Share

8. Tawaran Siska

Rend tidak hendak membantah. Ia paham watak Fadely. Ia menunggu penjelasan dari pria berambut pendek itu.

"Aku yakin mereka pasti datang lagi. Masih banyak surat yang mesti ditandatangani untuk menyelesaikan perdamaian. Apalagi laporan di Kepolisian belum dicabut," jelasnya.

Sesungguhnya Rendi juga tidak takut menghadapi mereka. Hanya karena kondisi kakinya yang menyebabkan ia mesti menahan diri. Terpaksa menuruti kemauan mereka.

Siska kemudian datang. Sendirian. Ia juga membawa sejumlah buah-buahan.

"Wah, bisa buka kedai buah ini, Bro. Nih, datang lagi tambahan pasokan," ujar Fadely melihat

Siska meletakkan buah yang dibawanya pada keranjang rotan di atas meja. Siska tersenyum.

"Mesti di pintu ditempel pengumuman dilarang bawa buah. Tapi ditulis disarankan membawa angpao saja."

"Bagus idenya. Aku buatkan pengumumannya ya?" tanya Siska tertawa. Rendi dan Fadely juga ikut tergelak.

"Hei, kalian pasti belum saling kenal kan walau sudah jumpa?" tanya Rendi. "Bro, ini Siska teman aku kuliah. Bro ini namany Fadely. Teman satu kosan. Tapi jarang di rumah. Ia sibuk sekali," jelas Rendi.

Fadely dan Siska bersalaman. "Kalau punya teman cantik itu jangan diam saja. Mesti dikenalkan juga," ujar Fadely memandangi Rendi usai menjabat tangan Siska.

"Itu makanya aku kenalkan sekarang."

"Oh ya, betul juga."

Fadely berdiri. Ia menyerahkan kursi untuk diduduki Siska. "Terima kasih," ujarnya.

"Kamar Bro ini kayaknya sama dengan Gedung DPRD," ujar Fadely pula.

"Kenapa?"

"Sangat terbatas kursi. Dan susah mendapatkannya."

"Ya. Bahkan harus mengeluarkan uang banyak untuk mencari satu kursi," kata Siska menimpali.

"Di gedung dewan harus sogok menyogok beli suara untuk mendapatkannya. Di sini mesti bawa buah-buahan atau kue untuk bisa dapat kursi. Sama kan? Itu makanya aku segera berdiri. Tidak membawa apa-apa. Juga tidak ada uang untuk beli suara," tutur Fadely berwajah serius.

Rendi dan Siska saling pandang terkekeh. "Betul. Betul!" angguk Siska.

Fadely menahan tawanya. "Oke! Aku cabut dulu ya. Ada kerjaan," ujarnya seraya melangkah tanpa merasa perlu menunggu persetujuan. Ia segera menghilang di balik pintu.

"Kocak orangnya," kata Siska memandangi kepergian Fadely.

"Selalu ramai kalau ada dia. Tidak pernah habis bahan dia."

"Masih kuliah juga?"

"Sekolah Tinggi Komputer. Hampir selesai. Sudah kerja di perusahaan IT dia," jelas Rendi tentang sohibnya.

"Bagaimana dengan lesnya?" tanya Rendi pula.

"Lancar," sebut Siska tersenyum. "Menarik juga mengajarinya dengan ucapan yang masih belepotan. Tapi mereka sangat antusias belajar. Saling berebutan mau tampil," tutur Siska mengingat keceriaan kelas les yang ditanganinya beberapa hari belakangan.

"Sangat menyenangkan itu kan?"

"Ya. Tapi tentu sangat capek kalau mendatangi rumah mereka satu per satu. Seperti yang kamu lakukan itu."

"Tidak juga. Asal pandai atur waktu," terang Rendi yang sudah setahun lebih memberikan les privat datang ke rumah para muridnya. Namun itu tidak merasa capek. "Jalani dengan santai saja."

"Kenapa tidak dikumpulkan satu tempat?"

Rendi memiringkan mata. "Nih lagi ngumpulin uang untuk sewa tempat."

"Ada rencana untuk bikin kursus?"

Rendi tersenyum. "Itu rencana jangka panjangnya."

Siska mengerjapkan mata memandangi tembok. Ia memikirkan sesuatu. Setelah beberapa lama terdiam, ia berkata, "Bagaimana kalau kita bekerjasama?" tanyanya kemudian.

"Maksudnya?" Rendi menegakkan kepala.

"Kita berkerjasama. Buat lembaga kursus Bahasa Inggris. Aku yang carikan modal. Kamu yang mengelola kursusnya."

Rendi tertarik. Ia bersandar pada bantal di ujung tempat tidur. "Serius nih?" Matanya memandang tepat pada mata Siska.

