King yang sedang dalam perjalanan pun merasa tak jenak karena info yang di berikan Leo tadi sangat mengganggunya. Dia amenggeram marah dan Leo pun yang ada di depan melirik King dari kaca spion yang ada di sana.
"Kamu benar benar jatuh cinta sama dia atau cuma ingin berterima kasih kepadanya karena udah nolongin dia?"
King melirik ke arah Leo, dia yang awalnya bingung dengan apa yang akan di jawabnya akhirnya tersenyum tipis. King menatap keluar jendela dan melihat banyak pohon di luar sana yang berjajar dalam kegelapan.
"Awalnya aku nggak tahu dia siapa bahkan sampai aku terluka itu juga tak menyangka. Aku nggak tahu kenapa bisa sampai di gudang itu padahal tempat penyeranganku pun jauh dari sana. Yang lucunya malah tiba tiba aku kehabisan tenaga dan malah dia menolongku tanpa pikir panjang. Dia nggak tahu siapa aku dan juga nggak tahu siapa yang menyerangku tapi dia berani menolongku. Kalau sekarang aku belum cinta sama dia, bukannya dia layak buat di perjuangkan? Aku nggak butuh wanita yang hanya gila belanja, tapi aku butuh wanita yang tangguh seperti dia. Ku rasa nanti ketika dia sudah berhasil ku miliki aku bisa menggembleng kemampuannya lebih jago lagi,"
Leo nampak tak percaya dengan semua jawaban King barusan karena dia tak biasanya dia akan bersikap seperti ini. Leo sendiri yakin ada yang di sembunyikan King dari nya meskipun dia belum tahu apa yang di sembunyikan King saat ini.
King dan Leo segera bergegas karena waktu mereka juga sangat mepet saat ini. King sendiri sudah tak merasakan kesakitan di lengannya bekas luka tembak kemarin karena semua obat yang dia terima juga sudah jelas itu adalah obat yang terbaik.
"Setelah ini kita terbang ke Jepang karena di sana juga ada pertemuan penting,"
Leo menyebutkan agenda King setelah mereka selesai mengurusi senjata yang King pesan. King sendiri mengangguk lemas. Entah kenapa setelah bertemu dengan Kavaya dia enggak pergi jauh dari gadis itu, padahal gadis itu tak melakukan apa apa kepadanya.
King mengambil sebuah kalung dari kantongnya dan melihat liontin yang ada di kalung itu.Ada senyum samar di wajah tampan King saat melihat liontin itu tanpa sepengetahuan Leo tentunya. King kembali memasukkan kalung itu ke dalam saku jasnya. Dan tepat saat mereka sudah dekat dengan tempat perjanjian itu Leo memberikan sebuah topeng yang biasa di pakai King.
King mengambil pistol kesayangannya dan menyimpannya di balik jasnya seperti biasa. Dia Leo segera bergegas turun untuk segera memeriksa kelayakan dan semua ijin senjata itu. Meskipun King adalah ketua dunia bawah dia tak ingin ada barang selundupan di areanya.
"Wah, kamu telat beberapa menit ternyata. Tak biasanya kamu seperti ini." Tegur salah satu orang yang ikut melakukan transaksi di sana.
King tak menggubrisnya dan membuat orang itu berdecih sinis sekaligus marah. Dia ingin sekali menghabisi King saat ini tapi dia menahannya.
"Leo, apa sudah di periksa semua?" tanya King setelah dia melihat beberapa contoh senjata itu.
Leo membisikkan sesuatu pada King dan membuat King terdiam. Dia melirik semua orang yang ada di sana lalu terbitlah seringaian di bibir merahnya.
Dor....
Suara tembakan pada salah satu orang yang ada di sana membuat semua orang menatap King tak percaya.
"Leo, kenapa Lord menembaknya? Apa ada yang salah dengannya?" tanya salah satu orang itu.
