Alif baru saja datang, ia langsung duduk di samping Chandra. Saat menoleh ke arah Khanza, gadis itu terlihat kesal.
"Lo lama banget di toilet Lif, Chandra aja yang dari perpus udah sampe dari tadi."Tadi memang Alif izin ke toilet dan meminta Khanza memesankan makanan untuknya, mungkin karena menunggunya terlalu lama Khanza jadi kesal."Biasalah ketemu adkel tadi, jadi kita ngegosip dulu. Mana pesenan gue?" Alif terlihat mencari pesanannya.Khanza menggeser semangkok mie ayam kepada Alif. Beruntung mie itu tidak tumpah karena Khanza menggesernya dengan kasar."Makasih ya Khanza, Khanza yang paling baik pokoknya," puji Alif. Ia berusaha menghilangkan rasa kesal Khanza.Sepertinya usahanya itu tidak berhasil. Khanza tak membalas dan malah terlihat menyeruput minumannya dengan kasar.Beralih dari Khanza, Alif kini memperhatikan Chandra dan Rain yang sedang memakan pesanan mereka masing-masing. Mereka berdua terlihat tenang dan tidak terpengaruh dengan kedatangannya. Alif merasa senang, setidaknya kedua temannya itu tidak ribut seperti kemarin."Nah gitu dong. Kalo istirahat tuh makan, bukan debat apalagi ngembat makanan gue," celetuk Alif. Chandra dan Rain terlihat mengacuhkannya membuat Alif berdecak."Dikacangin. Eh Btw Chan katanya lo ke perpus, kok gak ada buku? Gak jadi pinjem?" Alif melihat ke arah Chandra.Tadi saat di kelas Chandra memang bilang kalau ia ingin meminjam buku di perpustakaan. Bahkan lelaki itu sempat mengajak Rain untuk menemaninya, tapi tentu Rain menolaknya mentah-mentah. Apalagi jika harus berdua dengan Chandra.Chandra mengangguk sebagai respon terhadap pertanyaan Alif."Kenapa?" tanya Alif."Bingung mau pinjem buku apa.""Gimana sih lo Chan, mau pinjem buku tapi bingung mau pinjem buku apa," ujar Khanza. Gadis itu membalikkan sendok dan garpu yang ia gunakan, pertanda ia selesai makan."Iya nih, si Chandra aneh," sambung Alif."Gak ada saran dari Rain." Chandra menatap Rain, sedangkan Rain tidak terusik, gadis itu terus melanjutkan makan."Rain emang jahat," celetuk Alif.Rain menatap tajam ke arah Alif."Bercanda Ra, gak usah di anggep serius. Eh pulang sekolah kalian kemana? Kita jalan-jalan dulu yuk." Alif mencoba mengalihkan pembicaraan."Boleh tuh, gue kayaknya juga butuh refreshing." Khanza terlihat antusias.Sebagai anak pengusaha yang sibuk, orang tua Khanza memang jarang sekali mengajaknya pergi liburan. Selain itu Khanza juga dituntut untuk belajar dan belajar agar bisa meneruskan usaha kedua orangtuanya kelak. Setelah pulang sekolah biasanya Khanza pergi bimbel dan pergi berlatih taekwondo, tapi kadang Khanza bolos tanpa sepengetahuan orang tuanya. Ia juga merasakan lelah jika harus dipaksa belajar terus."Aku ngikut aja, kalo Rain ikut aku ikut juga." Seperti biasa, Chandra selalu mengikuti Rain."Gue sibuk, gak bisa. Ada beberapa materi yang belum gue rangkum," ucap Rain tanpa minat.Rain mungkin kebalikan dari Khanza, bahkan Khanza sering menyebut Rain sebagai manusia super karena gadis itu tidak pernah lelah untuk membaca."Ah Rain, gak asik. Belajar mulu," gerutu Alif."Gimana kalo besok, besok kan libur jadi kita bisa lebih lama jalan-jalan," usul Khanza, Alif langsung menyetujuinya sementara Rain terlihat berpikir."Ayolah Ra, kita jarang Lo jalan-jalan bareng. Ya, please," bujuk Khanza. Ia berharap temannya ini mau pergi dengannya."Yaudah iya," putus Rain pada akhirnya.Khanza terlihat sangat senang. Akhirnya Rain mau pergi. Rain adalah orang yang sangat sulit untuk diajak jalan-jalan, biasanya Khanza harus memaksanya agar Rain mau pergi."Berarti lo ikut ya Chan, kan Rain ikut," ujar Alif."Iya Lif, aku ikut kok," sahut Chandra."Yeay, besok kita jalan-jalan." Alif dan Khanza terlihat semangat.