Share

11. Memaksa Menerima Uang

"Katanya lusa. Tapi belum ada nelpon."

"Mama cuma ke Hongkong kan?" tanya Papa.

Shelia menggeleng tidak tahu. "Mungkin."

Shelia kembali mencelupkan potongan roti yang ketiga. Dengan gerakan cepat melaksanakan cara makan roti yang mengasyikan juga. Harus cepat-cepat dan sangat berisiko jatuh. Ia menelan roti dengan kepuasan tersendiri.

Ia menyelesaikan sarapan dengan meraih tisu. Melap bibirnya. Ia memandang lurus ke depan. Menatap Papa. "Pa, jumpa korban tabrakan itu biar aku saja. Ia marah dengan anak buah Papa. Mengancam-ngancam katanya."

"Memang harus diancam. Setelah diancam baru dia mau meneken surat itu. Sebelumnya dia tidak mau kan?"

"Dia tidak mau bantu soal pencabutan laporan di kepolisian," terang Shelia.

"Kenapa?"

"Belagu pula dia. Tidak suka diancam-ancam begitu. Trus katanya bilang ke Papa kamu kalo nyuruh orang itu yang bisa dipercaya."

"Dipercaya bagaimana?"

"Tak tau juga. Dia cuman bilang begitu."

Usai meneguk kopinya, Papa meraih HP. Ia menghubungi seseorang. "Siapa yang kamu suruh ke rumah sakit ngurus surat damai kemarin itu?" tanya Papa. Papa kemudian diam mendengarkan.

"Berapa kamu kasih uang damainya?"

Papa kembali diam mendengarkan.

"Suruh Joko itu datang ke rumah. Sekarang," perintahnya seraya mematikan HP.

Papa mengambil tisu. Ia kemudian bertanya perihal bisnis yang dijalankan Sheila. Belakangan Sheila lebih tertarik menjalankan bisnis properti yang dilakoninya dari pada kuliah. Padahal kuliahnya di salah satu unversitas swasta terkemuka di Bandung sudah semester empat.

"Lancar. Tidak ada masalah, Pa," ujar Shelia tentang bisnis pembangunan rumah susun yang tengah dikerjakannya.

"Betul begitu?"

"Iya Pa," ujar Shelia tanpa berkeinginan memberikan penjelasan lebih lanjut. Untungnya, Papa pun tidak bertanya lebih lanjut. Penyebabnya, ada tamu yang datang.

"Bagaimana dengan kerjaan yang disuruhkan Meriana?" tanya Papa pada pria dewasa berbadan tegap yang berdiri di ujung pintu.

"Sudah selesai, Pak."

"Selesai bagaimana?"

"Sudah ditekennya surat damai itu," jelasnya.

"Uangnya sudah kalian berikan?"

Pria berbadan tegap itu kelihatan bingung. Ia ragu-ragu menjawab. "Mmh, belum, pak."

"Belum?" Papa terkejut. "Kenapa belum kalian kasih?" tanyanya.

"Dia tidak mau menerima uang itu. Tapi mau meneken suratnya. Jadi, kami bawa kembali uangnya," jelas pria itu lagi dengan suara lebih lancar.

"Dikembalikan uangnya pada Meriana?"

Pria itu menggeleng. "Belum, Pak," ujar tanpa beban.

"Kenapa?"

Pria itu tidak langsung menjawab. Ia seperti belum punya alasan atau tengah mencari-carinya.

Papa langsung memberikan penegasan. "Besok kalian serahkan kembali pada korban kecelakaan itu!" perintahnya.

Pria berbadan tegap itu ingin membantah. Terlihat dari gerak tubuhnya. "Tapi dia sudah menolak. Tidak mau menerima," alasannya.

"Serahkan ke dia!" tegas Papa.

"Ya, Pak," jawab pria tersebut terpaksa. Wajahnya menyiratkan ia tidak suka melakukan pekerjaan itu. Ia hanya bisa melawan dalam hati.

Pria itu kemudian pamit. Dan Papa kembalikan menekankan padanya untuk menyerahkan uang tersebut kepada Rendi. Pria itu menggerutu dalam diam. Namun kepalanya mengangguk mengiyakan.

Shelia memandangi kepergian pria berbadan tegap dengan gelengan kepala. "Kalau tidak Papa tanyakan pasti sudah ditilap mereka," kata Shelia menyampaikan dugaannya.

Papa tidak menanggapi.

***

Dokter menginformasikan tidak terjadi masalah dengan sambungan pen pada kaki Rendi. Semuanya berjalan lancar sebagaimana yang diharapkan. Dalam tiga atau empat hari ke depan ia sudah bisa menyelesaikan perawatan di rumah sakit. Setelah itu ia hanya diwajibkan datang ke rumah sakit sekali sepekan guna memantau perkembangan kesehatan kakinya.