Lord, adalah sebutan orang orang itu untuk King di dunia bawah, mereka tentu saja tak pernah tahu wajah King yang sebenarnya meskipun dulu sempat topeng yang di pakai King pecah tapi tak ada yang pernah tahu wajah aslinya seperti apa.
"Jangan pernah berani berkhianat atau kalian akan bernasib sama seperti mereka!"
Glek...
Mereka menelan ludah mereka dengan kasar dan tahu arti dari kata kata King saat ini.
Leo segera memerintahkan anak buahnya untuk segera memindahkan semua senjata itu setelah dia selesai bertransaksi. King sendiri sudah berjalan ke arah mobil mereka tadi, di susul oleh Leo di belakangnya.
King mengamati semua mobil anak buahnya yang sudah pergi dari sana membawa semua senjata miliknya.
"Leo, ledakan!"
Bipp.... Dan Boommmm...
Suara ledakan menggema di udara begitu juga dengan si jago merah yang langsung melahap semua tempat itu begitu juga semua orang yang ada di sana.
"Berani sekali mereka menusukku dari belakang. Leo kita ke bandara langsung!"
Leo mengangguk dan segera mengemudikan mobilnya dengan cepat ke bandara karena jet pribadi mereka sudah menunggu dan bersiap di sana.
*
*
Sedangkan di sisi lain. Rebecca sudah terlonjak senang saat ada yang menghubunginya menawari pekerjaan yang dia nantikan sejak lama.
"Lihat mama, aku dapat tawaran pekerjaan yang selama ini aku incar. Dia memberiku langsung posisi utama." pekik Rebeca senang.
Para pengunjung cafe itu nampak terganggu dengan suara cempreng Rebeca apalagi dengan pakaiannya yang terlalu mini itu. Tapi jelas Rebeca tak peduli dengan itu dan nampak wajah sombong yang ada di wajah Rebecca saat ini.
"Rebecca duduklah, jangan membuat gaduh di sini." tegur Miranda pada putrinya itu.
Rebecca berdecak kesal karena mamanya menegurnya di tempat umum.
"Ck, mama merusak kesenanganku saja," omel Rebecca.
Miranda ingin sekali memukul kepala Rebecca yang terkadang bodoh ini.
"Rebeca, jangan membuat onar. Kamu bentar lagi kan terkenal jangan membuat mereka merekammu dan malah menghancurkan apa yang kamu saat ini. Bisakan kamu nggak bertingkah bodoh saat ini?" sahut Miranda kesal.
Rebecca nampak terdiam mendengar kata kata mamanya dan dia memikirkan apa yang di katakan sang mama pun ada benarnya.
Jika dia bersikap arogan saat ini dan banyak yang tahu bahkan merekamnya pasti karirnya tak akan berjalan mulus setelah ini. Pasti orang orang itu akan cepat menyebarkan gosip yang tak baik kepada banyak orang.
"Ma, kalau gitu bukannya kita harus belanja baju lagi kan buat persiapan pemotretan itu?" rayu Rebecca pada mamanya.
Miranda tentu saja mengangguk setuju karena sudah jelas suaminya akan mengijinkannya karena jelas Rebecca akan bisa membanggakan keluarganya. Miranda sudah membayangkan bagaimana kehidupan mereka nantinya setelah Rebeca terkenal dan menjadi model internasional. Miranda juga memikirkan jika setelah ini dia bisa mengusir Kavaya dari rumah itu dan juga bisa mengambil semua kekayaan yang di wariskan kepada Kavaya.
Rebecca mengerutkan keningnya saat melihat Miranda malah terdiam di tempatnya dan tak segera beranjak dari sana.
"Ck, mama ini kenapa? Kenapa malah diam saja, ayo katanya kita mau belanja setelah ini?" dumel Rebeca pada Miranda.