***Akhir-akhir ini cuaca tak menentu, kadang hujan, kadang panas, kadang hanya mendung tanpa hujan. Seperti sekarang, mendung memang menghiasi langit, tapi hujan tak juga turun. Matahari sore itu memang tak terlihat karena tertutup awan, tapi suhu menjadi panas karena tidak ada angin.Beruntung Rain dan Chandra menaiki motor hari ini, jika tidak mereka mungkin akan berdesak-desakan di angkot atau berjalan kaki di suhu sepanas ini.Jalanan tidak terlalu ramai, tapi Chandra melajukan motornya cukup pelan, agar bisa berlama-lama dengan Rain."Bisa agak cepet gak sih Chan!" Rain menyadari kecepatan motor Chandra yang melambat. Ia tak sabar untuk sampai ke rumah. Berdua bersama Chandra benar-benar mimpi buruk bagi Rain."Kalo ngebut nanti kecelakaan Ra."Rain berdecak. "Kalo lo gak mau, biar gue yang nyetir!""Emang kamu bisa nyetir Ra?" tanya Chandra.Rain memang bisa mengendarai sepeda, jika untuk motor sepertinya harus dipikirkan kembali. Rain pernah dua kali kecelakaan saat menggunakan motor. Yang pertama karena lupa untuk mengerem dan yang kedua karena menghindari seorang anak kecil Rain berakhir dengan menabrak pohon. Setelah itu, Rain tidak pernah diijinkan lagi untuk mengendarai motor."Bisa gak Ra?" tanya Chandra lagi karena Rain tidak menjawab pertanyaannya."Udahlah, cepetan pokoknya!""Yaudah deh iya." Chandra langsung melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Rain yang kaget, reflek mencengkram erat pundak Chandra."Chandra!" Rain memukul punggung Chandra, sementara lelaki itu banyak tertawa dengan kencang."Kan kamu yang bilang buat lebih cepet," ucap Chandra tanpa rasa bersalah. "Maksud gue bukan ngebut juga!""Yaudah maaf." Chandra menurunkan kecepatan motornya."Ya.""Ra—""Diem Chan, gue males ngomong."Chandra menutup mulutnya. Tak ada pembicaraan diantara mereka sampai mereka tiba di rumah."Makasih," ucap Rain saat Chandra menghentikan motornya tepat di depan gerbang rumah Rain."Iya Ra, sama-sama. Besok ...." Chandra tidak melanjutkan perkataannya karena Rain tidak menggubrisnya. Gadis itu terlihat berjalan ke dalam rumahnya tanpa mempedulikan Chandra."Sabar Chan, cuma sampe dia jatuh cinta," ucap Chandra pada dirinya sendiri."Assalamualaikum." Rain berjalan ke arah dapur saat mencium wangi kue yang baru diangkat dari oven. Ia melihat dapur sedikit berantakan, ada beberapa wadah kotor dan bahan-bahan yang tergeletak begitu saja. "Tumben bikin kue." Rain menghampiri Bundanya yang sedang menata kue di piring. Bunda Rain memang sangat senang memasak. Dulu ia pernah bercerita pada Rain kalau ia bercita-cita menjadi koki, tapi sebelum menggapai cita-cita itu Bunda Rain sudah lebih dulu bertemu dengan Ayah Rain. Jadi keahlian memasaknya digunakan untuk menyenangkan keluarganya. "Lagi pengen aja. Oh ya Ra, tolong kasih ini ke abangmu ya. Dia lagi di kamar." Bunda Rain memberikan sepiring kue pada Rain. "Masih kencan sama tugasnya?" "Iya, katanya biar cepet selesai. Kalo kayak gitu bukannya selesai, malah sakit. Abangmu terlalu maksa dirinya, coba bilangin Ra, kalo kata-kata bunda udah gak mempan buat dia. Bunda cuma takut dia sakit." Terlihat jelas raut khawatir dari bunda Rain. "Iya Bunda, nanti Rain coba b