"Serius," kata Siska mengangguk.

Siska memperlihatkan wajah keseriusannya. Menempatkan matanya di wajah Rendi. "Kira-kita berapa modalnya?"

Rendi kaget. Sudah bertanya tentang angka, berarti benar-benar serius. Paling tidak, serius bertanya. Ia pun bingung menjawab.

Membuat tempat kursus Bahasa Inggris adalah cita-cita Rendi. Bisa dikatakan, impiannya. Semenjak ia menjadi mahasiswa Fakultas Sastra Inggris ia sudah berangan-angan mendirikan lembaga pendidikan kursus Bahasa Inggris. Sama dengan kesimpulan banyak orang, Rendi sepakat Bahasa Inggris adalah salah satu sarana untuk melangkah ke dunia. Harus dipunyai untuk maju.

Alasan utamanya memilih kuliah di Sastra Inggris adalah untuk melangkah ke dunia yang lebih luas.

Bila banyak yang mendirikan atau mengembangkan kursus Bahasa Inggris, tentu akan makin banyak anak-anak negeri ini yang punya sarana untuk melangkah ke dunia. Tawaran Siska mesti disambut dengan suka cita.

"Kenapa diam?" usik Siska pula.

Rendi tersentak dari pikirannya. "Ntar aku siapkan rincianya," ujar Rendi buru-buru.

"Sederhana saja. Jangan terlalu besar tempatnya. Anggaran Rp200 juta bisa?"

"Sangat bisa!" sambar Rendi cepat. "Bila anggarannya segitu, sarana dan prasaranannya bisa menyesuaikan. Tapi ini serius kan?"

Rendi masih belum percaya sepenuhnya. impian besarnya akan segera terwujud berawal dari pembicaraan ringan saja.

"Belum percaya sama aku?"

Rendi menyesal menanyakan itu. Ia tidak ingin Siska menjadi tidak percaya pula padanya.

"Bukan tidak percaya. Tapi merasa kaget saja. Suprise sekali!" ujar tanpa menyembunyikan raut wajahnya yang bercahaya.

--

"Akan kusiapkan segera. Proposal dan rencana anggaran biayanya," janji Rendi.

"Tidak perlu terburu-buru pula. Sehatkan dulu kakinya," kata Siska yang merasa senang melihat wajah Rendi memancarkan kegembiraan.

"Kata dokter, paling lama dua minggu aku sudah bisa menjalani perawatan di rumah. Sudah bisa menggunakan tongkat kruk," jelas Rendi. Ia ingin sekali bisa keluar dari rumah sakit secepatnya. Terasa gatal tangannya untuk menyiapkan proposal.

Siska tertawa. "Santai saja. Jangan kebelet betul."

Disebutkan Siska ia sudah lama berencana mendidikan lembaga kursus Bahasa Inggris. Namun ia merasa perlu waktu meyakinkan Papanya kalau ia sangat serius. "Aku juga sampaikan pada Papa bahwa lembaga kursus itu nanti akan dikelola bersama beberapa orang rekan. Dan sepertinya Papa sudah oke," jelas Siska pula.

Terdengar suara ketukan di pintu. Pintu terbuka. Gadis itu datang lagi. Beda dengan kedatangan pertama. Ia membawa buah-buahan. Terlihat dari kantong plastik transparan yang dijinjingnya.

Ia tersenyum pada Siska. "Maaf, Mbak," ujarnya minta jalan di samping Siska guna meletakkan buah di meja. Siska menggeser kakinya.

Usai meletakkan buah, Siska berdiri dan menyalaminya. "Saya Siska," ujarnya.

Gadis itu menyambut uluran tangan. "Shelia."

Rendi melirik. Terlihat kekakuan sikap gadis penabrak yang baru diketahui Rendi namanya, Shelia. Berubah banyak penampilannya. Tidak tampak judes dan kesombongannya lagi. Mungkin karena ada Siska.

"Belum pernah jumpa kita ya. Kuliah di mana?" tanya Siska.

"Tak kuliah lagi."

Siska menoleh dengan mata bertanya. "Sudah tamat?"

"Lagi istirahat."

Rendi mau mempertanyakan perihal kedatangan tiga pria yang memaksanya teken surat perdamaian. Tapi ia tidak ingin Siska tahu masalah tersebut.

Rendi tetap buka mulut. Ia berkata, “Dialah yang menabrak aku.” Maksud Rendi hanya sekedar memberitahu.

Siska kaget. Matanya meninggi memandang Shiela yang berdiri di depannya di seberang tempat tidur Rendi. Semula dipikirnya gadis berambut pendek itu adalah teman Rendi. Mungkin teman spesial.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status