"Ah, iya, mama sedang bayangin kalau kamu jadi model terkenal dan banyak uang, kita bisa mengusir gadis sialan itu dari rumah secepatnya, Karena jelas setelah ini juga kamu akan menjadi menantu tuan Axel. Bukankah itu akan semakin memberikan kita kuasa untuk merebut semuanya?" ucap Miranda dengan percaya dirinya.
Rebeca bertepuk tangan ceria mendengar semua gambaran itu, dia segera meraih tangan Miranda dan mengajaknya pergi dari sana dengan perasaan gembira.
*
*
Kavaya yang ada di rumah sendirian segera mengumpulkan semua milik mamanya yang tersisa dan segera meletakkanya di tempat yang tak akan pernah bisa di temukan siapapun kecuali dirinya sendiri.
"Mama, apapun akan aku lakukan untuk menyelamatkan apa yang sudah mama perjuangkan selama ini!"
Tanpa sadar pun semua yang di lakukan Kavaya juga sudah di laporkan kepada King meskipun King saat ini sudah dalam perjalanan ke Jepang.
"Gadis ini benar benar di luar prediksi!"
to be continued
"Sweety......" King menangkap tubuh Kavaya dengan cepat, dan dia menepuk pelan pipi Kavaya yang baru saja sah menjadi istrinya. "Sweety, bangun....." King menepuk pelan pipi Kavaya, tapi tak kunjung mau membuka matanya. "King bawa ke rumah sakit!" King pun mengangguk, dia membopong tubuh Kavaya dengan cepat sementara Leon sudah menyiapkan mobil untuk mereka. Wajah King yang panik terlihat jelas disana, bayangan masa lalu tentang Kavaya mulai menari nari di otaknya. Leon yang melihat itu pun paham, dia mencoba menenangkan King sambil tetap fokus menyetir. "Tenanglah, Kavaya akan baik baik saja. Dia mungkin hanya kelelahan." King mengambil napas panjang dan menghembuskan nya perlahan. Tak lama mereka sampai di rumah sakit. Kali ini Leon sudah bersiap dengan segala kemungkinan. Anak buahnya bahkan sudah berbaris rapi dan menjaga semua area rumah sakit. Pengalaman yang dulu benar benar mereka jadikan pelajaran. King membawa Kavaya masuk untuk segera di periksa. Tapi
Kavaya terus bermain dengan milik King yang semakin mengeras dan membesar. Tapi saya di rasa King ingin meledak dia menarik kepala Kavaya dan mencium Kavaya brutal. King mulai bermain dengan milik Kavaya, menyesapnya dan juga memainkan puncak merah itu. Semua King rasakan meskipun lemas Kavaya berusaha untuk tetap berdiri. Bibir King terus menyusuri semua miliknya. Dan tepat di depan dua benda kenyal milik Kavaya. Lidah kasar itu mulai menari indah di sana sedangkan di sisi lainnya jari jemari dan telapak tangan King mencengkeram erat. Kavaya meremas rambut King yang sedang bermain di kedua benda kenyal itu. Lalu semakin turun. Salah satu kaki Kavaya di naikan ke atas bathub dan itu membuat benda kecil yang ada di tengah itu berkilat terlihat jelas. Sedangkan King sudah bersiap di depannya. Hembusan napas King membuat tubuh Kavaya meremang. Tak lama sapuan lidah itu sudah berada di tengah goa milik Kavaya. "King..ah.....!" Kavaya meremas rambut King yang sedang bermain di