Mendung menghiasi langit pagi itu. Awan-awan hitam terlihat siap menjatuhkan bulir-bulir air. Udara dingin terasa menusuk tulang, membuat siapapun enggan beranjak dari kasur mereka. Tapi tidak dengan Rain. Gadis itu sudah bangun sejak mentari belum menunjukkan sinarnya. Ia membantu bundanya untuk menyiapkan sarapan. Meski hari ini libur, bukan berarti ia tak memiliki kegiatan apapun. "Mau dibatalin?" Lima menit yang lalu ia menerima telepon dari Khanza, temannya itu mengatakan bahwa rencana jalan-jalan mereka tetap dilaksanakan meskipun cuaca terlihat tak mendukung. Rain berusaha membatalkan rencana itu. Ia malas sekali pergi. Di cuaca seperti ini, biasanya Rain lebih memilih membaca novel sambil menikmati cokelat panas. "Enggak pokoknya harus jalan!" Rain berdecak mendengar jawaban dari Khanza. "Si Alif bilang gak bisa dateng Za." "Ya, kan masih ada lo sama Chandra." Khanza tetap bersikukuh ingin pergi. "Tapi—" Rain melihat ke arah jendela yang menunjukkan pemandangan taman bel
Suara derit pintu yang terbuka membuat padangan Chandra dan Fani beralih ke pintu. Saat pintu terbuka terlihat bunda Rain dan Rain yang masuk. "Alhamdulillah kamu sudah sadar Chan. Gimana keadaan kamu sekarang?" "Udah lebih baik kok tante." Chandra tersenyum, ia sempat memandang pada Rain yang sedari tadi menunduk. Ia bersyukur dua orang didepannya tak mendengar teriakkan Fani tadi. "Oh, iya, Fan, ini makanan buat kamu, makan dulu ya." Bunda Rain memberikan bungkusan plastik kepada Fani. Fani menerimanya lalu mengangguk. "Tante sama kak Rain, udah makan?" tanya Fani, gadis itu terlihat membuka bungkusan plastik yang diberikan bunda Rain. "Udah kok Fan," jawab bunda Rain. Bunda Rain duduk disebelah Fani. "Tante, Chandra kapan pulang? Chandra gak betah disini. Tadi, nanya sama Fani dia malah gak mau jawab." "Kata dokter kamu bisa pulang nanti Chan," jelas bunda Rain. Chandra bersyukur bisa segera pulang dan tidak lagi merepotkan keluarga Rain. *** Malam sudah larut. Tadi sore C
Sudah hampir satu jam Chandra mendengar omelan mamanya. Sejak Chandra pulang tadi sang mama sudah berada di ruang tamu. Lama tidak bertemu bukannya saling melepas rindu, malah kemarahan dan cacian yang diberikan mamanya padanya. "Pintu gak dikunci! Adik kamu yang lagi tidur kamu tinggal! Dimana sih otak kamu! Gimana kalo adikmu itu kenapa-napa?! Di perempuan Chan! Kamu bisa gak sih jaga dia?! Kakak macam apa kamu ini!" bentak mama Chandra. Chandra hanya diam, ia sudah terbiasa dengan hal itu, jadi tak terlalu mendengarkan perkataan mamanya. Kantuk mendera Chandra sejak tadi, tapi mamanya tidak berhenti mengomel, Chandra hanya bisa menguap dan mengacuhkan perkataan mamanya. "Udah ma. Udah malem, Chandra mau tidur." Chandra terlihat menguap lagi. Kemudian Chandra beranjak namun mamanya menahan tangannya. "Kamu minum! Mama ngasih uang kamu bukan buat beli barang gak berguna kayak gitu! Jangankan jaga Fani, jaga diri kamu aja gak bisa! Mau jadi apa Fani kalo kamu yang ngerawat dia! Po
Rain menoleh ke arah Chandra, di menatap Chandra seakan bertanya siapa wanita didepannya kini. Saat sedang berdebat di depan rumah Chandra tadi, tiba-tiba pintu rumah Chandra terbuka dan seorang wanita seumuran bunda Rain keluar dari sana. Wanita itu terlihat sedikit mirip dengan Chandra. Apa dia mama Chandra? "Kamu pacarnya Chandra?" Rain langsung kembali menatap wanita itu. "Eh, bukan tante. Saya tetangga di depan rumah. Saya juga teman sekelas Chandra," ucap Rain dengan sopan. "Keluarga yang baru pindah itu ya? Saya mamanya Chandra. Jadi kamu teman sekelasnya Chandra juga. Siapa nama kamu?" Chandra terlihat heran karena ibunya tiba-tiba menjadi lembut pada Rain. Ah, Chandra lupa, mamanya selalu menunjukkan sikap palsunya di depan para tetangga. "Rain tante." Rain tersenyum ke arah mama Chandra. Ternyata benar dugaannya. "Nama yang cantik, kayak orangnya. Kalian mau berangkat sekolah ya?" "Iya tante. Sebenarnya Rain juga mau nganterin ini." Rain memberikan rantang makanan ya
