Share

10. Tak Mau dengan Perantara

"Kasus tabrakan dan narkotika itu terus dilanjutkan prosesnya. Untuk kecelakaan polisi menyarankan berdamai saja. Sementara untuk narkotika petugas menelusuri lebih lanjut dari mana sumbernya, kapan ia memakai, apa sudah lama menggunakan dan seterusnya. Jadi, akan panjang prosesnya," sebut Fadely lagi.

"Mereka tahu aku korban tabrakan itu?"

"Karena tahu Bro itu petugas menyarankan agar segera disepakati jalan damai."

Rendi merasa rugi besar kehilangan HP. Putus kontak sama sekali dengan orang-orang yang diperlukannya. Ia kenal dengan Kapolresta dan sejumlah Kasat. Kenal dekat dengan Kasat Lantas. Tapi nomor kontak mereka hilang semua. Tidak bisa menghubungi mereka.

"Bakal menarik juga kasusnya. Anak pengusaha sukses menabrak seorang mahasiswa hingga mengalami patah kaki. Si penabrak diduga akibat pengaruh narkotika," tutur Hernan. "Berita yang sangat menarik."

"Belum ada beritanya kan?"

"Sepertinya belum."

"Apa yang kubilang tadi akan menjadi berita yang sangat menarik," ujar Fadely tertawa membenarkan prediksinya yang juga didukung oleh Hernan.

"Orang tuanya pasti tidak akan tinggal diam."

"Pasti ikut campur orang tuanya. Tidak mungkin tidak," kata Rendi. Ia beralasan, seperti yang pernah dijelaskan Fadely, orang tua Shelia adalah pengusaha sukses yang cukup disegani.

Berapa pun akan dikeluarkannya uang agar kasus anaknya tidak sampai ke proses hukum.

Fadely tertawa. "Tentulah ada. Itu makanya disarankan berdamai. Lalu untuk kasus narkotika mungkin akhirnya diputuskan melakukan rehabilitasi dan pembinaan saja. Kalau bukan orang berada bapaknya, o dah masuk dia dari kemarin."

Belum ekspos dan belum pula ada wartawan yang tahu, sangat memungkinkan perkara tabrakan itu diakhiri dengan damai. Bisa jadi karena permintaan bapak di gadis itu, tidak dilakukan ekspos dan tidak dishare ke wartawan.

"Siapa sih bapaknya?" tanya Hernan.

"Pengusaha sukses Kota Bandung. Banyak bisnisnya."

Hernan mengangguk dengan mulut membulat. O, katanya yang mengenal nama tapi belum pernah jumpa dengannya pengusaha terkenal itu.

"Ia baru semalam ke sini," jelas Rendi kemudian. Ia merasa tidak perlu menyembunyikan sesuatu masalah dari kawan-kawaan ini. Justru akan menjadi masalah bila tidak diberitahu.

"Siapa? Bapak gadis itu?"

"Bukan. Shelia."

"Gadis penabrak itu ke sini lagi? Jumpa Bro?"

Rendi mengangguk. "Iya. Jumpa dengan Siska dia di sini. Ditatar sama Siska dia."

"Ngapain dia ke sini?"

"Minta perdamaian dan mencabut laporan di polisi."

"Ah, benar kan? Mereka pasti berupaya sekuat tenaga agar bisa damai. Bahkan sampai mau nyogok Bro itu. Bila kasus kecelakaan selesai, tentu mereka bisa fokus lagi menyelesaikan yang masalah narkotikanya. Trus apa tanggapan Bro?"

"Belum aku putuskan."

Fadely kembali tersenyum. "Bagus itu." Ia mengangguk-anggukkan kepala. "Kita tunggu apa yang akan mereka lakukan."

Bukan dengan tujuan mencari kesempatan dalam kesempitan, namun menurut Fadely, mereka perlu diberi pelajaran. Agar tidak seenaknya melepaskan tanggung jawab. Tidak semua masalah pula bisa diselesaikan dengan uang. Pengusa sukses itu perlu tahu tentang itu.

"Tentu harus ada hitungan-hitungan bila ingin berdamai. Jangan asal damai begitu saja," ujar Hernan seakan bermaksud mengingatkan. "Ini juga kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan," tambahnya tertawa bermakna.

"Maksud Bro pemerasan?"

Hernan memencongkan bibirnya. "Bukan pemerasan. Tapi sepakat dengan win win solution. Mengertikan maksudnya?"

"Ya itu makanya kita tunggu saja apa yang akan mereka mainkan. Kita bersikap pasif saja."

Namun Rendi tidak suka dengan maksud itu. "Tak perlu sampai pada pemerasan begitu," tanggap Rendi menolak. "Tidak berkah uangnya."