King membawa Kavaya pulang ke mansion. Tapi sepanjang perjalanan Kavaya hanya diam dan tak banyak bicara. Moodnya mendadak tak enak sejak tadi. Berkali kali juga Kavaya menghela napasnya panjang. Dia enggan berbicara saat ini. King pun tak memaksa Kavaya untuk membuka suara. Sudah sejak lama dia tak bertemu dengan Orlando tapi sekalinya bertemu harus terjadi hal seperti ini. Kavaya ingat jika saat kecil Orlando menyayangi nya tapi semenjak Orlando menikah lagi barulah semua sifat itu berubah. "Bee, apa mungkin nanti ketika kita punya anak lagi kita bisa jadi orang tua yang baik?" King yang berjalan di belakang Kavaya pun menghentikan langkahnya. Begitu juga Kavaya yang berhenti tak jauh dari King berdiri. "Kenapa kamu tiba tiba bertanya seperti itu? Tentu saja kita bisa menjadi orang tua yang baik. Kita bisa terus belajar Ava. Masa lalu kita, keluarga kita tak bisa kita jadikan patokan untuk masa depan kita ketika mempunyai anak sendiri!" Kavaya melihat ke arah King
"Sandrina....." Teriakan Orlando dan Yohan menggema di sana. Mereka segera menolong Sandrina. Orlando langsung beralih ke arah Kavaya. Tatapan jua tajam dan ingin sekali menghabisi Kavaya karena sudah melukai Sandrina. "Dasar wanita iblis. Nyesel aku dulu angkat kamu jadi anak. Harusnya aku menghabisimu waktu itu." Kavaya tersenyum miring, "Mengangkat, atau memang menculikku tuan Orlando?" Orlando membeku di tempatnya. Kavaya tahu semuanya tapi dia berusaha melupakan semuanya. Tapi ternyata Orlando malah membuatnya ingat hal yang ingin dia lupakan. "Nggak usah pura pura terkejut tuan, karena sebentar lagi kakek akan datang kemari untuk menjemputmu. Bukan kah semua kesalahan itu harus di pertanggung jawabkan? Dan lagi waktumu bebas juga sudah terlalu lama tuan. Dan masalah iblis, apa kamu lupa kalau iblis ini yang nyiptain kalian. Dan ya sekarang aku hanya menikmati peranku sebagai iblis!" Yohan pun meradang melihat Sandrina terluka. Dia mengeluarkan senjata api yang dia
King yang awalnya ingin berdiam diri akhirnya membuka suara. Kavaya juga tak menyangka jika Sandrina akan membuka luka lama itu. Orlando, jangan di tanya wajahnya seperti apa. Pucat pasi, dan badannya terhuyung ke belakang. Melihat kemarahan King sama saja dengan menyetorkan nyawanya sendiri. Selama Kavaya menghilang, Orlando bahkan sama sekali tak mencari Kavaya. Dia juga langsung menikahi ibunya Sandrina. Sandrina dan juga Yohan tentu saja syok. Mereka kira King seperti para penguasa lainnya yang akan berganti ganti pasangan tapi tidak. Dia tetap setia dengan Kavaya. "Jadi apa lagi yang ingin kalian katakan? Sekalian aku ingin mendengarnya!" Sandrina gemetar ketakutan, dia melihat wajah King yang semakin dingin. Niatnya ingin membuat malu Kavaya tapi ternyata malah membuat King marah. Sandrina benar benar tak tahu jika Kavaya dan King sudah menjalin hubungan selama itu. "Ti-tidak tuan King, aku tidak tahu jika Kavaya sudah bersamamu sejak lama. Karena dulu dia...."
