Share

12. Mayra Jadi Penengah

Rendi menoleh. Di koridor gadis berkerudung tersenyum. Rendi segera mengenalinya. Mayra. Rendi balas tersenyum. Gadis itu melangkah melewati pagar bunga. Ia mendekati Rendi.

"Hei, Abang pakai tongkat?" tanyanya heran mematut Rendi dengan dua kruk di tangan. "Patah. Patah kenapa?"

"Kecelakaan."

"Kaki mana yang patah, Bang?"

Rendi menunjuk kaki kanannya yang berbalut kasa. "Tuh, bagian tulang keringnya."

"Aduh, baru tahu sekarang. Heh, mungkin aku jarang ke rumah Oji semenjak kampus kami pindah dan pindah kosan," jelas Mayra. "Dah berapa hari Abang di sini?"

"Dua minggu lebih."

Mayra adalah tantenya Oji, salah seorang murid les Rendi. Ia acap kali jumpa ketika Rendi datang ke rumah Oji. Mayra, mahasiswa Akuntansi, sering bertanya soal tugas-tugas Bahasa Inggris pada Rendi. Dulu ia tinggal di rumah Oji.

"Penabraknya tanggung jawab? Tidak lari kan?"

"Belum tahu juga," jelas Rendi yang ia sendiri tidak tahu apakah Shelia bertanggungjawab atau tidak.

"Kok begitu?"

"Dia sudah datang ke sini. Belum bicara tentang hal itu."

Mayra tampak heran. "Kok seperti itu? Siapa sih orangnya?"

"Shelia namanya."

"Shelia?" ulang Mayra. "Jangan-jangan Shelia teman aku. Bagaimana orangnya? Orangnya putih. Tinggi semampai. Berambut pendek," tanya Mayra memastikan.

Rendi mengangguk.

Mayra tertawa kencang. "Oh, pasti dia. Aku ingat. Aku ingat. Aku jumpa dia beberapa hari lalu di sini. Pasti Shelia teman aku itu. Benar. Pasti dia," ujarnya seakan berbicara pada diri sendiri.

Ditambahkan Mayra, "Dua hari lalu aku jumpa dia di sini. Katanya mau nengok ada rekan yang kecelakaan. Dia jumpa Abang dua hari lalu?"

Rendi mencoba mengingat-ingat. "Mungkin juga."

Mayra mengajak duduk di bangku kayu pada sisi koridor. Ia merasa perlu memastikan penabrak itu adalah Shelia, temannya.

"Shelia itu bapaknya pengusaha hebat. Pak Baskoro namanya."

Rendi tidak tahu pasti. Namun keterangan Fedly, bapak Shelia memang pengusaha sukses. Banyak perusahaannya. "Mungkin juga," kata Rendi lagi.

"Shelia itu teman aku kuliah. Tapi cuma sampai semester tiga. Kemudian DO dia. Di kampus dia dikenal dengan nama Lia CB. Tau CB? Cewek berengsek!" tutur Mayra terkekeh. Detik berikutnya ia menutup mulut dengan telapak tangan. Merasa kelepasan tawanya.

Setelah reda tawa, ia berkata, "Kawan-kawan di kampus memanggil dia CB karena kelakuannya. Suka seenaknya. Omongan ceplas-ceplos tak beraturan. Kuliah malas. Tapi marah dapat nilai jelek. Wuih, orangnya susah. Angin-anginan," jelas Mayra lagi.

Rendi diam saja tidak menanggapi meski gambaran yang disampaikan Mayra tidak jauh beda dengan penilaiannya.

"Abang punya nomor HP dia? Nomor HP-nya ganti terus. Biar kutelpon dia sekarang."

Rendi menggeleng. Dia memang tidak punya.

Mayra tidak kehabisan akal. "Bentar. Kucari dulu," ujarnya seraya memencet layar HP-nya.

"Lin, kasih aku nomor HP Lia CB. Kamu punya kan?" sebutnya pada seorang yang dihubunginya. Tak lama terdengar nada pesan masuk.

Ia menghubungi nomor yang dikirimkan. Tak lama menunggu, ia segera berteriak. "Mamay, Lia. Aku di Rumah Sakit Sehat Selalu. Kamu ke sini ya. Ada bisnis penting. Aku tunggu, nih," sebutnya seraya menutup HP.

"Dia pasti ke sini. Kita tunggu," ujarnya melirik Rendi.

"Ah, ngapain ngurus dia. Kamu sendiri ke sini mau apa? Selesaikan dulu urusannya," kata Rendi.

"Mama dirawat di sini. Tapi barusan sudah dari kamarnya. Gantian jaga dengan adik. Mau pulang lagi," jelas Mayra seraya memastikan ia juga tidak punya agenda yang mesti dikerjakan.