Suasana yang tenang berubah saat rintik hujan tiba-tiba jatuh membasahi bumi. Beberapa pengendara motor dan pejalan kaki sibuk mencari tempat berteduh. "Padahal cuma hujan air, mereka sampe kalang kabut kayak gitu. Gimana kalo hujan api." Chandra melihat ke luar tenda, terlihat para pejalan kaki yang berlarian mencari tempat berteduh. Chandra dan Rain sedang berada di salah satu tenda pedagang kaki lima. Chandra tiba-tiba mengajak Rain makan disana, ia tak tau kalau hujan akan turun. Beruntung mereka sudah disana sebelum hujan turun. Rain turut melihat ke arah yang sama dengan Chandra. Ini kali pertama makan berdua saja dengan seorang laki-laki. Biasanya Rain selalu makan dengan kakak atau ayah, jika harus dengan lelaki selain mereka biasanya ia ditemani oleh Khanza. "Kalo hujan api, pasti susah sih." Chandra tertawa, sementara Rain menatap ke arahnya. Ada rasa syukur saat melihat Chandra tertawa lagi. "Lo juga pasti neduh kan kalo hujan." "Mungkin iya, mungkin enggak," jawab Cha
Malamnya Chandra telah bersiap ke rumah Rain. ia memegang beberapa buku pelajaran dan alat tulis. Saat melintas di depan ibunya yang sibuk dengan berkas-berkas kantor di sofa, Chandra tak terhindar dari pertanyaan yang tak terelakkan. "Mau kemana?" Mama Chandra tak mengalihkan pandangannya dari kertas yang tengah dipegangnya. Chandra berhenti sejenak. Tatapan lelahnya beralih pada ibunya. Meski tahu pertanyaan itu hanya akan membuka pintu pada diskusi tak berujung, dia menjawab dengan singkat, "Rumah Rain." "Ngapain?" ibunya menyela. Chandra menggelengkan kepala, mengetahui bahwa alasan apa pun tak akan cukup memuaskan ibunya. Namun, ia tetap menjawab dengan sabar, "Ngerjain tu—" "Dia target kamu selanjutnya kan." Kali ini mama Chandra menatapnya dengan tatapan tajam. Chandra berdecak. Ia nampak tak suka dengan apa yang baru saja mamanya katakan, meski Chandra tak bisa mengelak perkataan mamanya. "Kamu emang sama kayak papa kamu! Brengsek!" Kata-kata tajam terlontar begitu saja
"Jauhin Rain kalo lo cuma datang buat nyakitin dia." Chandra diam, ia terkejut dengan perkataan Juan. Apakah Juan mengetahui yang sebenarnya? Apa mamanya memberi tahu semuanya pada Juan? Atau Fani yang memberi tahu Juan? Banyak pertanyaan muncul di otak Chandra. Keheningan semakin membuat suasana tidak terasa nyaman. Apalagi Juan masih menatap Chandra dengan serius dan Chandra pun masih terdiam, tak ada sepatah katapun yang ia ucapkan. "Lo gak akan nyakitin Rain kan Chan?" Raut wajah Juan berubah. Ia tidak seserius tadi. Chandra bernafas lega, ternyata Juan belum mengetahui semuanya. "Gak mungkin lah bang." Chandra tersenyum kikuk. "Gue percaya sama lo Chan," ucap Juan dengan sungguh-sungguh. Hati Chandra kembali diliputi rasa bersalah mendengar ucapan Juan. Ia juga seorang kakak, ia tahu bagaimana rasanya jika adiknya disakiti. Apa Chandra harus mengakhiri taruhan itu dan mengaku kalah? Kenapa ia mulai goyah? Siapa Rain dan Juan. Mereka hanya orang asing di hidup Chandra. "Bang