Sandrina masih terus melihat ke arah King yang bahkan tak melihat ke arahnya sedikit pun. Kavaya nampak santai saja karena dia tahu King tak akan pernah tertarik dengan yang lain. "Tuan King, kenalkan saya Yohan!" Yohan mengulurkan tangannya untuk berkenalan tapi King tak menanggapinya. Alih alih mengatakan sesuatu pada Yohan tapi King malah memberikan daging steak yang sudah dia potong rapi kepada Kavaya. "Terima kasih Bee...." "Makanlah...." Kavaya mengangguk dan Yohan yang di abaikan pun kesal. Tapi dia menahan dirinya agar tak membuat masalah. "Maaf tuan, apakah saya bisa meminta waktunya sebentar. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan terkait proposal pekerjaan." Yohan berusaha tetap sopan kepada King, tapi tak juga di gubris. Akhirnya suara Sandrina terdengar sesaat setelah King mengabaikan Yohan. "Apakah ini yang namanya tuan King yang terkenal itu? sombong sekali, padahal kekasihku hanya ingin bicara tapi tak juga di gubris." King pun masih terlih
Leon membawa Ayumi kembali ke kamar. Dia membaringkan tubuh Ayumi di ranjang miliknya. Dia melihat Ayumi yang masih pucat dan memutuskan untuk menemani Ayumi di sana. "Setelah ini jangan pernah merasa takut dan sendiri an lagi, aku bersamamu." Leon mencium kening Ayumi, dia ikut berbaring setelah sebelumnya dia memberi tahu King tentang tugasnya yang sudah selesai. Leon memeluk tubuh Ayumi dari belakang tapi Ayumi berbalik ke arah Leon dan mencari tempat ternyaman di dada Leon. Setelah menemukannya Ayumi kembali tidur dengan nyenyak. Leon tak keberatan dengan itu. Leon memeluk Ayumi dan tak lama dia pun ikut masuk ke dunia mimpi. # Sedangkan Kavaya saat ini tengah bersama King dan juga Kakeknya serta Kaito. Mereka membicarakan pernikahan Kavaya dan King yang memang akan segera di adakan secara tertutup. Mengingat semuanya serba terburu buru. "Jadi kamu sudah memesan baju pengantin nya?" tanya sang Kakek. "Hmm, dan juga semua tempatnya serta makanan dan yang lain sem
Ayumi yang bahagia dengan apa yang di berikan Leon pun segera bangun dari tidurnya. Badannya sudah sangat lengket. Dan saat dia bangun dia juga melihat bercak darah disana. Blush..... Wajah Ayumi memerah, dia tahu artinya itu. Dia meraih sprei itu dan melipatnya lalu menyimpannya. Dia tak mau jika di dahului oleh pelayan yang ada di mansion milik King. Sedikit tertatih dia berjalan ke arah kamar mandi. Begitu sampai di sana ada sebuah note kecil di dekat wastafel. "Pakai salep ini, biar sakitnya reda" Ayumi tahu itu dari siapa, dan lagi lagi hatinya menghangat. Kesalahpahaman yang terjadi malah membuatnya merasakan cinta kembali. Ayumi segera berendam beberapa saat dan rasa sakit itu sedikit berkurang. Tak lupa juga dengan salep yang di berikan Leon kepadanya. Ternyata efeknya langsung terasa dan sakit itu tak di rasakannya kembali. Ayumi yang selesai ganti baju pun turun ke lantai bawah, bertepatan dengan Leon yang baru saja kembali. Tapi Ayumi melihat ada bercak dar
Leon tak memberi jeda pada Ayumi untuk bernapas dengan benar. Dia terus menyerang Ayumi tanpa ampun. Bahkan sampai di bagian inti pun hanya tatapan matanya saja yang berbicara. Ayumi berteriak menjerit di dalam kamar dengan semua permainan Leon. Sampai pagi Ayumi tak di beri ampun dan tak di beri jeda waktu oleh Leon. Saat ini, Ayumi sedang tertidur pulas dalam pelukannya. Leon sempat tertidur sebentar tapi kemudian dia terbangun saat Ayumi mulai tertidur. Perlahan Leon bangkit mengambil sesuatu di laci samping tempat tidurnya. Kotak beludru berwarna merah. Dia membukanya dan di sana sebuah cincin berlian dengan permata yang indah, simple tapi elegan yang selalu Ayumi suka. Perlahan dia menyematkan cincin itu di jari manis Ayumi yang masih tertidur pulas. Dia mencium puncak kepala Ayumi dan membenarkan selimut yang menutup tubuh polos Ayumi. Leon mengambil ponselnya dan mengirim pesan pada King. "Aku berangkat sekarang. Posisi mereka sudah aku temukan!" Leon beranjak