Rendi menanggapi dengan senang. Hampir tiga pekan ai tidak kulaih. Dan sudah tiga pekan pula Siska menggantikan dirinya memberikan les Bahasa Inggris untuk puluhan murid.

Rendi pun sudah diperbolehkan menggunakan kruk. Tongkat untuk membantu kakinya berjalan. Dikatakan dokter penggunaan kruk bertujuan untuk melihara dan mengembalikan fungsi otot. Mencegah kelainan. Memelihara dan meningkatkan kekuatan otot. Serta mencegah komplikasi, seperti otot mengecil dan kekakuan sendi.

Sudah dua kali pagi ia mencoba menggunakan kruk di halaman depan kamar perawatannya. Tengah mempraktekkan cara berjalan yang baik dengan menggunakan kruk di halam depan kamar perawatannya ketika diliharnya, Rendi melihat ada yang mendekat berjalan ke arahnya. Ia seperi mengenali pria itu.

"Saya Bardi yang beberapa waktu lalu sudah datang ke sini," jelasnya. Rendi segera ingat. Ya, ia salah seorang di antara pria bertiga yang memaksanya teken perjanjian damai itu.

"Ya, ada apa?"

"Mau mengembalikan ini pada Anda," ujarnya seraya merogoh saku jaketnya. Dikeluarkannya sebuah amplop warna coklat lalu disodorkannya pada Rendi. Rendi kembai menolak. Tidak mau menermanya.

"Anda sudah tekan surat perdamaian itu. Kini ambillah ini," ujanya lagi.

Rendi masih bersikap seperti semula. Tidak mau menerimanya.

Pria itu heran dengan sikap Rendi. "Ini salah satu bentuk terima kasih karena Anda sudah mau meneken surart damai itu," jelasnya seraya menyebutkan ia diperintah atasannya untuk memberikan uang tersebut. "Kenapa tidak mau?" tanyanya.

Rendi menggeleng. Ia merasa tidak perlu memberikan penjelasan. Intinya, ia tidak akan mau menerimanya.

"Karena sedikit. Ungnya perlu ditambah?"

Bukan persoalan besar atau kecil. Sama sekali bukan soal jumlah. "Aku tidak mau menerima uang sogokan itu. Kenapa emangnya?"

"Heran saja. Dikasih uang tidak mau terima."

Rendi tidak menanggapi.

"Sekarang aku diperintah untuk menyerahkannya kepadamu. Ini uangnya. Terimalah," ujar pria sambil menyorongkan amplop coklat ke hadapan Rendi. Kenapa ia bersemangat betul menyuruhnya menerima?

Rendi bergeming. Ia bertahan dengan putusannya. "Suratnya sudah aku teken. Tidak ada masalah lagi. Dan aku tidak akan menerima amplop itu!" tegasnya lagi.

Rendi tidak mengerti apa keinginan pihak keluarga yang menabraknya itu. Semula datang dengan kesombongan meminta damai. Sudah dipenuhinya. Ditawarkan uang seamplop. Namun ia menolak uang yang akan diberikan itu.

Mestinya mereka senang tidak keluar uang. Tapi kenapa malah memaksanya menerima? Anehkan?

Keanehan itu menyebabkan Rendi makin kuat hatinya untuk tidak menerima wujud kebaikan dari keluarga pelaku penabraknya itu. Ia yakin ada tujuan tersembunyi dari pemberian uang tersebut.

"Maaf, Bang. Aku jalan lagi," ujar Rendi seraya meraih dua kruk yang tersandar di depan bangku tempat mereka duduk.

Perlahan ia berdiri. Menyorongkan pangkal kruk ke bawah ketiaknya. Dengan diawali kaki kiri ia melangkah mengimbanginya dengan langkah kruk sebelah kanan. Tidak terlalu susah menggunakan alat bantu itu. Kuncinya hanya tekun dan serius.

Rendi berjalan di atas rumput taman. Terasa dingin ujung rumput dalam injakan kaki kirinya. Basah. Semenjak diberikan kruk, setiap pagi dan sore ia sudah bisa berjalan sendiri. Melatih kaki agar tidak kaku berhari-hari tidur tanpa gerakan samasekali.

Tidak hanya dengan sebab itu. Dua pekan tidur telentang tanpa bisa banyak bergerak membuat badannya terasa pegal-pegal. Matanya pun terasa tidak nyaman memandangi dinding dan loteng setiap hari. Bosan juga.

Berjalan di taman, banyak yang bisa dilihat. Tidak hanya rumput dan bunga-bunga. Tapi juga orang-orang berjalan beriringan bergandengan tangan. Atau anak-anak yang berlarian di koridor dengan gembira. Atau suster-suster cantik yang tampak selalu berjalan tergegas. Banyak yang bisa dilihat.

"Bang Rendi?" sapa seseorang yang berjalan sendirian di koridor.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status