"Win win solution. Tidak ada yang merasa kalah," kata Hernan lagi. "Tidak ada peras-memeras."

"Kita tunggu saja. Para preman itu tidak datang lagi kan?"

Rendi menggeleng.

"Aku juga belum sempat tanya adik-adik apa ada orang yang dicegah mereka masuk ke kamar ini," kata Fadely pula. "Mudah-mudah tidak ada."

Belum sampai 10 menit kemudian, murid Fadely di Dojo yang berjaga di luar kamar, masuk. Ia melapor pada Fadely.

"Ada dua yang mau masuk. Sepertinya mencurigakan. Kami tanyai mereka marah-marah," jelasnya.

"Tak apa. Suruh mereka masuk," perintah Fadely.

Beberapa saat berikutnya, dua pria berbadan kekar pakai topi dan berjaket kulit hitam, masuk. Fadely dan Hernan mengangguk dengan sopan layaknya menerima tamu yang akan membezuk. Tapi sikap keduanya tidak bagai orang mau melihat orang sakit. Kaku sekali.

Kedua pria itu mendekat ke ujung tempat tidur Rendi. Fadely dan Hernan bergeser ke dekat pintu. Mereka bukan para pria yang sebelumnya datang mengancam dan membawa uang damai Rp10 juta.

"Kami mau menawarkan perdamaian itu dengan tidak melanjutkan prosesnya di Kepolisian. Damai dan tidak diperpanjang. Bagaimana?" ujar salah seorang.

Pria lainnya yang bertubuh agak gemuk mendekat ke samping kepala Rendi. "Ada uang damainya," bisiknya dekat telinga Rendi dengan maksud agar tidak didengar orang lain.

Walau tidak mendengarkan, Fadely paham maksud bisikan itu. Ia bisa membaca gerak bibir pria itu. "Apa yang disampaikan Bro? Soal kecelakaan itu kan?" tanyanya. "Tidak perlu sembunyi-sembunyi kalau soal itu."

"Abang-abang ini mengajukan kesepakatan untuk berdamai," jelas Rendi.

"O, bagus itu," kata Fadely seraya mendekat. "Kami hargai itu. Tapi kami maunya bicara langsung dengan orang tua Shelia."

"Sama saja itu. Kami perwakilan keluarganya."

"Tidak sama itu. Akan beda cara dan hasil kesepakatannya bila tidak langsung dengan yang bersangkutan." tegas Fadely pula.

"Orang tuanya lagi di luar negeri," alasan pria berbadan gendut.

"Kami tunggu. Jumpa nanti setelah mereka pulang dari luar negeri." Fadely tetap bertahan.

Kedua orang suruhan itu saling pandang. Mereka tentu tidak berani memaksa Rendi lagi. Sebab Rendi ditemani dua orang kawannya yang sudah mereka taksir tidak mudah pula meredamnya.

Merasa tidak punya peluang untuk bernegosiasi lagi, kedua pria itu pamit. Mereka berlalu dengan langkah kaku.

***

Shelia menarik kursi. Lalu duduk menghempas badan pantat. Ia menjangkau gelas minuman yang sudah ada di atas meja. Meneguknya seraya menaikkan sebelah kaki ke atas kursi.

Tidak hanya minuman. Di atas meja kaca hitam bulat juga terhidang sarapan pagi. Bubur kacang hijau. Roti. Ada pula buah apel dan pisang.

Sheila tidak berselera dengan kuliner yang ada di atas meja. Ia kembali meneguk susu coklat hangat. Kemudian mencelupkan sepotong roti tawar ke minuman. Ternyata enak. Ia nambah. Diambilnya sepotong roti lagi.

Ia menelan roti dengan menengadahkan wajah. Takut potongan roti yang sudah basah dengan susu coklat jatuh. Asyik juga cara makan begitu. Berlangsung dengan cepat dan berburu dengan waktu. Terlambat sedetik alamat roti yang sudah basah itu jatuh di atas pangkuan.

"Gaya makan kamu kayak preman di warung," gerutu Papa yang tiba-tiba sudah berada di depan meja.

Shelia memandang nyegir. "Enak duduk macam ni, Pa," kilah Shelia tanpa menurunkan kaki kanannya.

Papa duduk. Ia meneguk kopi susu. "Tidak sarapan kamu?" tanya Papa saat menyendok bubur kacang hijau ke mangkok yang sudah berisi dua potong roti tawar.

Shelia menggeleng. "Tak selera dengan kacang hijau," alasannya.

Papa justru sangat berselera. Suapan sendok silih berganti naik ke mulutnya. Ia tampak menikmatinya. "Mama kamu kapan pulangnya?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status