani?"

Rendi terdiam. Tidak salah apa yang disampaikan mereka. Tapi ini bukan soal takut atau berani. Ketiganya menunggu tanggapan Rendi.

"Mungkin kita putuska nanti. Setelah berada di rumah kita atur lagi bagaimana baiknya," sebut Rendi.

"Oke soal sikap kelanjutannya. Tapi untuk kepedulian bantu biaya pengobatan?"

"Aku putuskan tidak perlu dari mereka!"

Fadely, Hernan dan Siska saling pandang. Mereka tidak sependapat dengan putusan Rendi. Hernan dan Siska memberi kode agar Fadely saja yang ngomong.

Fadely segera buka mulut. Namun suaranya tertelan bunyi ketukan di pintu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status