"Pindah ke kantin yuk, Bang. Kita tunggu di sana."

Rendi menurut saja. Mayra menghubungi Shelia menjelaskan ia menunggu di kantin.

"Sakit apa Mamanya?"

"Banyak. Gula. Kolesterol dan lain-lain. Biasa penyakit orang sudah berumur."

"Dah berapa usianya?"

"Lebih 84 tahun."

Mayra meneguk minumannya. 

"Gurunya sakit, lalu les anak-anak liburlah ya?" tanya Mayra setelah mereka duduk di kantin rumah sakit.

"Ada teman yang gantikan," jelas Rendi.

Tak lama, Shelia datang. Gadis itu kaget mendapatkan Mayra, temannya, duduk bersama Rendi. Mayra berdiri merangkul Shelia.

"Betul kan dia. Dulu, di kampus tidak ada yang kenal kalau mencari nama Shelia. Tapi kalau dibilang Lia CB, maka semua isi kampus tahu," cerita Mayra riang.

"Kalian saling kenal?" tanya Shelia dengan nada suara heran.

"Sudah lama kenal. Bang Rendi ini guru les Bahasa Inggris ponakan aku," jelas Mayra. "Dulu aku tinggal di rumah Mbak Dian."

Wajah Shelia tampak suram dan kaku. Ada yang berbeda dengan gadis ini. Biasanya ceplas-ceplos. Bicara sesukanya. Bahkan cenderung tidak peduli  atau tidak mau tahu. Pikiran Mayra, tentu ada masalah yang berat di antara mereka berdua. Antara penabrak dengan korban.

"Bagaimana bisnisnya? Lancar?" tanya Mayra berupaya mencairkan suasana.

"Ya, begitulah."

"Masih di properti"

"Masih."

"Garap apa sekarang? Perumahan?"

"Rusun."

"Rusun untuk warga korban-korban penggusuran itu?

Shelia menggeleng. "Untuk kost-kostan mahasiswa," jelasnya.

"Berapa tingkat?"

"Tujuh lantai."

Mayra memandang takjub. "Wuih, hebat. Tujuh tingkat. Ratusan kamar itu ya. Di mana lokasinya?"

"Di Coblong."

"Wah, berminat sekali. Udah siap rusunnya?" tanya Mayra antusias.

"Tinggu finishing. Tiga bulan lagi sudah bisa ditempati."

"Aku booking ya."

Shelia tersenyum. "Boleh. Tapi ke kantor dong. Masak bookingnya di sini."

"Sip!" Mayra mengacungkan jempol tangan.

Mayra meneguk minuman. Juga mempersilahkan Rendi dan Shelia meneguk minuman mereka.

"Betewe. Jadi yang kamu tengok kemarin itu Bang Rendi ini?" tanyanya kemudian.

Shelia mengangguk.

"Kemarin itu kamu buru-buru aja. Kalau tidak, pasti sudah tahu aku yang kamu tabrak itu Bang Rendi," sebut Mayra.

Dijelaskan Shelia saat itu ia benar-benar diburu waktu.

"Katanya persoalan kecelakaan itu belum selesai. Bagaimana sih? Kok bisa begitu?" tanyanya lagi.

"Siapa bilang?"

Mayra melirik Rendi. Namun Rendi memilih diam saja. Menunggu Shelia bicara. Menurutnya, lebih baik ia tidak banyak bicara.

"Udah selesai, kok. Sudah disetujui perdamaiannya. Cuma teman kamu tidak mau tak terima uang damainya," jelas Shelia tanpa memandang Rendi. Mayra yang memandang pada Rendi.

"Tanpa terima uang itu, kesepakatan damai tidak batal," ujar Rendi memberi penjelasan sekaligus menegaskan sikapnya.

Mayra mulai paham permasalahan yang terjadi. Rendi tidak mau menerima uang yang diberikan Shelia meski meneken surat damai. Mayra tidak tahu apa alasannya. Tapi sepertinya ini berhubungan dengan sikap dan prinsip. Sesuatu yang tidak mudah diubah. Sementara anggapan Shelia, kesepakatan damai kurang kuat bila Rendi tidak mau menerima uang itu.

"Surat diteken surat damainya?"

Shelia mengangguk. Rendi hanya melirik.

"Kalau sudah ada surat yang ditandatangani tentu telah kuat itu," ujar Mayra memberikan penilaian.

Shelia mendeham. Ya, kuat. Tapi menurut Papa belum. "Ya, sudah kalau begitu," kata Shelia dengan nada suram.

"Dah tidak perlu marah-marah. Semua bisa diselesaikan dengan baik-baik. Tidak ada kusut yang tak selesai," ujar Mayra menyentuh tangan Shelia.

Shelia menarik tangannya. "Aku pulang!" ketusnya seraya berdiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status